Aku menulis maka aku belajar

Friday, June 26, 2009

Senopati Pamungkas dari Bantaran Ciliwung


Perawakannya ceking. Pet hitam setia nangkring di kepalanya, menutupi sebagian rambut yang ikal. Sepintas melihatnya tak ada yang istimewa pada dirinya - tentu itu bagi orang-orang yang tidak mengenal dirinya. Sikapnya ramah, murah senyum. Tak segan-segan menundukkan badan ketika menyalami orang lain, seolah bahasa tubuhnya hendak mengucap "aku sama denganmu".

Tapi laki-laki ceking ini menyimpan seribu energi. Bahkan kata orang ia punya seribu nyawa. Ups, jangan berburuk sangka dulu. Aku tidak sedang membicarakan sosok dukun atau paranormal. Yang aku bicarakan adalah sosok Romo Sandyawan. Seorang rohaniwan Katolik yang memilih mengabdikan dirinya dan hidupnya bagi kaum marjinal-miskin-papa yang terserak di seantero sudut Jakarta.

Aku sempat tak percaya mendengar penuturan seorang teman - dan juga cerita pengalaman sendiri yang mengalir dari mulut Rm Sandy - bahwa laki-laki ceking ini sama sekali tak gentar menghadapi kepongahan kuasa para punggawa negeri ini. Panjang ceritanya tak mampu kucerap karena aku telanjur kagum dengan komitmennya. Pernah disatroni intelijen. Sempat digebukin preman-preman bayaran yang disuruh para punggawa yang jengah dengan sepak terjangnya menyuarakan keadilan bagi rakyat kecil. Toh, semua itu tak menyurutkan greget juang sang romo.

Jauh dari libido ingin terpublikasi sebagai ras selebritas. Menyembunyi dalam aktivitas memberdayakan kaum marjinal-miskin-papa di Jakarta. Atribut "Katolik" yang menjadi imannya pun tak membuatnya terpenjara dalam sekat-sekat doktrinal yang menghalangi langkahnya menjumpai kaum beriman lain. Ketika hampir 10 tahun musholla dekat sanggarnya tak kunjung berdiri - padahal sudah terbentuk 5 panitia pembangunan masjid - ia pun menangani pembangunannya. Sebuah musholla berdiri bukan dengan kekuatan dana, melainkan kekuatan kasih.

Rumahnya menjadi tempat pengajian kaum muda bantaran Ciliwung. Tak hanya itu. Untuk memperkuat pemahaman religius para pemuda, ia memanggil seorang guru mengaji. Ia seorang rohaniwan Katolik yang beriman melampaui sekat-sekat tradisi dan konfesi kristiani. Aku tak tahu apakah ia layak disebut nabi; karena mungkin ia pun tak menyukai sebutan itu. Namun, mungkin tak berlebihan jika aku menyebutnya senopati pamungkas dari bantaran Ciliwung. Seorang pejuang kemanusiaan yang memberi hidupnya berada bersama kaum marjinal-miskin-papa... hidup bersama mereka di tengah sesaknya rumah-rumah petak kumuh tetapi mengajak meluaskan iman dan pengetahuan sehingga menemukan makna menjadi manusia sejati...
Read more ...

Monday, June 15, 2009

Sedikit Corat-coret tentang WARC Theological Consultation


Sejak tanggal 12-16 Juni saya berada di Kaliurang, Yogyakarta, mengikuti konsultasi teologi Aliansi Internasional Gereja-gereja Reformasi (World Alliance of Reformed Churches). Konsultasi teologi ini merupakan pertemuan gerejawi tingkat regional Asia Tenggara, yang diselenggarakan untuk mempersiapkan Pertemuan Raya WARC di Grand Rapids, Michigan, Amerika Serikat tahun 2010. Direncanakan pertemuan raya tersebut juga menjadi momentum bersatunya dua lembaga gerejawi Reformasi, yaitu World Alliance of Reformed Churches dan Reformed Ecumenical Churches.

Namun apa yang penting bukanlah hal penyatuan dua organisasi gerejawi tersebut, melainkan komitmen untuk melibatkan diri secara proaktif dalam transformasi masyarakat dunia. Oleh karena itu, pertemuan-pertemuan regional yang berlangsung di beberapa kawasan (region) dipayungi oleh tema utama "Communion and Justice" (Persekutuan dan Keadilan). Tema ini dipandang penting karena konteks global menandakan di mana-mana bahwa hubungan-hubungan kemanusiaan antarbangsa makin retak dan hancur. Nilai-nilai kemanusiaan makin tergusur oleh berbagai kepentingan-kepentingan yang sangat materialistis.

Isu keadilan juga menjadi sorotan dari keprihatinan gereja-gereja Reformasi. Berbagai konflik dan persoalan-persoalan global dilihat sebagai manifestasi dari meluasnya praktik-praktik ketidakadilan. Berbagai praktik ketidakadilan tersebut sebenarnya membuat manusia kehilangan kemerdekaan asasinya sebagai manusia sejati. Ketidakadilan telah melecehkan kemanusiaan sehingga martabat manusia dipermainkan demi keuntungan segelintir orang.

Sebagaimana namanya, pertemuan ini hanyalah bersifat konsultatif di mana delegasi gereja-gereja anggota WARC mendiskusikan berbagai realitas permasalahan yang dihadapi masing-masing gereja; kemudian dari realitas tersebut dibahas refleksi teologis yang dapat menjadi spirit untuk melakukan transformasi sosial yang berkeadilan dan mengembangkan semangat persahabatan sedunia sebagai tanda penghargaan bagi nilai-nilai kemanusiaan yang asasi.

Melalui penelaahan Alkitab dan sharing informasi, para peserta makin menyadari betapa pentingnya gereja-gereja melakukan pelayanan dalam suatu jejaring dan aksi bersama secara konkret. Dari situlah terasa bahwa masalah-masalah yang terjadi dalam konteks lokal seperti yang dihadapi oleh gereja-gereja, tidak didekati dan diselesaikan hanya dengan mengandalkan pendekatan karitatif belaka. Melalui sharing informasi, kemudian disadari bahwa masalah-masalah lokal tersebut, seperti: HAM, kerusakan lingkungan hidup, konflik, dsb, ternyata merupakan jaringan masalah global. Globalisasi telah menyatukan manusia, bahkan menyeragamkan gaya hidup manusia, sekaligus telah menyeret manusia dalam persoalan-persoalan bersama yang saling terikat dan terkait. Apa yang paling nyata dan jelas dirasakan adalah ketidakadilan ekonomi, yang melanda hampir sebagian besar negara-negara dunia ketiga. Ketimpangan ekonomi makin kentara, di mana kekayaan menumpuk hanya di segelintir elite-elite di negara-negara Dunia Pertama (negara industri kaya), sementara lautan kemiskinan makin meluas serta menimbulkan sejumlah persoalan baru yang kompleks.

Oleh karena itulah, gereja-gereja Reformasi di Indonesia bersepakat bahwa penanganan berbagai masalah global tersebut mesti dihadapi bersama dengan suatu komitmen yang kuat pada solidaritas sosial. Namun, solidaritas sosial tersebut tidak akan bertahan lama dan makin meluntur jika gereja-gereja tidak secara konsisten melakukan aksi pada tingkat akar rumput (grass-roots). Refleksi teologi gereja dibangun dari kenyataan kontekstual. Dari kesadaran akan realitas aktual dan kontekstual tersebut, gereja membaca Alkitab. Jadi membaca Alkitab tidak semata-mata sebagai aktivitas individual, namun mesti mengusik kegelisahan gereja untuk memahami dan menghayati konteks hidupnya sendiri pada suatu ruang dan waktu.

Semoga saja gerakan penyatuan dua organisasi gerejawi ini dapat menginspirasi seluruh gereja dan orang Kristen untuk secara serius dan programatis melihat masalah-masalah yang dihadapi oleh gereja. Hanya dengan cara itulah gereja-gereja Indonesia menjadi gereja-gereja yang turut memperkuat fondasi persekutuan sebagai warga gereja dan warga negara. Semua itu dilakukan dengan cita-cita menyatakan keadilan bagi masyarakat dan di tengah-tengah masyarakat nasional maupun global.

Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces