Aku menulis maka aku belajar

Monday, June 6, 2011

Antara Waipirit-Kamal


Sudah hampir 3 minggu ini saya bolak-balik Ambon-Kamal. Kamal adalah salah satu negeri di Kecamatan Kairatu Timur Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB). Di negeri ini terdapat lahan seluas sekitar 3 hektar yang oleh Fakultas Teologi UKIM dijadikan sebagai lokasi pelatihan dengan nama Laboratorium Sosial dan Pengalaman Berteologi (LSPB). Para mahasiswa fakultas teologi semester akhir akan menjalani proses pelatihan dan pematangan selama 2 bulan di situ. Semester ini saya termasuk dalam tim pengelola, dan itulah yang mengharuskan saya bolak-balik terus. Harusnya memang tinggal untuk beberapa minggu, tapi karena anak saya sendiri maka saya tidak bisa meninggalkan dia berhari-hari atau berminggu-minggu. Untunglah, teman saya, Pdt. George Likumahwa, berbaik hati meminjamkan salah satu sepeda motornya untuk saya pakai sehingga tak perlu repot memikirkan transportasi Ambon-Kamal-Ambon.

Intensitas bolak-balik yang cukup sering membuat saya hafal tiap tikungan dan nama-nama negeri yang saya lewati sejak "tinggal landas" dari dermaga penyeberangan feri Waipirit. Cukup lama saya tidak melewati jalan ini sejak menjalani program LSPB pada tahun 1994. Ingatan saya kembali disegarkan. Memang tidak banyak yang berubah sejak puluhan tahun silam. Begitulah kenyataannya dinamika pembangunan di Pulau Seram. Berjalan lambat, bahkan nyaris tak bergerak. Hanya jalan trans-Seram yang makin mulus di-hotmix. Tapi dua jembatan dekat negeri Nuruwe dan perbatasan masuk negeri Kamal sampai sekarang masih tetap memakai landasan kayu kendati kerangkanya sudah besi. Sementara jembatan di Waihatu sudah dalam konstruksi permanen dengan landasan aspal.

Melewati setiap negeri sepanjang perjalanan dari Waipirit ke Kamal masih mengorek memori saya beberapa tahun silam. Tidak banyak perubahan yang terjadi. Yang cukup mencolok hanyalah adanya pangkalan-pangkalan ojek hampir di setiap negeri. Rupanya terjadi pergeseran minat anak-anak muda Seram dalam memilih pekerjaan. Mereka tampaknya tidak lagi berminat pada pekerjaan pertanian kendati sebagian masih memiliki tanah garapan di dusun dan kebun. Tampilan mereka pun tak kalah nge-jreng dari anak-anak kota. Apalagi hampir sebagian besar mereka punya sepeda motor dengan berbagai merek mutakhir, yang kalau dilihat harga pasarannya berkisar di atas 10 jutaan. Tak heran, jalur trans-Seram di wilayah ini tak lagi sunyi seperti beberapa tahun silam.

Namun, di balik deretan negeri-negeri itu serta menjamurnya anak-anak muda pengguna sepeda motor keluaran terakhir, ternyata ada kisah-kisah ironis. Dari cerita seorang pemuda saya mendapatkan informasi bahwa ternyata untuk membeli sepeda motor para orang tua menjual tanah-tanah mereka. Itu hanya untuk sepeda motor. Belum lagi untuk kebutuhan anak-anak mereka yang melanjutkan studi (SMA dan universitas) di kota Ambon. Dukungan finansial yang didapat dari hasil pertanian tidak cukup kuat untuk memenuhi tuntutan gaya hidup anak-anak mereka. Oleh karena itu, untuk memperoleh uang dalam jumlah besar dan dalam waktu relatif cepat, tidak ada pilihan selain menjual tanah-tanah mereka.

Pemuda ini dengan lugas menceritakan bahwa sebenarnya tanah-tanah (dusun dan kebun) di belakang negeri-negeri ini bukan lagi milik masyarakat negeri bersangkutan. Malah ada keluarga-keluarga yang sudah tidak lagi memiliki tanah sama sekali. Semuanya habis terjual. Mereka pun hanya bisa menjadi penyewa-penyewa tanah dari para pemilik tanah yang telah membeli tanah-tanah mereka tersebut. Ada pula yang bahkan tidak lagi punya akses memasuki tanah yang dulu milik mereka karena sudah beralih kepemilikan. Kondisi seperti ini, menurut teman pemuda ini, hanya tinggal menunggu waktu saja apakah mereka masih bisa menetap di situ ataukah sedikit demi sedikit makin terusir keluar dari wilayah mukim mereka kini.

Rayuan gaya hidup kota melalui pesona iklan-iklan televisi dan tayangan-tayangan sinetron yang kerap menampilkan gaya hidup selebritas ternyata cukup ampuh mendekonstruksi pola pikir mereka tentang kehidupan komunal di negeri dan juga identifikasi modernitas melalui penyerapan ikon-ikon televisi. Pergeseran juga terjadi dalam pilihan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa verbal dan non-verbal yang mengambil referensi "Jawa" dan/atau "Jakarta". Anak-anak muda ini makin tak paham dengan bahasa-bahasa lokal yang fasih digunakan oleh orang tua mereka. Mereka juga lebih fasih menyebut nama-nama pemain sepakbola di liga-liga internasional daripada menarasikan nama-nama leluhur dan mitos-mitos negeri; atau bahkan menceritakan asal-usul marga (fam) dan mataruma keluarga mereka.

Ini adalah konsekuensi dari perubahan sosial. Sulit untuk membendungnya selagi kita masih menempatkan ikon-ikon modernitas sebatas performa eksternal. Sementara, pada sisi lain, modernitas itu tidak terpahami sebagai proses pencerahan pemikiran yang mesti diperkuat pada basis pendidikan yang paling dasar. Di sini, lagi-lagi, saya melihat bahwa masyarakat kita tetap terbentur pada kapasitas lembaga pendidikan untuk mengintroduksi modernitas sebagai sebentuk pencerahan pemikiran dan penguatan budaya lokal agar tidak makin tergerus habis oleh ikon-ikon semu modernitas yang hanya tercerap melalui media televisi. Kendati sulit juga melepaskan diri dari cengkeraman media yang makin meraja saat ini. Itu bisa dilihat dari antene-antene parabola yang terpasang hampir di tiap rumah. Ideologisasi gaya hidup modern pun merasuk secara subtil dalam kesadaran masyarakat lokal.

Salahkah? Tentu tidak bisa begitu saja kita menjawabnya dalam kategori "salah/benar". Tulisan ini tidak berpretensi pada penilaian ke arah itu. Apa yang ingin dibagi melalui refeksi sederhana ini hanyalah: kemanakah arah perubahan sosial ini disasarkan? Apakah memang sudah menjadi aksioma tak terbantahkan bahwa dalam proses ini masyarakat lokal memang ditakdirkan menjadi korban-korban yang tak berdaya membela diri dan hidupnya sendiri? Apakah kita (termasuk saya) hanya akan terus menonton dan menulis cerita-cerita seperti ini, entah sampai kapan? Kita sedang berada dalam arus perubahan yang tak terbendung. Kita membutuhkan hikmat untuk mencermati perkembangan ini dari waktu ke waktu.

Teringat saya pada cuplikan lirik lagu "antara Anyer dan Jakarta kita jatuh cinta...", tapi rasanya untuk yang ini saya hanya bisa mengatakan "antara Waipirit dan Kamal kita jatuh miskin dan merana..." Saya sendiri tidak tahu apakah tulisan ini masih ada gunanya. Tapi toh saya tak punya pilihan selain terus menulis dan menulis, menyodorkan kepada semua orang di ranah maya ini untuk melihat dan berprihatin terhadap kondisi masyarakat lokal di Maluku. Cuma itu yang bisa saya lakukan. Mungkin Anda punya pilihan lain?
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces