Aku menulis maka aku belajar

Saturday, February 2, 2013

Teologi Agama-Agama di Maluku: Mengais Remah-Remah Kemungkinan (bagian 2)

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya. Bersamaan dengan penyusunan konsepnya, saya menerima berita dan foto, juga catatan rekan Pdt Albert Kofit mengenai deklarasi jaringan pemuda antar-iman di Maluku Utara dan tulisan rekan Pdt Rudy Rahabeat bertajuk “Agama Bukan Alat Politik” (yang juga mengambil konteks Maluku Utara). Saya pertama-tama ingin mengucapkan selamat atas terbentuknya jaringan pemuda antar-iman di Maluku Utara. Peristiwa ini dapat dijadikan sebagai momentum penting membuka kembali simpul-simpul sentimen dan prasangka yang selama ini mengendap di bawah struktur kesadaran sosial masyarakat Maluku Utara. Tampak tenang di permukaan tetapi dapat sewaktu-waktu meledak karena simpul-simpul sentimen dan prasangka tersebut belum terurai melalui relasi-relasi yang transparan dan tulus. Apresiasi yang tinggi hendak saya sampaikan terutama kepada rekan-rekan pendeta yang dengan segala cara mencari kemungkinan membangun relasi-relasi kemanusiaan lintas-institusi agama serta menggali potensi-potensi kultural bagi penguatan perdamaian sosial di sana.

Kedua, peristiwa deklarasi jaringan pemuda antar-iman Maluku Utara dan penyelenggaraan diskusi publik “Agama Bukan Alat Politik”, menurut saya, merupakan satu titik kulminasi dari dialog panjang para pelaku perdamaian lintas-institusi agama di Maluku Utara. Dialog panjang yang dimaksud tentu saja bukan sekadar perjumpaan-perjumpaan formal dalam ruang-ruang seminar dan/atau yang diprogramkan oleh institusi-institusi pemerintahan dan agama saja. Saya percaya bahwa capaian hingga titik deklarasi antar-iman telah melalui dialog kehidupan sehari-hari yang panjang dan melelahkan, serta perjumpaan-perjumpaan kultural yang berlangsung informal dalam konteks kemajemukan di Maluku Utara (terutama kota Ternate). Jika melihatnya demikian, maka dapat dibayangkan bahwa perjumpaan-perjumpaan itu tidak selamanya lancar dan mulus sebagaimana gambaran idealnya. Benturan dan ketegangan sudah pasti terjadi selama proses membangun dialog kehidupan tersebut. Sesuatu yang wajar mengingat sebagai salah satu wilayah yang juga merasakan dampak konflik sosial beberapa tahun silam, masyarakat Malut tidak bisa begitu saja menghapus memori kolektif tentangnya.

Pelanggengan memori kolektif mengenai konflik terjadi karena ruang-ruang perjumpaan sehari-hari turut tersegregasi oleh sekat-sekat identitas yang berlapis-lapis. Sehingga untuk memulai dialog kehidupan tersebut diperlukan energi dan konsistensi tingkat tinggi, terutama untuk menahan tekanan-tekanan sosial-politik dari kubu-kubu yang tetap ingin mengeruk keuntungan dari situasi konflik. Sejauh yang saya amati, salah satu upaya (di antara banyak upaya oleh rekan-rekan pendeta yang lain) untuk tetap menebarkan semangat perdamaian dan persaudaraan adalah melalui tulisan-tulisan, sebagaimana yang dilakukan dengan tekun dan rajin oleh Pdt Rudy Rahabeat (RR). Kejelian untuk membentuk opini positif melalui media (koran lokal dan internet) telah menjadi salah satu kekuatan untuk melakukan diseminasi ide-ide dan pengalaman-pengalaman konstruktif yang menjadi milik bersama masyarakat Malut. Peluang untuk mendapatkan akses ke media cetak lokal dan penyebaran tulisan-tulisan ringkas tapi bernas melalui media jejaring sosial (facebook) secara gradual telah memberikan efek kognitif yang signifikan bagi pembentukan opini publik mengenai situasi dan kondisi Malut. Ini perlu diapresiasi dan diperhatikan serius dalam proses konstruksi sosial-budaya dan pengondisian perdamaian yang berkelanjutan di Maluku dan Maluku Utara.

Jika diamati, sebagian besar tulisan-tulisan RR merupakan refleksi pengalaman-pengalaman sosial yang terjadi di Malut, terutama Ternate. Tulisan-tulisan RR mencoba berdialog dengan sosok tertentu (tokoh masyarakat maupun orang-orang biasa), mengangkat realitas keterpurukan manusia akibat buruknya mekanisme birokrasi pemerintahan, pengalaman perjumpaan secara langsung komunitas gereja dan pondok pesantren, sampai pada kritik terhadap penyelewengan kekuasaan (korupsi) yang telah menjadi “tumor ganas” dalam relasi-relasi kekuasaan pada semua level birokrasi pemerintahan.

Selain melalui tulisan, saya juga mendengar bahwa rekan Pdt Max Takaria (MT) menjalin komunikasi yang akrab dengan Sultan Ternate. Banyak cerita tentang ini yang tentunya lebih tepat dituturkan oleh MT sendiri. Dari pengalaman RR dan MT, saya makin yakin bahwa “teologi agama-agama” – entah dalam perspektif Kristen ataupun Islam – terbentuk bukan lagi melalui pertemuan-pertemuan formal yang kerap teralienasi dari pengalaman-pengalaman keagamaan yang konkret sebagaimana dihayati dan dialami oleh masyarakat umumnya. Teologi agama-agama itu justru tersusun, direkatkan bagian-bagiannya, dan terbangun secara bertahap melalui pengalaman-pengalaman keseharian manusia dalam konteks partikular.

Tetapi, pengalaman semacam apakah yang bisa menjadi model bagi terbentuknya teologi agama-agama dalam konteks Maluku/Malut? Menurut saya, di sinilah gagasan “identitas” Burke/Stets dan “habitus” Bourdieu – lihat tulisan sebelumnya – memberikan spasi untuk mempertautkan “teks-teks” pengalaman tertentu kemanusiaan menjadi sebuah wacana intertekstualitas yang utuh dan saling mengait. Jika identitas merupakan arena negosiasi antara agency and social structure maka proses-proses negosiasi tersebut adalah “kemungkinan” (possibility) untuk berdialog. Lantas, apa yang harus didialogkan? Diperlukan pemahaman bersama mengenai struktur-struktur kesadaran semacam apa yang mempengaruhi power relations di antara manifestasi lapisan-lapisan identitas individual dan komunal. Pemahaman bersama itu hanya terbentuk melalui kesepakatan-kesepakatan sejarah dan budaya yang melandasi gerak sosial suatu masyarakat. Dengan demikian, apa yang didialogkan adalah simpul-simpul identitas (agency and social structure) yang mendorong terjadinya komunikasi budaya di dalam masyarakat itu sendiri. Penentuan titik-titik diskursus budaya itu pun berlangsung dalam proses “menjadi” sehingga memang yang dibutuhkan adalah kejelian melihat peluang-peluang sosial untuk menghadirkan pengalaman bersama sebagai tumpuan dialog kehidupan.

Kembali pada pengalaman rekan-rekan pendeta di Malut. Deklarasi Jaringan Pemuda Antar-Iman dapat dipahami sebagai kemungkinan untuk melumerkan sekat-sekat identitas sosial-budaya yang selama ini dilihat sebagai “ancaman” bagi perdamaian. Namun kini sekat-sekat itu baiknya menjadi simpul-simpul identitas baru yang saling bertaut secara kreatif dan dinamis dengan pengalaman-pengalaman baru menghadapi juggernaut perubahan yang menggoncang dasar-dasar sejarah dan budaya bersama dalam konteks Malut. Jejaring itu juga mesti menjadi “habitus”, dimensi-dimensi kesadaran positif yang distrukturkan sehingga terinternalisasi sebagai hakikat dari identitas sosial Malut. Ia tidak lagi memerlukan ruang-ruang pertemuan dalam bingkai formalistik dan birokratik karena semangat jejaring antar-iman telah menjadi penanda identitas masyarakat Malut. Soalnya sekarang adalah apakah dalam habitus semacam itu masih diperlukan “teologi agama-agama”? Jika masih, bagaimana kita mengelaborasi kemungkinan-kemungkinan teologis dalam pengalaman sosial dan budaya kita? Jalan masih panjang. Tapi setidaknya langkah sudah mulai mengayun ke tahap berikutnya.
Read more ...

Teologi Agama-Agama di Maluku: Mengais Remah-Remah Kemungkinan (bagian 1)

Menanggapi undangan berdiskusi dari bung Jacky Manuputty mengenai teologi agama-agama di Maluku, saya mencoba menuliskan beberapa pokok pikiran saya. Catatan ini bukanlah kajian teoretik melainkan upaya mendialogkan gagasan-gagasan arus-utama dalam perbincangan seputar realitas keberagamaan dengan pengalaman-pengalaman sendiri.

Tajuk “teologi agama-agama di Maluku” yang disodorkan serta-merta menggiring kesadaran reflektif saya pada lapisan-lapisan identitas pada diri saya, yang tidak terpungkiri sangat mempengaruhi bentukan-bentukan perspektif dan pengalaman yang dibagikan di sini. Istilah “teologi” mengasumsikan bahwa saya berpikir dan beriman dalam sebuah sistem keagamaan tertentu (Kristen); istilah “agama-agama” menandakan dengan tegas bahwa pantulan pengalaman keagamaan itu tidak monolitik tetapi jamak dan berwarna-warni; istilah “Maluku” memperlihatkan bahwa pengalaman dan penghayatan beriman dan beragama berlangsung dalam sebuah konteks sosiobudaya yang kompleks.

Tipologi Alan Race yang dielaborasi dalam bukunya Christians and Religious Pluralism, sebagaimana dikutip oleh bung Jacky, setidaknya membantu memberikan pemetaan (vantage point) untuk melihat sudah sejauh mana percakapan mengenai pluralisme keagamaan berlangsung dan pada tataran mana polemik (critical point) berlanjut. Tentu saja, tipologi Race baiknya diterima sebagai “modeling” atau teorisasi realitas perjumpaan agama-agama yang telah terjadi sejauh ia amati. Realitas perjumpaan agama-agama itu sendiri jauh melebihi apa yang dimodelkan oleh Race. Dengan perkataan lain, pada titik itu tipologi Race menjadi pijakan berlapis yang membantu kita memulai melangkah ke ranah perseptual dan eksperensial kita sendiri.

Saya sendiri melihat bahwa frase “perjumpaan agama-agama” pada dasarnya memantulkan presuposisi yang lebih bersifat praksis. Artinya, konseptualisasi teologi agama-agama yang diharapkan melalui perjumpaan agama-agama itu tidak terhindarkan melibatkan seluruh eksistensi pengalaman kemanusiaan orang atau kelompok sosial yang memilih sistem beragama yang beraneka ragam itu. Pengalaman kemanusiaan itu pula yang mempengaruhi konstruksi identitas “diri” dan “kelompok”, yang membuat realitas keberagamaan itu sebagai ruang menegosiasikan identitas pada lokasi budaya tertentu. Oleh karena itu, saya ingin memulai dari mengupas lapisan identitas itu untuk kemudian menyelisik lebih jauh bagaimana konstruksi identitas berlapis itu mempengaruhi cara pandang tentang diri, orang lain, dan masyarakat beserta seluruh derivasi sosiokulturalnya.

Apakah identitas itu? Saya meminjam pendapat Peter Burke & Jan Stets dalam buku Identity Theory: “Identitas adalah seperangkat makna yang menentukan siapa seseorang ketia ia menjalani peran tertentu dalam masyarakat, menjadi anggota dari suatu kelompok, atau mendaku karakteristik tertentu yang mengidentifikasikan dirinya sebagai pribadi yang unik” [An identity is the set of meanings that define who one is when one is an occupant of a particular role in society, a member of a particular group, or claims particular characteristics that identify him or her as a unique person – pp. 3]. Dalam batasan tersebut maka identitas sebenarnya adalah pertautan dinamis antara agency and social structure. Seperti dilanjutkan oleh Burke & Stets “masyarakat (struktur sosial) diciptakan melalui tindakan-tindakan individual, kendati diakui bahwa tindakan-tindakan tersebut diproduksi dalam suatu konteks struktur sosial [it is our view that society (social structure) is created by the actions of individuals, though it is recognized that these actions are produced in the context of the social structure they create and are influenced by this context. There is, thus, an elaborate system of mutual influences between characteristics of the individual and characteristics of society – p. 4].

Sekelumit pernyataan Burke & Stets di atas pada gilirannya membuka celah interpretatif bahwa apa yang disebut dengan “pengalaman” itu sendiri sebenarnya adalah ruang-ruang realitas yang mendorong terjadinya negosiasi budaya dan identitas dalam sebuah arena kontekstual. Negosiasi tersebut berlangsung secara trialektik ala Bergerian yaitu “externalisasi – internalisasi – objektifikasi”. Kemanakah arah negosiasi trialektis tersebut? Ia akan mengerucut pada sebuah tindakan yang disepakati atau tidak disepakati bersama, yang oleh Pierre Bourdieu disebut “habitus”. Demikian lengkapnya menurut Bourdieu: “The structures constitutive of a particular type of environment (e.g. the material conditions of existence characteristic of a class condition) produce habitus, systems of durable, transposable dispositions/structured structures predisposed to function as structuring structures, that is, as principles of the generation and structuring o f practices and representations which can be objectively “regulated” & “regular” without in any way being the product of obedience to rules, objectively adapted to their goals without presupposing a conscious aiming at ends or an express mastery of the operations necessary to attain them and, being all this, collectively orchestrated without being the product of the orchestrating action of a conductor” (Outline of A Theory of Practice, p. 72).

Saya menggunakan kutipan Burke dan Bourdieu di atas untuk melanjutkan pencarian kutub-kutub pengalaman keseharian yang semestinya bisa menjadi acuan untuk menapak lebih jauh dalam ranah percakapan teologi agama-agama di Maluku. Dengan perkataan lain pula, keduanya membantu membuka cakrawala saya untuk mengais lebih jauh remah-remah kemungkinan bagi elaborasi teologi agama-agama selanjutnya.

Di manakah remah-remah kemungkinan tersebut bisa dikais? Dengan lensa Burke dan Bourdieu di atas maka saya melihatnya pada akseptabilitas masyarakat terhadap perubahan yang terjadi dalam realitas sosial dan budayanya dan interkoneksitas pengalaman keagamaan atasnya. Akseptabilitas itu tidak sekadar upaya menyesuaikan diri, tetapi juga kapasitas untuk menempatkan perubahan sebagai arena intertekstualitas atau interkoneksitas antara “diri” (agency) dan “masyarakat” (social structure); mengelola relasi-relasi kekuasaan (power relations) sedemikian rupa sehingga perubahan memicu pada terkonstruksinya identitas-identitas yang saling bernegosiasi bagi kepentingan bersama. Hibriditas (hibridity) – menurut saya – adalah sebentuk puncak negosiasi identitas yang berlangsung dalam realitas sosiologis dan historis.

Saya melihat interkoneksitas pengalaman keagamaan sebagai kemungkinan. Tentu saja, itu juga bisa menjadi ketidakmungkinan. Mengapa? Jika kembali merujuk pada tipologi Race, dapat dibayangkan bahwa sistem keagamaan yang didaku oleh agama-agama besar lebih condong untuk menciptakan tembok-tembok pemisah antara “aku” dan “liyan” (other). Ini persoalan agama-agama sepanjang sejarah peradaban manusia hingga saat ini. Mengapa harus ada tembok-tembok doktriner yang memisahkan satu terhadap yang lain? Karena proses identifikasi atau konstruksi identitas yang lebih menitikberatkan pada keunikan diri sendiri, dan bukan pada penerimaan interkoneksi pengalaman keagamaan yang menandai bahwa setiap entitas adalah unik pada dirinya dan karenanya bisa saling menerima atas dasar perbedaan itu. Di situ kemudian pengalaman kehidupan sehari-hari menjadi arena permainan simbolik identitas – dan agama berhasil mengukuhkan pengaruhnya secara signifikan.

Bagaimana interkoneksitas pengalaman keagamaan bisa menjadi kemungkinan juga sangat tergantung bagaimana permainan simbolik identitas pada arena kehidupan sehari-hari terarahkan pada perjumpaan pengalaman budaya yang mencairkan perbedaan melalui kepentingan-kepentingan kemanusiaan bersama. Tidak mudah melakukannya tapi bukan tidak mungkin mewujudkannya. Eksperimentasi LAIM dalam mengelola kepentingan-kepentingan bersama melalui strategi budaya mengolah “permainan” identitas yang kerap berlapis pada derajat tertentu memberikan secercah harapan untuk mewujudkannya. Sekarang tinggal soal bagaimana olah-identitas “keagamaan” dan “kemalukuan” dinegosiasikan sebagai tawaran teologis agama-agama terutama dari perspektif Kristen. Bagi saya, ini baru awal dari sebuah eksperimentasi panjang.
Read more ...

Friday, February 1, 2013

Sermon at the Yogyakarta International Congregation Sunday, 20 January 2013 at 5.00 pm

Sermon at the Yogyakarta International Congregation
Sunday, 20 January 2013 at 5.00 pm


Reading: John 8:1-11
Theme: Calling for Empowering Others

I would like to start this reflection with some short-stories I got from media news. Recently I have read mostly news on women.

First story:
In Aceh (North Sumatra), there are controversies against mayor of Lhokseumawe who just released regulation prohibiting women straddle while back-ride on motorcycle. This regulation then is supported by Islamic Leader Council in Aceh by referring it to some Quranic verses. I have no clearly reason on such a regulation. Certainly, the regulation provokes debates among Muslims, specifically women Muslims either in Aceh or other places in Indonesia. Some says that straddle position more safety for women who often back-ride on motorcycle.

Second story:
In Garut (one district of West Java), the new elected regent marry a teen girl (around 18 years old) only for two days and divorced her by reason she is not a virgin. Ridiculous, isn’t it? But it happened there. Then it also emerges controversies among communities in Garut as well as other places in Indonesia. The local parliamentary of Garut even calls for impeachment and bring the case into the court.

Third story:
In Jakarta, there was a judge claims women “enjoy being raped” as a joke while being interviewed for the Supreme Court job. He was responding question about what he will do to solve some recently domestic violence toward women and telling such a sick joke. Though later on he conveyed an apology for his statement but unavoidable it reflects publicly the basic mind of him about women.

Those three stories immediately raise crucial question: what is wrong with women? Or better I must change the question: what is wrong with men who see women through such a perspective? I have to tell you it is not easy to answer and perhaps needs time to give an explanation on it. However, in short, I tell you that throughout human history there is stereotype and prejudice which being labeled into women’s identity almost in every society of the world.

Brothers and sisters,

Our biblical reading today speaks about the sociological tendency to place women as “sinner” or, worse, as a lower human species below men. As consequence, in many societies time after time women becomes victim of structural marginalization, cultural oppression and domestic violence conducting by men surround their life. In work places, schools, markets, public spaces, political affairs, business, religions, even family.

As we just read here. A group of Jewish religious leaders came to Jesus while he taught people in the temple courts. They dragged a woman accused for adultery. John says no evidence in detail but they did. John mentions that it was conducted deliberately as a trap for accusing Jesus by asking question about legal statements in religious rules for that case (v. 6). Thus, whether or not she did adultery, they regarded the woman as symbol of sin which must be cleaned or eliminated by implementing Jewish religious rules, that is, stoning to death. No information at all about her man-partner who did it with her and being accused as adultery by the religious leaders. He was free even though they knew he has to responsible for what he did with the woman. Hence the woman was victim of man’s power.

Our biblical reading today clearly demonstrates a depiction of human situation that there are always marginalized and victimized groups within almost every society. They have been scapegoat amid those who are fighting for power of politic, economic, ideology and religion as well. And we know that generally women and children are the most vulnerable social group whose high-risk treatment on violence and discrimination in patriarchal social system where men perform themselves as powerful one so that feeling able to do everything for their vested interests.

Jesus realized that situation. He had in mind that the woman is simply a victim of desire for power by Jewish religious leaders to trap him and accused him for violating religious rules, and finally wants to kick Jesus out from the region or send him into jail. They regarded that Jesus was unsettling their authority especially in religious affairs. It could be understood because the Roman colonial government at that time only gave them limited authority in religious affairs. Hebrew people (or now we call them as Jew) at that time had no self- determination in many aspects of life but religious one. So, when the religious leaders saw that Jesus’ teaching attracted many followers among Hebrew people, they had feeling threatened.

Jesus firstly ignored their question about the content of religious rules. Jesus instead bent down and started to write on the ground with his finger (v. 6). Do you know what Jesus wrote about? Me either. John did not give such information as well. I was searching for it in many theological books and articles but nothing. Of course, it is hard to find it but I guess Jesus wrote the formula of religious code they referred but they did not read it. Because the religious leaders were busy to think about strategy against Jesus. They politicized religious rules for the sake of their vested interests and ignored the basic function of the religious rules as the expression of interrelationship between God and human being by doing something good or helping others who need it. They only perceived religious rules as guidance to determine “good guys” and “bad guys”. That’s all.

Jesus avoided such useless debate and trying to move forward into the fundamental idea behind the rules, that is, human essence of the victimized woman. Through this story, John demonstrates that Jesus realized that every human being ever did something bad/wrong in his/her life. But at the same time every human being also had new opportunities to repent by bringing his/her life back to the principle of truth in God. What is the principle of truth in our Christian faith? God is Love! That is why then Jesus said, “If anyone of you is without sin, let him be the first to throw a stone at her” (v. 7).

Human being is not a thing. God create us human being as the image of God (imago Dei). We have an important value in ourselves before God. As the image of God, God give human being divine quality. God does not only with us but God live within us; energizing our life with the Divine Spirit which make us able to respect the beauty of our life and to perceive amazing grace surrounding our daily life both as women and men. Jesus criticized the religious leaders who used religious rules precisely to spoil the meaning of human being as imago Dei and had tendency to treat human being as if a death thing.

After heard Jesus’ saying, they began to go away one at a time and left Jesus and the woman alone. Then Jesus said to her that he will not condemn her as well. There are two important aspects here:

First, Jesus was healing the woman’s dignity as personal and social being. Looking herself as being contemptible and marginalized, she felt have more self-esteem and equal to others since Jesus perceived herself as she was. Her dignity was healed so that she could live her life as the authentic human being. Jesus was empowering her by giving new opportunity to live her life differently than her previous life. She was guided by her experience of encounter Jesus to discover imago Dei, the divine quality, in herself as a woman.

Second, as a Jew Jesus gave his high respect to Jewish religious rules and tradition. He understood them very well. However, Jesus will place the rules by showing its function for humanity namely for strengthening human dignity. Religious rules were not created to oppress the weak and powerless others; even essentially not to marginalize humanity. Religious rules and tradition principally function to make order of human-human and human-God relationships. Through this order human being may enjoy his/her life as the ultimate grace by God.

The important lesson today we had from John chapter 8 verses 1 to 11 is that we more and more conscious that every human being have the divine quality within. This lesson, therefore, calls us to respect ourselves and others, our life and others’ life as well, as an invitation to demonstrate the imago Dei for the sake of togetherness among human being on earth. By respect to our own life, reflection on John 8:1-11 also calls us for giving concern on other people’s suffering, especially those who are in oppression, discrimination, and violence. We can start from our family, relatives, and closer neighborhood, then gradually to bigger community. This is our Christian mission today.

Christians as Church of Jesus Christ today have a great mission base on our faith in the salvific mission of Christ, not to judge others, but to heal the weak, to advocate the oppressed, to accompany and to empower the marginalized one. The woman in John’s story becomes a symbol of the victim of social oppression and discrimination. Jesus deliberately took side on her. Our biblical reading today tells also about God’s calling and an example for us to be brave community of Christ who take risk for empowering others who slump into hopelessness. It is an imperative commitment for Christians! Amen.
Read more ...

Jembatan Pneumatologis dalam Wacana Pluralisme Agama di Indonesia: Catatan Apresiatif terhadap tesis Toar Banua Hutagalung

Catatan ini saya tulis sebagai tanggapan terhadap tesis rekan Toar Banua Hutagalung, bertajuk Known Spirit in religious pluralism: Christian Theology of the Holy Spirit in Islam yang dipertahankan di Andover Newton Theological School, Amerika Serikat. Tulisan ini sebelumnya telah saya posting di Forum Teologi dan Biblika, serta telah mendapat sejumlah tanggapan kritis termasuk dari rekan Toar sendiri. Saya menyajikannya di forum ini sebagai kelanjutan diskusi seputar kajian keagamaan dan teologi agama-agama.

Pertama-tama, saya ingin memberikan apresiasi atas capaian saudara Toar dalam studinya di Andover Newton Theological School, Amerika Serikat. Sekilas membaca catatan ringkas mengenai tesisnya mengungkit kembali harapan untuk menjembatani percakapan lintas-iman terutama antara Islam dan Kristen. Memang tidak terpungkiri bahwa kedua agama abrahamik ini kerap berada dalam hubungan “benci-tapi-rindu”. “Benci” bukan karena banyak perbedaannya tetapi, kata John Esposito, justru karena banyak persamaannya. Sehingga yang terjadi adalah klaim kebenaran di antara banyak kesamaan tersebut. “Rindu” karena keduanya seolah-olah tidak merasa eksis tanpa kehadiran yang lain. Ketegangan dan perdebatan tampaknya kemudian menjadi arena melepas “kerinduan” untuk berdialog kendati kerap berujung pengerasan kutub-kutub teologis masing-masing. Seperti ungkapan iklan salah satu merek rokok: “Ga ada lo, ga rame coy”. Oleh karena itu, karya saudara Toar tentu layak diapresiasi sebagai pergulatan teologiwan Kristen muda yang tak jenuh menceburkan diri dalam lumpur diskursus dialog lintas-iman yang makin kelam akhir-akhir ini, bahkan kian pudar dari percakapan kaum Kristen.

Kedua, sebagai sebentuk apresiasi maka saya lebih tertarik untuk sedikit berbincang-bincang dengan tesis (baca: ide orisinal) saudara Toar tersebut. Nah, untuk tujuan itu saya merasa perlu menempatkan pijakan saya (positioning) dalam perbincangan sederhana ini. Setelah menempuh studi teologi pada jenjang strata satu, saya kini lebih fokus merambah ranah kajian keagamaan (religious studies). Minat tersebut sangat diperkuat oleh kenyataan konflik sosial di Maluku beberapa tahun lampau. Konflik tersebut menyeret kedua kelompok agama (Kristen dan Islam) hingga nyaris ke titik nadir peradaban dalam sejarah Nusantara dan Indonesia. Konteks tersebut telah menjunkirbalikkan paradigma berteologi saya dan menarik saya untuk menenggelamkan diri lebih pada upaya memahami agama sebagai sebuah fenomena sosial-budaya. Jadi, harap dimaklumi jika saya tak terlampau fasih mengutip raksasa-raksasa teologi yang telah melahirkan berjilid-jilid buku teologi di dunia Barat dengan ruang dan waktu nan jauh dari konteks saya.

Ketiga, kenapa harus Islam yang menjadi topik perbincangan? Secara historis, eksistensi Islam di Nusantara (yang kemudian menjadi Indonesia) berkembang melalui sejarah pengalaman-pengalaman sosial-budaya yang panjang. Ini berbeda dengan sejarah kekristenan di Nusantara dan Indonesia yang lebih diwarnai konflik dan tarik-ulur relasi-relasi kekuasaan sepanjang periode kolonial, yang tetap menjadi warisan sejarah hingga saat ini baik secara internal maupun eksternal. Islam disebarluaskan melalui proses-proses budaya dan ekonomi yang mensyaratkan elastisitas dalam mengadopsi dan beradaptasi dengan kebudayaan setempat yang belum-Islam. Negosiasi-negosiasi kultural berlangsung secara sublim sehingga penyerapan ajaran-ajaran utama Islam (dari tempat asal para pedagang Islam – India) mengalir dan merembesi pandangan dunia (worldview) masyarakat lokal. Islam pada gilirannya terinternalisasi sebagai “worldview” itu sendiri.

Fleksibilitas masyarakat lokal menyerap ajaran-ajaran utama Islam secara historis juga ditentukan oleh masih kuatnya pengaruh Hinduisme yang sebelumnya telah menjadi agama besar sebelum digantikan oleh Islam. Pada konteks itu maka bisa dikatakan bahwa Islam di Nusantara tidak akan menjadi kuat dan berakar dalam tanpa “worldview” Hinduisme dan Budhisme. Di situ dapat dilihat bahwa sejarah peradaban keagamaan pada derajat tertentu berlangsung secara relasional (kultural, sosiologis, ekonomis dan politis). Prof. Martin van Bruinessen menulis sebuah buku babon dalam sejarah Islam dan religious studies bertajuk “Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia” bisa menjadi rujukan penting untuk memahami perkembangan Islam di Nusantara dan mengapa sejumlah besar tradisi-tradisi mampu bertahan sehingga menampakkan Islam Nusantara sebagai entitas yang berbeda dan unik dibandingkan dengan Islam di Timur-Tengah atau dunia berbahasa Arab. Dalam alur sejarah sedemikian sufisme Islam mengalir dan berkembang mengikuti narasi-narasi kebudayaan lokal, bahkan memberi warna identitas kultural yang sangat kuat. Tak mengherankan jika para indonesianis semenjak Snouck Hurgronje, Hendrik Kraemer, Benedict Anderson, Clifford Geertz, hingga Bob Hefner pun lebih banyak memberi perhatian pada dinamika Islam dalam spektrum budaya yang terus-menerus mengalami perubahan baik secara evolusioner maupun radikal.

Sedikit pemaparan di atas sebenarnya mengarahkan saya pada keingintahuan tentang tradisi Islam seperti apakah yang menjadi perhatian saudara Toar sehingga tertarik membangun jembatan epistemik berdialog dengan menggunakan pendekatan pneumatologis? Pada titik manakah dalam ajaran-ajaran utama Islam (sufisme, ahlulsunnah-waljamaah, ahmadiyah, sunni, syiah, wahabi, syafii, dll) yang secara umum mewujud pada tubuh organisasi NU dan Muhammadiyah, pijakan dialog pneumatologis tersebut dapat dibangun? Selanjutnya, mengingat bahwa agama bukanlah sebuah entitas yang statis melainkan dinamis, sejauh mana tradisi-tradisi Islam yang menjadi perhatian dalam tesis saudara Toar membuka “arena” bagi negosiasi-negosiasi budaya yang memadai bagi percakapan lintas-iman. Dalam bahasa sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, bagaimanakah menjelaskan “field” yang memungkinkan terjadinya “interplay” atau “power-relations” antara “agency & structure” sehingga terbentuk “habitus” dalam ruang-ruang aktivitas keseharian masyarakat?

Sekali lagi, mohon uraian ringkas ini diterima sebagai sebentuk apresiasi saya terhadap karya saudara Toar. Jika hal ini bisa diterima sebagai bagian kita membangun sebuah perbincangan yang bermanfaat saya hanya bisa berucap “alhamdulilah”. Jika tidak pun saya cuma bisa berujar “puji tuhan”. Terima kasih dan sekali lagi selamat atas prestasi yang telah dicapai.
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces