Aku menulis maka aku belajar

Sunday, April 19, 2020

Melodi Jiwa Tamaela


Siapa tak kenal lagu "Toki Tifa" dan "Toki Gong" yang mendunia itu? Cari saja di Channel YouTube. Orang bisa menemukan banyak versi lagu tersebut yang dinyanyikan oleh bermacam-macam paduan suara dalam dan luar negeri. Pernah dengar atau pernah menyanyikan lagu "Pela" yang telah melegenda dalam khazanah kebudayaan Maluku? Atau bukalah buku lagu Kidung Jemaat atau Pelengkap Kidung Jemaat atau Nyanyian GPM, ada beberapa lagu yang akrab di telinga dan kerap dikidungkan dalam ibadah-ibadah Kristen di Indonesia. Tapi jarang sekali orang melihat siapa penciptanya.

Di antara sekian nama pencipta lagu gerejawi dan budaya (Maluku), terpatri nama Christian Izaac Tamaela. Upu Atiang, demikian beta biasa menyapanya, bukanlah sosok budayawan dan komposer lagu yang gila panggung atau mabuk ketenaran. Gaya hidup dan karakternya sangat rendah hati, santun dan menghormati setiap orang, bahkan yang usianya jauh lebih muda. Dia berkarya menata melodi, notasi dan birama dalam keheningan. Sepi liputan media. Justru di situlah karya-karyanya sangat berjiwa. Sepanjang hayatnya, hampir setiap tahun dia diundang oleh lembaga-lembaga gerejawi tingkat nasional (PGI), regional (CCA), dan internasional (WCC), untuk menjadi pelatih dan juri paduan suara, fasilitator liturgi dan musik gerejawi, serta dirigen choir tingkat internasional. Belum terhitung lembaga-lembaga lainnya. Karya-karyanya meluber di berbagai edisi penerbitan berskala nasional dan internasional.

Dengan seluruh reputasinya itu, Upu Atiang sebenarnya bisa hidup berkelimpahan. Tapi jalan hidup itu tidak menjadi pilihannya. Dia tetap bersahaja. Jalan kaki dan naik angkot atau ojek dari rumah menuju kampus UKIM untuk mengajar. Tak punya sepedamotor, apalagi mobil.

Upu Atiang bukan hanya bermusik dengan instrumen-instrumen modern yang canggih. Dia adalah pencipta instrumen musik dari bahan apa saja yang bisa memproduksi bunyi. Semasa masih kuliah dulu (1990-1996), dia mengumpulkan beberapa mahasiswa dalam bengkel musiknya dan kami ditugaskan mengumpulkan batu, bambu, kayu, pasir, air dan kulibia untuk dibuat menjadi instrumen musik. Sensitivitas musik semacam itu membuat sosoknya unik dan langka.

Dalam setiap lagu karyanya terasa kental roh dan jiwa kemalukuan. Upu Atiang mampu menghidupkan kembali diksi-diksi budaya lokal yang dirajut menjadi untaian nada-nada diatonik dan pentatonik sebagai media yang membentangkan keluasan cakarawala dan variasi warna-warna pluralitas kebudayaan Maluku.

Sebagai apresiasi terhadap seluruh karya dan reputasinya, pada bulan Oktober 2019 kelompok perwalian mahasiswa (tutorship) Gaspersz-Souisa menyajikan liturgi ibadah yang seluruh lagunya diambil dari karya Upu Atiang. Beliau begitu bangga dan tanpa kami minta beliau datang membawa semua buku lagu yang memuat karya-karyanya. Lebih dari 20 buku (sebagian fotonya yang diunggah di sini). "Beta sanang ale dong bikin ini," demikian ucapnya bangga sambil menyalami beta cukup lama dengan tatapan yang berbinar-binar.

Sejak beta menjadi pembantu rektor bidang kemahasiswaan, beliau dengan senang hati membantu mendampingi mahasiswa yang berminat terlibat dalam paduan suara mahasiswa. Dua kali audisi selama 2 tahun langsung ditanganinya sendiri bersama Peter Salenussa dan Bill Saununu. Pada audisi yang kedua, beliau tetap datang meski kondisi kesehatan sedang menurun. "Biar beta yang pilih dong, nanti Peter yang latih. Beta kondisi seng kuat kayak dolo lai," ujarnya.

Horomate Upu Atiang!

Berjalanlah dengan nyanyianmu, toki tifa, toki gong, seiring langkahmu menuju keabadian. Spiritmu tetap hidup dalam setiap nada yang kau torehkan pada jiwa-jiwa generasi Maluku selanjutnya. Melodimu adalah melodi jiwa yang menghidupi dan menghidupkan bunyi semesta Maluku dan dunia.

"Pela e, katong bakumpul rame-rame... lama-lama bar bakudapa sio sungguh manis lawang e. Ayo Pela e, hidop orang basudara, antar gandong, antar suku deng agama e... Pela e, manis lawang e"

Mena Muria!
Read more ...

Thursday, April 9, 2020

RENJANA: Glenn Fredly Latuihamallo 1975-2020



8 April 2020 tengah malam. Sementara memeriksa hasil kerja para mahasiswa yang dikirim via aplikasi Google Classroom, anak saya di kamar sebelah memberitahu bahwa Glenn Fredly meninggal dunia. Saya kaget. Memang, di antara kami tidak ada hubungan saudara sekandung ataupun saudara jauh. Kami juga tidak pernah bersua langsung. Kekagetan saya semata-mata karena saya adalah salah seorang penikmat berat lagu-lagu Nyong Ambon pemilik suara tenor ini. Seperti juga para penyanyi muda Indonesia lainnya, hampir semua lagu-lagu yang dicipta dan dinyanyikannya bernuansa romantis-syahdu. Bergeliat di genre R&B, GF makin matang dari panggung ke panggung nasional hingga mancanegara. Dalam perjalanan kariernya ia makin menampakkan kedalaman karakter pada pilihan bermusiknya. Selain Iwan Fals dan Franky Siahailatua, saya mengagumi cara GF mengartikulasikan nuansa romansa pada setiap lagunya dengan begitu atraktif seiring lengkingan dan jangkauan nada-nada yang tak terduga. Ia mampu mengukuhkan karakter bermusiknya yang khas dan unik, yang tak mudah diduplikasi oleh penyanyi-penyanyi lain. Syair-syair lagunya penuh variasi diksi yang tak lazim seperti kebanyakan lagu-lagu romansa di Indonesia. Ia mampu mengemas pesan “cinta” melalui diksi-diksi yang menghujam pada nadi rasa manusia sehingga saat mendengarnya ada gugahan rasa cinta dan getir yang menyatu. Simak saja lagu-lagunya seperti "Kasih Putih", "Januari", "Sedih Tak Berujung", “Selesai”, “Kembali ke Awal” dan “Renjana”.


Kekaguman saya pada GF bukan hanya lagu-lagunya yang sarat romansa itu. Banyak karyanya yang membawa penikmat musik ke dunia batinnya sebagai seorang humanis. Tak segarang Iwan Fals dan sesederhana Franky Siahailatua, GF piawai menyusun nada-nada kreatif yang menghentak – seperti karakter R&B-nya – dengan diksi-diksi humanis yang dilandaskan pada roh dan visi bermusiknya yang dirajut bersama kegelisahan identitasnya sebagai seorang manusia Maluku sekaligus Indonesia. Yang menggiringnya pada pencarian akar identitasnya, seperti tiga episode liputan spesial KOMPAS TV dengan tajuk “Musika Foresta”. Liputan itu merekam petualangannya merambah hutan Manusela di Pulau Seram, yang dipercaya oleh rakyat Maluku sebagai sumber jatidiri Maluku (Tengah).

Demikian pula dengan keprihatinannya pada musik Maluku yang mempertemukannya dengan anak-anak muda kreatif “puritan” yang menggawangi Moluccas Hiphop Community (MHC). Perjumpaan yang mendesaknya untuk mengajak MHC berkolaborasi menggelar konser di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta dengan gelar sangar “Beta Maluku”. Ini kemudian menjadi slogan populer di kalangan anak-anak muda Maluku generasi selanjutnya. Ada lagi yang lain. Jauh dari hingar-bingar pernyataan-pernyataan bombastis tentang rekonsiliasi konflik Maluku 1999-2005, GF menggaet sejumlah anak muda Maluku untuk membuat film tentang kehidupan seorang legenda sepakbola Maluku dari Negri Tulehu, yang dikenal sebagai “kampung sepakbola”. Ia mencipta lagu OST (Original Sound Track) dengan tajuk "Tinggikan" untuk film “Cahaya dari Timur” yang sarat dengan diksi-diksi kokoh yang seolah menjadi pilar penyangga identitas Maluku yang saat itu porak-poranda oleh perseteruan tampak tak berujung, dan mengajak untuk melihat secercah harapan dari balik keretakan relasi sosial masyarakat Maluku saat itu.

Keprihatinan humanisnya tidak hanya tampak melalui karya-karyanya, tapi juga dalam keseluruhan hidupnya. Ia turut dalam Gerakan “Save Aru” untuk menggalang dukungan terhadap rakyat Aru menghadapi desakan kooptasi perusahaan multinasional atas tanah dan laut Aru. Dalam dunia pendidikan, GF menjadi seorang musisi Maluku yang memelopori pendirian Program Studi Musik Islami pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon. Tak hanya itu, visi dan misinya untuk bermusik telah menjadi suatu inspirasi pendidikan kehidupan yang menghidupi karya-karya generasi musisi muda di Maluku. GF mampu menjelanak di antara tarikan humanisme dan kapitalisme bisnis rekaman di Indonesia sehingga mampu dengan luwes melepas status selebritas muda yang bergelimang ketenaran dan kekayaan. Ia tetap sederhana dengan topi di kepalanya. Semua orang mudah menemuinya dan sebaliknya ia begitu terbuka menerima ajakan untuk bekerja sama dengan siapa pun, demi perkembangan musik itu sendiri.

Saya tidak pernah bertemu dengan GF. Tapi saya belajar banyak melalui karya-karyanya yang merentang jauh merajut simpul-simpul rasa cinta yang pada hakikatnya menggerakkan setiap manusia untuk menjumpai manusia lainnya. Dalam setiap karyanya, saya sulit menemukan “roman picisan” tapi suatu keagungan cinta yang menggugah manusia melihat dirinya sendiri dan menempatkan liyan sebagai spirit menjaga keagungan itu bersama-sama. Bagi saya, di situlah renjana Glenn Fredly! Renjana yang terus menghidupi lagu-lagunya yang mengendapkan kekuatan pada lapisan dasar rasa kemanusiaan: CINTA.

Senja merah di ujung sana
Lelaki mengingat bijana
Berselimutkan kabut mega
Restu semesta membawamu
Bienvenue mon amour
Sang Bijaksana
Teras maja di atas bukit
Merebak wangi kaledonia
Paris van Java jadi nirwana
Menjadi saksi tentang kita
Bienvenue mon amour
Sang Bijaksana
Memelukmu
Sabda rinduku aku memelukmu
Rebahkan lara
Dalam dekapan
Takkan usai
Dawai-dawai rinduku takkan usai
Sungguh oh mon amour
Engkau Renjana

Rest in Love, Glenn Fredly Latuihamallo!
Read more ...

Saturday, April 4, 2020

Belajar

Saya ingin pertama-tama menyatakan respek terhadap para mahasiswa di mana saja, terutama di kampus UKIM, yang dengan segala keterbatasan mencoba bertahan dan beradaptasi dengan perubahan-perubahan mekanisme pembelajaran formal di kampus. Secara geografis, Maluku adalah wilayah kepulauan. Sebagian besar mahasiswa UKIM berasal dari pulau-pulau di luar Ambon dan Lease. Dalam kondisi normal saja, tidak mudah bagi mereka untuk melakukan perjalanan bolak-balik Kota Ambon dan negri-negri asal mereka. Apalagi dalam kondisi masa-masa "kunci" seperti saat ini.

Sistem pembelajaran klas harus diubah menjadi kuliah daring (online). Lebih mudah? Kelihatannya. Tapi bagi sebagian besar mahasiswa perubahan ini menghadapkan mereka pada masalah lain yang cukup berdampak pada pengelolaan keuangan rutin mereka. Kuliah daring membutuhkan jaringan internet (pulsa data dan wifi). Wifi dengan kapasitas besar hanya tersedia di kampus. Sementara kalau sebagian besar memanfaatkan wifi di kampus maka sudah pasti akan terbentuk kelompok-kelompok yang bergerombol pada titik-titik tertentu. Padahal, ada anjuran untuk tidak berkerumun.

Alternatifnya, menambah pulsa data supaya bisa bekerja sendiri-sendiri. Lain lagi masalahnya. Untuk yang masih tinggal dengan ortu, kendala uang pulsa sebagian bisa teratasi. Meskipun tidak semua ortu sudah memahami konsekuensi kuliah daring. Tapi tidak mudah bagi mahasiswa yang tinggal dengan keluarga wali dan indekos. Dana rutin bulanan yang dikirim ortu mereka di negri-negri harus dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pulsa data yang cukup besar. Akibatnya, uang kos tertunggak dan uang makan kian tipis, bahkan nihil. Ortu mereka di kampung tidak [mau] tahu dengan perubahan ke model kuliah daring ini sehingga terutama mahasiswa indekos harus merana kelaparan seiring tuntutan pulsa data yang harus terus diinfus supaya bisa ikut kuliah daring.

Ada sebagian mahasiswa yang disuruh pulang kampung jika tidak ada sesi klas selama masa "kunci", padahal ini bukan libur. Tentu saja, sebagian besar negri (kampung) di pulau-pulau belum terjangkau jaringan internet yang memadai. Jika pun sudah, frekuensinya naik-turun. Belajar jarak jauh? Pakai apa? Zoom, Google Classroom, Google Hangouts Meet, Skype? Semua bagus bagi yang sudah menikmati fasilitas internet yang berdaya kuat. Tapi tidak di wilayah-wilayah yang minus jaringan komunikasi (internet).

Utamanya mahasiswa-mahasiswa indekos mencoba bertahan hidup dan enggan pulang kampung meski keuangan mereka seret karena terhisap pulsa data. Ada teman-teman mereka yang tinggal dengan ortu rela berbagi beras dan sedikit bahan sembako. Kami para dosen juga membantu sebisanya agar mereka bisa terus mengikuti kuliah daring dan membatasi mereka untuk tidak melakukan kerja-kerja kelompok di tempat-tempat yang "rawan" penyebaran virus corona.

Harus diakui bahwa cukup banyak mahasiswa yang "pasrah" karena tidak mampu secara ekonomis mengikuti model kuliah daring. Mereka memilih "alpa" dan mundur dengan segala konsekuensinya bagi kelanjutan studi mereka.

Situasi hidup mahasiswa di Indonesia timur seperti Maluku jelas tidak bisa dibandingkan dengan teman-teman mereka yang berjibaku di kampus-kampus besar di Pulau Jawa. Motivasi belajar yang kuat memang sangat diperlukan untuk meretas berbagai kendala teknis yang timbul karena berbagai perubahan dan adaptasi berhadapan dengan penyebaran virus corona ini.

Ini hanyalah catatan kecil yang mulanya dipicu oleh 2 buku yang ~ akhirnya ~ tuntas terbaca selama masa "kunci" ini: Politik Identitas dan Bumi Manusia. Muara dari aliran refleksi yang terbentuk melalui proses membaca ini adalah pada kepekaan untuk merasai apakah dalam seluruh dinamika perubahan yang terjadi sekarang ini setiap orang merasa diperlakukan dengan adil? Ataukah muncul stigma-stigma baru dalam realitas hidup sosial yang menciptakan model-model diskriminasi terhadap klas-klas sosial yang dianggap lemah dan karenanya dibiarkan tergilas begitu saja? "Physical distancing" makin meneguhkan "social distancing" yang sebenarnya sudah meracuni cara pandang terhadap realitas sosial masyarakat Indonesia ~ seperti pernyataan jubir kepresidenan yang menyebut "orang kaya" dan "orang miskin" dalam konteks penanganan COVID-19. Demikian pula dengan tendensi belakangan ini yang mengganti penyebutan COVID-19 menjadi VICHIN-19 (Virus China), yang tampaknya hendak mengarahkan persoalan penyakit menjadi diskursus politik identitas global.

Jangan-jangan masa "kunci" ini mengonstruksi perspektif dan aksi politik identitas baru. Suatu cara pandang terhadap penyakit dan penanganannya yang membuat kita menjadi tidak adil sejak dalam pikiran (mengutip tokoh Minke dalam Bumi Manusianya Pram). Semoga tidak.
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces