Aku menulis maka aku belajar

Friday, September 26, 2008

Idul Fitri bagi Seorang Kristen

“Tiap-tiap tahun orang tua Yesus pergi ke Yerusalem pada hari raya Paskah.” Kalimat tersebut tertera dalam Injil Lukas 2:41. Yesus adalah seorang Yahudi dan sejak kecil dibesarkan dalam tradisi budaya dan spiritual Yahudi. Bersama dengan komunitas Yahudi dan juga kedua orangtuanya, Yesus mengenal dan menjalani tradisi-tradisi tersebut. Dalam banyak bagian Injil Yesus digambarkan sebagai seorang pemuda Yahudi yang sangat menghayati keyahudiannya. Ia tidak mengelak, apalagi menolak, identitas keyahudiannya. Konsep-konsep pengajarannya pun sebagian besar bersumber dari ajaran-ajaran Yahudi yang dipelajarinya sejak masih kecil.

Meskipun Yesus tidak pernah menyangkal keyahudiannya, namun ia juga tidak menerima begitu saja setiap ajaran Yahudi. Yesus selalu kritis terhadap ajaran-ajaran Yahudi yang dibacanya atau disampaikan kepadanya. Dalam perikop Injil yang sama, Yesus digambarkan sebagai ABG Yahudi yang kritis dan cerdas, yang tidak menelan mentah-mentah ajaran agama yang disampaikan oleh para ahli-ahli Taurat. Lalu digambarkan bahwa si ABG Yesus berdebat dengan mereka. Pada bagian lain Injil, juga dinarasikan bahwa Yesus dengan berani menantang hukum Sabat – yang melarang orang bekerja pada hari Sabat. Sementara murid-muridnya kedapatan memetik gandum. Bagi para ahli Taurat, ini merupakan pelecehan tradisi agama. Tetapi Yesus justru menantang mereka dengan mempertanyakan “hukum untuk manusia atau manusia untuk hukum?” Yesus, si orang Yahudi itu, bukan hanya mereinterpretasi religiositas Yahudi tetapi mendekonstruksinya sedemikian rupa sehingga keberagamaan terkelupas dari cangkang simbolismenya dan manusia menemukan inti atau roh dari keberagamaan itu.

Dalam sejarah lahirnya kekristenan dan juga benturan teologis dengan Yudaisme klasik, aspek-aspek keyahudian sering ditenggelamkan atau bahkan dibelokkan seolah-olah menjadi “penolakan” Yesus terhadap keyahudiannya. Keseolah-olahan ini dalam sejarah pemikiran Kristen menggumpal dalam spirit anti-semitisme yang kemudian melahirkan kebengisan yang melukai sejarah peradaban manusia modern dengan pembantaian jutaan Yahudi diaspora di benua Eropa. Sebuah kesalahkaprahan yang fatal dalam melakukan interpretasi terhadap dekonstruksi Yesus terhadap tradisi Yahudi. Dekonstruksi disamakan begitu saja dengan destruksi atau penghancuran. Padahal Yesus pernah berkata, “Aku datang bukan untuk menghapus hukum Taurat, melainkan untuk menggenapinya.” Kalau Yesus mendekonstruksi tradisi keberagamaan Yahudi, ia sama sekali tidak bermaksud menegasi atau menghancurkannya; Yesus justru mempelajarinya dan melakukan reinterpretasi kritis atasnya sehingga hukum-hukum agama itu mengalirkan nilai-nilai kehidupan yang relevan dengan tuntutan zaman. Agama tidak lagi menjadi seperangkat hukum yang memberangus kegembiraan manusia menghidupi ruang dan waktunya di dunia. Sebaliknya, agama mengalirkan kualitas-kualitas positif dalam diri manusia yang memampukannya menghayati kehidupan sebagai arena bermain (playing ground) bersama seluruh umat manusia. Itulah yang hendak dikupas oleh Yesus.

Beberapa hari lagi saudara-saudara kita yang beragama Islam akan merayakan “hari kemenangan”. Suatu momentum kemenangan dari dorongan-dorongan dalam diri sendiri yang dijalani dengan berpuasa. Momentum kemenangan spiritual ini tidak hendak dirayakan sendiri. Karena ini adalah kemenangan bersama maka juga harus dirayakan bersama. Ada tradisi peziarahan yang cukup unik di Indonesia, yang disebut “mudik Lebaran”. Para perantauan yang bekerja atau belajar di kota-kota besar akan pulang ke kampung halaman mereka untuk merayakan hari raya Idul Fitri bersama orangtua dan kerabat.

Relasi-relasi kemanusiaan yang rusak karena dorongan-dorongan nafsu diri, dilawan dengan meditasi puasa yang dimaknai sebagai jihad untuk menemukan hakikat atau fitrah kemanusiaan. Titik balik mencapai fitrah itu kemudian hanya bermakna ketika dihayati dalam suasana kekeluargaan atau kebersamaan. Di situ terkandung pesan bahwa pembaruan batin hanya bermakna ketika terimplementasi dalam hubungan-hubungan sosial yang dipulihkan. Maka momentum fitrah itu pula menjadi momentum saling memaafkan. Memaafkan tentu saja tidak identik dengan melupakan kesalahan orang lain. Memaafkan justru melampauinya. Memaafkan adalah keberanian untuk mengakui kesalahan diri dan kesalahan orang lain, menjadikannya sebagai sejarah pengalaman hidup, untuk menguji konsistensi fitrah ilahi dalam diri maupun komunitas. Dalam arti itu, pemaafan yang tulus tidak memberi ruang bagi kemunafikan. Memaafkan orang lain atas kesalahan yang mereka lakukan adalah menerima kemanusiaan orang lain, sebagaimana kita menerima kemanusiaan diri sendiri. Memaafkan adalah membuka kedua tangan untuk merangkul orang lain dengan seluruh keberlainan mereka – agama, suku, budaya, dll. Karena dalam Idul Fitri manusia saling berjumpa dan berdialog sebagai manusia, yang telanjang dan fitri di hadapan kebesaran Tuhan yang maha rahmani dan maha mengampuni.

Dalam perenungan semacam itulah, saya kemudian makin menghayati perkataan Yesus dalam khotbahnya di bukit: “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” dan juga doa yang pernah diajarkannya kepada murid-muridnya: “dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami”. Tidakkah ini menjadi sebuah realisme kasih yang universal? Selamat Idul Fitri, saudaraku!
Read more ...

Thursday, September 25, 2008

Perempuan

Sudah lama kasus penyiksaan terhadap perempuan-perempuan Indonesia yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri disoroti oleh media nasional maupun internasional. Namun rasanya seluruh kasus dan derita korban penyiksaan dan/atau pemerkosaan seperti bergema di ruang hampa. Benarkah masyarakat kita sudah kehilangan kepekaan terhadap nasib anak-anak bangsanya sendiri? Rasanya tidak juga. Lihat saja bagaimana dalam banyak peristiwa yang terjadi belakangan ini ternyata mengundang beraneka ragam reaksi dan protes baik yang dilakukan secara persuasif maupun dengan aksi demonstrasi massal. Gencarnya pemberitaan media terhadap gelombang protes dan demonstrasi pro-kontra mengenai suatu peristiwa nasional/internasional serta implementasi kebijakan pemerintah, itu saja sudah menjadi indikator empiris bahwa masyarakat kita bukannya tidak peka.

Tetapi mengapa begitu sampai pada isu perempuan yang menjadi babu di tanah orang, lalu mengalami penindasan dan pemerkosaan, seolah-olah hanya sebuah berita biasa. Sangat berbeda dengan sikap dan militansi perlawanan kita terhadap isu “Palestina” atau “korupsi”. Bukan berarti itu tidak penting. Tetapi sungguh bebal jika kita melayangkan pandangan kita dan berkoar-koar meneriakkan keadilan dan kemanusiaan terhadap sesuatu yang jauh di sana; sementara pada saat yang sama kita juga menyadari bahwa kehidupan dan kemanusiaan perempuan-perempuan Indonesia – mungkin ibu kita, mungkin saudara perempuan kita, mungkin istri kita – dicabik-cabik oleh angkara syahwat para majikan sontoloyo di negara-negara lain. Jangan bicara keadilan, jangan bicara agama, jangan bicara kesejahteraan, jangan bicara martabat bangsa. Semua itu hanya uap mulut yang berbau busuk karena bangsa lain tetap akan melihat kita sebagai “kacung” dan “babu” yang bisanya menghibur diri dengan kemolekan kampungan tetapi tetap mau diinjak-injak menjadi keset bangsa lain. Martabat bangsa kita sesungguhnya tidaklah terletak pada diplomasi licin para elite politik, atau pesona basi para pejabat negara, atau debat palsu undang-undang negara yang sarat manipulasi kepentingan jabatan dan uang. Martabat bangsa kita ini sesungguhnya terletak pada kaum tangguh dan rentan yang kita panggil “perempuan”.

Saya teringat cerita dalam Injil Yohanes 4:1-42 tentang percakapan Yesus dengan perempuan Samaria. Sebuah perikop yang cukup panjang, yang menarasikan dialog Yesus dan perempuan itu. Perempuan itu tak bernama. Identitasnya hanya ditentukan oleh representasi lokalitasnya – Samaria. Sungguh ironis, bahkan dalam Injil-injil pun, banyak perempuan yang tak bernama. Padahal mereka sering disebutkan sebagai orang-orang tangguh yang beriman cadas. Panjangnya dialog mereka menandakan bahwa perempuan ini mampu merespons setiap pernyataan Yesus. Sehingga perjumpaan yang semula hanya diawali oleh permintaan Yesus meminta air, menjadi sebuah percakapan eksistensial yang membawa pada suatu transformasi kehidupan.

Yesus meminta air dari perempuan itu. Perempuan itu malah menanggapi dengan suatu pertanyaan sinis, “Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?” Kesinisan itu sebenarnya merupakan sebuah pukulan telak bagi Yesus sebagai seorang Yahudi. Sudah tentu Yesus tidak menyangka akan ditanggapi seperti itu, tetapi yang pasti Yesus juga memahami psikologi perempuan itu yang terbentuk dalam lingkungan sosial saat itu. Perempuan itu seolah-olah mengolok Yesus, “Katanya kalian orang Yahudi itu orang-orang suci, tapi kok masih mau meminta sesuatu dari kami yang najis dan kafir ini?” Perempuan itu menelanjangi kepongahan sosial dan spiritual kaum Yahudi yang selama ini menjadi pagar segregasi sosial yang utama antara Yahudi dan Samaria. Dan pagar segregasi sosial itu dibangun di atas pondasi religiositas yang angkuh.

Sebagai orang Yahudi, Yesus pun terhisab dalam struktur kesadaran budaya yang membingkai identitasnya. Jelas dalam ucapannya, “…sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi.” Yesus menyadari bahwa keyakinannya sangat dipengaruhi oleh pemikiran dan tradisi iman Yahudi. Tetapi Ia ternyata tidak berhenti pada keyakinan tradisi keyahudiannya. Yesus hendak melampaui identitas keyahudiannya dengan mengatakan, “Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian.” Ungkapan “menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran” merupakan suatu pernyataan yang revolusioner, yang menantang keyakinan Yahudi sendiri yang selama ini terbelenggu oleh religiositas yang simbolistik dan ritualistik. Agama [Yahudi] saat itu sudah menjadi agama hukum yang nyaris menegasi kemerdekaan manusia untuk menjalani hidup dalam hakikat kerohaniannya (spiritualitas). Manusia kehilangan kemerdekaan memaknai hidup dan relasinya dengan Sang Tuhan, karena di sepanjang jalan kehidupannya ada begitu banyak rambu-rambu keagamaan yang membuat manusia tidak mampu menikmati hidupnya sendiri dan melihat ke depan, ke tujuan, di mana ia mengorientasikan jalan hidupnya.

Orientasi legalistik dalam kehidupan beragama [Yahudi] kemudian dibalik menjadi orientasi kehidupan kemanusiaan itu sendiri. Itulah yang dialami oleh perempuan Samaria itu selama percakapannya dengan Yesus. Perempuan itu bersaksi (ayat 39), “Ia mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat.” Yesus memusatkan seluruh percakapannya dengan perempuan itu pada “hidup” sang perempuan. Tanpa menghakimi, tanpa menudingnya sebagai “najis” (karena perempuan itu hidup bersama laki-laki yang bukan suaminya). Percakapan mereka menjadi suatu dialog kehidupan yang membawa transformasi pada kedua belah pihak: baik Yesus maupun perempuan itu. Pengalaman perempuan itu menjadi titik tolak dari proses transformasi kehidupan perempuan itu maupun masyarakatnya. Kejujurannya menjadi kekuatan untuk menerima hidupnya dan kehadiran orang lain sebagai bagian dari memberi makna pada keperempuanannya. Ia menjadi seorang manusia perempuan yang merdeka – “bersaksi” yang berarti menyatakan bahwa ia mampu mengatakan kebenaran yang mencerahkan dirinya, kepada orang lain.

Dalam konteks itu, perempuan Samaria itu benar-benar menjadi mitra dialog. Ia tidak perlu menjadi “Yahudi”; ia tidak perlu bersikap kelaki-lakian agar dapat bercakap-cakap dengan Yesus; ia tidak perlu garang membela diri kendati ia cerdas berdebat dengan Yesus; ia tidak mengingkari realitas keperempuanannya dan seluruh keberadaannya malah mengakuinya secara tulus. Ia menjadi perempuan yang perempuan, yang mendialogkan kehidupan dengan Yesus – yang laki-laki dan Yahudi – secara jujur tanpa selubung kemunafikan. Perempuan Samaria itu, dengan segala keberadaan dirinya, telah menjadi kekuatan transformatif bagi masyarakatnya.

Perempuan-perempuan Indonesia yang menjadi babu di tanah orang, bukanlah manusia-manusia lemah-cengeng seperti para tikus-tikus di senayan yang bisanya hanya merengek-rengek minta segala fasilitas negara; atau yang hanya lincah berkelit dalam debat kusir atas nama rakyat. Perempuan-perempuan itu mengangkat nama bangsa kita walau hidup mereka tercabik-cabik, tubuh mereka terkoyak. Tak perlu menggelari mereka sebagai “pahlawan devisa negara”, suatu eufemisme yang lacur. Mereka tak ingin menjadi pahlawan, mereka hanya ingin menjadi perempuan yang dihormati sebagai perempuan, dalam kebertubuhan mereka dan dalam spiritualitas mereka.

Seperti perempuan Samaria di atas, para perempuan inilah yang sebenarnya menggiring seluruh proses transformasi keindonesiaan kita masa kini. Nasionalisme ala Soekarno makin memudar, jatidiri bangsa ala Soeharto makin terkikis, martabat bangsa ala Gus Dur, Megawati, dan SBY, makin meleleh oleh kobaran liar kapitalisme. Namun toh perempuan-perempuan babu ini, merekalah “korban” (victims) dari sekaligus “kurban” (sacrifice) bagi peradaban bangsa kita. Bukankah harus kita akui bahwa peradaban bangsa kita sebenarnya dibangun oleh babu-babu perempuan, sejak zaman kolonialisme hingga zaman yang – katanya – merdeka ini. Bisakah kita mengelak bahwa suatu ketika generasi “bening” Indonesia masa depan dengan wajah-wajah asing, hidung mancung, kulit putih, tinggi badan di atas rata-rata, yang kelak akan dipuja-puja sebagai selebritas akan mengakui bahwa “ibuku seorang babu, yang diperkosa oleh majikannya”?
Read more ...

Thursday, September 18, 2008

Puasa dan Razia

Sudah hampir setengah bulan saudara-saudara kita yang beragama Islam menjalani ibadah puasa. Saya mengucapkan selamat beribadah puasa! Sudah pasti dalam menjalani ibadah puasa ini ada banyak hikmah yang dapat dipetik, dan juga tak kurang tantangan serta godaan yang menggelitik agar kita tidak setia pada komitmen beribadah itu.

Sebagai saudara sebangsa saya turut merasakan betapa dalamnya makna "menahan diri" atau berpuasa ketika dijalankan dengan sungguh-sungguh. Saya harus mengakui bahwa saya pribadi tidak mampu menjalankannya. Jujur saja. Itu bukan karena dalam agama yang saya imani tidak mempunyai tradisi berpuasa, melainkan berpuasa pada hakikatnya bukanlah berhenti pada tataran makna praktis, yaitu menahan lapar dan haus, melainkan menembus jantung eksistensi kemanusiaan - mengelola dorongan-dorongan batiniah agar menemukan kembali fitrah kemanusiaan terdalam sebagai insan ciptaan Tuhan.

Tradisi gereja, sebagai pengejawantahan tafsir ajaran kristiani, memang memahami puasa dalam berbagai corak pandangan dan sikap. Hanya dalam praktik secara komunal, kekristenan tidak memasukkan aktivitas berpuasa sebagai salah satu sakramen dalam ajarannya. Berpuasa lebih dilihat sebagai aktivitas meditasi personal dari orang-orang yang melatih diri untuk mengelola dorongan-dorongan batiniah yang cenderung tak terkendalikan.

Di dalam Alkitab sendiri disebutkan secara eksplisit bahwa sebelum memulai pelayanan kemanusiaan-Nya Yesus menjalani suatu masa pencobaan di mana Ia berpuasa penuh selama 40 hari. Selama masa 40 hari itu Yesus tidak hanya berpuasa, tetapi juga mengalami tekanan-tekanan batin yang muncul sebagai konsekuensi menurunnya stamina tubuh. Kondisi itu kemudian diproyeksikan sebagai saat-saat di mana Yesus harus berhadapan dengan tawaran dan/atau godaan sang iblis. Tawaran kenikmatan sang iblis sungguh berat karena langsung menohok pada kebutuhan utama yang diperlukan dalam stamina tubuh yang menurun. Tetapi justru kemampuan untuk menghadapi dan mengendalikan godaan itulah yang menjadi kekuatan dari proses berpuasa itu sendiri.

Berpuasa, menurut saya, juga adalah kemampuan untuk melihat apa yang dibutuhkan oleh orang lain melampaui apa yang dibutuhkan diri sendiri. Oleh karena itu, sejauh yang saya tahu, dalam berpuasa saudara-saudara yang Muslim diminta untuk memperbanyak amal-soleh dan memberikan zakat kepada orang-orang miskin. Ini merupakan suatu ibadah yang sempurna. Karena pengekangan diri pribadi berimplikasi langsung pada pemberian diri kepada orang lain.

Saya tidak ingin terlalu banyak membahas masalah teologis dalam ibadah puasa. Keprihatinan saya justru terletak pada maraknya tindakan razia yang dilakukan oleh aparat pemerintah (polisi dan satpol-pp) terhadap sekelompok masyarakat yang dilihat sebagai "penyakit masyarakat". Saya justru melihat kesucian bulan puasa harus ditempatkan sebagai proses menempa diri dan menjernihkan motivasi-motivasi pribadi agar tidak terperangkap dalam dorongan mencari kepuasan yang semu. Dan semua itu harus dilakukan dalam suatu konteks sosial yang riel. Bulan puasa adalah bulan yang suci. Kesucian itu tidak bisa dilihat sebagai pemberangusan segala hal yang dianggap kotor dan najis - seperti pelacuran dan minuman keras - belaka. Kesucian itu justru harus mengejawantah dalam pencurahan cinta-kasih sebagai sesama manusia. Pelacuran dan minuman keras (dan juga beberapa aktivitas lain yang dianggap kotor) mesti dipahami sebagai ekses dari ketidakmampuan kita sebagai manusia mengelola kehidupan bersama secara adil dan arif. Itu bukan penyebab yang mengotori bulan puasa ini.

Dalam pemahaman saya, pergelutan iman dengan berpuasa merupakan suatu panggilan beribadah bagi setiap orang (bukan hanya kaum Muslim) untuk menjalani kehidupan bersama secara adil. Berpuasa merupakan suatu kekuatan untuk melawan apa yang tidak boleh kita ambil karena bukan hak kita. Berpuasa merupakan suatu motivasi untuk melihat keberadaan sesama kita secara utuh dan memahami kebutuhan hidup mereka dengan suatu sikap empatik yang mendalam.

Razia justru membuka ruang yang sangat besar bagi kita untuk melakukan penindasan dan ketidakadilan kepada orang lain atas nama "kebenaran" kita sendiri. Padahal hakikat berpuasa (termasuk dalam pemahaman iman kristiani saya) adalah kemampuan untuk hidup dengan kerendahan hati dan membangun kehidupan bersama secara utuh. Berpuasa adalah mengekang keinginan diri untuk merangkul dan menopang orang lain.

Dalam konteks itulah saya melihat kita perlu dengan jernih memahami bahwa razia PSK atau pengemis atau minuman keras, bukanlah jawaban yang mampu menjaga kesucian bulan puasa ini. Justru sebaliknya, pemahaman yang jernih dan penerimaan realitas hidup bersama yang rumit dan penuh carut-marut masalah dalam kehidupan berbangsa kita ini akan melahirkan suatu sikap yang dewasa dalam memahami kehidupan orang lain. Kita mengekang hawa nafsu amarah kita, dan melihat dengan tenang setiap masalah yang dihadapi oleh saudara-saudara kita yang lain. Dengan ketenangan puasa, saya yakin kita bisa menjaga kesucian berpuasa. Bukan dengan razia, tetapi dengan bela-rasa (compassion) kepada mereka yang terperangkap dalam hawa nafsu atau kondisi yang sebenarnya tidak mereka inginkan.

Dengan mengatakan itu, bukan berarti saya mendukung aksi-aksi mabuk-mabukan atau yang mengganggu ketertiban hidup bersama. Tetapi justru saya sedang menghayati puasa dan merasa bahwa hakikat puasa justru makin diteguhkan ketika berhadapan dengan godaan dan tantangan.

Selamat berpuasa, saudaraku!

Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces