Aku menulis maka aku belajar

Thursday, February 1, 2018

The Patty


Pertama kali berjumpa ketika beta masih kuliah strata-1 tahun 1997. Waktu itu UKIM dan beberapa Gereja Maluku di Belanda menggelar konferensi bersama di bawah tajuk "Gospel and Culture". Konferensi tersebut bermaksud mengeksplorasi isu-isu kebudayaan dan agama (Kristen) dalam dua konteks yang berbeda oleh satu komunitas identitas yang "satu". Konteksnya adalah Indonesia dan Belanda yang direfleksikan oleh komunitas Maluku di Maluku (Indonesia) dan komunitas Maluku di Belanda.

Tentu saja, benturan interpretatif baik pada tataran teologis, sosiologis dan kebudayaan tak terhindarkan. Wacana konstruksi identitas politik, keagamaan dan kebudayaan pun menjadi sorotan. Ketegangan dan perdebatan memanas dalam ruang konferensi maupun dalam kelompok-kelompok kecil diskusi.

Tapi beta mengenal sosok yang tenang dan sejuk dari bung Verry Patty. Sosoknya yang tinggi besar menjulang melampaui postur rata-rata orang biasa sangat kontras dengan pembawaannya yang tenang, humoris dan selalu pandai menggunakan kiasan-kiasan yang mampu menjembatani ketegangan dan kesenjangan antarbudaya Maluku dan Belanda. Sepanjang konferensi itu bahkan ia lebih banyak menghabiskan waktu berdiskusi dengan kami para mahasiswa ketimbang dengan para "tokoh" atau "pembicara" seminar.

Komunikasi pun berlanjut meskipun tidak selancar kini karena tahun-tahun akhir 1990an akses internet belum menggila seperti saat ini.

Perjumpaan yang kedua terjadi ketika beta mendapat kesempatan "bertualang" dengan dinamika studi di Belanda tahun 2003, bersama-sama dengan pak Bambang Subandrijo (sekarang adalah dosen STFT Jakarta). Hubungan yang terjalin sayup-sayup pun kembali menghangat karena bung Verry dan bung Jop Franciscus selalu rutin mengunjungi beta di Student Hospitium Amstelveen. Mereka berdua bergantian membawa beta jalan-jalan mengunjungi wijk-wijk komunitas Maluku di beberapa kota di Belanda dan mampir di beberapa keluarga Maluku hanya untuk berkenalan langsung. Tentu saja yang lebih sering adalah menginap di rumah bung Verry (Keluarga Patty-Sapuletej) di Haarlem atau rumah bung Jop (Keluarga Franciscus-Gaspersz) di Moordrecht; atau di rumah bung Ulis Tahamata (Keluarga Tahamata-Sapuletej) di Barneveld.

Waktu-waktu perjumpaan tersebut sering kami habiskan dengan diskusi-diskusi untuk berbagi perspektif "Indonesia" dan "Belanda" yang bertemu pada satu simpul identitas kontradiktif "Maluku". Bung Verry adalah salah seorang pendeta dan teolog Maluku-Belanda. Pemikirannya mewarnai hampir setiap konsep-konsep teologis, sosiologis dan antropologis yang tertuang dalam berbagai tulisan maupun makalah-makalah seminar sebagai refleksi konstruktif memaknai sejarah, identitas, eksistensi dan masa depan komunitas Maluku-Belanda.

Sulit membayangkan bagaimana bisa "survive" sebagai "orang kampung yang culun" di tengah belantara Belanda waktu itu tanpa pendampingan bung Verry dan bung Jop. Apalagi mereka punya pekerjaan masing-masing. Tapi dorongan semangat, bantuan dan antusiasme mereka terhadap beta turut menjadi pemicu adrenalin untuk cepat merampungkan penulisan tesis di Vrije Universiteit Amsterdam. Dari mereka pula beta belajar banyak menyelami realitas sejarah, sosial-politik dan kebudayaan komunitas Maluku di Belanda dari perspektif yang lebih jernih tanpa pretensi politik atau ideologis apapun kecuali keinginan untuk saling belajar menata masa depan bersama dengan lebih jujur, konstruktif dan tulus.

Tanggal 24 Januari 2018 lalu beta mendengar kabar gembira bahwa bung Verry telah mempertahankan disertasi doktoralnya di Vrije Universiteit Amsterdam berjudul "Molukse theologie in Nederland". Beta belum membacanya. Tapi beta percaya disertasi ini tidak hanya merupakan sebuah karya akademik tapi merupakan refleksi eksistensial mengenai panggilan kehidupan generasi "kolonial" KNIL dan keturunannya dalam rentangan sejarah panjang dan pergolakan sosio-budaya serta politik untuk memahami alasan mengapa dan untuk apa mereka berada di tanah asing (Belanda). Tanah yang dulu asing itu kini harus diterima sebagai bagian yang integral dan eksistensial hidup mereka di Belanda, sambil terus-menerus memperjuangkan jembatan komunikasi kebudayaan dengan saudara-saudara di Maluku. Tanah Belanda itu bahkan telah menjadi konteks kehidupan yang mesti dengan serius dimaknai dalam refleksi-refleksi keimanannya.

Sering dalam gurauan kami saling bertanya: Ambon Manise atau Belanda Manise? Pertanyaan yang tampaknya remeh namun sebenarnya menyimpan guratan-guratan pedih dan dalam dari orang-orang yang menjadi korban dari pertarungan politik global pada masa lampau, serta terperangkap dalam jaring-jaring pemaknaan kebudayaan dan identitas yang kompleks.

Gefeliciteerd bung Verry Patty, usi Agu Patty-Sapuletej and the Patty!
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces