Aku menulis maka aku belajar

Monday, November 24, 2008

Teoblogi

Tulisan ini merupakan pikiran lanjutan dari tulisan saya sebelumnya "Berteologi Kontekstual di Dunia Maya". Jika pada tulisan pertama itu saya lebih menyoroti kemungkinan memperoleh informasi-informasi yang kaya seputar kajian teologi di dunia maya, maka pada tulisan kedua ini saya ingin melihat kemungkinan lain yang ditawarkan oleh internet melalui fasilitas blog.

Perkembangan internet yang makin canggih telah memungkinkan setiap pengguna internet untuk melakukan posting artikel, foto, bahkan video dengan lebih cepat dan mudah. Sekarang ini banyak sekali provider yang menyediakan spasi untuk aktivitas bloging. "Blog" pada dasarnya adalah aktivitas tulis-menulis yang disebarluaskan dengan menggunakan spasi situs pribadi. Beberapa provider sekarang menawarkan spasi yang lebih besar lagi untuk posting foto dan video. Dari aktivitas bloging ini terbentuklah suatu komunitas maya yang membangun persahabatan dan juga pertukaran gagasan maupun profil dengan cara melakukan inter-link dengan bloger-bloger lain.

Dalam konteks diskursus teologi, saya melihat weblog memberikan kemungkinan yang sangat besar bagi para pembelajar teologi untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan teologis dan refleksi-refleksi teologis yang positif dengan jangkauan yang nyaris tanpa batas. Bloging memang memungkinkan kita untuk melakukan publikasi tulisan-tulisan kita dengan cepat dan murah. Bandingkan misalnya berapa biaya yang kita butuhkan untuk menerbitkan tulisan-tulisan kita dalam bentuk buku; berapa lama waktu yang dibutuhkan mulai dari penulisan, editing, lay-out, hingga penerbitannya. Bahkan keuntungan yang bisa diperoleh dengan menulis secara konsisten di blog adalah bisa saja suatu saat kita ingin menerbitkannya dalam bentuk buku - sebagai akumulasi proses berpikir kita dalam rentang waktu tertentu. Tetapi dalam hal ini pikiran dan gagasan kita telah dikenal oleh publik melalui blog pribadi kita.

Kendati awalnya blog digunakan sebagai virtual-diary, tetapi banyak orang, khususnya kalangan akademisi, menggunakannya sebagai media membangun diskursus ilmiah secara positif. Meskipun tak dapat disangkali bahwa banyak pula bloger "nakal" yang menyebarkan informasi-informasi negatif yang lebih banyak merusak publik pengguna internet. Dalam konteks itulah, saya melihat bahwa komunitas pembelajar teologi mempunyai peran besar untuk mengimbangi gempuran informasi-informasi negatif dari para bloger "nakal" tersebut. Peran besar itu akan semakin signifikan jika para pembelajar teologi bisa membentuk suatu komunitas teobloger.

Komunitas teobloger yang saya maksud di sini adalah situs-situs weblog dari para pembelajar teologi yang dengan tekun dan konsisten melakukan posting artikel seputar kajian-kajian teologi secara sederhana tapi berbobot. Dengan komunitas teobloger semacam itu isu-isu yang sebelumnya hanya menjadi konsumsi kalangan terbatas di kampus-kampus fakultas teologi, kini dapat diakses secara publik. Dengannya publik (baca: jemaat) juga dilibatkan dalam pergumulan bersama jemaat - khususnya para bloger usia muda (remaja). Maka teologi kemudian tidak lagi menjadi suatu ilmu elitis yang hanya menjadi keistimewaan kaum pembelajar teologi atau pendeta saja, melainkan teologi menjadi suatu spirit refleksi kehidupan bersama yang menggumuli iman dalam konteks sosial secara bersama-sama.

Dari kalangan alumni fakultas teologi UKIM, sejauh pengetahuan saya sudah ada beberapa orang yang secara konsisten mengisi blognya. Misalnya: saya, Steve Gaspersz dengan http://kabaressi.blogspot.com; Elifas Maspaitella dengan http://kutikata.blogspot.com; Jusuf Anamofa dengan http://tal4mbur4ng.blogspot.com. Siapa yang mau menyusul? Mari kita ramaikan keasyikan berteologi di dunia maya, siapa tahu suatu ketika kita memunculkan suatu tradisi berteologi baru yang disebut "teoblogi".
Read more ...

Berteologi Kontekstual di Dunia Maya

Ketika mendengar kabar bahwa Fakultas Teologi UKIM (saya lebih condong menggunakan nama "teologi" ketimbang "filsafat") sudah merilis website, saya senang sekali. Apalagi dengan fasilitas blog. Pertama-tama, tentu ada faktor ikatan emosional sebagai alumninya. Dan ini merupakan suatu progres yang signifikan dalam pergaulan global saat ini - terutama setelah melihat betapa mengenaskan kondisi fisik kampus UKIM yang luluh-lantak dalam konflik sosial di Maluku beberapa tahun lalu. Kedua, saya menyebutnya sebagai faktor "kontekstual" karena dunia maya atau internet pada saat ini bisa menjadi salah satu sarana paling efektif untuk mencari informasi-informasi penting seputar ilmu teologi, kajian-kajian kritis yang dulu sulit sekali diperoleh karena kesenjangan jarak dan waktu, tetapi juga mendorong terbentuknya suatu habitus ilmiah yang lebih terbuka dan gaul.

Internet memang memberikan kemungkinan yang nyaris tak terbatas. Perjumpaan-perjumpaan dan diskusi-diskusi berlangsung melintasi batas-batas identitas. Dalam era internet, apa yang disebut sebagai konteks adalah konteks mondial dalam arti sesungguhnya. Sebuah gerak kemenduniaan yang tidak lagi terkurung pagar-pagar identitas etnis, budaya, kelompok sosial, agama, dan bahasa. Oleh karena itulah dunia maya sebenarnya bisa menjadi lahan subur bagi bertumbuhnya suatu karakter ilmiah yang terbuka dan kritis. "Terbuka" mengindikasikan bahwa pemikiran-pemikiran kita sudah selayaknya bersifat inklusif dan dewasa untuk melihat dan menyerap berbagai informasi di dunia maya. "Kritis" mengindikasikan bahwa meskipun inklusif, tetapi tidak semua informasi itu kita perlukan dan oleh karena itu kita membutuhkan suatu pijakan teoretis atau parameter keilmuan yang memampukan kita untuk memilah mana saja informasi yang kita perlukan bagi pengembangan tradisi keilmuan kita di fakultas teologi.

Kenyataan tersebut menghadapkan kita kepada suatu tantangan baru berkaitan dengan relasi keilmuan antara dosen dan mahasiswa. Seberapa jauh proses belajar-mengajar dan berdiskusi di kalangan civitas academica fakultas teologi UKIM benar-benar dibangun dari suatu proses yang inklusif dan kritis di era internet semacam ini? Siapkah mahasiswa dan dosen berdialog dan berdialektika secara cerdas dan santun dengan memanfaatkan media internet? Itu hanyalah dua pertanyaan dari begitu banyak pertanyaan yang bisa diajukan berkaitan dengan pemanfaatan internet dalam proses berteologi.

Paradigma keilmuan teologi kita pada tataran ini sudah seharusnya bergeser atau bahkan didekonstruksi sehingga paradigmanya tidak lagi terpaku pada "teaching university" yang satu arah; tetapi sungguh-sungguh menempatkan seluruh kemajuan teknologi abad ini untuk mengisi dan mengkritisi terus-menerus paradigma berteologi kita. Konsep "jemaat" yang menjadi subject matter dalam pergulatan berteologi kita saat ini bahkan sudah mengalami pergeseran konseptual. Kalau kita berselancar di dunia maya, kita akan menemukan bahwa hampir sebagian besar generasi muda dan kalangan akademisi di Maluku sudah akrab dengan internet. Bahkan beberapa pendeta (termasuk saya) sudah lebih aktif berdiskusi melalui media weblog. Pertukaran pengalaman dan ilmu terjadi di sana. Sehingga betapa ironisnya jika kalangan dosen-dosen teologi malah kedodoran karena tidak melibatkan diri dalam arena gaul internet ini alias "gatek" (gagap teknologi).

Ini bukan pelecehan atau penghinaan, melainkan suatu tantangan bagi teologiwan dan teologiwati di Maluku abad ini. Kita tidak bisa melihat seluruh perkembangan ini sebagai sesuatu yang tidak penting. Buku memang masih memegang peranan penting dalam proses belajar-mengajar, tetapi akses internet yang cepat dan mahaluas itu telah memungkinkan setiap orang (baca: jemaat dan mahasiswa teologi) memperoleh informasi yang cukup luas dan valid mengenai ilmu teologi yang mereka geluti atau pertanyaan-pertanyaan teologis yang menggelisahkan mereka. Kalau para pendidik teologi tidak siap dan emoh menceburkan diri dalam arena dunia maya, maka kemampuan kita untuk merespons dinamika teologi mondial akan semakin tumpul. Bukan tidak mungkin apa yang kita ajarkan suatu ketika hanya dianggap "fosil" karena sama sekali tidak up-to-date dengan diskursus teologis yang berkembang dan menghangat pada suatu konteks.

Dengan demikian, mungkin sudah saatnya para pembelajar teologi - dalam hal ini, para dosen teologi - mulai membiasakan diri untuk berselancar di dunia maya dan mencermati bagaimana "dunia" ini menyajikan kekayaan sumber-sumber untuk menginjeksi teori-teori baru dalam ilmu teologi. Dengan cara itu, teologi kontekstual yang dibangun tidak lagi menjadi "teologi lokal" dalam artinya yang tradisional, melainkan menjadi sebentuk teologi multikultural karena berinteraksi secara kritis dengan berbagai lokalitas yang tersaji dalam locus internet. Berbagai lokalitas tersebut menjadi sumber inspirasi untuk membangun suatu pemahaman iman dalam konteks kehidupan bersama secara mendunia tanpa tersekat kaku pada politik identitas yang pernah membuat dunia menjadi suatu konteks apartheid.
Read more ...

Friday, November 21, 2008

Black, White, Color


When I born, I black
When I grow up, I black
When I go in sun, I black
When I scared, I black
When I sick, I black
And when I die, I still black

And you white fellow...
When you born, you pink
When you grow up, you white
When you go in sun, you red
When you cold, you blue
When you scared, you yellow
When you sick, you green
And when you die, you gray

AND YOU CALLING ME COLORED?



This poem was nominated by UN as the best poem of 2006. Written by an African kid.
Read more ...

Wednesday, November 19, 2008

Pindah


Belum hilang capek dan pegal di sekujur badan. Sejak pertengahan Oktober lalu kami sudah mulai memindahkan barang-barang ke rumah kontrakan. Rumah yang sekarang kami tempati adalah “rumah dinas” milik instansi tempat istri bekerja. Berhubung masa kerja sudah selesai, maka berakhir pula masa tinggal di rumah itu. Setelah mondar-mandir cari rumah kontrakan, akhirnya dapat juga. Rumah kontrakan sih banyak, tapi harganya itu lho… minta ampun deh! Di seputaran lingkungan tempat tinggal kami tidak ada rumah kontrakan yang harganya di bawah Rp 15 juta. Busyet! Duit dari mana? Kata para tetangga, segitu mah harga biasa untuk kawasan Kelapa Gading. Meskipun sudah menjadi langganan banjir, tetap aja harga tanah dan rumah melangit. Mau cari di luar Kelapa Gading, agak susah juga karena sekolahnya Kainalu berlokasi di Kelapa Gading. Hitung-hitung kalau dapat harga kontrakan yang lebih murah di luar Kelapa Gading, malah bebannya jatuh ke ongkos transportasi.

Tetapi syukurlah, tak jauh dari rumah yang sekarang ada paviliun yang dikontrakkan. Kecil dan mungil, dengan satu kamar tidur dan satu kamar mandi. Tetapi yang membuat kami kepincut adalah ada lotengnya. Itu penting di era banjir sekarang. Maklumlah, sebagai orang perantauan kami tidak punya banyak asesoris rumah tangga yang wah. Harta paling bernilai dan paling banyak yang kami miliki adalah “buku”. Nah, justru di situlah beratnya. Selama ini kami tidak terlalu menyadari betapa banyaknya “harta” kami itu. Dan kami terus menumpuk “harta” itu. Sekarang baru terasa, ternyata “harta” kami itu ajubilah banyaknya. Sudah diatur, disortir, bahkan disumbangkan ke teman-teman, toh masih tersisa 8 kontainer plasti plus 6 tas yang sudah dijejali sesak. Belum lagi buku-buku Kainalu, anak kami, yang rupanya juga ketularan getol mengoleksi buku menurut seleranya. Apa mau dikata? Meskipun berat tapi “harta” yang satu ini memang memberi kenikmatan yang tak bertara dalam hidup kami. Kalau ada loteng, maka "harta" kami ini dapat diselamatkan tanpa harus mengungsikannya ke sana ke mari. Aman!

Awalnya Kainalu agak shock ketika kami membawanya melihat rumah kontrakan itu. Rupanya konsep spasialnya terusik karena ukuran rumah “lama” dan “baru” berbeda jauh. Namun, perlahan-lahan dia dapat memahami dan menerima bahwa cepat atau lambat kami harus pindah ke rumah kontrakan itu. Nancy mencoba memasang foto-fotonya dan beberapa lukisan karya Kainalu agar tercipta suasana akrab yang – semoga – membuatnya betah dalam suasana baru.

Memang tidak mudah berpindah dari “situasi lama” ke “situasi baru”. Proses peralihannya terkadang butuh persiapan. Jika tidak siap, orang bisa stres. Jadi, bisa dibayangkan betapa stresnya orang jika proses peralihan itu berlangsung cepat dan tak terduga. Kalau “yang tak terduga” itu membawa efek yang menyenangkan mungkin masih bisa diterima, tapi bagaimana kalau sebaliknya? Bahwa “perpindahan” atau “peralihan” situasi itu malah membawa dampak yang tidak nyaman, bahkan penderitaan? Dengan demikian, perpindahan spasial tidak hanya memberi efek pada konsep ruang secara berbeda dan drastis, tetapi juga memberi efek psikologis yang dalam. Konsep ruang yang berubah drastis akan menciptakan impuls psikis yang menekan kesadaran spasial seseorang. Jika transisi atau distorsi spasial ini tidak ditangani maka akan muncul pemberontakan psikologis yang menciptakan ketidakseimbangan dalam kesadaran diri seseorang. Bukan tidak mungkin ketidakseimbangan kesadaran itu dapat mewujud dalam tindakan-tindakan koersif dan despotik, baik secara personal maupun sosial.

Manusia hidup dan beraktivitas dalam ruang dan waktu. Oleh karena itu, ruang dan waktu memiliki daya penekan yang sangat kuat dalam membentuk struktur kesadaran manusia. Pergeseran dan peralihan ruang dan waktu tanpa disertai kesediaan dan keterbukaan dari manusia yang mengalaminya, akan membuka lubang-lubang dimensional yang menjerumuskan nalar manusia ke dalam kondisi patologis. Transformasi kebudayaan dan peradaban dalam label modernisasi telah membuktikan hal itu. Tersingkirnya nalar kesadaran manusia ke dalam lubang hitam kebiadaban kultural salah satunya disebabkan oleh menghilangnya atau terdistorsinya ruang dan waktu itu. Lihat saja bagaimana urbanisasi menjadi sebuah problem dalam masyarakat industri dan perkotaan. Sekelompok orang tidak siap menalar beralihnya ruang “sawah” mereka menjadi ruang “pabrik”; terdistorsinya fungsi “pekerjaan tanah” menjadi “kerja mesin”; tereduksinya “pekerjaan tangan” bertingkat-tingkat di bawah “pekerjaan komputer”, dst.

Manusia memiliki kemampuan adaptif terhadap lingkungan barunya, kendati hal itu butuh proses yang lama. Kalau proses peralihan dan distorsi dari yang “lama” ke yang “baru” ternyata berlangsung cepat dan terus-menerus, dalam bentuk yang tak mampu dicandranya, maka apa yang harus diadaptasi? Keterubahan berkelanjutan secara cepat semacam itulah yang makin membuat manusia terasing dari ruang dan waktunya sendiri. Lantas, kita makin tak menikmati hidup dalam serba ruang dan waktu ini. Setiap saat kita hanya berjuang menegasi ruang dan waktu agar berjalan abnormal, tidak mengikuti hukum alam tetapi mengikuti hukum artifisial yang aneh, seolah-olah “ikan yang berjuang untuk hidup di luar air”.
Read more ...

Friday, November 7, 2008

Obama bagi Indonesia



Waktu membaca berita bahwa Barack Obama memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan presiden Amerika Serikat atas rivalnya pasangan John McCain dan Sarah Palin, saya secara berkelakar menyalami seorang teman di kantor. Dengan terheran-heran teman saya bertanya, “Ada apa nih?” Saya menjawab singkat, “Obama menang.” Lalu ia kembali menanggapi, “Wah saya tidak pro siapa-siapa, dan lagian siapa yang menang tidak ada pengaruhnya buat kita.” Saya tersenyum saja, tetapi sempat juga terbersit pikiran: “Benarkah kemenangan Obama tidak ada pengaruhnya bagi kita – Indonesia?”

Cukup lama saya merenungkannya. Namun saya rasa tidak cukup tepat untuk mengatakan bahwa kemenangan Obama tidak ada pengaruhnya sama sekali bagi kita. Tentu yang saya maksud di sini bukan dalam arti karena Obama pernah selama 4 tahun bersekolah di SD Menteng, seperti yang ramai ditayangkan media massa. Asumsi saya mengenai pengaruh kemenangan Obama didasarkan pada kenyataan bahwa sebagai negara superpower di dunia, apa yang terjadi di Amerika Serikat sudah tentu memiliki dampak dan pengaruhnya baik secara langsung maupun tidak langsung di Indonesia. Sebagai contoh paling mutakhir, kita tidak bisa menyangkali bahwa krisis finansial dalam negeri AS turut mengguncang tatanan ekonomi dunia, khususnya negara-negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia). Apa yang sejatinya adalah “krisis lokal” di AS ternyata menjadi “krisis global”. Semua gejolak yang berkaitan dengan peranan AS dalam peta politik-ekonomi dunia tentu tidak lepas dari kebijakan dan visi pemerintahan AS sekarang di bawah Presiden George W. Bush. Dua isu penting yang menjadi amunisi jitu Obama selama kampanyenya adalah “isu perang Irak” dan “mengatasi krisis keuangan dalam negeri AS”.

Namun, hal terpenting yang saya kira dapat memberi pengaruh bagi kita sebagai negara penganut demokrasi adalah proses yang berlangsung selama masa kampanye kedua kandidat: Barack Obama dari Partai Demokrat dan John McCain dari Partai Republik. Bahkan nampak sebelumnya dalam penentuan kandidat calon presiden dari Partai Demokrat antara Hillary Clinton dan Barack Obama. Dalam kontek AS, demokrasi pertama-tama dipahami sebagai suatu proses, bukan institusi formal. Oleh karena itu, indikator demokrasi tidaklah dilihat dari banyaknya partai politik melainkan mekanisme politik yang dibangun sejak awal. Kedua, demokrasi berarti transparansi politik. Perdebatan kandidat presiden dari kedua partai tersebut telah menjadi ajang kritik kebijakan pemerintah secara cerdas. Kedua kandidat memperlihatkan kapabilitas mumpuni dalam mengeksplorasi berbagai kebijakan politik dan argumentasi dalam proposal-proposal politik yang ditawarkan kepada rakyat jika mereka terpilih menjadi presiden. Janji politik tetap dikumandangkan tetapi disertai pemahaman komprehensif mengenai data dan implikasi janji-janji politik mereka. Semuanya dikupas dan dikemas sebagai isu-isu kampanye yang reasonable. Ketiga, tingkat kematangan karakter politik yang tinggi. Perdebatan Obama dan McCain memperlihatkan suatu perpaduan tingkat kecerdasan dan kematangan pengalaman politik yang luar biasa. Mereka tidak terpancing oleh emosi-emosi pribadi dalam beradu argumentasi. Obama sering terlihat tersenyum santun saat diserang oleh kritik-kritik McCain dan menjawab dengan singkat tetapi langsung pada inti persoalan yang dilupakan McCain. Sebaliknya, McCain dengan dingin menanggapi serangan Obama, dengan jawaban-jawaban yang tegas berdasarkan pengalaman-pengalamannya mengulati politik AS. Keempat, kecerdasan politik konstituen. Meskipun pada awalnya diterpa isu rasialisme, tetapi setahap demi setahap mampu meyakinkan publik AS bahwa masalah kepemimpinan politik di AS tidak bisa lagi ditentukan oleh segregasi sosial berdasarkan warna kulit. Demokrasi AS yang sudah berusia lebih dari 200 tahun kini mengalami suatu pergeseran paradigma secara signifikan. Amerika Serikat modern tidak bisa lagi bergerak dalam paradigma politik “red” atau “blue”, “color” atau “white”. Tetapi harus kembali kepada prinsip demokrasi yang diusungnya sejak awal, seperti yang berkali-kali digaungkan Obama, “We are the United States!” Kemenangan Obama bukanlah karena ia pandai membodohi konstituennya, melainkan karena ia mengajak publik AS berdemokrasi secara cerdas dan dewasa.

Mereka berdua memiliki keyakinan politik masing-masing. Mempertahankan keyakinan politik itu dilakukan dengan cara-cara yang santun tanpa kehilangan daya kritik yang tajam. Tingkat kematangan karakter politik yang tinggi pun teruji saat hasil perolehan suara yang memenangkan Obama secara mutlak sebagai Presiden ke-44 Amerika Serikat dan presiden pertama keturunan Afro-Amerika. John McCain dengan jiwa besar mengucapkan selamat kepada Barack Obama dan meminta kepada seluruh konstituennya untuk mendukung Presiden Barack Obama dan Wakil Presiden Joe Biden mengatasi berbagai persoalan AS di dalam negeri maupun luar negeri. Demikian pula dengan Obama. Dalam Acceptance Speech yang disampaikan tanpa teks di hadapan sekitar 250.000 konstituennya di Grant Park Chicago Illinois, Obama dengan penuh hormat menyebutkan McCain sebagai seorang pemimpin yang berani, yang mau memberikan apa saja bagi bangsa dan negaranya.

Saya kira dengan melihat dari proses tersebut kita akan menyadari bahwa kemenangan Obama mempunyai pengaruh yang besar bagi kita. Setidaknya, kita bisa belajar bahwa proses suksesi kepemimpinan politik dalam suatu negara tidaklah semata-mata ditentukan koalisi parpol atau lobbi-lobbi politik yang hanya menguntungkan kepentingan segelintir elite politik. Faktor-faktor itu tentu penting, tetapi kekuatan demokrasi yang sesungguhnya adalah pencerdasan publik sehingga siap memasuki suatu iklim demokrasi secara menyeluruh. Publik atau rakyat tidak hanya menjadi “sapi perahan” menjelang pilkada, atau “banteng luka” ketika gacoannya kalah. Demokrasi menjadi suatu proses politik yang di dalamnya rakyat terlibat karena kesadaran dan kecerdasan mereka, melalui mekanisme politik-ekonomi yang transparan, serta kesediaan untuk menerima kemajemukan sebagai realitas. Dengan cara itulah demokrasi kemudian menjadi kekuatan rakyat yang sejati.

Ada yang menganggap demokrasi hanya mitos politik Barat. Benarkah? Mungkin saja benar. Namun, Obama telah menjadi ikon abad ini bahwa benteng tebal dominasi politik kulit putih dan stigmatisasi black people sebagai kaum budak telah diruntuhkan. Bagi saya, bukan tidak mungkin virus Obamania akan menular dan menyerang seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kita tunggu saja pengaruhnya.
Read more ...

Wednesday, November 5, 2008

Obama's Acceptance Speech


Remarks of President-Elect Barack Obama-as prepared for delivery
Election Night
Tuesday, November 4th, 2008
Chicago, Illinois


If there is anyone out there who still doubts that America is a place where all things are possible; who still wonders if the dream of our founders is alive in our time; who still questions the power of our democracy, tonight is your answer.

It's the answer told by lines that stretched around schools and churches in numbers this nation has never seen; by people who waited three hours and four hours, many for the very first time in their lives, because they believed that this time must be different; that their voice could be that difference.  

It's the answer spoken by young and old, rich and poor, Democrat and Republican, black, white, Latino, Asian, Native American, gay, straight, disabled and not disabled - Americans who sent a message to the world that we have never been a collection of Red States and Blue States: we are, and always will be, the United States of America.

It's the answer that led those who have been told for so long by so many to be cynical, and fearful, and doubtful of what we can achieve to put their hands on the arc of history and bend it once more toward the hope of a better day.


It's been a long time coming, but tonight, because of what we did on this day, in this election, at this defining moment, change has come to America. 

I just received a very gracious call from Senator McCain.  He fought long and hard in this campaign, and he's fought even longer and harder for the country he loves.  He has endured sacrifices for America that most of us cannot begin to imagine, and we are better off for the service rendered by this brave and selfless leader.  I congratulate him and Governor Palin for all they have achieved, and I look forward to working with them to renew this nation's promise in the months ahead.

I want to thank my partner in this journey, a man who campaigned from his heart and spoke for the men and women he grew up with on the streets of Scranton and rode with on that train home to Delaware, the Vice President-elect of the United States, Joe Biden

I would not be standing here tonight without the unyielding support of my best friend for the last sixteen years, the rock of our family and the love of my life, our nation's next First Lady, Michelle Obama.  Sasha and Malia, I love you both so much, and you have earned the new puppy that's coming with us to the White House.  And while she's no longer with us, I know my grandmother is watching, along with the family that made me who I am.  I miss them tonight, and know that my debt to them is beyond measure.

To my campaign manager David Plouffe, my chief strategist David Axelrod, and the best campaign team ever assembled in the history of politics - you made this happen, and I am forever grateful for what you've sacrificed to get it done.

But above all, I will never forget who this victory truly belongs to - it belongs to you.

I was never the likeliest candidate for this office. We didn't start with much money or many endorsements.  Our campaign was not hatched in the halls of Washington - it began in the backyards of Des Moines and the living rooms of Concord and the front porches of Charleston. 

It was built by working men and women who dug into what little savings they had to give five dollars and ten dollars and twenty dollars to this cause.  It grew strength from the young people who rejected the myth of their generation's apathy; who left their homes and their families for jobs that offered little pay and less sleep; from the not-so-young people who braved the bitter cold and scorching heat to knock on the doors of perfect strangers; from the millions of Americans who volunteered, and organized, and proved that more than two centuries later, a government of the people, by the people and for the people has not perished from this Earth.  This is your victory.  

I know you didn't do this just to win an election and I know you didn't do it for me.  You did it because you understand the enormity of the task that lies ahead.  For even as we celebrate tonight, we know the challenges that tomorrow will bring are the greatest of our lifetime - two wars, a planet in peril, the worst financial crisis in a century.  Even as we stand here tonight, we know there are brave Americans waking up in the deserts of Iraq and the mountains of Afghanistan to risk their lives for us.  There are mothers and fathers who will lie awake after their children fall asleep and wonder how they'll make the mortgage, or pay their doctor's bills, or save enough for college. There is new energy to harness and new jobs to be created; new schools to build and threats to meet and alliances to repair.

The road ahead will be long.  Our climb will be steep.  We may not get there in one year or even one term, but America - I have never been more hopeful than I am tonight that we will get there.  I promise you - we as a people will get there. 

There will be setbacks and false starts.  There are many who won't agree with every decision or policy I make as President, and we know that government can't solve every problem.  But I will always be honest with you about the challenges we face.  I will listen to you, especially when we disagree.  And above all, I will ask you join in the work of remaking this nation the only way it's been done in America for two-hundred and twenty-one years - block by block, brick by brick, calloused hand by calloused hand. 

What began twenty-one months ago in the depths of winter must not end on this autumn night. This victory alone is not the change we seek - it is only the chance for us to make that change.  And that cannot happen if we go back to the way things were.  It cannot happen without you.

So let us summon a new spirit of patriotism; of service and responsibility where each of us resolves to pitch in and work harder and look after not only ourselves, but each other.  Let us remember that if this financial crisis taught us anything, it's that we cannot have a thriving Wall Street while Main Street suffers - in this country, we rise or fall as one nation; as one people.

Let us resist the temptation to fall back on the same partisanship and pettiness and immaturity that has poisoned our politics for so long.  Let us remember that it was a man from this state who first carried the banner of the Republican Party to the White House - a party founded on the values of self-reliance, individual liberty, and national unity. Those are values we all share, and while the Democratic Party has won a great victory tonight, we do so with a measure of humility and determination to heal the divides that have held back our progress.  As Lincoln said to a nation far more divided than ours, "We are not enemies, but friends...though passion may have strained it must not break our bonds of affection." And to those Americans whose support I have yet to earn - I may not have won your vote, but I hear your voices, I need your help, and I will be your President too. 

And to all those watching tonight from beyond our shores, from parliaments and palaces to those who are huddled around radios in the forgotten corners of our world - our stories are singular, but our destiny is shared, and a new dawn of American leadership is at hand.  To those who would tear this world down - we will defeat you.  To those who seek peace and security - we support you.  And to all those who have wondered if America's beacon still burns as bright - tonight we proved once more that the true strength of our nation comes not from our the might of our arms or the scale of our wealth, but from the enduring power of our ideals: democracy, liberty, opportunity, and unyielding hope.  

For that is the true genius of America - that America can change.  Our union can be perfected.  And what we have already achieved gives us hope for what we can and must achieve tomorrow. 

This election had many firsts and many stories that will be told for generations.  But one that's on my mind tonight is about a woman who cast her ballot in Atlanta.  She's a lot like the millions of others who stood in line to make their voice heard in this election except for one thing - Ann Nixon Cooper is 106 years old. 

She was born just a generation past slavery; a time when there were no cars on the road or planes in the sky; when someone like her couldn't vote for two reasons - because she was a woman and because of the color of her skin.

And tonight, I think about all that she's seen throughout her century in America - the heartache and the hope; the struggle and the progress; the times we were told that we can't, and the people who pressed on with that American creed:  Yes we can. 

At a time when women's voices were silenced and their hopes dismissed, she lived to see them stand up and speak out and reach for the ballot.  Yes we can. 

When there was despair in the dust bowl and depression across the land, she saw a nation conquer fear itself with a New Deal, new jobs and a new sense of common purpose.  Yes we can. 

When the bombs fell on our harbor and tyranny threatened the world, she was there to witness a generation rise to greatness and a democracy was saved.  Yes we can. 

She was there for the buses in Montgomery, the hoses in Birmingham, a bridge in Selma, and a preacher from Atlanta who told a people that "We Shall Overcome."  Yes we can. 

A man touched down on the moon, a wall came down in Berlin, a world was connected by our own science and imagination.  And this year, in this election, she touched her finger to a screen, and cast her vote, because after 106 years in America, through the best of times and the darkest of hours, she knows how America can change.  Yes we can. 

America, we have come so far.  We have seen so much.  But there is so much more to do.  So tonight, let us ask ourselves - if our children should live to see the next century; if my daughters should be so lucky to live as long as Ann Nixon Cooper, what change will they see?  What progress will we have made? 

This is our chance to answer that call.  This is our moment.  This is our time - to put our people back to work and open doors of opportunity for our kids; to restore prosperity and promote the cause of peace; to reclaim the American Dream and reaffirm that fundamental truth - that out of many, we are one; that while we breathe, we hope, and where we are met with cynicism, and doubt, and those who tell us that we can't, we will respond with that timeless creed that sums up the spirit of a people:

Yes We Can.  Thank you, God bless you, and may God Bless the United States of America.
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces