Aku menulis maka aku belajar

Friday, July 29, 2011

Analisis Sosial dan Refleksi Teologis

Gereja pada hakikatnya memiliki dua pengertian. Pertama, sebagai persekutuan orang beriman yang menjalani aktivitas hidupnya di atas landasan tradisi iman dan keyakinan personal kepada Tuhan. Kedua, sebagai suatu organisasi yang mencoba menerjemahkan keyakinan personal itu melalui pelayanan-pelayanan sosial kemanusiaan. Kedua pengertian melekat pada identitas gereja ibarat dua sisi dari sekeping koin.

Dalam pengertian itu gereja menampakkan wujudnya secara teologis sekaligus sosiologis. Ekspresi imannya tertuju pada pembentukan spiritualitas yang diresapi dan dihayati sebagai perwujudan relasi dengan Tuhan, yang turut membentuk cara berpikir dan gaya hidupnya di atas landasan nilai-nilai positif dan ideal. Sekaligus pula apa yang teologis itu hanya bisa tampak melalui tindakan-tindakan sosial (relasi dengan manusia) dan ekologis (relasi dengan lingkungan hidup). Dengan demikian, gereja hanya bisa berfungsi ketika yang teologis itu terwujudkan dalam institusi-institusi dan tindakan-tindakan sosial. Tanpa itu gereja tidak bisa disebut gereja, tetapi hanya sebuah institusi sosial biasa.

Oleh karena itu, makna “menggereja” akan terpahami justru ketika gereja itu melibatkan diri sepenuhnya dalam pergulatan-pergulatan masalah sosial karena gereja memang adalah bagian dari realitas sosialnya. Tetapi respons gereja terhadap masalah-masalah sosial itu lahir melalui sebuah proses perjumpaan antara dimensi imannya dan pengenalan situasi problematik di mana gereja terlibat di dalamnya. Proses perjumpaan itu berlangsung secara dialektis antara aksi [sosial] dan refleksi [iman]. Dengan demikian, respons gereja terhadap masalah-masalah sosial bukanlah sebentuk sikap reaktif, melainkan sikap reflektif dan praksis yang hanya bisa terwujud melalui metode analisis sosial.

Analisis sosial (ansos) adalah sebuah metode dan instrumen yang membantu gereja makin memahami identitasnya dan tanggung jawabnya di tengah kecamuk masalah-masalah sosial sekitarannya. Melalui ansos gereja berupaya memetakan realitas sosialnya yang dirasakan memengaruhi pemahaman imannya (positif dan negatif), dan melanjutkannya pada penyusunan rencana strategis untuk mengantisipasi dan mengatasi masalah-masalah tersebut. Rencana strategis pelayanan gereja berhadapan dengan kompleksitas masalah-masalah sosial sekitarannya itu pada hakikatnya merupakan bagian dari cara gereja menghayati imannya secara praksis. Dalam arti itu, iman gereja menjadi iman praksis, bukan sekadar iman ritualistik. Dengannya pula spiritualitas gereja terbangun secara kreatif dan dinamis di dalam ruang-ruang publik sehingga gereja menjadi bagian dari pergumulan masalah publik.

Melalui ansos gereja mencoba untuk pertama-tama mengenali masalah. Yang dimaksud masalah di sini adalah masalah-masalah sosial yang memengaruhi dan menentukan arah pengembangan pelayanan gereja secara kontekstual. Gereja berkepentingan menggunakan ansos dalam rangka menentukan tindakan-tindakan pastoralnya terhadap situasi problematik internal yang memiliki pertautan dengan dinamika sosial-budaya-ekonomi masyarakat.

Ada empat momen pengalaman dalam ansos: [1] momen pemetaan masalah; [2] momen analisis sosial; [3] momen refleksi teologis; [4] momen perencanaan pastoral. Uraian mengenai empat momen pengalaman ini telah diulas panjang lebar dalam banyak tulisan dan buku. Salah satu buku yang bisa dijadikan rujukan adalah karya Joe Holland, Analisis Sosial dan Reflesi Teologis (terbitan Kanisius Yogyakarta). Saya tidak akan mengulangnya dalam ruang terbatas ini.

Setidaknya dengan menyebutkan empat momen pengalaman dalam ansos itu kita menemukan bahwa “refleksi teologis” dan “perencanaan pastoral” tidak semata-mata dibangun di atas imajinasi religius berdasarkan tafsir kitab suci (Alkitab). Jika hanya sebatas itu maka teologi hanya menjadi sebuah wacana tanpa ruang dan waktu. Sementara yang ingin dicapai melalui ansos adalah teologi kehidupan, yang memiliki ruang dan waktu, merembes dalam setiap geliat kehidupan konkret manusia dalam masyarakat dan situasi hidupnya. Dengan jalan itu gereja merencanakan tindakan pastoral (pastor = gembala) dalam arti bahwa tiap langkah gereja adalah langkah yang membawa jemaat dan masyarakat merumuskan masalahnya dan menentukan apa yang menjadi kebutuhannya sebagai proses pemberdayaan diri menjadi gereja yang hidup dan manusiawi.

Ansos hanyalah instrumen. Yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kita menggunakan instrumen tersebut dengan tepat seturut dengan visi dan misi menggereja itu sendiri. Ansos bukan segala-galanya, karena yang terlebih utama adalah cara ansos itu memperkuat gereja mencapai tujuan-tujuan menggerejanya secara konkret bersama-sama dengan semua pihak. Jika demikian, ansos juga menjadi acuan bahwa menggereja adalah sebuah proses yang terus bergerak seiring gerak perubahan zaman dan masyarakat. Zaman berubah, masalah pun makin kompleks, dan karenanya perencanaan pastoral pun mesti menggeliat secara kontekstual. Itulah spiritualitas Kristen sejati.


Read more ...

Wednesday, July 20, 2011

Coretan Ringkas Sosialisasi PIP/RIPP GPM se-Klasis Pulau Ambon

Banyak pengalaman menarik dan menantang selama kurang lebih 2 minggu terlibat dalam program sosialisasi PIP/RIPP GPM di jemaat-jemaat se-Klasis Pulau Ambon. Selain mendengar langsung berbagai gumulan jemaat dalam diskusi-diskusi, tetapi juga beta mendapat pengalaman berharga untuk melihat keberadaan jemaat-jemaat secara langsung melalui pengamatan pribadi.


Percakapan langsung dengan jemaat-jemaat yang memiliki tingkat pemahaman yang variatif memberikan tantangan tersendiri mengenai metode menyampaikan muatan PIP/RIPP secara lebih gamblang dan sederhana. Ternyata itu tidak mudah. Apalagi selama ini beta pung aktivitas lebih banyak berkaitan dengan proses pembelajaran di kampus yang memiliki audiensi lebih homogen (mahasiswa). Tetapi toh dalam proses itu beta belajar banyak dari jemaat-jemaat terutama dalam upaya memasuki alam pikir mereka cukup kompleks. Kompleksitas pemikiran jemaat-jemaat terutama - menurut beta - sangat kuat dibingkai oleh interpenetrasi pengetahuan sehari-hari dan refleksi iman sehari-hari dalam ruang-ruang kehidupan mereka (pekerjaan, keluarga, pelayanan, pendidikan, dll). Itulah yang menyebabkan perlu energi ekstra untuk memasuki ranah realitas maupun diskursus kejemaatan. Tentu saja jika ingin tetap konsisten pada pendekatan yang partisipatif, bukan otoritatif.


Akan lebih mudah memang menerapkan pendekatan otoritatif ketimbang partisipatif. Pendekatan partisipatif itu sangat melelahkan dan menguras energi. Sementara pendekatan otoritatif lebih dirasakan mudah dan tidak merepotkan karena lebih berdaya "fatwaisme": ini boleh itu tidak boleh! Justru di situlah perjalanan menyinggahi jemaat-jemaat se-Klasis Pulau Ambon ini makin menarik untuk dicermati.


Kenapa pendekatan partisipatif dan otoritatif perlu disentil di sini? Sebab ternyata bahwa karakteristik jemaat-jemaat (Klasis Pulau Ambon) makin menampakkan karakteristik transisional. Tidak bisa lagi dipetakan secara rigid sebagai jemaat pedesaan dan/atau jemaat perkotaan. Dinamika sosial jemaat juga sangat kuat dipengaruhi intensitas perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat. Ini membuat tingkat persoalan jemaat makin rumit dan tentu saja tidak bisa disederhanakan dalam sebuah pemahaman umum belaka. Seorang penatua di salah satu jemaat bertanya, "Bapa pandita, apakah seng ada isu laeng yg diungkap dan dianalisis dalam khotbah2 minggu selain soal narkoba, selingkuh, dan cerai? Memang betul masalah-masalah itu ada tapi kenapa pendeta-pendeta cuma ulang paleu deng akang padahal ada masalah laeng yg dihadapi jemaat yang perlu juga direfleksikan melalui mimbar?"


Sebuah pertanyaan sederhana tapi cukup menyentak, yang membuat beta juga bertanya: Apakah memang tingkat penguasaan kita para pendeta terhadap pemetaan masalah kejemaatan hanya sejauh yg diungkapkan oleh sang penatua itu? Atau, perlukah kita membeberkan semua masalah dalam khotbah berdurasi 15 menit? Atau, apakah memang sudah diperlukan sebuah proses "pendidikan teologi jemaat" (PTJ) yang dirancang secara sistematis sehingga menjadi salah satu mekanisme pembelajaran bagi seluruh perangkat pelayan GPM dalam mencermati dan memahami peta pelayanan secara lebih utuh?


Sorry, coretan ringkas ini harus berakhir dengan pertanyaan...

Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces