Aku menulis maka aku belajar

Sunday, October 2, 2016

Riset

"Gile coy, gue baru ngerti kenapa para sarjana amrik bisa jadi rujukan international," celetuk seorang sohib yang baru pulang "nyantri" di salah satu kampus amrik. "Memangnya apa?" tanyaku penasaran. "Hampir semua mereka adalah jebolan sekolah dalam negeri!" jawabnya lugas.

"Hebatnya lagi, meskipun mereka studi dalam negeri tapi hampir semua riset mereka mengenai isu-isu di luar negeri," sambungnya berapi-api. Tapi tiba-tiba terdiam. "Sebenarnya kalau soal itu, bukannya para sarjana Indonesia lebih hebat? Mau jebolan luar negeri kek dalam negeri kek, hampir semua topik riset tesis/disertasinya mengenai isu-isu dalam negeri. Nah, mestinya kan hasil riset mereka jadi rujukan internasional tentang Indonesia. Tapi kok selalu para sarjana amrik yang dirujuk termasuk untuk studi Indonesia? Yang studi dalam negeri dengan riset luar negeri berapa ya?" katanya lagi.

"Meneketehe," jawabku kesal sambil melanjutkan membaca dan, ah ini dia, "Kegiatan riset akan otomatis berkembang apabila riset sudah menjadi kebutuhan industri, pemerintah, atau kegiatan masyarakat lain. Masalahnya, sebagian besar industri kita tidak membutuhkan riset. Pemerintah juga tidak begitu membutuhkan hasil riset dalam menjalankan amanat pembangunan bangsa. Kegiatan masyarakat pun sebagian besar juga tidak membutuhkan riset. Oleh karena itu, masalahnya menjadi sangat sederhana, yakni bahwa riset kita tidak berkembang karena memang tidak begitu dibutuhkan." demikian tulis Johanes Eka Priyatma, Rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (Kompas, 27 September 2016).

"Serius neh, Pak Johanes?" batinku.

"Wooii bro! Jadi nggak elo sekolah di luar negeri? Atau elo sekolah aja dalam negeri tapi riset luar negeri? Gimana?" tanya sohib ngeyel membuyarkan lamunanku.

"Tau ah!" dongkol aku menjawabnya sambil ngeloyor meninggalkannya melongo melihat angka-angka di tagihan kafe yang terpaksa dibayarnya.

Terngiang jelas kata-kata guruku, "Penelitian adalah ekstensi perjumpaan intersubjektif antara subjek peneliti dan subjek yang diamati. Maka penelitian bukan soal laporan, statistik dan tabel-tabel, tapi pengerukan kedangkalan pengetahuan melalui interaksi yang manusiawi. Di situlah penelitian menjadi bernyawa kemanusiaan."
Read more ...

AMBON: Musik, Angin dan Laut



"Ambon ~ City of Music" punya cerita panjang dan bisa jadi beragam interpretasi atau versi. Kini itu sudah telanjur menjadi stempel entah pada pulau, masyarakat dan kebudayaan yang disebut Ambon itu. Biarlah masing-masing merajutnya menjadi narasi bersama tanpa perlu dipertegangkan mana yang benar.

Tapi, bisakah musik eksis tanpa bunyi? Dari manakah bunyi yang menjadi roh dari musik itu? Bagi orang kampung di pulau-pulau timur Indonesia, adalah alam sendiri yang melahirkan bunyi. Bunyi angin sibu-sibu menginspirasi siulan bernada. Bunyi debur ombak dan hempasan gelombang menghentak nada-nada cas-cas dan bum-bum. Bunyi suara serangga krik-krik menghidupkan sak-sik-suk gesekan berintonasi. Manusia yang hidup di pesisir pulau-pulau saling berkomunikasi dengan alunan bahasa atau rima yang naik-turun sesekali keras berlomba menutupi suara laut yang meninggi pasang dan turun menyurut. Maka lahirlah kresendo dan dekresendo. Pianosimo dan fortesimo hanyalah suara alam yang menuruti matahari dan bulan dalam hingar dan hening waktu.

Bagi orang pulau-pulau, musik itu adalah alam dan alam selalu menjadi jiwa dari musik. Dengar saja langgam "hasa-hasa pinggir pantai Ambone masuk teluk sungguh manise" hingga "beta berlayar jauh dari Ambone", atau lantunan "kamu-kamu meliputi gunung salahutu" hingga "nusaniwe tanjung alang labuan raja". Jika alam menjadi jiwa musik maka orang-orang pulau itu menjadi komposer, konduktor, sekaligus pelantun dan pemain dalam satu orkestra kolosal universal, yang merajut hidupnya dalam birama dan tangga nada kehidupan bersama alam: tanah, angin dan laut.

Jiwa yang bermusik adalah jiwa yang menorehkan tangga nada bersama alam: tanah, angin dan laut. Semuanya bernyawa. Maka jika beraneka sampah masih mengapung seolah hendak menyesaki laut, sesungguhnya kita belum bermusik. Karena dengannya jiwa musik hendak kita bungkam dengan sejuta sampah dan notasi-notasi kehidupan kita rajam dengan kejam agar terus bungkam. Kita pun menjadi tuli dan selalu salah menangkap nada-nada alam.

Ajarkan saja nada-nada alam, desahan angin, dan deburan ombak kepada anak-cucu kita, niscaya mereka hidup dengan musik bersama alam yang terus menginspirasi masa depan. Sebab musik bukan sekadar bunyi dari mulut kita yang terdengar oleh telinga kita. Musik adalah kita. Musik adalah manusia, yang merajut aneka beda nada menjadi harmoni. Jauh sebelum itu dirumuskan menjadi "pluralisme" atau "multikulturalisme", musik jiwa sudah mengajarkan kita menarasikan warna-warni dan tinggi-rendah nada menjadi cerita bersama. Cerita cinta manusia dan alam yang melahirkan kisah-kisah suci tentang tuhan yang mengasihi manusia. Itulah kebudayaan.

Bermusiklah!
Read more ...

Multirasa Indonesia

Apa yang terbayang di benak kita saat mendengar kata "Indonesia"? Anda pasti punya aneka jawaban dan tanggapan. Monggo kerso. Tapi anda pernah merasa "Indonesia"? Tak perlu njlimet berteori karena yang saya maksud sederhana: bagaimana perjumpaan berbagai kelompok etnis dengan citarasa budayanya memberi rasa dalam relasi-relasi keseharian kita.

Kita tentu tak asing dengan "rumahmakan Padang", "warung Tegal", "pisang Ambon" (di Ambon disebut pisang meja), "bakso Malang", "bubur Manado", "bika Ambon" (asli Medan!), "Chinese food", "gudeg Jogja", "coto Makassar" atau "burjo Kuningan" dll. Semua memakai nama lokal tapi ada dimana-mana dan digemari banyak orang dari berbagai identitas. Malah, di beberapa tempat sudah berlangsung hibridisasi kreatif: kalau di Manado ada "babi rica" maka di Salatiga jadinya "rica-rica menthok". Daging bumbu "rw" pun bisa jadi "sate gukguk".

Tapi ini bukan tentang semua kuliner itu. Ini tentang percakapan dengan seorang pemangkas rambut "Madura" (yang labelnya bisa ditemukan hampir di setiap kota di Indonesia). Bagi saya, inilah keunikan mengindonesia ketika dalam keseharian kita mengalami perjumpaan-perjumpaan yang hidup sembari saling menyerap keunikan multi-identitas di sekitar kita.

Namanya Haji Marjuki. Hingga usianya yang ke-79 tahun ini ia masih setia menjalani profesi sebagai pemangkas rambut "Madura". Beristri satu, beranak lima. Kelima anaknya sudah sarjana dan menggeluti berbagai profesi di beberapa kota. Ia dan istrinya tinggal berdua di rumah yang sekaligus menjadi kios pangkas rambut di daerah pecinan Kota Salatiga.

Profesi pemangkas rambut sudah ditekuninya sejak keluar dari tanah Madura tahun 1964 dan mengikuti paman kerabat jauh yang juga pemangkas rambut sejak tahun 1938 di Semarang. Ia kemudian menikahi anak perempuan tunggal pamannya ini dan dikaruniai lima anak.

Rumah mereka di kawasan pecinan Kota Salatiga adalah rumah peninggalan mertuanya. Mertuanya membeli dari seorang pengusaha kecil peranakan Tionghoa di Semarang yang usahanya melorot nyaris bangkrut. Rumah itu ditempatinya sampai sekarang tanpa mengubah sama sekali arsitektur luar dan dalam, bahkan seluruh perabot kerjanya masih klasik warisan mertuanya.

"Semua anak kami jadi orang lewat pangkas rambut ini," katanya sambil jemarinya terus memainkan gunting dan sisir di kepalaku. Dia mengaku tak terbiasa memakai pemangkas listrik. "Saya tidak mimpi berprofesi lain sejak menerima warisan rumah dan perabot/perlengkapan pangkas rambut dari mertua saya," sambungnya. "Alhamdulilah, tahun1998 saya dan istri bisa naik haji."

Ia mengaku tak lagi ngoyo dengan usianya yang tahun depan genap 10 windu jika masih dianugerahi setahun lagi oleh Yang Maha Kuasa. Para pelanggannya pun tak banyak. Sebagian besar adalah pelanggan lama. "Pak Titaley (Rektor UKSW) dan Pak Manopo (mantan walikota Salatiga) sering gunting rambut di sini," katanya. "Sekarang saya menjalani saja sisa umur ini. Syukurlah, anak-anak tidak ada yang meneruskan profesi pemangkas rambut. Senang sekaligus susah. Susahnya, ini perabotan warisan orang tua mau dikemanakan? Saudara-saudara saya di Madura sudah meninggal dunia semua. Saya anak bungsu. Istri saya anak tunggal." lanjutnya bercerita sambil sesekali menatap cermin memastikan kerapian hasil guntingannya.

"Sudah selesai mas. Maaf ya agak lama, maklum sudah tua," katanya sambil merapikan peralatannya.

Terima kasih pak Marjuki untuk cerita hidup hari ini. Saya meminta izin memotret kios pangkas rambutnya lalu pamit. Di depan rumahnya ada andong yang lewat. Pak kusir dengan santai memegang tali kekang kuda diiringi suara penyiar RRI mengulas berita pilkada Jakarta yang kian "memanas". Aku memacu bronpitku menerobos sejuk Salatiga dengan mendung menggantung.
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces