Aku menulis maka aku belajar

Thursday, May 25, 2023

GPM: Gereja Bagi Semesta - Secuil Refleksi Diri dari Marjin Kiri

Tulisan ini dibuat dalam kurun waktu selama dua minggu saat media sosial penuh sesak dengan berbagai informasi atau berita tentang pembangunan rumah gereja di beberapa jemaat Gereja Protestan Maluku (GPM) sekaligus menyeruaknya perlawanan komunitas adat Marafenfen di Kepulauan Aru. Secara subjektif, wacana pembangunan rumah gereja, di satu sisi, dan gugatan Marafenfen menuntut keadilan di negeri ini, di sisi lain, seolah menampilkan tayangan kontradiktif dari pergulatan spiritualitas kemanusiaan yang pada galibnya menjadi fondasi dari laku dan pikir keberagamaan. 

Pembangunan rumah gereja dengan segala kemegahannya tentu sudah menjadi bagian dari perencanaan jemaat yang bersangkutan, yang pada derajat tertentu sudah diperhitungkan secara matang mulai dari tahap awal hingga peresmiannya. Keberadaan rumah gereja yang memadai, kendati dinilai cukup mewah oleh sejumlah kalangan, sudah pasti disesuaikan dengan kebutuhan jemaat setempat akan fasilitas kebaktian yang mampu menampung warga jemaat dan menjadi wadah bagi seluruh aktivitas pelayanan jemaat. Namun, hal yang tidak dapat disangkali bahwa pembangunan rumah gereja juga dapat dimaknai sebagai penampakan simbol keagamaan yang berhimpitan dengan ekspresi identitas keagamaan. Dalam konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia, khususnya Maluku, himpitan keduanya kerap termanifestasi di ruang-ruang publik, yang cukup berpotensi menimbulkan gesekan konflik jika tidak dikelola secara bijak dan bajik. 

Pada realitas yang lain, sekelompok komunitas adat sedang bergulat dengan kelindan kuasa yang menganeksasi hak-hak kemanusiaan mereka atas tanah yang telah didiami turun-temurun dan menyatu dalam kosmologi kebudayaan sebagai bagian dari identitas sosial mereka. Kelindan kepentingan politik-ekonomi tersebut mengerucut pada pertarungan kuasa antara pendakuan kultural tanah hidup yang selama ratusan generasi menjadi pijakan ekspresi identitas mereka sebagai “manusia laut-pulau” (Aru), dengan kuasa institusi negara yang direpresentasikan oleh lembaga militer bentukan negara. 

Pada tautan mana kedua realitas tersebut dapat dipahami? Pada pijakan perspektif eksistensial, tautan kedua realitas tersebut ada pada simpul panggilan solidaritas kemanusiaan yang dengannya nilai-nilai religiositas menjadi preferensi utama untuk memberi bobot makna bagi kehidupan bersama semesta. Dengannya, religiositas tidak terbelenggu secara beku-kaku pada bentuk-bentuk simbolik yang ditampilkan hanya sebagai pengukuhan identitas keagamaan seseorang atau satu komunitas yang menafikan relasi-relasi kemanusiaan sebagaimana akhir-akhir ini kian tenggelam di tengah hiruk-pikuk kapitalisasi gaya hidup. 

Apa yang sedang digaungkan sebagai solidaritas kepada komunitas Marafenfen yang sedang berhadapan dengan kekuatan (institusi) negara, sebenarnya bukan fenomena dan fakta baru. Banyak peristiwa serupa terjadi tanpa sempat direkam. Ada pula sejumlah kasus perseteruan negara dan masyarakat sipil yang sempat direkam, baik melalui artikel-artikel penelitian maupun publikasi buku seperti “Potret Orang Kalah” (terbit tahun 2004 meskipun laporan penelitiannya telah beredar sejak 1993). 

Kasus Marafenfen dan kasus-kasus serupa lainnya, baik yang terjadi di Kepulauan Maluku maupun di wilayah-wilayah lain komunitas budaya Indonesia, memperlihatkan bahwa “tubuh” kemanusiaan sebagian komunitas sedang mengalami sakit kronis yang disebabkan oleh keserakahan dan ketidakadilan oleh sebagian pihak lain (individu atau institusi) yang merasa memiliki kuasa dan/atau menggunakan kuasa pada dirinya secara sewenang-wenang. Dalam konteks semacam itu, panggilan pelayanan kristiani semestinya melampaui segala bentuk simbolik yang hanya berfungsi sekadar sebagai penanda identitasnya. Konteks pelayanan kemanusiaan yang sedang diciderai oleh praktik-praktik ketamakan kapitalistik yang pada gilirannya dimanifestasikan melalui tindakan-tindakan yang tidak adil, sebenarnya mesti menjadi panggilan kristiani untuk berpihak, membela dan memulihkan harkat-martabat kemanusiaan semua orang. Suatu upaya membangun “gereja” kemanusiaan yang bergerak leluasa menjumpai semua orang dan memikul salib sosial yang dibuat dan dipancangkan oleh kepongahan kuasa-kuasa bagi segelintir orang. 

Rumah gereja merupakan simbol yang di dalamnya secara eksklusif gereja merangkul berbagai kelompok manusia dengan beraneka latar belakang kehidupan. Oleh karenanya, pembangunan rumah gereja hanyalah bagian terkecil dari cara orang Kristen melakukan panggilan kristiani di tengah-tengah dunia. Malah pada sudut pandang tertentu, meskipun dianggap penting bagi komunitas Kristen, tetapi itu sebenarnya membatasi ruang gerak komunitas Kristen untuk menjumpai sesamanya yang lain (liyan). Padahal, dari akar katanya ecclesia, gereja itu sendiri adalah suatu gerak keluar dari berbagai sekat identitas, sebagaimana kasih, karya dan pengorbanan Kristus yang bergerak keluar dari dirinya sendiri, egonya sendiri, kenikmatannya sendiri, untuk menjumpai liyan dalam situasi hidup mereka secara konkret. Itulah basis utama eklesiologi. 

Jika demikian halnya, maka eklesiologi gereja (GPM) sudah sejak kelahirannya telah dan masih bergelut dengan realitas pemiskinan struktural dan ketimpangan politik pembangunan seperti yang tampak dari bermacam-macam peristiwa gugatan komunitas-komunitas kepulauan Maluku. Tidak ada pilihan lain dari panggilan kristiani dan pengutusan eklesiologis GPM selain bergelut bersama komunitas-komunitas Kepulauan Maluku ini, bahkan dengan semua komunitas budaya/agama Indonesia, untuk membangun “gereja kemanusiaan” yang melaluinya GPM melibatkan diri secara sengaja, menentukan keberpihakan secara jelas pada nilai-nilai kemanusiaan yang dilindas oleh kepongahan kuasa, dan memikul salib Kristus yang telah dibebankan sebagai misi eternal kristiani. Seluruh proses itu pada hakikatnya hendak mengarahkan orientasi eklesiologis GPM pada tindakan-tindakan etis-pastoral membangun “gereja kemanusiaan” atau yang selalu saya sebut sebagai “gereja bagi semesta” (GBS). [Lihat Steve G. C. Gaspersz & Nancy N. Souisa, “Sailing through the waves: Ecclesiological experiences of the Gereja Protestan Maluku archipelago congregations in Maluku.” HTS Teologiese Studies/Theological Studies 77(4), a6861. https://doi.org/10.4102/hts.v77i4.6861] 

Pada pijakan ontologis “gereja bagi semesta” itu maka seluruh energi eklesiologis GPM seyogyanya diarahkan bagi penguatan pilar-pilar keagamaan dan kebudayaan yang memungkinkan semua orang (dari berbagai latar belakang kehidupan) membangun kehidupan bersama yang setara dan egaliter. Prinsip kesetaraan dan egalitarianisme yang melandasi “gereja bagi semesta” tersebut menempatkan GPM di luar pagar doktrinalnya dalam membangun komunikasi sosio-teologis bagi pembelaan kemanusiaan yang digilas oleh kesewenang-wenangan kuasa. Lebih lanjut, dengan prinsip kesetaraan dan egalitarianisme itu pula “gereja bagi semesta” didobrak untuk melihat ke dalam dirinya sendiri apakah dasar-dasar etika sosial kristiani seperti yang diperlihatkan Kristus masih menjadi acuan bagi pengembangan pelayanan pastoral kristiani yang lebih holistik ketimbang partikularistik dan sektarianistik. 

Catatan kecil ini hanya secuil refleksi dari pinggiran – yang saya sebut sebagai marjin kiri – untuk terus-menerus menyegarkan ingatan akan narasi-narasi kemanusiaan yang selalu digemakan dari mimbar-mimbar gereja. Kehadiran GPM – kendati selalui dibungkus dengan pleidoi teologis yang romantik – adalah karya bagi kemanusiaan. Dengan demikian, berbagai bentuk tindakan yang terarah pada upaya merusak hakikatnya sebagai “gereja bagi semesta” tidak dapat diabaikan atau disembunyikan di balik kemeriahan membangun rumah/gedung gereja yang hanya berhenti pada pemaknaan simbolik sebagai katup pengaman identitas yang eksklusif.
Read more ...

Thursday, February 9, 2023

Heka-Leka: Telusur Makna Teologis dalam Ide Kebudayaan Maluku




Kontekstualisasi teologi merupakan pergumulan gereja yang tumbuh dalam suatu konteks kebudayaan di suatu tempat dan pada masa tertentu. Kontekstualisasi teologi dapat dipahami sebagai desakan agar seluruh ekspresi kehidupan manusia yang termanifestasi dalam berbagai matra kebudayaan mampu dimaknai sebagai pantulan iman kepada Allah. Dalam perkembangannya, wacana kontekstualisasi teologi berproses dalam berbagai benturan dan kritik yang melahirkan beragam pendekatan dan model. 

Studi ini merupakan bagian dari upaya memaknai “teologi” sebagai ekspresi hidup beriman yang digali dari pandangan dunia suatu masyarakat yang sedang bergumul dengan eksistensi dan identitas kristiani vis-à-vis kebudayaan atau adat. Pergulatan melalui adat telah membentuk karakteristik misi dan eklesiologi yang khas dalam sejarah gereja di Maluku. Di Maluku, khususnya Ambon, pengertian “adat” mencakup keseluruhan arti dari hukum adat, kebiasaan (mores) dan kebiasaan umum (folkways), kendati dalam praktik lebih mendekati pengertian “kebiasaan”. Adat juga dipercaya sebagai tradisi warisan leluhur yang menegakkan persekutuan komunitas negeri dan menjadi pola hidup generasi seterusnya. Interpretasi budaya atas adat dan realitas hidup sosial sehari-hari sangat dipengaruhi oleh pandangan dunia (worldview) masyarakat setempat. Pandangan dunia terbentuk sebagai refleksi atas pengalaman hidup masyarakat dalam sejarah dan konteks sosial setempat, juga dari hasil perjumpaan dengan liyan dari berbagai kebudayaan lain. 

Salah satu bentuk pemahaman atas realitas keseharian dan penafsiran makna simbolik membentuk pandangan dunia yang disebut heka-leka, yang secara harfiah berarti “perang /pecah (heka) untuk dilahirkan kembali (leka)”. Secara implisit konsep heka-leka dapat ditemukan dalam setiap masyarakat (dengan terminologi yang beragam). Di Ambon-Lease, khususnya di Negeri Naku yang menjadi fokus penelitian, heka-leka itu tidak lagi begitu dikenal meski secara intrinsik tetap menjadi bagian dari struktur kesadaran adatis dan sosiologis. Selain muncul dalam ungkapan-ungkapan sehari-hari, pandangan heka-leka ini secara mendasar termanifestasi dalam tiga kategori, yakni [1] dalam sistem kepercayaan, [2] dalam narasi mitologi/ritual dan [3] dalam realitas pengalaman sehari-hari. 

Pencarian makna heka-leka melalui penelusuran ketiga kategori tersebut, yang tercermin dari jaringan makna sistem sosial, membawa pada suatu kristalisasi makna yang substansial. Sebagai suatu konsep kebudayaan partikular, heka-leka ternyata menjadi representasi kesadaran reflektif kemanusiaan universal yang mencakup nilai-nilai sebagai berikut: keberanian untuk hidup dalam perbedaan (koeksistensi), menampung ketegangan (dialektis), menjaga keseimbangan (harmonis), berpengharapan (optimis), menentang dominasi (ekualitas) dan menolak kemapanan (dinamis). Nilai-nilai tersebut memberi peluang untuk dijadikan dasar bagi refleksi teologis yang dibangun dari praksis kebudayaan. Dalam hal ini, teologi kontekstual tidak hanya dipahami sebagai suatu ikhtiar pempribumian teologi belaka melainkan penggalian hakikat berteologi itu sendiri dalam kebudayaan lokal yang menjadi arena pergulatan kemanusiaan universal pada suatu konteks partikular.

Teologi yang direfleksikan oleh manusia dalam masyarakat tersebut kemudian juga akan dipakai untuk melakukan kritik terhadap komitmen gereja untuk menjadi bagian dari pergulatan riel manusia dalam konteksnya. Jadi, praksis berteologi tidak semata-mata hanya bersinggungan dengan matra-matra dogmatis dan ritual gereja, tapi lebih jauh dapat menjadi kritik budaya berhadapan dengan fenomena sosial kemasyarakatan yang di dalamnya gereja juga mengambil bagian dan berfungsi kritis-kreatif. 

Studi ini merupakan salah satu pantulan eksistensial dan kultural mengenai pokok pergumulan misiologis gereja-gereja yang hidup dalam suatu ranah kebudayaan lokal (Maluku). Jalan panjang sejarah telah membuktikan bahwa hakikat kedirian gereja sebagai suatu entitas religius tidak dapat membentengi diri dari desakan penetrasi nilai-nilai kebudayaan manusia. Demikian pula dengan fenomena pergolakan-pergolakan ideologis sepanjang sejarah gereja di Maluku yang sampai saat ini terus berada dalam ketegangan historis dan kultural yang menggumpal dalam berbagai corak sikap dan pandangan terhadap dialektika Injil dan kebudayaan. Konsern itulah yang mendorong penulisan buku ini sebagai upaya untuk menelusuri matra kebudayaan lokal sebagai basis merekonstruksi refleksi teologis yang penad. Tentu dengan segala konsekuensi dan keterbatasan karena kebudayaan itu sendiri merupakan ekspresi manusiawi yang tidak bebas nilai. Pada titik itulah, karya ini menjadi simpul pertemuan berbagai kritik teologi dan kebudayaan.
Read more ...

Sunday, September 25, 2022

Mozaik Geliat Umat di Masa Pandemi: Pengalaman dan Refleksi GPM Klasis Pulau Ambon


Judul: Mozaik Geliat Umat di Masa Pandemi
Subjudul: Pengalaman dan Refleksi GPM Klasis Pulau Ambon
Editor: Elrianton Muskita & Steve G. C. Gaspersz
Penerbit: Penerbit Aseni
Tahun Terbit: 2021

Pengantar Editor

Hanya dalam hitungan bulan sejak Desember 2019 sampai Maret 2020 sejak virus corona teridentifikasi penyebarannya dari Wuhan, China, tatanan masyarakat global telah mengalami perubahan drastis. Kepanikan melanda berbagai negara dan mendesak semua pemerintahan mengambil kebijakan darurat mengantisipasi penyebaran virus ini dan mencari berbagai cara menangkal penyakit akibat virus corona, yang oleh WHO dilabeli sebagai Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Langkah sigap Presiden Joko Widodo untuk melakukan konsolidasi dan membentuk Satuan Gugus Tugas Pencegahan Penyebaran Virus Corona kemudian dilanjutkan dengan penerbitan protokol kesehatan untuk menghambat penyebarannya. Pemerintah Provinsi Maluku menanggapi kebijakan Presiden Indonesia dengan membentuk Gugus Tugas Penanganan Covid-19 yang diketuai oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Maluku dengan melibatkan unsur-unsur Dinas Kesehatan, TNI, Polri, Kantor Kesehatan Pelabuhan, Imigrasi, Beacukai dan Angkasa Pura. Sementara Pemerintah Kota Ambon membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Ambon.

Langkah-langkah responsif juga dilakukan oleh berbagai institusi keagamaan dan pendidikan. Institusi keagamaan tingkat nasional seperti Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan sinode-sinode gereja anggotanya segera menerbitkan surat edaran yang mengimbau jemaat-jemaat mereka untuk mengurangi frekuensi kegiatan peribadahan ragawi secara berkelompok di gereja-gereja atau rumah-rumah. Kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga ditindaklanjuti oleh dua lembaga keagamaan di daerah, yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Maluku dan Majelis Pekerja Harian Sinode Gereja Protestan Maluku (MPH Sinode GPM). Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Maluku menerbitkan Maklumat MUI No. 03 Tahun 2020 yang kemudian dipertegas dengan Surat Himbauan Pemerintah Provinsi Maluku Nomor 443-1196 Tahun 2020 yang ditandatangani oleh Sekretaris Daerah Kasrul Selang pada 3 April 2020. Majelis Pekerja Harian Sinode Gereja Protestan Maluku (MPH Sinode GPM) dengan segera menerbitkan “Pesan Gembala” GPM tertanggal 22 Maret 2020.

Meski pada awalnya sempat menimbulkan pro dan kontra pada sebagian anggota jemaat, terutama terkait pembatasan aktivitas peribadahan dan pengalihan ibadah Minggu ke rumah-rumah keluarga jemaat-jemaat, namun secara perlahan kondisi pandemic ini dapat diterima dan dilakukan penyesuaian-penyesuaian. Selain aneka tafsir keagamaan yang berimplikasi pada respons dan penyikapan yang bervariasi terhadap Covid-19, sebagian besar warga masyarakat, termasuk warga jemaat GPM, secara psikologis mengalami tekanan kejenuhan yang tinggi. Kondisi itu makin sering muncul dalam bentuk pembangkangan sosial terhadap protokol kesehatan yang semula dipatuhi, seperti kerumunan di ruang publik tanpa menjaga jarak, penolakan menggunakan masker, pengambilan paksa jenazah oleh pihak keluarga dari rumahsakit dll.

Jemaat-jemaat yang berada dalam wilayah pelayanan Klasis Pulau Ambon, sebagian integral dari dinamika sosial masyarakat kota dan pulau Ambon, turut merasakan dampak kebijakan pemerintah daerah yang mengimplementasikan protokol kesehatan pada berbagai aspek kehidupan dan pembatasan aktivitas sosial, ekonomi, pendidikan dan keagamaan. Ketidakpastian mengenai kapan pandemic ini berakhir turut mempengaruhi resiliensi (ketahanan) psikologis sosial jemaat-jemaat GPM Klasis Pulau Ambon. Sejauh ini belum ada penelitian yang diprakarsasi oleh GPM untuk memetakan dampak Covid-19 secara komprehensif dan dari situ melakukan prediksi-prediksi yang terukur untuk mempersiapkan bentuk-bentuk pelayanan kejemaatan pasca Covid-19 (entah kapan). Dengan latar belakang itulah maka Balitbang Klasis Pulau Ambon mendapat penugasan dari Majelis Pekerja Klasis Pulau Ambon untuk menyusun rencana penelitian dan kegiatan penelitian pada jemaat-jemaat di wilayah pelayanan Klasis Pulau Ambon, dengan nama proyek Strategi Penanganan Dampak Covid-19 dan Resiliensi Jemaat-jemaat Selanjutnya pada Wilayah Pelayanan Klasis Pulau Ambon.

Proyek penelitian awal ini bertujuan: (1) Mendapatkan pemetaan situasi dan kondisi jemaat-jemaat di wilayah pelayanan Klasis Pulau Ambon sejak penetapan pembatasan aktivitas sosial, ekonomi, pendidikan dan keagamaan hingga saat berlangsungnya penelitian ini; (2) Memperoleh dan menganalisis data untuk penyusunan program-program strategis pelayanan bagi penguatan resiliensi dan keberlanjutan aktivitas penunjang kehidupan jemaat-jemaat GPM di Klasis Pulau Ambon; (3) Publikasi hasil penelitian sebagai proses pendokumentasian dinamika kejemaatan di Klasis Pulau Ambon selama pandemi Covid-19. Tujuan penelitian tersebut mengarahkan seluruh proses yang dilaksanakan pada November 2020 s.d. Januari 2021 di delapan jemaat, yaitu tiga jemaat pesisir (Latuhalat, Amahusu, Seri), dua jemaat pegunungan (Soya dan Kusu-Kusu Sere), dan tiga jemaat semi-urban (Rehoboth, Sinar dan Pancaran Kasih Gunung Nona). Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan tiga metode penelitian: Observasi lapangan, wawancara, dan Diskusi Kelompok Terpumpun.

            Terima kasih kepada delapan jemaat di Klasis Pulau Ambon yang telah membuka diri terlibat dalam percakapan bersama berbagi informasi dan refleksi yang menjadi bahan dasar eksplorasi berbagai isu-isu dalam tulisan-tulisan di buku ini. Terima kasih pula untuk rekan-rekan Tim Balitbang, baik sebagai tim peneliti maupun para penulis, yang telah bekerja bersama-sama sejak awal. Besar harapan bahwa hasil observasi awal dan publikasi ini menjadi pemantik kajian-kajian lapangan selanjutnya untuk terus mengamati dinamika kehidupan jemaat sepanjang masa pandemi yang belum terlihat titik terang penyelesaian penanganannya. Dengannya jemaat-jemaat (juga masyarakat luas) diselamatkan oleh implementasi kebijakan gereja dan/atau pemerintah berbasis data riel mengenai situasi dan kondisi mutakhir.  

Read more ...

Batu Karang Yang Teguh: Eklesiologi dan Teologi Publik Timur Indonesia


Judul: Batu Karang Yang Teguh 
Subjudul: Eklesiologi dan Teologi Publik Timur Indonesia 
Penulis: Steve G. C. Gaspersz 
Penerbit: Penerbit Aseni 
Tahun Terbit: 2020 

Buku ini tak lain adalah refleksi pergulatan dialektis antara “pengetahuan” (teologi sebagai ilmu) dan “pengalaman” (teologi sebagai spiritualitas) yang terus-menerus menyertai peziarahan hidup saya sejak tahun 1996 dan jauh kemudian pada tahun 2008 ditahbiskan sebagai pendeta GPM. Selepas menjadi tenaga magang di LPJ-GPM, jalan hidup saya ternyata tidak seiring dengan teman-teman seangkatan yang menjalani proses vikariat. Dengan beberapa alasan, saya menunda mengikuti program vikariat dan bertualang ke Jakarta. Salah satu alasan utama juga adalah karena istri saya, Nancy Souisa, terpilih sebagai Direktur Pelaksana (Dirlak) Perhimpunan Sekolah-sekolah Teologi di Indonesia (PERSETIA) dan berkantor di kompleks Sekolah Tinggi Teologi (sekarang: Sekolah Tinggi Filsafat Teologi) Jakarta. Baru pada tahun 2007, MPH Sinode yang dinakhodai Pdt. Dr. John Ruhulessin, M.Si. memberi kesempatan bagi saya untuk menjalani program vikariat pada salah satu jemaat di Jakarta. Saya sangat bersyukur dan beruntung diterima menjadi tenaga vikaris GPM pada Jemaat Persekutuan Oikoumene Umat Kristen (POUK) Kelapa Gading (Jakarta Utara) yang dipimpin oleh Pdt. Luther Raprap. Saya adalah vikaris GPM ketiga setelah Henry Lokra dan Nancy Souisa. Tahun 2009 kami sekeluarga pulang ke Ambon. Saya dan Nancy mendapat penugasan penuh oleh Sinode GPM sebagai tenaga pengajar (dosen) pada Fakultas Teologi UKIM hingga sekarang. 

Meskipun saya tidak pernah ditugaskan untuk memimpin satu jemaat, tapi saya intensif terlibat dalam berbagai peristiwa kejemaatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, saya berterima kasih kepada rekan-rekan pendeta GPM yang telah dengan sengaja melibatkan saya dalam banyak aktivitas pembinaan kejemaatan dan mengundang saya dalam berbagai kajian mengenai realitas pelayanan jemaat-jemaat GPM. 

Catatan-catatan yang terkumpul dalam buku ini pada hakikatnya adalah rekaman pandangan dan analisis saya terhadap berbagai peristiwa kejemaatan tersebut. Tingkat kedalaman dan lingkup keluasan analisisnya bervariasi. Ada yang saya tulis dengan mendalam; ada pula yang menjadi coretan-coretan sederhana dengan maksud “merekam” peristiwanya saja. Ada yang ditulis dalam format makalah pembinaan; ada sebagian lain yang ditulis sebagai catatan ringan perjalanan. Beberapa tulisan berisi tentang tinjauan pustaka dan obituari. Namun, secara keseluruhan, catatan-catatan ini mengekspresikan dialektika pengetahuan dan pengalaman saya sebagai seorang pendeta sekaligus sebagai seorang ilmuwan (dosen). Spesifikasi keilmuan yang saya tekuni adalah teologi kontekstual, teologi publik, studi agama-agama dan metode penelitian sosial. Perspektif keilmuan tersebut membentuk kerangka berpikir saya dan membantu saya dalam mencerap realitas-realitas pengalaman keseharian saya sendiri maupun dalam hubungan dengan berbagai komunitas (gereja dan masyarakat). Saya mencoba mengungkapkannya sebagian melalui tulisan-tulisan saya dalam buku ini. 

Sebagian besar tulisan pada buku ini sebenarnya sudah tersimpan cukup lama dalam kamar daring saya, yaitu blog pribadi yang saya desain dan kelola sejak tahun 2007. Tulisan-tulisan pada blog tersebut bervariasi. Saya meninjau kembali tulisan-tulisan tersebut dan menyeleksinya sesuai dengan maksud penulisan buku ini, yaitu membentangkan problematika eklesiologis dari jemaat-jemaat GPM sebagai gereja kepulauan dengan seluruh kompleksitas sosiologis, politis, antropologis dan ekonomis, yang tentu saja berkelindan dengan dinamika pembangunan kemasyarakatan dan realitas perubahan sosial-politik selama kurun waktu yang terbatas (sejauh mampu dicandrai). Tulisan-tulisan itu juga sangat dipengaruhi oleh posisi saya sebagai dosen pada Fakultas Teologi UKIM. Meski demikian, para pembaca tetap akan menemukan bahwa ranah pembahasannya masih terbuka lebar mencakup berbagai isu sehingga terkesan “gado-gado”. Namun, benang merah dari aneka tulisan yang diramu dalam satu buku ini jelas adalah problem eklesiologis: bagaimana Kristianitas dan Gereja menemukan jatidirinya dalam konteks yang sangat kompleks? Dalam kenyataan itu, apakah makna dan hakikat menjadi Kristen dan Gereja itu sendiri? Dua pertanyaan yang membentangkan kepada saya sendiri suatu spektrum analisis yang luas. Namun, biarlah begitu. Semoga ada orang lain yang bersedia melakukan penelusuran lebih lanjut setiap spektrum eklesiologis yang ditemukannya secara sporadik dalam tulisan-tulisan pada buku ini. 

Apa yang tercermin, baik secara implisit maupun eksplisit, dalam tulisan-tulisan yang saya rajut dalam buku ini sejatinya adalah pantulan kecintaan saya pada Gereja Protestan Maluku yang telah menjadi arena pembentukan jatidiri saya hingga saat ini. Kecintaan yang telah membuka ruang pembelajaran berteologi publik pada setiap fenomena sosial-budaya yang dihadapi oleh jemaat-jemaat GPM, yang atasnya saya melihat begitu banyak sumber inspirasi yang tidak pernah kering dan berdiri kokoh meski diterjang badai dan gelombang zaman. Ibarat batu karang.
Read more ...

Thursday, August 12, 2021

Buku: When Jesus came to Harvard (Harvey Cox)


Sejarah dan dinamika setiap universitas di seluruh dunia selalu ditandai oleh dialektika antara kejumudan ilmiah dan interpretasi etika praksis keilmuan. Kejumudan ilmiah melatih cara berpikir metodik dalam prosedur yang disiplin secara ketat agar darinya ilmu pengetahuan yang diproduksi terukur valid dan objektif secara epistemologis. Di sebelah lain, interpretasi etika praksis keilmuan menguji seluruh bangunan epistemik ilmu pengetahuan itu agar tetap mengawal nilai-nilai etis yang setia pada hakikat eksistensial manusia dan kemanusiaannya. Itulah yang menjadikan suatu universitas menjadi poros ontologis-epistemologis-aksiologis yang bergerak spiral dalam meninjau realitas kompleks yang dihidupi oleh alam semesta (universe). Semuanya terhubung bukan sebagai mesin produksi atau bengkel yang hanya memproduksi teknologi. Namun bersamanya, ada kepatutan-kepatutan (virtues) etika dan moralitas sehingga teknologi itu tidak terperangkap menjadi media dehumanisasi (homo homini lupus). 

Pergulatan tiga poros itulah yang tercermin dalam buku ini, sebagai catatan reflektif Harvey Cox, seorang filsuf etik Protestan, ketika dia diminta untuk menyajikan matakuliah “Jesus and the Moral Life” di Universitas Harvard. Kendati dalam sejarahnya universitas ini didirikan oleh kelompok Puritan yang cukup fanatik, tapi seiring perjalanan waktu nilai-nilai etika keagamaan (Protestan) kian tergusur di pojok kampus ini. Malah, Rektor James B. Conant (1933-1953, Rektor ke-23) menghapusnya sama sekali. Mungkin sejak itulah Universitas Harvard tampil di atas panggung sejarah keilmuan dunia dengan secara murni menggarap kerja-kerja penelitian dan melahirkan temuan-temuan saintifik yang membuatnya sebagai kampus ternama dunia hingga kini. 

Bagi Cox, undangan untuk menyajikan matakuliah “Jesus and the Moral Life” di kampus ini adalah sesuatu yang mengejutkan setelah kata "Jesus" menghilang dari diskursus di kampus ini selama 70 tahun (terakhir oleh Prof. George Santayana yang hengkang dari Harvard tahun 1912). Dia mengira bahwa untuk kampus sekaliber Harvard, matakuliah ini mungkin hanya dianggap sebagai diskusi usang. Namun, animo yang besar dari mahasiswa dan civitas akademika Harvard untuk mengikuti matakuliah ini mengubah keterkejutannya menjadi suatu kesadaran bahwa ada ruang epistemik dan eksperisial yang kosong di antara hiruk-pikuk diskursus keilmuan yang selama ratusan tahun telah terbangun di Harvard. Ruang epistemik dan eksperiensial itu penuh sesak dengan pertanyaan etis yang selama ini dibiarkan senyap dan menguap di antara temuan-temuan keilmuan dan teknologi yang membara secara global. 

Buku ini adalah eksplorasi filsafat etis Harvey Cox dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan ilmiah mengenai: Apa pentingnya suatu universitas menyajikan matakuliah etika? Seberapa besar etika mengimbangi geliat temuan teknologis sehingga manusia tetap menjadi “existential being” dan tidak terperosok menjadi sekadar “instrumental being”? Pada pijakan ontologis seperti apa, nilai-nilai etik (yang dalam hal ini bersumber pada Protestanisme) mampu membentuk karakter akademisi yang bergulat dengan dinamika keilmuannya sambil menyadari interkoneksitas temuannya dengan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga implikasi temuannya terarah pada konstruksi peradaban yang menghidupkan, bukan menghancurkan? Sejumput pertanyaan-pertanyaan inilah yang digumuli dan dielaborasi oleh Cox dalam buku lawas dengan judul yang agak genit ini: When Jesus came to Harvard (2004).
Read more ...

Buku: Pandemics, Politics and Society



Perpanjangan masa PPKM makin terang-benderang memperlihatkan bahwa pandemi ini bukan lagi soal virus yang menggempur pertahanan tubuh biologis. Ia pula telah mengguncang dan merontokkan sebagian besar benteng sosial-budaya manusia. Bahkan menyodorkan wajah brutal politik tanpa etika pada borok-borok kesenjangan miskin-kaya. "Political disasters often attend or follow natural disasters" (Turner). New normal? New common? Apakah masih teridentifikasi seiring perjalanan waktu jelang dua tahun ini? 

Atau, seperti kegundahan retoris Bryan S. Turner "Will there be a post-Covid-19 era?" dalam tulisannya pada buku ini. Jika kegundahan akan masa depan kehidupan berhadapan dengan bencana telah mendorong agama-agama monoteistik membangun "theodicy", Turner mengajukan bentuk sekulernya yang disebut "sociodicy" ~ But meaning systems change and the wrath of God of traditional theodicies is replaced, if only partly, by a sociology of catastrophe, with an implicit or explicit moral message that describe, for example, the indifference and unethical behaviour of political leaders and their elites.


Read more ...

Friday, July 9, 2021

Prokes Orkes

Belum seminggu berselang sepenggal wilayah jagad maya hingar-bingar dengan cercaan dan umpatan kepada seorang pendongeng kuliner dalam satu program podcast. Apa pasal? Ia dianggap melecehkan masakan khas suatu komunitas lokal di kepulauan Indonesia Timur. Ujaran dan bahasa tubuhnya ditafsir sebagai bentuk penghinaan terhadap harga diri orang Tanimbar Kei, komunitas yang pernah menerimanya dengan keramahan jamuan makan “ikan kuah kuning”. Derasnya hujan gugatan kepadanya menekuk lututnya untuk meminta maaf secara terbuka atas apa yang sempat terlontar dari mulutnya. Sengaja atau tidak sengaja ia melontarkan pernyataannya, hanya ia yang tahu. Tulus atau terpaksa meminta maaf, ia toh sudah memutuskan melakukannya. 

Hampir dua tahun penuh kita telah menjalani hidup dengan kondisi serba terbatas, hujan informasi di medsos yang tak terbendung oleh nalar kebenaran atau kepalsuan, tekanan ekonomi dalam keluarga karena kuatnya tuntutan yang harus dipenuhi sepanjang masa krisis pandemi, seliweran kabar duka yang memberondong linimasa medsos nyaris tanpa jeda, dan kegundahan terhadap rapuhnya kesehatan justru di tempat-tempat harapan terjadinya kesembuhan oleh para tabib farmasi. Seluruh realitas pahit itu menyesaki rongga-rongga kehidupan dan membuat helaan nafas kita makin berat apalagi di tengah krisis tabung oksigen yang konon harganya meroket tinggi. 

Belum lagi turun tensi emosi kita dengan peristiwa “ikan kuah kuning”, nalar kita kembali dibombardir oleh dua tayangan paradoks. Yang satu memperlihatkan ketegasan petugas pemerintah dalam menertibkan mama-mama papalele ikan karena tidak memiliki surat vaksin. Tidak ada negosiasi. Ujungnya adalah “hukuman” karena mama-mama papalele itu dianggap tidak taat prokes. Petugas pemerintah dengan gagah menyuruh mereka berdiri dan menyanyikan salah satu lagu Sekolah Minggu. Mama-mama papalele pun dengan patuh menjalani “hukuman” itu demi berlanjutnya kehidupan mereka di hari itu jika ikan-ikan mereka terjual. Soal harga diri? Ah, mungkin lebih baik menguburnya ketimbang ikan-ikan mereka jatuh harga karena membusuk. 

Selang beberapa jam saja, linimasa medsos kembali dihujani komentar terhadap tayangan sejumlah pejabat pemerintah yang konon usai syukuran dan berjoget ceria di salah satu kedai kopi. Salahkah orang berjoget dan bersenang-senang? Tentu tidak salah tapi tidak pas. Mereka berjoget mengikuti orkes tanpa patuh pada prokes. Mereka menganggapnya tidak salah. Hanya saja mengguratkan keperihan karena jogat-joget itu berlangsung di tengah-tengah keprihatinan mendalam bangsa ini – sekali lagi, bangsa ini – didera oleh merebaknya rakyat yang sakit, yang tumbang hari demi hari entah karena tak tertangani oleh rumahsakit yang penuh, atau karena menurunnya imun akibat kurang nutrisi. 

Tiga tayangan video tremor tersebut tidak perlu menggiring opini kita pada soal benar atau salah. Dalam situasi serba kalut ini apalagi yang bisa dikatakan sebagai kebenaran dan kepalsuan, jika batas keduanya kian melebur dalam hiper-realitas? Namun toh di tengah kegalauan pandemi ini kita sebagai warga bangsa, termasuk warga kota ini, tidak boleh kehilangan kepekaan untuk tetap menyusun fragmen-fragmen solidaritas sosial agar kehidupan bersama tetap terkawal dengan selamat. Fondasi terpenting dari solidaritas sosial tersebut pada hakikatnya adalah etika sosial. Etika sosial sebagai kemampuan untuk merasai denyut-denyut nadi kemiskinan dan penderitaan karena makin tergerusnya nilai kemanusiaan sebagai manusia atau subjek, hanya menjadi sekadar materi atau objek. Etika sosial yang saat-saat ini kian pejal dari cinta kasih karena luruhnya relasi intersubjektif, lantas mengendap menjadi lapisan lumpur sejarah marjinalisasi kaum bau tengik yang melata dengan mulut menganga berharap rizki Tuhan setiap hari. 

Di jalanan, para petugas mencipta orkes mama-mama papalele karena mereka tidak patuh prokes. Di kedai kopi, para petinggi yang menyuruh petugas itu, bergoyang mengikuti irama orkes tanpa perlu patuh pada prokes. Dunia kita memang sedang diguncang orkestrasi pandemi tanpa “coda”. Tapi kita manusia punya nalar dan rasa untuk tetap menata harmoni dalam orkestrasi pandemi ini. Satu demi satu sahabat dan kerabat kita tumbang berjatuhan tanpa sempat membiarkan airmata kita menetes karena hanya menatap di kejauhan pusara tak bernisan. Ada yang pergi bahkan dalam iringan doa yang tidak mencapai “Amin”, atau dengan suara parau melagukan ritme-ritme religi yang tidak bergigi karena meranggas oleh kecemasan akan kematian. 

Prokes adalah aturan untuk menjaga kehidupan, tapi bukan orkes jalanan main-main untuk jadi guyonan. Irama orkes memang asyik membuat badan bergoyang dan menyegarkan jiwa yang terlindas kekalutan, tapi bukan untuk melangkahi ketentuan prokes. Pejabat atau rakyat, dalam keprihatinan bersama sejagad ini, semua rapuh. Di saat-saat genting ini, panggilan bersama kita hanyalah merawat kehidupan bersama. Maka semua memerlukan etika sosial, etika kehidupan untuk menjaga keselamatan bersama. Ale deng beta. Katong samua. Hiduplah dengan beretika. Itu saja.
Read more ...

Saturday, June 19, 2021

The Soccer Tribe


Euforia dukung-mendukung para penggemar sepakbola selama perhelatan kompetisi semacam Piala Dunia atau Piala Eropa adalah sesuatu yang lumrah dan terjadi di banyak tempat. Di Indonesia, para pendukung kesebelasan favorit atau timnas suatu negara bahkan membentuk klub-klub penggemar (fans). Sebut saja “Aremania” di Malang, “Bonek” di Surabaya, “Bobotoh” di Bandung, “JakMania” di Jakarta dan sejenisnya di kota-kota lain. Fanatisme para pendukung kesebelasan kota/daerah tampak dari berbagai kreativitas yang mereka ciptakan untuk memperlihatkan kadar kecintaan mereka, mulai dari kostum hingga yel-yel saat menonton kesebelasan favorit mereka berlaga. Di sisi lain, ekspresi dukungan kepada klub-klub sepakbola mancanegara dan/atau timnas negara lain tidak seheboh yang dilakukan para pendukung klub sepakbola kota-kota seperti yang disebutkan tadi. Aktivitas mereka kebanyakan terpusat hanya pada momen-momen perhelatan laga sepakbola mancanegara (Piala Dunia, Piala Eropa, Copa America), seperti nobar (nonton bareng).

Para pendukung atau penggemar sepakbola di Kota Ambon memperlihatkan fenomena yang unik. Sudah lama ajang kompetisi sepakbola di Maluku/Ambon vakum. Entah apa faktor utama penyebabnya. Sejauh ingatan beta, hingga awal 1990-an masih terdengar aktivitas sepakbola lokal yang tergabung dalam Persatuan Sepakbola Ambon (PSA) dan sejumlah klub-klub sepakbola lokal. Namun, pada awal 2000-an tidak lagi terdengar ajang kompetisi liga sepakbola Ambon yang mampu menggedor semangat dukungan atau fanatisme pada klub-klub lokal. Kendati demikian, beberapa desa (seperti Tulehu) masih konsisten menggelar pertandingan klub-klub lokal antardesa meskipun gaungnya sayup-sayup. Bisa jadi, kondisi itu pula yang membuat gerah para pesepakbola lokal berada di Ambon, lalu memutuskan hengkang untuk berkelana di klub-klub papan atas/tengah berbagai kota di Pulau Jawa. Ada pula yang berhasil lolos seleksi bergabung dengan timnas Indonesia.

Dengan kenyataan itu, maka eforia para pendukung/penggemar sepakbola di Kota Ambon yang diperlihatkan melalui berbagai ekspresi yang extraordinary, seperti pemasangan profile picture secara massif di medsos dengan menggunakan kostum timnas Belanda, pengibaran bendera Belanda di pohon atau tiang di banyak kampung, dan konvoi massal saat timnas Belanda unggul, menjadi suatu pemandangan yang ganjil. Ekspresi sejenis tidak diperlihatkan pada klub-klub lokal atau nasional, meskipun terdapat pemain asal Maluku di situ. Eforia massif itu juga pada kenyataannya tidak berdampak pada kanalisasi dukungan yang memotivasi pemerintah kota, pemerintah provinsi atau pemangku kepentingan lainnya untuk menghidupkan kembali kompetisi liga sepakbola Maluku yang didesain untuk merekrut potensi-potensi muda pesepakbola lokal, mendesain skenario pembinaan sepakbola Maluku, merancang dan mengeksekusi pertandingan-pertandingan sepakbola antarklub lokal sebagai strategi pembentukan kapasitas pesepakbola muda Maluku. Terlebih penting, energi para penggemar sepakbola itu mampu ditransformasi menjadi financial support yang mendongkrak perekonomian lokal melalui kreasi merchandise dan lain-lain.

Mengapa fanatisme para penikmat sepakbola di Ambon begitu kuat mengarah pada kesebelasan nasional Belanda? Ini sebenarnya pertanyaan klasik, yang telah ditanggapi dengan berbagai jawaban. Tulisan Hermien Soselisa dan Wellem Sihasale bertajuk “Orang Ambon, Nasionalisme dan Piala Dunia: Kajian tentang Karakter Budaya dan Pemosisian Orang Ambon dalam Ruang Nasional dan Global” dalam Tim Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, Menelusuri Identitas Kemalukuan (Yogyakarta: Kanisius, 2019) menyajikan ulasan analitis menarik. Menurut Soselisa dan Sihasale, fanatisme berlebihan pada timnas Belanda dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yaitu (1) Sejarah panjang hubungan orang Ambon dengan kolonialisasi Belanda yang membentuk pola relasi menyeluruh (akulturasi dan asimilasi); (2) Peristiwa migrasi sekitar 12.500 orang Maluku ke Belanda pada tahun 1951, yang hingga kini telah berada pada lapisan generasi keempat dan masih menjalin relasi dengan kerabat mereka di kampung-kampung; (3) Terbentuk asosiasi dengan tim Belanda karena komunitas Maluku di Belanda sebagian besar adalah pendukung tim Belanda, yang makin kuat ketika ada sejumlah pemain tim Belanda yang mempunyai salah satu orangtua (ayah/ibu) dari komunitas Maluku di Belanda.

Pada perspektif yang lebih meluas, fenomena fanatisme sepakbola di seluruh dunia telah menjadi perhatian sejumlah peneliti cultural studies. Salah satunya adalah buku karya Desmond Morris, The Soccer Tribe (1981). Di dalamnya ia mengulas para pemain dan manajer, direktur dan pelatih, pendukung dan penggemar (fans), serta permainan itu sendiri seolah-olah ia sedang mengobservasi satu suku asli. Analogi yang digunakannya sahih: sepakbola punya ritual dan upacara, keyakinan dan tahyul, seperti suku terasing dengan kebudayaan yang eksotik. Morris menyajikan narasinya tentang sepakbola sebagai padanan pola perburuan masa purba. Selain teks, buku Morris ini diimbuhi dengan banyak foto dan terbagi menjadi bab-bab ringkas: The Tribal Roots, The Tribal Rituals, The Tribal Heroes, The Tribal Trappings, The Tribal Elders, The Tribal Followers. Salah satu ulasan yang cukup menyentil adalah “The Soccer Match as a Religious Ceremony”: The grass that grows on the soccer pitch is often referred to as ‘the sacred turf’, and the stadium is called ‘the shrine’. Star players are ‘worshipped’ by their adoring fans and looked upon as ‘young gods’.

Meskipun sudah menjadi buku klasik tentang analisis kebudayaan tentang sepakbola, dibandingkan dengan karya Franklin Foer, How Soccer Explains the World: An Unlikely Theory of Globalization atau Tamir Bar-On, The World through Soccer: The Cultural Impact of a Global Sport, karya Desmond Morris tetap penting untuk menjadi rujukan memahami fenomena sepakbola dan para fans-nya di seluruh dunia, termasuk di Ambon. Maka segala bentuk ekspresi bising yang diperlihatkan para pendukung berbagai timnas pada perhelatan Piala Eropa 2021, terutama para fans tim Belanda di Ambon, ini tampaknya merefleksikan mentalitas tribalisme dalam masyarakat modern saat ini. Atau mungkin makin bertransformasi menjadi sebentuk religiositas kontemporer masyarakat saat ini yang menggeser peran tuhan, klerus dan tatanan ritualnya?
Read more ...

Thursday, May 20, 2021

Talucu

Dalam dialek Melayu-Ambon, “talucu” secara luwes mempunyai beberapa arti, yaitu: terpeleset, tergelincir, terlepas, turun, meleset. “Gelas pica talucu (terlepas) dari Ongen pung tangan” / “Ah, beta pung nomor togel talucu (meleset) 1 angka kalamareng tu” / “Tagal kasus itu dia pung bapa talucu (diturunkan) dari jabatan” / “Bajalang bae-bae, jang talucu (tergelincir) di atas trotoar baru pasang tu”. Demikian kira-kira contoh penggunaan kata “talucu” dalam ujaran orang Ambon sehari-hari. 

Dari rasa bahasa, “talucu” lebih dimakna sebagai “sesuatu yang jatuh atau terlepas tanpa disengaja”. Kondisi yang menyebabkan jatuh atau terlepasnya sesuatu itu lazimnya tidak diduga atau diprediksi sebelumnya. Untuk kondisi yang sebaliknya (terencana atau disengaja), jarang digunakan istilah ini. Maka akan menjadi janggal makna praktisnya jika ada yang “talucu” oleh sesuatu kerja atau tindakan yang seyogyanya terencana baik dan memprediksi atau mengantisipasi lemungkinan buruknya.

Contohnya adalah pembongkaran trotoar lama dan pemasangan trotoar baru dengan model keramik yang permukaannya licin. Pekerjaan pemasangan trotoar yang baru tentu bukan proyek yang tidak terencana. Sebagai proyek pembangunan yang terkait dengan layanan publik untuk menyediakan sarana pedestrian yang aman dan nyaman, pembenahan jalur trotoar di setiap ruas jalan utama Kota Ambon sudah pasti menyedot biaya tak murah. Oleh karena itu, proyek ini jelas terencana baik dari segi penganggarannya, pemilihan kualitas dan jenis materinya, sampai pada proses pengerjaannya agar fungsinya menjawab apa yang dibutuhkan oleh publik secara maksimal.

Namun demikian, mengapa untuk suatu proyek pembangunan yang berbiaya besar dan pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan publik agar mempunyai fasilitas pedestrian yang aman dan nyaman, justru membuat banyak orang “talucu” – seperti beberapa rekaman video yang diunggah para netizen Ambon? Jawabannya hanya bisa diberikan oleh pemilik proyek, yaitu pemerintah (entah provinsi atau kota). Tapi pada prinsipnya, sesuatu yang dikerjakan secara terencana tidak boleh berakhir pada situasi “talucu” karena hal-ihwalnya sudah diperhitungkan sejak awal, termasuk risiko.

Berjalan kaki merupakan moda transportasi yang sudah setua peradaban manusia. Dalam konsep tata ruang kota, tradisi berjalan kaki (pedestrian) di perkotaan mempunyai sejumlah manfaat, seperti mereduksi polusi udara, suara, menghemat bahan bakar dan biaya, serta tentu saja penting bagi Kesehatan manusia. Oleh karena itu, pengembangan tradisi berjalan kaki di perkotaan dapat berfungsi mengembalikan peran kota sebagai ruang interaksi sosial yang lebih manusiawi dan ramah lingkungan. Untuk maksud itu maka trotoar disediakan sebagai area khusus pedestrian agar moda transportasi berjalan kaki dapat dilakukan dengan aman dan nyaman. Kendati awalnya trotoar digunakan untuk menghindari pejalan kaki dari kendaraan bermotor tapi dalam perkembangannya pejalan kaki (sebagai warga kota) juga membutuhkan rasa nyaman, aman, tenang dan senang saat berjalan kaki di ruas-ruas jalan wilayah perkotaan.

Beberapa peneliti menyatakan bahwa berfungsinya trotoar sebagai jalur pejalan kaki sangat tergantung pada kondisi ideal perencanaan yang semestinya sesuai dengan kriteria-kriteria untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikis pedestrian, yaitu: (1) Keselamatan: perbaikan kondisi fisik trotoar, struktur, tekstur, pola perkerasan dan dimensi trotoar (ruang bebas, lebar efektif, kemiringan) sesuai kebutuhan ruang; (2) Kemudahan: tujuan yang dicapai oleh pedestrian dilakukan dengan mudah dan lancer karena terhubung jalur trotoar secara integratif; (3) Kesenangan: pengkondisian faktor kesenangan bagi pedestrian yang timbul karena trotoar dapat dilalui dengan mudah dan didesain secara harmonis dengan lingkungan sekitarnya; (4) Kenyamanan: bebas dari berbagai gangguan yang mengurangi kenyamanan fisik dan psikis pedestrian karena terlindung dari cuaca buruk dan tersedianya tempat istirahat.

Ideal-ideal tersebut sudah pasti telah diperhitungkan oleh pemerintah sebagai pengelola utama proyek trotoar di kota ini. Artinya, tingkat risiko kecelakaan dan ketidaknyamanan pedestrian mesti dijadikan sebagai prioritas. Nah, jika ternyata – lagi-lagi seperti banyak rekaman video yang beredar di medsos akhir-akhir ini – banyak pedestrian yang “talucu”, tentu pembangunan infrastruktur publik trotoar ini mesti ditinjau ulang. Kecuali jika memang ada maksud lain untuk menjadikannya sebagai arena bermain “lucu-lucu” (plesetan atau sliding) seperti yang diperagakan sekelompok remaja saat hujan deras mengguyur dan membuat trotoar baru selicin papan luncur di pinggir kolam renang. Sebagai warga kota, kita mafhum anggaran pemasangannya bukan “talucu” begitu saja dari antah-berantah. Jelas, “talucu” di trotoar dan bermain “lucu-lucu” di trotoar adalah sesuatu yang sama sekali tidak lucu.
Read more ...

Sunday, January 24, 2021

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces