Aku menulis maka aku belajar

Friday, July 26, 2013

Surat untuk Tuan Presiden SBY


Surat untuk Tuan Presiden SBY

Tuan presiden yang budiman,

Di tengah kegalauan yang tuan rasakan menghadapi persoalan demi persoalan kebangsaan yang menggelombang tiada henti, izinkan saya mengusik kesibukan tuan dengan surat kecil ini. Tentu saja tuan presiden dapat mengabaikannya karena dibandingkan dengan surat-surat kenegaraan yang tuan terima dari berbagai pihak, surat saya ini tiadalah berarti. Namun demikian, saya tetap ingin menulisnya bukan sekadar sebagai curahan hati yang cengeng, bukan pula puja-puji gombal, melainkan sebagai panggilan nurani saya yang selama hidup saya hingga saat ini memilih untuk menjadi seorang warga negara Indonesia. Saya menyadari bahwa di luar sana banyak kritik pedas yang diarahkan kepada negeri yang tuan pimpin, Indonesia, yang dianggap gagal menjalankan amanat proklamasi kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Saya juga menyadari bahwa tidak mudah mengemban amanat perubahan atau reformasi sebagaimana semangat itu menyala sejak tahun 1998. Bahkan kata “perubahan” atau “reformasi” itu sendiri kian menjauh dari percakapan kebangsaan kita belakangan ini. Banyak orang menolak perubahan atau reformasi menyeluruh karena mereka tak rela kehilangan kuasa dan harta yang telah mereka tumpuk sekian lama, lantas lebih memilih mempertahankan apa yang telah mereka peroleh dan nikmati sebagai hasil kecurangan yang kian telanjang terjadi di hadapan publik rakyat Indonesia.

Tuan presiden yang budiman,

Jauh dari maksud saya untuk menggurui tuan yang jauh lebih berpengalaman dan berpengetahuan daripada diri saya. Tetapi justru berdasarkan pengalaman dan pengetahuan tuan itulah saya meyakinkan diri saya bahwa tuan akan lebih arif menanggapi surat dari orang kecil seperti saya ini. Sebagai orang kecil, saya sungguh bingung dengan banyak kesimpang-siuran penyelenggaraan pemerintahan di bawah kepemimpinan tuan. Begitu banyak peraturan dan undang-undang yang diterbitkan selama kepemimpinan tuan tetapi nyaris hukum tak bertuah di republik yang tuan pimpin ini. Tafsir hukum dan undang-undang begitu ramai dibincangkan di mana-mana tapi tak tampak pengaruhnya secara konkret bagi reformasi hukum di negeri ini. Saya, orang kecil ini, malah lebih banyak melihat hukum menjadi tameng melindungi para pembesar yang berduit milyaran daripada membela kaum hina-miskin yang makin terjepit tak berdaya di hadapan hukum dan aparatnya.

Oh ya, hampir saya lupa. Saya ingin mengucapkan selamat kepada tuan yang baru saja pulang dari luar negeri untuk menerima penghargaan atas jasa-jasa tuan menjaga toleransi dan keharmonisan di republik ini dan gelar “knight” yang disematkan oleh Ratu Inggris kepada tuan. Saya percaya gelar itu hanya diberikan kepada orang-orang tertentu yang memiliki reputasi keberanian luar biasa menghadapi ancaman dan bahaya demi membela kebenaran hakiki serta nasib kaum tertindas. Ah, sungguh saya bangga punya pemimpin seperti tuan yang dihargai tinggi oleh komunitas internasional. Tetapi tuan, lagi-lagi saya sebagai orang kecil bingung dengan situasi kehidupan berbangsa dan bernegara selama masa kepemimpinan tuan. Mengapa negara besar yang dipimpin oleh seorang “ksatria” besar seperti tuan ternyata tak kunjung menikmati keamanan dan kenyamanan hidup sebagai warga negara yang sah? Apakah rakyat yang tuan pimpin ini yang dengan ikhlas memilih tuan sebagai presiden tak layak mendapatkannya? Apakah rakyat yang tuan pimpin ini memang hanyalah segerombolan manusia keras kepala yang tak mau diatur? Ataukah ada yang tidak beres dalam pola kepemimpinan tuan sehingga sering sekali terjadi konflik, pengusiran kaum miskin, penindasan kaum hina-dina dan penyingkiran sesama anak bangsa di republik yang tuan pimpin ini?

Tuan presiden yang budiman,

Maafkan saya jika saya tak mahir mengemas kata-kata dalam kalimat yang manis dan santun. Saya hanyalah orang kampung dari satu kawasan nun jauh dari istana tuan yang megah; kawasan kepulauan di sebelah timur Indonesia yang selalu dianggap kampungan karena proyek pembangunan fisik selama puluhan tahun hanya menghasilkan jalan-jalan dan jembatan-jembatan yang rusak parah; kantong-kantong kemiskinan tersebar di mana-mana di gunung dan di pantai di tengah-tengah kekayaan alam yang telah dirampas oleh keserakahan perusahaan-perusahaan transnasional menyisakan tanah-tanah gersang dan terumbu kerang yang hancur; pendidikan pada semua jenjang hanya proyek-proyek tambal sulam tanpa visi yang membuat kami makin terperangkap jaring-jaring ruwet pembodohan dan pemerasan; perbaikan transportasi umum antarpulau yang hanya menyediakan kapal-kapal rongsokan seakan-akan kami hanya hewan-hewan yang sedang berpindah tempat dari pulau satu ke pulau lainnya; derita kemiskinan di kampung saya telah membuat banyak orang frustrasi sehingga emosinya cepat terbakar jika diprovokasi oleh isu-isu panas yang mengadu-domba… Ah, tuan presiden, maafkan saya kalau apa yang saya katakan menyinggung perasaan tuan. Tapi itulah yang saya dan saudara-saudara saya di kawasan timur Indonesia alami, nikmati dan rasakan sebagai warga negara dari republik yang tuan pimpin ini. Apalagi yang bisa saya katakan? Hanya itu yang bisa saya sampaikan kepada tuan.

Tuan presiden yang budiman,

Sebagai seorang jenderal TNI bergelar “ksatria” dari Ratu Inggris, tuan tentu lebih paham makna keberanian daripada saya. Hanya dengan keberanian yang tinggi, kesatuan negara ini berhasil dipertahankan oleh TNI kendati menghadapi berbagai gelombang pergolakan protes dalam negeri maupun ancaman dari luar negeri. TNI tempat tuan mendedikasikan hidup tuan telah membuktikan keperkasaannya menjaga Pancasila sebagai pilar-pilar utama kebangsaan sepanjang sejarah republik ini sejak 1945 hingga kini. Rongrongan politik terhadap Pancasila selalu berhasil dipatahkan oleh TNI dengan gagah berani demi keberlanjutan Indonesia dari masa ke masa. Pancasila yang dipertahankan oleh TNI dan dukungan segenap rakyat Indonesia ini adalah perjanjian politik kita bahwa Indonesia yang kita hidupi bersama ini adalah Indonesia yang sungguh-sungguh menghormati perbedaan budaya, etnis, bahasa dan agama. Saya sungguh bangga menjadi bagian dari negara yang menghargai keanekaragaman identitasnya dan menjadi bangsa yang besar karena kekayaan perbedaan warga negaranya.

Tetapi, tuan presiden, saya cemas dan bertanya-tanya mengapa tuan dan segenap aparat negara kepolisian dan militer di bawah kepemimpinan tuan makin surut keberaniannya menghadapi ancaman-ancaman yang menggerogoti kekayaan perbedaan Indonesia kini. Apakah tuan punya alasan mendiamkan segala bentuk rongrongan terhadap nilai-nilai solidaritas sosial hanya karena desakan segelintir petualang politik yang ingin menyeragamkan seluruh perbedaan menjadi identitas tunggal etnis maupun agama di republik ini? Sebenarnya saya dan warga negara Indonesia lainnya sudah lama sekali menunggu tuan bersuara lantang dengan gagah berani menghadapi ancaman berupa tindakan-tindakan destruktif yang memberangus nilai-nilai dan praktik-praktik solidaritas sosial yang sudah sejak dulu kita bangun dengan susah-payah bahkan berdarah-darah. Kalau tuan berdiam diri, kami kehilangan orientasi. Kalau tuan tiada peduli, kami merasa jalan sendiri. Bukankah tuan semestinya berdiri di pihak kami, rakyat yang memberi mandat kuasa kepada tuan? Makin tuan tenggelam dalam kegalauan sendiri, makin banyak rakyat yang berkelahi. Bukankah tuan tidak menginginkan hal itu terjadi?

Tuan presiden yang budiman,

Jika surat ini terlalu berbelit-belit, mohon tuan memakluminya. Saya pun galau dengan situasi tak menentu yang menggempur hidup sehari-hari. Ingin rasanya menghibur diri tapi mulut kami tak kuasa melantunkan nyanyian pelipur lara. Suara kami parau karena berteriak kelaparan dan kesakitan setiap waktu, tak semerdu suara tuan yang sukses merilis beberapa album lagu baru selama tuan menjadi presiden. Besar harapan kami dapat berbagi keprihatinan melalui jejaring media sosial yang tuan punya, namun butuh energi listrik ekstra untuk selalu menyalakan komputer dan internet di rumah kami. Sementara untuk tarif BBM saja kami sudah terengah-engah, apalagi diikuti harga barang-barang yang kian membengkak pasti. Ah, tuan presiden, rasanya nafas saya sudah cukup lega setelah menceritakan sedikit apa yang saya rasa kepada tuan. Saya tahu rasa itu hanya sementara karena gelombang masalah hidup saya dan rakyat Indonesia terus menggempur tanpa jeda. Biarlah ini menjadi cerita kecil saya. Jikalau tuan berkenan membacanya saya sangat berterima kasih meskipun saya tidak berharap banyak tuan berkesempatan bahkan untuk meliriknya.

Salam hormat dari saya
S.G.
Read more ...

SBY Pecundang?

Berita tentang FPI yang melakukan sweeping kemaksiatan disertai aksi-aksi kekerasan sepihak bahkan bentrokan dengan kelompok-kelompok lain, adalah berita “biasa”. “Biasa” karena peristiwa kekerasan semacam itu berlangsung berulang-ulang dan tanpa ada upaya pencegahan dari aparat hukum dan keamanan (kepolisian). Malah dalam hampir setiap pemberitaan terutama media elektronik (televisi dan internet) jelas-jelas tampak aparat kepolisian hanya berjubel tanpa tindakan pencegahan dan terkesan membiarkan aksi-aksi vandalis ormas ini berlangsung di depan batang hidung mereka. Alih-alih mencegah, hampir dalam setiap kasus kekerasan sepihak oleh FPI aparat penegak hukum dan keamanan malah mengarahkan tudingan pada korban yang dicap menjadi sumber atau pemicu kekerasan oleh ormas ini. Tak perlu mengundang analis politik untuk mengomentari adegan-adegan telanjang semacam itu di berbagai media massa. Semua orang pun dengan segera bisa beropini bahwa negara c.q. kepolisian membiarkan aksi-aksi kekerasan itu terjadi secara sepihak.

Peristiwa “Kendal” pun tampaknya berlangsung dengan skenario serupa. Namun, ada dua hal yang membedakannya sehingga peristiwa ini kemudian mendapat perhatian publik. Pertama, ada perlawanan dari masyarakat Kendal terhadap aksi dan dampak aksi sweeping FPI. Apakah perlawanan itu sebelum atau sesudah jatuh korban jiwa akibat tertabrak dan terseret mobil konvoi FPI, informasi itu bisa ditelusuri melalui sejumlah pemberitaan media mengenai keterangan para saksi mata. Intinya adalah terjadi perlawanan dari kelompok masyarakat terhadap aksi FPI. Kedua, peristiwa “Kendal” ternyata berhasil mengusik kebisuan Presiden SBY sehingga untuk pertama kalinya selama masa kepresidenan 9 tahun SBY secara terang-terangan menegur dengan menyebut nama “FPI”. Gayung bersambut, pemimpin FPI Habib Rizieq pun membalas dengan nada sengit menyebut Presiden SBY sebagai pecundang yang suka sebar fitnah.

Dalam hal ini pun lagi-lagi semua orang bisa menyaksikan bahwa pemerintah resmi dengan seluruh aparatusnya ternyata tak lebih “macan ompong” berhadapan dengan FPI. Tidak ada tindakan tegas apapun dari pemerintah c.q. kepolisian menyusul pernyataan terbuka Rizieq tersebut. Di sini tak perlu menganalisa jauh-jauh hanya untuk menyimpulkan bahwa FPI mempunyai kekuasaan lebih besar dari Negara sehingga bisa bertindak dan bicara apa saja termasuk “menyerang” Presiden SBY; atau Negara memelihara FPI dan menganggapnya sebagai salah satu aparat “bayangan” kekuasaan Negara untuk menebarkan teror dan ketakutan melalui tangan-tangan sipil paramiliter. Dua pejabat negara, Kapolri dan Menteri Agama, menanggapi dengan santai pernyataan Rizieq. Kapolri menyatakan tidak bisa membubarkan ormas (FPI) begitu saja melainkan hanya mengamankan oknum-oknum yang memicu bentrokan massal di Kendal (kasuistik). Sementara itu, Menteri Agama hanya memberikan komentar bahwa diperlukan kesabaran untuk menghadapi ormas-ormas seperti FPI. Mungkin Menteri Agama bermaksud mengekspresikan hebatnya toleransi di Indonesia yang beberapa waktu sebelumnya disebutnya sebagai yang terbaik di dunia.

Coba bandingkan dengan reaksi gerak cepat Densus 88 yang menggerebek rumah-rumah yang dicurigai sebagai tempat persembunyian para tersangka teroris. Pasukan elit kepolisian ini tampak menyandang senjata dan perlengkapan pengaman super-lengkap ala pasukan SWAT Amerika Serikat. Aksi penggerebekannya pun ditayangkan live bak reality show film-film action Holywood. Menyaksikan tayangan-tayangan semacam itu seolah-olah menghadirkan rasa bangga bahwa negara kita memang aman-sentosa di bawah perlindungan aparat keamanan yang terlatih sigap dan lengkap. Bandingkan pula bagaimana reaksi Presiden SBY dan tindakan lanjutan kepolisian terhadap peristiwa “Cakalele” saat beberapa penari tradisional membawakan tarian cakalele sambil membentangkan bendera RMS di hadapan Presiden SBY yang sedang duduk di tribun kehormatan beberapa waktu silam di Ambon. Hanya dalam hitungan jam, para penari tersebut diciduk dan diamankan aparat kepolisian dengan dakwaan melecehkan kepala negara dan makar, padahal mereka tak lebih hanya ingin memprotes ketidakadilan yang mereka rasakan melalui ekspresi seni (tarian). Mereka ditangkap dan dijebloskan ke beberapa penjara di tempat yang berbeda-beda. Hasil investigasi beberapa organisasi relawan kemanusiaan dan hak asasi manusia menyatakan bahwa mereka mengalami penyiksaan berat selama berada di penjara hingga sebagian besar mengalami cacat syaraf dan fisik. Keluarga dari kampung pun tak bisa menjenguk mereka karena berbagai alasan keamanan yang dibuat oleh pihak kepolisian dan lembaga pemasyarakatan tempat mereka ditahan dengan masa kurungan di atas 15 tahun. Itulah harga yang harus dibayar karena telah melecehkan kepala negara.

Namun apa yang terjadi dengan Presiden SBY ketika Habib Rizieq (FPI) tanpa tedeng aling-aling menudingnya sebagai pecundang penyebar fitnah? SBY, sang presiden yang purnawirawan jenderal TNI Angkatan Darat itu tak bereaksi sedikit pun. Bisu. Hanya segelintir pengikutnya yang berkomentar basi tanpa isi seolah-olah pernyataan Rizieq bukanlah ancaman serius terhadap kewibawaan presiden sebagai simbol politik suatu negara, apalagi presiden yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Tetapi tentu saja hal ini tidaklah terlalu aneh karena jelas memperlihatkan bahwa kewibawaan dan kekuasaan Negara melalui kewenangan politik presiden telah disunat habis oleh kepentingan politik tertentu dengan cara memelihara dan membesarkan FPI atau bisa jadi ormas-ormas lainnya entah yang berselimut simbol identitas agama atau etnis. Sementara itu, peristiwa-peristiwa lain memperlihatkan fenomena pembiaran kekerasan dalam bentuknya yang lain, misalnya penyerangan sekelompok tentara ke markas kepolisian lokal, bentrokan antara aparat brimob dan aparat sabhara, dan eksekusi liar sekelompok anggota Kopasus terhadap beberapa preman dan anggota polisi langsung di sel penjara Cebongan, Sleman. Peristiwa terakhir ini bahkan memunculkan semacam euforia ganjil yang mendukung aksi kelompok Kopasus itu untuk membasmi para preman, sebagaimana terlihat pada sejumlah spanduk di persimpangan-persimpangan jalan sekitar Sleman dan pusat kota Yogyakarta: “I love Kopasus” atau “Seribu Preman Mati Rakyat Yogya Tidak Rugi” dll. Aparat kepolisian dan militer dengan kewenangan menggunakan senjata saling bentrok dan perang-perangan, sementara aksi-aksi vandalisme kelompok-kelompok sipil paramiliter yang mengancam hidup rakyat dibiarkan.

Matinya Negara dan Keruntuhan Demokrasi Indonesia

Konstelasi politik Indonesia mempunyai dinamikanya sendiri pada setiap zaman. Dinamika politik tersebut harus diakui turut digerakkan oleh berbagai aspirasi dan tindakan masyarakat sipil. Lihat saja betapa gigihnya kelompok pemuda mendesak Sukarno/Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, bahkan sampai “menculik” kedua pemimpin tersebut untuk memberi kesempatan bagi mereka memikirkan konsep kemerdekaan dan berbagai implikasi sesudahnya. Toh, dalam aksi tersebut para pemuda ini tetap respek terhadap kewenangan politik Sukarno/Hatta sebagai pemimpin bangsa yang diharapkan mampu mengarahkan revolusi menuju kemerdekaan politik sebagai bangsa. Kemerdekaan Indonesia semesta menjadi tujuan akhir aksi para pemuda ini, bukan semata-mata untuk kepentingan primordialisme (agama atau etnis) mereka. Sulit membayangkan Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 tanpa intervensi para pemuda ini.

Demikian pula dalam gerakan Reformasi 1998 silam. Akumulasi gerakan protes mahasiswa dan kelompok-kelompok sosial lainnya telah melahirkan suatu kekuatan massif menghadang kekuasaan despotik sang maestro politik Suharto yang ingin terus melanjutkan otoritarianismenya. Reformasi 1998 bukanlah gerakan semalam melainkan aksi-aksi yang direncanakan dan digalang tahap demi tahap dengan memperhitungkan setiap risikonya. Toh, seluruh kekuatan mahasiswa dan pemuda dari berbagai latar belakang agama, budaya, pendidikan dan daerah menyatu untuk satu cita-cita bersama: merengkuh dan memaknai kembali kemerdekaan berekspresi yang selama puluhan tahun dikekang di bawah kendali normalisasi kehidupan kampus dan dibisukan atas nama ketertiban umum. Korban jiwa berjatuhan, beberapa aktivis dan mahasiswa hilang tak tentu rimbanya. Berita penculikan aktivis dan mahasiswa pun merebak menimbulkan ketakutan. Sebagian yang bebas pun bersaksi tentang penyiksaan yang mereka alami selama diinterogasi, sebagian lain tetap dipenjara, sedangkan yang lainnya lagi tak diketahui nasibnya entah hilang atau sudah mati. Hampir semua dakwaan yang ditujukan adalah “subversif” atau melawan [kepala] negara.

Kita yang hidup di zaman serba buka-bukaan seperti sekarang ini adalah generasi penikmat kebebasan atau demokrasi buah pengorbanan gerakan sosial Reformasi 1998. Kendati demikian kita juga mengakui bahwa gerakan sosial tersebut pada akhirnya ditunggangi para pelacur politik yang hanya memikirkan kenikmatan syahwat politik dan birahi ekonomi mereka sendiri. Apa yang kita tuai sebagai bangsa pasca Reformasi 1998? Hanya narasi-narasi kebobrokan para penyelenggara negara yang kian tak malu memamerkan kebejatan karakter saat menggauli kekuasaan di ranjang-ranjang lembaga negara. Lembaga-lembaga negara yang dulu dianggap sakral kini makin telanjang mempertontonkan wajahnya bak “pasar politik” dan “rumah bordil”: transaksi kekuasaan menyertai setiap geliat erotis para selebritis cantik dan germo-germo di ruang-ruang politik negara.

Dulu saat Suharto berkuasa, rakyat dikondisikan mengambang dalam setiap keputusan politik. Negara menentukan keputusan politik, rakyat hanya dapat menikmat jaminan-jaminan keamanan yang menertibkan setiap potensi anarkhis. Rakyat merasa tenang dan nyaman di bawah dominasi simbolis kekerasan negara tanpa mereka sadari secara eksplisit bahwa kemerdekaan asasi mereka terus dikontrol negara. Kini sebaliknya. Negaralah yang terkondisikan mengambang sehingga kerap gamang mengambil langkah-langkah penting dan strategis untuk menjaga keutuhan hubungan-hubungan sosial di dalam masyarakat. Kegamangan negara tersebut melahirkan kelompok-kelompok kuasi-militer yang menempatkan diri sebagai penjaga integrasi bangsa melalui berbagai wacana yang sangat berdaya luar biasa, salah satunya adalah “agama”.

Aparatus pemerintahan dan pelaku-pelaku politik dengan jeli melihat bahwa agama memiliki pesona dahsyat dan kekuatan mahahebat jika dapat dimanipulasi sebagai senjata politik demi perebutan dan pelanggengan kekuasaan. Agama pun makin perkasa sebagai komoditi politik dan ekonomi yang mendatangkan keuntungan berlipat-lipat bagi para manipulator agama melalui beraneka media, mulai dari ekstase kapitalisme melalui tayangan iklan atau sinetron agamis hingga aksi vandalistik; mempesona banyak orang untuk melupakan kemiskinan dan penderitaan hingga mengajak orang untuk membunuh pesona perbedaan atau kemajemukan; menawarkan pesan-pesan surgawi yang sangat individualistik hingga mengkafirkan liyan dengan membuka pintu-pintu neraka bagi “kaum kafir” tersebut. Asumsi pemisahan agama dan negara memang tak berlaku tegas di republik ini karena memang agama adalah wacana politik dalam sejarahnya dan negara dibangun di atas agama sebagai pilar wacana utamanya. Slogan “Indonesia bukan negara agama tapi juga bukan negara sekuler” pada dasarnya hanyalah pernyataan banci yang sengaja membuka wilayah abu-abu permainan politik agama dan strategi mengagamakan politik. Di panggung abu-abu itulah kita kini menyaksikan tarian-tarian politik dan teatrikal demokrasi yang dibawakan secara vulgar oleh pelaku-pelaku politik penyelenggara kekuasaan negara.

Teatrikal demokrasi Indonesia kini sebenarnya hanyalah kamuflase untuk menggali lubang kuburnya sendiri. Pemimpin tanpa wibawa, negara tanpa kuasa, sementara “sultan-sultan” baru bermunculan sembari mengusung wajah bengis politik penyeragaman ideologis dibungkus kemasan simbol-simbol agama. Mereka bahkan lebih garang dari para polisi/tentara bersenjata. Para jenderal tentara saja menghadap presiden dengan segala sikap hormat ala militer, tapi “bintang” Rizieq ternyata melebihi “bintang” para jenderal tersebut hingga ia sama sekali tak ragu menunjuk hidung Presiden SBY sebagai pecundang penyebar fitnah.

Bisa saja Rizieq merasa lebih berkuasa daripada SBY dan para jenderal kancilnya, tetapi ia tidak boleh melupakan bahwa SBY dan antek-anteknya memegang tampuk kekuasaan sebagai presiden dan pejabat negara berdasarkan mandat rakyat yang telah memilih mereka. Kalau SBY lemah dan bisu, tidak demikian bagi rakyat. Peristiwa “Kendal” hanyalah peringatan awal bagi ormas-ormas yang sok jagoan di balik simbol-simbol agama bahwa bukan SBY yang berkuasa tapi rakyat yang memilihnya. Rakyat bukan kambing congek yang bisa dibodohi oleh kamuflase agama di balik aksi-aksi vandalistik ormas-ormas semacam FPI. Masyarakat Kendal sudah menyatakan “kau jual kami beli” dan mereka pun membuktikannya. Ini bukan soal membela agama atau menegakkan ajaran agama tapi soal bagaimana masyarakat makin cerdas memahami bahwa agama adalah ihwal memaknai hidup sebagai anugerah Tuhan bagi kedamaian dan kesejahteraan manusia bersama dalam seluruh keunikan dan perbedaannya. Ini juga bukan soal maksiat atau kesalehan iman tapi soal bagaimana masyarakat berjuang bertahan hidup di tengah himpitan beban-beban ekonomi yang terus menggerogoti tubuh sosial yang kian keropos oleh kanker korupsi para pembesar yang serakah. Ini soal perut yang kosong, kantong kosong, yang berimbas pada otak kosong dan solidaritas sosial yang kosong, frustrasi dengan demokrasi yang ujung-ujungnya juga kosong. Ironis, baru saja menerima award dan gelar ksatria di luar negeri, SBY malah tak berkutik di bawah tudingan Rizieq: pecundang!
Read more ...

Friday, July 5, 2013

Ndesoglobal

Hong Kong adalah salah satu pusat bisnis tersibuk di Asia Tenggara, bahkan di dunia. Bisa dipastikan bahwa hampir semua perwakilan bangsa-bangsa di dunia ada di Hong Kong dengan kepentingannya masing-masing. Yang jelas, semuanya berjuang mengais rezeki di negara ini. Saya beruntung mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Hong Kong selama lima minggu berpartisipasi dalam program the Institute for Advanced Study of Asian Cultures and Theologies (IASACT) 2013 yang digelar oleh United Board for Christian Higher Education (selanjutnya: UB).

Setelah melalui proses seleksi berkas-berkas aplikasi dan proposal paper yang cukup ketat setahun lalu (2012) komite penasihat UB menetapkan sejumlah nama dari beberapa negara yang dinyatakan lolos untuk mengikuti program IASACT 2013 sebagai visiting scholar di Chung Chi College, Chinese University of Hong Kong. Peserta IASACT 2013 ada 14 orang (7 laki-laki, 7 perempuan) yang berasal dari Daratan Cina, India, Korea Selatan, Thailand, Taiwan, Myanmar, Filipina dan Indonesia. Selama lima minggu kami bekerja menulis paper dengan bimbingan dua mentor dan bebas menggunakan fasilitas perpustakaan CUHK. Tentu saja, tak seluruh waktu kami habiskan hanya untuk menekuni paper kami. Kami menyempatkan diri bersama-sama untuk mengunjungi kota-kota lain di Hong Kong sambil belajar mengenal bagaimana kehidupan dan dinamika sosial masyarakat Hong Kong.

Harus diakui bahwa Hong Kong memang merupakan salah satu negara modern di Asia Tenggara. Banyak yang berpendapat bahwa seluruh kemajuan Hong Kong sebenarnya dibangun sejak negara-pulau ini berada di bawah kolonisasi Inggris. Hong Kong diserahkan kepada Inggris setelah Perang Opium pada abad ke-19. Dalam Konvensi Peking tahun 1860 setelah Perang Opium Kedua, Semenanjung Kowloon dan Stonecutter’s Island diserahkan kepada Inggris sedangkan New Territories, termasuk Pulau Lantau, disewakan pada Inggris untuk 99 tahun sejak 1 Juli 1898 dan berakhir 30 Juni 1997. Di bawah kebijakan Satu Negara Dua Sistem ciptaan Deng Xiaoping, Hong Kong menikmati otonomi dari pemerintah RRC seperti pada sistem hukum, mata uang, bea cukai, imigrasi, peraturan jalan yang tetap di jalur kiri. Urusan yang ditangani oleh Beijing adalah pertahanan nasional dan hubungan diplomatik. Otonomi ini berlaku di Hong Kong (minimal) untuk 50 tahun dihitung sejak tahun 1997.

Dengan otonomi tersebut Hong Kong tetap mempertahankan pamornya sebagai wilayah bisnis terpenting di Asia bahkan di dunia. Kondisi itu pula yang tak terhindarkan telah menarik ribuan para pencari kerja untuk mengadu nasib di sini. Perjalanan saya mengunjungi beberapa kota memperkuat kesan tersebut. Pada akhir pekan, beberapa tempat umum, terutama taman kota, penuh sesak oleh ratusan perempuan “tenaga kerja” dari Indonesia, Filipina, Pakistan, dan lain-lain. Mereka menggunakan kesempatan akhir pekan untuk saling bertemu dan bercengkerama. Menurut aturan tenaga kerja Hong Kong, setiap tenaga kerja (pembantu rumah tangga) harus mendapat libur mingguan dari para majikannya. Oleh karena itu, mereka memanfaatkannya dengan keluar seharian dari rumah majikannya. Bisa saja mereka memanfaatkan waktu libur di rumah tetapi selalu saja terjadi mereka tidak sepenuhnya menikmati “libur”. Taman kota Victoria di jantung Central Hong Kong benar-benar menjadi sebuah ruang pertemuan para pembantu rumah tangga dari berbagai negara ini. Saya sendiri tidak merasa sedang berada di suatu negara asing. Seolah-olah saya sedang berada di tengah kerumunan massa di salah satu kota atau desa di Jawa Timur.

Soal penampilan? Ah, jangan anda membayangkan mereka seperti gambaran umum tentang pembantu rumah tangga di Indonesia. Penampilan mereka tak kalah trendy dengan remaja-remaja Hong Kong, lengkap dengan gadget android di tangan dan earphone. Ada yang berjilbab, banyak pula yang mengaku selama di Hong Kong tak suka berjilbab karena ingin “bebas” mengekspresikan jiwa muda mereka mengikuti mode busana di salah satu pusat dunia ini. Kefasihan mereka berbicara mandarin pun tak perlu diragukan. Apakah mereka kursus? Nyaris tak ada yang mengenal bahasa mandarin melalui kursus. Mereka mempelajarinya secara otodidak dari majikan atau anak majikan mereka. Topik percakapan pun bervariasi, mulai dari soal anak majikan yang bandel, kerjaan yang seabreg, mode busana, pasangan hidup, sampai soal kirim uang untuk orang tua di desa atau untuk sekolah anak/keponakan di kampung.

Saya sungguh kagum dengan perempuan-perempuan muda ini. Sebagian besar mereka hanya lulusan SMP dan SMA, tapi keberanian dan ketangguhan mereka meladeni tantangan hidup berkelas “guru besar”. Mereka tidak belajar bahasa mandarin lewat kursus-kursus formal tapi pengalaman komunikasi aktif dengan masyarakat setempat, terutama majikan mereka. Mereka mampu beradaptasi dengan gaya hidup, pola konsumsi, dan cara pikir sosial masyarakat setempat hanya melalui keinginan besar untuk berhasil di tanah orang. Berani dan berpengalaman, itu yang penting; ijazah pendidikan formal tak terlalu dirisaukan. Di lingkungan sosial Hong Kong, mereka seolah-olah menemukan cara menjadi diri mereka sendiri tanpa harus berada di bawah kontrol patron “orang-tua”. Kalau mau berjilbab, ya mereka pakai; kalau lagi tak ingin, ya tak berjilbab. Semuanya dilakukan karena mereka “ingin melakukannya” dan bukan karena “keinginan orang-tua” atau siapapun.

Saya jadi malu sendiri menyaksikan keberanian dan ketangguhan mereka. Belum lagi mendengar cerita mereka yang kurang beruntung karena mendapatkan perlakuan kasar dari majikannya atau yang ditelantarkan oleh agen-agen penyalur tenaga kerja, baik di dalam negeri mereka maupun di Hong Kong. Perempuan-perempuan muda tangguh yang telah memberi saya pelajaran berharga bagaimana bertarung dengan kerasnya hidup dan menjadikan pengalaman sebagai media untuk mengembangkan wawasan dan masa depannya. Ketika ditanya apakah ingin tinggal di Hong Kong untuk seterusnya atau pulang ke desanya di Indonesia, spontan mereka menjawab: “Wah, yo pulang pak. La wong saya ini wong ndeso kok.” Dalam hati saya berujar: “Kalian memang orang ndesoglobal.”

Central Hong Kong, 2 Juli 2013
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces