Aku menulis maka aku belajar

Friday, December 29, 2017

SUNYI DALAM KEBISINGAN Catatan Kegiatan Pengabdian Masyarakat Fakultas Teologi UKIM di Jemaat GPM Kayeli

Selama dua hari, Sabtu dan Minggu, tanggal 16 dan 17 Desember 2017, Fakultas Teologi UKIM melaksanakan Program Pengabdian Masyarakat di Jemaat Kayeli, di kawasan perbukitan Eri-Airlouw, Pulau Ambon. Jemaat Kayeli semula tinggal atau berada di Pulau Buru (Utara). Sejak merebaknya konflik Maluku tahun 1999-2005, jemaat ini terpaksa harus mengungsi keluar dari Pulau Buru. Sempat terlunta-lunta untuk beberapa waktu dan tinggal di beberapa wilayah pemukiman yang terpencar-pencar di Pulau Ambon, sebagian besar mereka kemudian mendapat “hibah” lahan tinggal di kawasan Negeri Amahusu.

Hidup sebagai “pengungsi” tentu bukanlah pilihan mereka. Namun, mereka terpaksa menerima kenyataan pahit itu dan berusaha untuk menyesuaikan kehidupan di tempat tinggal yang baru. Tentu saja, semua itu membutuhkan perjuangan yang berat karena interaksi sosial dengan komunitas-komunitas setempat juga tidak selalu berjalan mulus. Sebagai “pengungsi” mereka telah kehilangan segala-galanya: keluarga, tanah, pekerjaan; dan kini mereka tinggal di tanah yang asing bersama-sama dengan komunitas-komunitas setempat yang punya kebiasaan dan kebudayaan yang berbeda – kendati masih dalam satu organisasi keagamaan (gereja). Demikian pula sebaliknya, komunitas-komunitas setempat meskipun awalnya menerima mereka karena rasa iba dan solidaritas persaudaraan, tapi untuk selanjutnya muncul pula ketegangan-ketegangan di antara “orang setempat” dan “pengungsi” tersebut. Beberapa keluarga Kayeli kemudian memilih untuk mencari tempat tinggal yang baru, meninggalkan “barak pengungsi”.

Sejak terusir dari Kayeli di Pulau Buru dan menginjakkan kaki di Pulau Ambon, anggota-anggota Jemaat Kayeli tinggal di beberapa lokasi yang berbeda. Namun, sebagian besar masih bertahan di Kecamatan Nusaniwe: Unit 1 di Negeri Amahusu dan Unit 2 di Eri-Airlouw. Menurut Pdt. Ampy Nahuway, yang telah melayani di jemaat ini selama 8 tahun, jumlah anggota jemaat Kayeli saat ini sebanyak 58 kepala keluarga. Oleh karena dua unit pelayanan tersebut jaraknya jauh maka biasanya pada minggu pertama (PA) dilayani oleh pendeta jemaat dalam bentuk ibadah gabungan unit. Nanti minggu-minggu selanjutnya dilakukan per wilayah mukim. Pdt Ampy Nahuway sendiri tinggal di Halong (timur Pulau Ambon).

Tanah-tanah yang mereka tempati tidak sepenuhnya cuma-cuma. Mereka harus membayar sejumlah uang kepada para pemilik petuanan agar mendapat sertifikat tanahnya. Meskipun demikian tidak semua urusan sertifikasi tanah tersebut berjalan lancar. Selalu saja ada konflik-konflik yang menyertai proses-proses itu. Pada satu pihak, ada tuntutan untuk meleburkan komunitas Kayeli ke dalam pengorganisasian jemaat setempat. Namun, pada pihak lain, komunitas Kayeli memang bernazar bahwa meskipun mereka harus keluar dari tanah mereka di Pulau Buru dan menetap di tempat lain, tapi mereka akan tetap menjaga identitas komunitas mereka “Kayeli”. Mereka akan tetap bertahan sebagai Jemaat Kayeli. Untuk terus memanaskan nazar itu mereka membawa serta prasasti pertama pembentukan Kayeli yang dipasang pada dinding depan gedung gereja (sementara).

Beberapa tahun silam mereka mendapat hibah tanah dari sejumlah keluarga dari Eri-Airlouw. Lahan seluas 2 hektar itu kini sebagian telah digusur tapi belum bisa ditempati. Lokasinya agak terpencil jauh dari pemukiman penduduk Eri-Airlouw atau Seilale. Hanya ada dua bangunan di lokasi tersebut, yaitu gedung gereja (sementara) dan rumah pastori (yang sementara dibangun). Selain itu tidak ada bangunan lain.

Aliran listrik belum masuk ke lokasi ini. Menurut Pdt. Ampy Nahuway, dibutuhkan 11 tiang listrik untuk memasang jaringan listrik dari batas pemukiman terdekat. Satu tiang seharga Rp 2.000.000. Jadi, setidaknya mereka membutuhkan dana sebesar Rp 22.000.000 untuk membeli tiang listrik. Kebutuhan aliran listrik untuk Ibadah Minggu didukung hanya oleh 1 mesin generator. Semua kegiatan pelayanan terkonsentrasi hanya pada hari Minggu. Untuk itu saja para anggota jemaat harus berjalan kaki 2-5 km dari tempat tinggal mereka masing-masing. Jalan aspal sudah tersedia tapi belum ada trayek angkutan umum karena lokasinya sangat jauh dari jalan utama Seilale, serta jarang penduduk.

Kondisi jemaat semacam itulah yang mendorong Fakultas Teologi UKIM untuk mengarahkan Program Pengabdian Masyarakat ke Jemaat Kayeli. Selama dua hari, sebanyak 35 mahasiswa dan 6 orang dosen terlibat membantu pengerjaan pembangunan rumah pastori. Pembangunannya berjalan lambat (sudah 2 tahun belum selesai) karena bahan-bahannya disediakan secara bertahap tergantung ketersediaan dana mandiri atau bantuan pihak lain. Hanya ada 4 tenaga tukang yang diandalkan dari sumber daya jemaat sendiri.

Pada kegiatan “masohi” ini, Fakultas Teologi UKIM juga menyumbang sekitar 35 sak semen. Kegiatan-kegiatan yang digelar adalah kerja bakti pada hari Sabtu (16 Desember 2017) dan partisipasi dalam Ibadah Minggu (Adventus III – 17 Desember 2017) dengan penyusunan liturgi oleh Pdt. Peter Salenussa, M.Sn., serta para mahasiswa sebagai pendukung liturgi. Khotbah dilayani oleh Pdt. Dr. C. Pattinama/Kastanya, M.Psi. (Pembantu Dekan III). Setelah ibadah, kegiatan dilanjutkan dengan dua sesi materi penyusunan renungan/khotbah oleh Pdt. Oland Samson, M.A. (Pembantu Dekan III) dan penyusunan liturgi kontekstual oleh Pdt. Peter Salenussa, M.Sn. Sementara itu, Dekan Fakultas Teologi, Pdt. Dr. Sonny Hetharia, turut mendampingi kelompok mahasiswa dan dosen lainnya bergabung dalam “masohi” membantu para tukang yang mengerjakan pembangunan rumah pastori. Oleh karena tidak ada aliran listrik, kegiatan “masohi” tersebut harus berakhir jam 17.00 sebelum petang/malam.

Para mahasiswa sangat menikmati “masohi” bersama Jemaat Kayeli ini. Bagi mereka, ini merupakan pengalaman bekerja sekaligus berefleksi bersama-sama dengan kelompok jemaat yang selama ini belum pernah mereka kenal. Ada yang mengatakan bahwa berada selama 2 hari di jemaat ini mereka seperti merasa bukan di Pulau Ambon, yang juga dekat dengan Kota Ambon, ibukota Provinsi Maluku, dengan seluruh fasilitas dan kebisingannya. Memang tepat kesan itu. Selama 2 hari terlibat dalam kerja bersama Jemaat Kayeli, seolah-olah membawa kami memasuki kesunyian dalam kebisingan. Sunyi yang mencekam di antara kebisingan perayaan-perayaan ibadah natal yang semarak. Sunyi dalam kegelapan di antara gemerlap ribuan pohon natal berpendar cahaya lampu warna-warni. Sunyi dalam keterasingan di antara semarak ibadah-ibadah adventus di mana-mana. Suatu kesunyian yang mengajak untuk merasai dan melihat peluh, keluh dan gumul orang-orang Kayeli.

Read more ...

Monday, November 27, 2017

MESIR

Tak banyak narasi tentang Mesir yang saya tahu hingga bersua dengan sahabat-sahabat karib Murtafie Harris dan Eid Salah. Cak Harris, demikian panggilan akrab Murtafie, adalah dosen UIN Sunan Ampel, jebolan Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Kami satu angkatan studi di ICRS Yogyakarta dan teman diskusi yang asyik. Melaluinya banyak narasi tentang Islam dan Gerakan Islam di Mesir, termasuk pengalaman mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di sana, yang saya dengar.

Sementara Eid Salah adalah seorang pendeta Mesir Kristen. Kami bertemu dalam program International Summer School on Religion and Public Life tahun 2012, suatu program belajar bersama lintas ilmu, lintas agama dan kebudayaan serta lintas negara kerjasama UGM dan Boston University, di Yogyakarta dan Bali. Di situ saya berkenalan dan bersahabat hingga kini. Darinya saya mendapat banyak informasi mengenai Kekristenan di Mesir, melengkapi narasi tentang Islam Mesir dari Cak Harris.

Mesir punya sejarah peradaban agama-agama yang panjang. Dalam rentang historis tersebut masyarakatnya bergulat dinamis dengan realitas sosial-politik, ekonomi dan keagamaan yang kompleks. Semua faktor itu pada gilirannya membentuk karakter sosial yang khas dan cenderung keras. Tidak mudah memahami orang Mesir, demikian pernyataan kedua sahabat tadi. Fakta itu tampak jelas pada seorang "senior" angkatan di ICRS dari Mesir.

Narasi kekerasan, dengan dalih apapun, tampaknya terekam kuat dalam sejarah dan realitas Mesir, sebagaimana tercatat dalam teks-teks Hebrew Bible (Old Testament). Kontur psikologi budaya dan relasi agama-agama turut memainkan peran signifikan dalam konstruk kesadaran dan praksis hidup keseharian orang Mesir. Pada sisi lain, Mesir memperlihatkan pula kekuatannya dalam membangun tradisi dan peradaban yang mumpuni dalam pengetahuan.

Serangkaian aksi kekerasan agama beberapa waktu belakangan tentu saja mesti dilihat dalam konstelasi sosial-politik baik internal maupun eksternal, terutama di kawasan Timur Tengah. Aksi serangan bom yang disasar kepada dua gereja Kristen Koptik pada bulan April lalu, dan berlanjut dengan serangan bom Masjid Al-Rawdah di Sinai yang menewaskan 235 orang itu memperlihatkan bahwa ancaman sesungguhnya ada pada konstruk kesadaran sosioreligius yang serba absolut. Oleh karenanya bahasa keagamaan yang dialogis dan humanis tidak mampu meredam belitan tiga simpul: kuasa-agama-senjata. Dengan semua yang serba absolut, "identitas" yang sama tak cukup kuat mengikat solidaritas. Pembenaran atau justifikasi yang serba mutlak itu pun menjadi dalil teologis untuk melumat habis kekayaan kultural yang membesarkan peradabannya.

Di Indonesia, kita berprihatin atas makin beringasnya kuasa-agama menggilas modal-modal humanisme hanya demi justifikasi utopia teologis. Bahkan belakangan kita disuguhi tontonan vulgar bahwa kuasa-agama tidak selalu butuh senjata tetapi kata. Maka kita kini sementara mengunyah kata-demi-kata yang ampuh bak senjata yang menewaskan nalar kemanusiaan dan gelisah etika yang sebenarnya berfungsi menyambung matarantai nurani lintas-batas identitas.

Akankah kita juga takluk oleh senjata permainan kata-kata yang melipat nalar waras menjadi narasi-narasi kebohongan? Lantas, merasa bahwa kitalah pemegang kemutlakan paripurna untuk menentukan hidup-mati liyan. Narasi pilu Mesir yang didera kepongahan kuasa-agama-senjata banyak memberi pelajaran bagi kita orang Indonesia. Termasuk pelajaran bahwa modal humanisme pada hakikatnya tak pernah sepenuhnya pudar, seperti dentang lonceng yang menandai dukacita sekaligus membunyikan harapan bahwa kemanusiaan tak layak diluluhkan hanya demi sepetak surga.
Read more ...

Friday, October 20, 2017

Catatan Perjalanan MPP Ke-30 AM-GPM

Catatan Perjalanan MPP Ke-30 AM-GPM
(Musyawarah Pimpinan Paripurna - Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku)
Wooi, 15-18 Oktober 2017

Setelah bertolak dengan kapal Sumber Raya 03 dari Pelabuhan Slamet Riyadi atau Pelabuhan kecil Ambon dan berlayar semalaman, kami tiba di Jemaat Wooi, Klasis Obi. Secara administratif, jemaat ini berada di wilayah Kecamatan Obi Timur, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara.

Kapal hanya bisa berlabuh karena belum ada dermaga. Beberapa long-boat datang untuk mengangkut peserta bolak-balik menuju darat. Panitia lokal dan jemaat sudah menunggu di pantai bersamaan dengan hujan yang menyambut. Setelah semua peserta mendarat dan berkumpul di gedung gereja, fungsionaris AM-GPM membagi peserta ke rumah-rumah warga jemaat.

Beta mendapat tempat di rumah keluarga Rehaji-Lakoruhut (Son dan Loni, bersama dua anak mereka - Brevy dan Kris). Rumah mereka masih dalam kondisi semi-permanen. Lantai masih plesteran kasar semen; demikian pula dengan dinding rumah; dua kamar tidur dan satu kamar mandi belum berpintu tapi hanya ditutupi gorden; kebutuhan air diperoleh dari perigi keluarga samping rumah.

Son bekerja sebagai petani musiman yang setiap empat bulan mengambil kelapa di dusun kelapa milik keluarga, kemudian mengolahnya menjadi kopra. Proses memetik kelapa dilakukan bersama-sama dengan keluarga-keluarga lain. Pengolahan menjadi kopra dilakukan sendiri oleh masing-masing keluarga pemilik dusun. Setelah kopra selesai diolah, mereka tinggal menunggu para pedagang untuk datang menimbang, membeli dan mengangkutnya ke Ternate dan Ambon untuk selanjutnya dijual. Selain kopra, sebenarnya mereka juga mengolah padi ladang. Tapi usaha padi ladang makin surut seiring dengan mengalirnya "beras jadi" dari luar.

Terdapat tiga gedung sekolah: SD Negeri 155 Halmahera Selatan (dulu SD Inpres Wooi), SD YPPK Dr Sitanala (milik GPM) dan SMP Peduli Bangsa. Sedangkan SMA LPM belum memiliki gedung sekolah sendiri dan masih menggunakan gedung SMP. Ada 20 tenaga guru yang membagi tugas pengajaran pada tiga jenjang pendidikan tersebut secara bergiliran. Beberapa keluarga menyekolahkan anak-anak mereka untuk kuliah di Ambon. Hanya anak kades yang saat ini sedang melanjutkan kuliah di Yogyakarta. Sekolah Dasar YPPK (milik GPM) didirikan sekitar 8 tahun lalu hingga sekarang telah memiliki gedung sendiri dan mendapat akreditasi B.

Wooi diapit oleh dua jemaat, yaitu Jemaat Sum dan Jemaat Bobo. Namun tidak ada jalan penghubung antara ketiganya di pesisir selatan Pulau Obi. Transportasi antardesa di pesisir Pulau Obi hanya mengandalkan long-boat (ketinting) dan kapal ("Obi Permai" yang melayari angkutan ke Ternate dan "Amboina Star" ke Ambon). Aliran listrik hanya berfungsi dari jam 6 sore hingga 6 jam pagi. Setiap rumah dibatasi penggunaan listriknya hanya untuk 4 mata lampu. Beberapa rumah menambah daya dengan mesin genset yang mereka punya. Sinyal hp bisa diterima lancar karena sudah didirikan tower telkomsel di perbukitan sebelah utara Desa Wooi.

Mengapa selama puluhan tahun tidak tersedia infrastruktur jalan darat trans-Obi? Padahal sepanjang pesisirnya tidak ada hambatan medan yang terlalu berat untuk ditembus. Beberapa orang dengan bisik-bisik mengatakan bahwa mereka menduga ada "konsensus bisnis" antara pemda dan para pemilik kapal yang sudah belasan tahun menguasai transportasi laut. Bisa dibayangkan bahwa bisnis angkutan laut satu-satunya akan pailit atau seret keuntungan jika tersedia jalan darat yang menghubungkan desa-desa di pesisir Pulau Obi.

Selama 5 tahun terakhir (2012-2017) Jemaat Wooi dilayani oleh Pdt Jessy Siwabessy. Secara demografis, Desa Wooi terdiri dari 300 kepala keluarga dan sekitar 2000 jiwa. Ada 18 keluarga yang menjadi warga jemaat GMIH. Hampir seluruh warga jemaat GPM bekerja sebagai petani musiman, sedangkan yang lainnya adalah kepala sekolah dan guru. Mereka mempunyai dusun kelapa dan tanaman umur panjang lainnya sepanjang wilayah perbukitan di belakang kampung. Tidak besar minat mengelola hasil laut, yang lebih banyak untuk kebutuhan konsumsi keluarga.

Usai makan malam hari pertama, beta terlibat dalam bincang-bincang hangat bersama rekan-rekan pendeta yang sudah menjadi pimpinan klasis-klasis untuk berbagi pengalaman dan refleksi kontekstual mereka masing-masing. Perjumpaan yang saling menghidupkan karena sudah lama tidak bersua setelah masing-masing lulus dari Talake (Tanah Lapang Kecil) dan tersebar di berbagai Talaba (Tanah Lapang Besar).

Esok harinya, melalui bincang-bincang ringan sambil sarapan, Son, tuan rumah tempat beta menginap, bercerita tentang pengalaman mengungsi ke hutan karena diserang oleh kelompok-kelompok tak dikenal tahun 2002 sebagai imbas konflik Ambon 1999. Rumah-rumah yang mereka tinggalkan dibakar habis sehingga kemudian mereka harus memulai segala sesuatunya dari awal.

Dia juga bercerita tentang satu perusahaan yang ingin mengeksplorasi tambang pasir besi di Wooi. Rencana perusahaan itu ditolak mentah-mentah oleh orang Wooi apalagi setelah mengetahui bahwa area eksplorasi membentang sepanjang 15 km dari pantai ke gunung membelah kampung Wooi. Sementara itu, di sebelah lain Pulau Obi, sekarang sudah beroperasi perusahaan tambang nikel di Desa Kawasi.

Ibadah pembukaan MPP AM-GPM dilayani oleh Pdt Lodewik Laisila (Ketua Klasis Seram Timur). Acara pembukaan secara organisatoris dilakukan setelah ibadah. Namun mengalami keterlambatan dari jadwal yang telah ditentukan karena harus menunggu kedatangan Bupati Bahrain Kasuba dan rombongannya, yang mendarat setelah kami menunggu hampir satu jam.

Hari-hari selanjutnya dipenuhi oleh diskusi-diskusi dalam beberapa komisi mengenai konsep dan tindaklanjut advokasi yang menjadi komitmen misioner AM-GPM. Sejumlah keputusan disepakati dan berbagai upaya memperkuat jejaring advokasi dimatangkan bersama-sama. Di bawah payung tema "Allah Kehidupan, tuntunlah kami membela dan merawat kehidupan" dan subtema "Bersama-sama mengadvokasi hak hidup dan alam untuk hidup berkelanjutan yang semakin bermutu", ajang MPP AM-GPM ini adalah aksi-refleksi untuk mewujudkan panggilan menjadi "garam dan terang dunia".

Dengan segala kebersahajaan mereka, Jemaat Wooi telah menerima, menjamu dan melayani kami, 120an peserta MPP AM-GPM dari 33 daerah. Menjadi bagian kebersahajaan hidup mereka selama 4 hari telah menjadi pengalaman bernilai memaknai hidup berbela-rasa dan bersama-sama bergerak membela (advokasi) kehidupan yang membentang ke masa depan.

Hari Kamis siang (18/10), masing-masing peserta diantar oleh bapa-mama-saudara piara berkumpul di pantai untuk secara bergiliran naik long-boat menuju kapal Sumber Raya 03 yang berlabuh di tengah laut bergoyang dalam alunan ombak pasang. Perpisahan yang mengharukan saat long-boat terakhir mengantar dengan menaikkan panji AM-GPM dan bermanuver mengiringi Sumber Raya 03 yang menarik jangkar. Seakan hendak menyampaikan pesan "tidak ada perpisahan di bawah panji garam dan terang dunia". Kita akan bersua lagi di arena MPP ke-31 tahun 2018!

Angin sore itu meniup cerita-cerita kami di atas kapal sambil mata menyusur pohon-pohon kelapa sepanjang pesisir Pulau Obi. Kami akan menyinggahi Wayaloar untuk menurunkan beberapa peserta MPL Sinode GPM. Setelah 1 jam  di Wayaloar, kami pun melanjutkan pelayaran ke Ambon.

Terima kasih Wooi!

Read more ...

Sunday, September 24, 2017

Biar[kan] miskin, asal...?


Sarce hanya mampu duduk membisu menatap jasad bayi kembar yang dibaringkan di sampingnya. Ari, suaminya, mengusap-usap pundaknya, mencoba menenangkan diri istrinya meski raut wajahnya jelas mengguratkan duka yang dalam. Mereka sama sekali tak menyangka bahwa harapan akan datangnya buah hati kembar pupus dalam genangan duka.

Sudah seminggu memang Sarce merasa waswas. Ia tidak merasakan gerakan bayi dalam kandungannya yang sudah berusia 8 bulan. Ia mencoba menepis kecemasannya dengan menghibur diri bahwa semua berjalan baik-baik saja. Lagi pula, apa yang bisa dilakukannya untuk memastikan kesehatan kandungannya?

Di kampungnya ini tidak ada bidan. Ada gedung poliklinik ibu dan anak desa (polindes). Tapi hanya gedung kosong dengan beberapa perabot usang. Sudah lebih dari 3 tahun sejak dibangun oleh pemerintah kabupaten, gedung polindes dibiarkan kosong. Tenaga medis? Ah, sudahlah. Masyarakat di kampungnya tidak lagi berharap akan hal itu. Siapa yang masih mau melayani orang kampung seperti mereka?

Layanan kesehatan seadanya dan obat-obatan generik selama ini hanya diupayakan oleh Pendeta GPM yang melayani jemaat Hukuanakotta. Upaya itu tentu saja tidak optimal tanpa dukungan pihak-pihak berkompeten dari pemerintah kabupaten dan provinsi.

Membayangkan rute perjalanan ke kampung saja sudah melelahkan apalagi memberikan layanan kesehatan dengan sarana yang minim bahkan nihil. Kecuali mereka bersedia menambah kerjaan dengan mengajukan permohonan kesana-kemari. Itu pun biasanya cuma berbuah janji.

Sebenarnya, lokasi kampung Sarce dan Ari tidak terlalu jauh dari Kota Kecamatan Kairatu. Jarak Kairatu ke Hukuanakotta (kampung mereka) sekitar 32 km. Dari Kairatu, perjalanan bisa dilakukan dengan kendaraan bermotor melewati jalan aspal yang rusak berat sampai di Hunitetu, Kota Kecamatan Inamosol wilayah pegunungan Seram Barat. Jarak tempuhnya sekitar 23 km.

Perjalanan selanjutnya menuju Hukuanakotta harus ditempuh dengan berjalan kaki melewati jalan tanah sejauh 9 km. Jika musim panas, hanya kendaraan roda-4 jenis off-road yang bisa melewatinya, atau sepedamotor trail bagi yang bernyali nekat.

Kondisi itulah yang membuat Sarce tidak bisa memeriksa kandungannya secara rutin ke Hunitetu dan Kairatu. Apalagi ketika usia kandungannya makin tua. Sulit untuk menempuh jarak sejauh itu dengan berjalan kaki atau naik kendaraan dengan kondisi jalan aspal yang rusak penuh lobang, dengan risiko terjungkal ke sisi jalan berjurang.

Sarce dan Ari menatap untuk terakhir kalinya jasad buah hati kembar mereka. Sudah habis harapan dan doa untuk menikmati kesejahteraan yang puluhan tahun menjadi mimpi mereka, juga orang sekampung Hukuanakotta. Mereka hanya mencoba bangkit untuk bertahan hidup dengan kondisi kemiskinan yang sudah mentradisi, serta menelan kenyataan pahit itu seperti menghirup udara pegunungan kampung mereka. Segar meski beraroma kemiskinan, penyakit gondok dan kematian bayi yang tak tertangani layanan gizi.

Janji-janji manis selama kampanye setiap musim Pilkada sudah biasa mereka telan sebagai acara hiburan yang setidaknya sejenak membuat mereka senang karena kemiskinan mereka ternyata selalu menjadi jualan laris-manis sepanjang kampanye. Setelah semua itu usai… Hanya kenyataan pahit bahwa mereka dibiarkan miskin sebagai modal jualan politik musim pilkada berikutnya. Berikutnya. Berikutnya lagi.

Miskin? Jelas. Bahagia? Entahlah.

Mungkin lebih baik membiasakan diri dengan apa kata seorang petinggi di daerah ini: “Biar[kan] miskin, asal…”

Beta ini orang miskin nona ee… Beta tidor di tapalang nona ee… Beta hidop sama dengan orang kaya… Biar miskin tapi tau snang sa…
Read more ...

Saturday, September 23, 2017

Sepeda: Olahraga, Politik dan Kebudayaan


Tour de Moluccas – demikian sebutannya – telah usai. Event internasional balap sepeda ini tidak cukup garang gaungnya di kalangan publik Maluku. Di Kota Ambon, meski sudah bertebaran baliho-baliho “selamat datang” dan “selamat berlomba”, geliatnya baru terasa sungguh ketika pemerintah provinsi/kota mengumumkan akan ada penutupan total ruas-ruas jalan utama dari luar kota hingga dalam kota sebagai etape final dengan garis finish di tugu Gong Perdamaian Ambon.
Yang menarik – dan menggelitik rasa ingin tahu – adalah reaksi publik warga kota sebagaimana tampak dari berbagai status dan komentar yang berseliweran di media sosial (facebook) pun tanggapan-tanggapan para penonton di sepanjang jalan saat menantikan para pembalap melewati rute sekitar lokasi pemukiman mereka. Mulai dari komentar ringan, “seperempat berat” dengan kritik tentang apa manfaatnya bagi rakyat (sampai bikin pooling segala), “setengah berat” dengan lontaran kritik terhadap pemerintah (pusat dan provinsi) yang terkesan melakukan benah-benah kosmetik hanya demi kelancaran acara yang memoles bopeng-bopeng pembangunan, hingga kritik “penuh berat” yang menyoroti politik anggaran yang dinilai fantastis tanpa jelas manfaatnya bagi kemashalatan rakyat Maluku. Semua kritik dengan bobotnya masing-masing tentu sah-sah saja sebab itu mengindikasikan kuatnya fungsi kontrol dari publik Maluku yang hendak menandaskan kepentingan suatu program agar jangan hanya menjadi kenikmatan atau pencitraan para elite politik dan ekonomi. Lantas, rakyat yang seharusnya merasakan dampak signifikan atau perubahan pasca acara itu ternyata malah cuma dapat “hembusan angin surga” tentang pengembangan sektor olahraga dan pariwisata.

Olahraga dan Politik
Dalam sejarah sosial dan politik, nyaris tak dapat dipisahkan pertautan politik dan bidang-bidang kehidupan yang lain, termasuk olahraga. Pembedaan hanya dapat dilakukan pada tataran akademik tapi sulit didedah pada tataran praktis atau pengalaman keseharian. Dimensi politik berkelindan dengan hampir semua bidang kehidupan.
Dalam sejarah Indonesia sebagai negara pascakolonial, kita bisa melihat bahwa politik dan olahraga tidak bisa dipisahkan secara tegas batas-batasnya. Bahkan, kedua dimensi ini bergerak saling melengkapi. Pada batasan tertentu, secara ideologis olahraga diboboti sebagai media pemersatu bangsa, bahkan antarbangsa terjajah. Olahraga pun diposisikan sebagai parameter kedaulatan suatu bangsa dan negara.
Presiden Sukarno, misalnya, menganggap bahwa kesehatan badan, keolahragaan dan kekuatan fisik merupakan salah satu bagian penting (absolut) dalam proses nation-building. Olahraga juga adalah media melalui kekuatan raga untuk menarasikan kapasitas suatu bangsa. Keseriusan Sukarno untuk mengembangkan olahraga sebagai representasi politik bangsa pascakolonial adalah dengan memunculkan ide menggelar ajang olahraga internasional setara olimpiade, yang disebut Games of the New Emerging Forces (Ganefo) sebagai ajang olahraga negara-negara pascakolonial.
Ganefo bisa disebut sebagai “ide gila” Sukarno. Sukarno memerintahkan Maladi, Menteri Keolahragaan saat itu, untuk membuat olimpiade tandingan, pada 14 Februari 1963. Lalu Sukarno ingin Ganefo digelar pada 10 November 1963, yang berarti persiapannya hanya sekitar 200 hari. Gila! Memang. Tapi ide itu tidak muncul begitu saja. Ide itu adalah manifestasi perlawanan karena Indonesia mendapat sanksi dari International Olympic Committee (IOC) tidak boleh berpartisipasi dalam Olimpiade Tokyo (1964). Ini adalah pukulan balik IOC karena ketika menjadi tuan rumah Asian Games 1962 di Jakarta, Indonesia menolak partisipasi Israel dan Taiwan. Israel dianggap musuh negara Arab yang menganeksasi wilayah Palestina; Taiwan adalah musuh Cina (yang merupakan “sahabat” Sukarno).
Olimpiade, bagi Sukarno, merupakan bentuk hegemonik negara-negara imperialis seperti Amerika Serikat dan Inggris untuk tetap berkuasa di bidang olahraga melalui aturan-aturan yang dibuat oleh IOC. Dengan lantang, Sukarno pun berseru: “The IOC has shown to be just an imperialistic tool and includes politics! The Olympic Games have proved to be openly an imperialistic tool! Lebih baik kita terang-terangan mengusulkan to mix sports with politics!” (Muhidin M. Dahlan, Ganefo: Olimpiade Kiri di Indonesia, 33). “Semangat” serupa juga terasa ketika Soeratin Sosrosoegondo mendirikan PSSI, yaitu untuk menyebarkan semangat nasionalisme dan anti-Belanda. Jadi, olahraga bukan sekadar ajang adu kuat dan uji ketangkasan fisik, melainkan proses fabrikasi semangat solidaritas dan harga diri bangsa.

Olahraga dan Kebudayaan
Dalam kajian budaya, olahraga juga merupakan representasi dan refleksi ideologi identitas nasional. Olahraga menjadi praktik pengejawantahan konkret yang melaluinya makna, representasi dan interpretasi terbuka untuk dinegosiasikan dan dikontestasi. Olahraga ditempatkan sebagai unsur penting dalam matriks kehidupan nasional, dilembagakan di sekolah-sekolah dan secara luas direpresentasikan sebagai bentuk-bentuk kebudayaan, serta menjadi praktik keseharian suatu bangsa.
Di Inggris, misalnya, olahraga digunakan di sekolah-sekolah negeri untuk melatih para siswa mengukuhkan superioritas nasional dan memperkuatan karakter moral yang dianggap penting untuk menguasai wilayah-wilayah jajahan. Sementara bagi negara-negara lain, olahraga memperlihatkan karakter kebudayaan nasional mereka. Bagi Prancis, Jerman, Italia, Belanda, Inggris dan Brasil, gaya permainan sepakbola itu merepresentasikan karakter kebudayaan masing-masing sekaligus menjadi signifier identitas nasional. Bobby Robson, mantan manajer tim sepakbola nasional Inggris, yang kemudian menjadi manajer kesebelasan Belanda PSV Eindhoven, dikritik oleh para fans karena dianggap mengubah gaya permainan “total football” yang menjadi ciri khas sepakbola Belanda dengan “English style” – meskipun Eindhoven tampil sebagai pemenang liga Belanda (Tim Edensor, National Identity, Popular Culture and Everyday Life, 79).
Olahraga gulat di Turki, tidak sekadar diminati tapi mengandung nilai-nilai simbolik kebudayaan sebagai a hegemonic assertion of masculine values yang dalam sejarah Turki dianggap sebagai theatrical enactment of the struggles and contests of everyday life (Edensor, 80). Sedangkan olahraga kriket antara tim India dan tim Inggris mempunyai resonansi simbolik penegasan pertarungan kolonial. Sementara dalam ajang olahraga internasional, identitas nasional adalah sine qua non.

Sepeda: olahraga, politik dan kebudayaan
Mengapa Presiden Joko Widodo selalu menghadiahkan sepeda pada setiap kunjungannya ke suatu daerah? Jawabannya hanya beliau yang tahu. Tetapi sepeda hadiah Presiden Jokowi tentu punya makna simbolik yang bisa ditafsir dari berbagai perspektif. Sepeda Jokowi bisa ditafsir sebagai dorongan bagi masyarakat Indonesia untuk menghargai sepeda sebagai bentuk olah-raga yang sederhana, murah dan terjangkau, yang sebenarnya (pernah) menjadi aktivitas keseharian rakyat, terutama jika ditilik dari latar belakang budaya Jawa Jokowi yang hidup di Solo dan bersekolah di Yogyakarta, kota pelajar yang dikenal dengan tradisi bersepeda onthel oleh rakyat kebanyakan.
Pada perspektif tafsir yang lain, hadiah sepeda Jokowi juga dapat dicermati sebagai bentuk perlawanan kultural terhadap gaya hidup elitis yang dicitrakan sebagai gaya hidup modern, yang mengutamakan kekuatan materialisme di atas spiritualisme kebudayaan. Jika dengan sepeda, orang terlibat menjaga keseimbangan antara “lahir” dan “batin” – kekuatan raga/energi disertai perhitungan jarak tempuh; maka pada gaya hidup elitis, -benda/material sedang menanjak pada posisi “master” (tuan) yang sedang menghegemoni struktur kesadaran dan moral manusia yang makin diposisikan sebagai “slave” (budak) yang dengannya nilai kemanusiaan dihargai – “kamu adalah apa yang kamu kendarai” sebagai adagium modernitas.
Perjalanan sejarah Indonesia, yang pernah dijajah Belanda sangat lama, cukup unik. Semangat anti-Belanda begitu kuat sehingga hampir pada setiap rezim representasi Belanda sebagai “penjajah” dan “kafir” selalu dimunculkan sebagai wajah bengis anti-kemerdekaan dan anti-Islam. Lihat saja film-film atau sandiwara-sandiwara populer di era rezim Orde Baru. Tendensinya terbalik terhadap Jepang, yang juga pernah dengan “tangan besi” menduduki Indonesia meskipun singkat. Namun, aspek kekejaman tentara Jepang tampaknya tidak signifikan sebagai collective memory tentang kolonialisme bangsa asing. Pendudukan Jepang rupanya menjadi titik-balik penting dimana gerakan-gerakan perlawanan terhadap Belanda (Barat) mendapat momentum historis dan politisnya, lantas menjadi arena hegemoni baru Islam yang diidentifikasi sebagai kekuatan nasionalis vis-à-vis Kristen-Barat-Belanda.
Tampaknya tidak mengherankan jika bersepeda yang hingga kini menjadi budaya populer publik di seantero Belanda sama sekali tidak membekas dalam kebudayaan populer publik Indonesia. Kendaraan yang memadati ruas-ruas jalan semua kota di Indonesia adalah mobil-mobil produk Jepang. Tentu saja, di balik pertimbangan hegemoni ekonomi negara matahari terbit itu, kita juga dapat merasakan nuansa ideologis dari pertarungan “Barat-Timur” yang jejak-jejak ideologisnya masih membekas dalam struktur kesadaran sosial dan beragama publik Indonesia.
Nah, jadi setidaknya kita kini dapat pula merasakan bahwa segala pro-kontra tentang lomba bersepeda Tour de Moluccas pada segi tertentu merepresentasikan cara pandang ideologis kita terhadap sepeda sebagai tindakan budaya dan tindakan politik secara bersamaan. Sebab pro-kontra semacam itu tidak kita rasakan secara tegas ketika ada ajang drag-race sepedamotor atau mobil (produk Jepang). Bahkan, kita sangat antusias untuk adu status di facebook saat ajang MotoGP dengan jagoan-jagoan asing seperti Valentino Rossy dll dengan tunggangan “Yamaha”, “Honda” dll. Antusiasme yang sama ketika klub-klub Eropa (terutama Barcelona, Real Madrid, Juventus, Inter-Milan dll) adu kocek bola di lapangan nan jauh di sana tapi hebohnya sampai di sini.
Jadi, kenapa kita tidak antusias menyambut ajang bersepeda ini? Soal penyelenggaraan silakan buka argumentasi dengan pemerintah sebagai penyelenggara. Tapi setidaknya kita juga dapat menangkap antusiasme publik menyambut ajang bersepeda ini meski berpanas-panas di pinggir jalan dan sibuk siaran “live” melalui medsos. Tidakkah kita bisa pula memaknainya sebagai ajang memahami kegelisahan publik untuk keluar sejenak dari kepenatan hidup dengan seluruh kemacetan birokratis dan lalu-lintas yang mewarnai keseharian mereka?

Ayo ngegowes cuk! 



Read more ...

Friday, September 1, 2017

30 Menit Bersama KH Said Aqil Siradj


Suatu kehormatan bagi saya untuk mendampingi Prof. Dr. KH Said Aqil Siradj, MA, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sambil mendengarkan kefasihan beliau menyampaikan "tausiyah kebangsaan" yang mengulas sejarah peradaban dan pemikiran Islam, sebagai sejarah yang berkelindan dengan sejarah bangsa-bangsa dan agama-agama lain. Tausiyah kebangsaan ini beliau sampaikan selama kurang-lebih 30 menit di hadapan 300-an peserta Konsultasi Nasional (Konas) Forum Komunikasi Pria Gereja ~ Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang berlangsung di Ambon, 29-31 Agustus 2017. Peserta Konas ini berasal dari berbagai denominasi gereja anggota PGI dari wilayah timur hingga barat Indonesia.

Beliau lebih mengulas secara naratif peranan Nabi Muhammad SAW dalam membangun peradaban Islam yang kemudian menjadi fondasi kehidupan kemanusiaan di berbagai wilayah, termasuk peranan nilai-nilai Islami dalam proses membangun karakter keindonesiaan seperti yang diintroduksi dan dipertahankan oleh Nahdlatul Ulama.

Beberapa butir gagasan yang dapat dirangkai adalah sebagai berikut:

Agama dan Kewarganegaraan: Peranan Nabi Muhammad SAW yang penting adalah ketika nilai-nilai peradaban baru diperkenalkan dalam konteks masyarakat Medinah, yang secara harafiah disebut sebagai “masyarakat madani” atau masyarakat berkeadaban. Indikator berkeadaban itu pertama-tama dapat dilihat pada dimensi ekonomi dan politik yang berkesejahteraan. Dalam konteks Medinah, Nabi memperkenalkan kebudayaan yang lebih terbuka dan toleran dalam mengelola kehidupan bersama-sama dengan kelompok-kelompok yang berbeda, baik secara etnis maupun agama.

Fungsi Sosial Agama: Penelisikan sejarah peradaban Islam hingga sekarang pada hakikatnya memperlihatkan wajah fungsional agama (Islam) dalam membangun kehidupan sosial-budaya umat Muslim. Dalam perspektif itu, Islam tidak semata-mata dilihat sebagai agama yang ritualistic tetapi sebagai agama yang fungsional. Agama yang fungsional adalah agama yang mampu menjadikan nilai-nilai dasarnya sebagai kekuatan penggerak perubahan sosial dari masyarakat menuju pada satu capaian “kesejahteraan sosial”, “kewarganegaraan yang setara” dan “penghargaan terhadap Kemajemukan budaya manusia”. Ketiga aspek tersebut harus menjadi indikator empirik dari agama yang fungsional, bukan lagi agama yang ritualistik dan seremonial.

Agama dan Potensi Kekerasan Atas Nama Agama: Kekerasan atas nama agama adalah fenomena dan realitas yang dapat ditemukan pada hampir semua agama. Dalam perspektif Islam, pengenalan terhadap Islam mesti dilakukan dengan memahami sejarahnya yang panjang dan dinamika sosial-politik-budayanya pada berbagai konteks. Dengan pengenalan historis semacam itu maka karakter beragama (Islam) mesti dipahami sebagai yang terbentuk dalam konteks yang berbeda-beda. Ada banyak unsur kebudayaan lokal yang berkelindan dengan proses pemaknaan ajaran agama (Islam). Oleh karena itu, potensi kekerasan atas nama agama dapat direduksi dengan cara: [1] kontekstualisasi teologi/ajaran agama; [2] pemahaman mendalam mengenai karakteristik Kemajemukan budaya masyarakat; [3] kebudayaan menjadi fondasi bagi agama, bukan sebaliknya.

Pemaknaan Agama dalam Kebudayaan Lokal: Agama-agama yang hadir dalam masyarakat Nusantara mempunyai sejarah dan dinamikanya sendiri-sendiri. Pada ranah Nusantara inilah agama-agama tersebut berjumpa dan disatukan dalam berbagai simpul kebudayaan lokal. Oleh karena itu, kehidupan beragama pada konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia hanya dapat dimaknai jika agama-agama dilihat sebagai proses yang menghidupi identitas kebudayaan lokal masyarakat Nusantara. Jadi, bukan agama-agama yang justru menghancurkan identitas kebudayaan lokal itu. Maka di sini agama-agama selalu membutuhkan proses penafsiran budaya agar dapat menemukan “mutiara keharmonisan” dalam berbagai dimensi religiositas yang hidup di Nusantara.

Agama dan Nasionalisme Keindonesiaan: Sejarah Islam, terutama Nahdlatul Ulama, di Indonesia dengan sangat jelas telah memperlihatkan kecerdasan dan kedewasaan beragama dalam konteks masyarakat majemuk ini. Sejak awal berdirinya republik ini, NU telah memperlihatkan keberpihakan pada kesepakatan untuk bersama-sama dengan seluruh kelompok etnis dan agama lain, mendirikan Republik Indonesia. Realitas kuantitatif penganut Islam yang besar dibandingkan yang lain tidak menjadi standar politik membangun Indonesia sebagai “rumah-bersama” bagi semua orang/kelompok. Itulah yang mendasari pertimbangan NU untuk tidak mempersoalkan dicoretnya “7 kata” dalam diskursus mengenai dasar konstitusional Indonesia sebagai negara-bangsa baru pada Agustus 1945. Dalam perjalanannya, NU menjadi salah satu organisasi Islam terbesar yang berdiri tegak memperjuangkan Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Read more ...

Sunday, August 27, 2017

Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Jembatan Dua Kosmos ~ Tanggapan terhadap Dieter Bartels


Pengantar
Pertama-tama, saya ingin menyampaikan apresiasi yang tinggi atas penerbitan buku ini sehingga dapat dibaca oleh publik luas berbahasa Indonesia setelah sekian puluh tahun terbit dengan versi bahasa Belanda In De Schaduw Van De Berg Nunusaku (1994). Tentu saja, penerbitan dalam bahasa Indonesia ini tidak hanya soal menerjemahkan tetapi, menurut penulisnya, sudah mengalami proses revisi dan penambahan sebagai upaya menyajikan suatu analisis antropologis yang lebih mutakhir dan kontekstual bagi pembaca masa kini, terutama generasi Maluku pasca-konflik. Saya juga berterima kasih karena mendapat kehormatan untuk memberikan catatan kecil terhadap suatu karya besar atau magnum opus dari seorang peneliti antropologi kawakan sekaliber Dieter Bartels yang menekuni penelitian tentang Maluku selama empat dekade.

Perkenalan saya dengan Dieter Bartels terjadi pertama kali pada akhir 1990-an. Waktu itu akses internet dan alat komunikasi belum secanggih sekarang. Melalui korespondensi surat elektronik saya meminta kepada beliau untuk mengirim buku-buku antropologi guna menambah koleksi pustaka pribadi saya. Melalui perantaraan seorang dosen fakultas teologi, saya mendapat sejumlah buku yang luar biasa untuk ukuran seorang mahasiswa S1 di Ambon saat itu. Sejak saat itulah saya makin jatuh cinta kepada antropologi dan merasa mengalami pencerahan dalam proses menekuni ilmu teologi yang saya geluti pada fakultas teologi UKIM.

Tahun 2000 kami sempat bertemu di Ambon dan berdiskusi mengenai beberapa hal terutama mengenai perkembangan situasi Ambon yang sedang berkecamuk dengan konflik sosial. Itulah perjumpaan terakhir dengan Dieter Bartels. Selanjutnya, percakapan hanya berlangsung melalui surel dan kemudian facebook. Teknologi internet yang makin canggih memudahkan untuk mengakses artikel-artikel Dieter Bartels yang dipasang dan dapat diunduh dari laman situs nunusaku.com.

Momen yang tidak dapat saya lupakan adalah ketika menjelang penulisan disertasi saya harus mengikuti program sandwich atau visiting scholar pada salah satu universitas di luar negeri. Pilihan yang diberikan kepada saya waktu itu ada dua: Universitas Leiden atau Universitas Cornell. Kedua universitas itu ditawarkan karena memiliki keunggulan koleksi literatur dan kajian Asia Tenggara. Promotor saya, Prof. P.M. Laksono, yang lulusan Universitas Cornell, menganjurkan untuk ke Cornell. Di situlah kemudian saya bingung. Kalau ke Leiden, banyak kenalan komunitas Maluku sehingga tidak terlalu canggung dan butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri dengan keadaan di sana. Tapi Cornell di Ithaca, New York? Saya buta sama sekali. Dalam kegalauan itu, saya teringat Dieter Bartels (terima kasih untuk facebook!). Saya lalu mengirim pesan kepada beliau meminta saran apakah ada kenalan di Ithaca yang dapat membantu menampung saya sambil nanti mencari “kamar kos” di sana. Dieter Bartels merespons dengan cepat. Beliau memperkenalkan saya kepada Prof. John Wolff, seorang ahli Indonesia di South East Asia Program (SEAP) Universitas Cornell. Hanya dalam hitungan hari, saya sudah dapat berkomunikasi dengan John Wolff yang kemudian bersedia menampung saya di rumahnya dan membantu saya mencari pemondokan di Ithaca, kota kecil yang indah, dengan jarak tempuh 6 jam dengan bus dari New York City. Jika Dieter Bartels menyebut “antropologi aksi” maka apa yang saya alami adalah sejenis “antropologi pengalaman” (anthropology of experience).

Pada titik itulah, Dieter Bartels, dalam pengalaman hidup saya, adalah “sahabat” dan “guru” bagi saya. Sahabat, karena meskipun usia dan pengalamannya jauh lebih banyak daripada saya tapi tetap terbuka untuk berbagi kepada siapa saja bahkan yang generasi muda Maluku seperti saya (yang ketika beliau menyelesaikan disertasinya saya baru berusia 7 tahun). Guru, karena dari beliaulah saya jatuh cinta pada antropologi sebagai disiplin ilmu yang memperkaya wawasan keilmuan teologi yang saya geluti selama ini. Beliau pula yang kemudian mencorat-coret draft pertama disertasi saya dengan catatan kritis hampir pada setiap halaman.

Antropologi Bartels – Jembatan Dua Kosmos
Dieter Bartels adalah seorang peneliti antropologi yang ulet dan produktif. Selain buku dan artikel, sebagian besar tulisannya dapat dibaca dan diunduh dari laman situs www.nunusaku.com. Pada hampir semua tulisannya dengan segera tampak konsistensinya pada subjek penelitiannya, yaitu manusia dan kebudayaan Maluku. Hampir sulit menemukan celah bagian mana dari subjek manusia dan kebudayaan Maluku (Tengah) itu yang belum dieksplorasi oleh Dieter Bartels. Hal itu sebenarnya cukup menyulitkan bagi para peneliti/antropolog kontemporer untuk menemukan isu-isu baru dalam konteks penelitian Maluku. Rentang epistemik etnografi Dieter Bartels sangat komprehensif merambah pada berbagai dimensi kajian antropologi. Namun, pada saat yang sama, kajian-kajian Dieter Bartels membentangkan tantangan-tantangan baru bagi proyek-proyek penelitian yang melampaui antropologi. Artinya, kajian etnografi Dieter Bartels membuka banyak perspektif baru yang memungkinkan peneliti-peneliti muda pada bidang ilmu lain menemukan nuansa-nuansa kritis dalam kebudayaan (Maluku) yang punya pengaruh signifikan dalam konstruk epistemologi dan aksiologi ilmu-ilmu lain, jadi efeknya lebih bersifat multidisipliner. Gambaran itulah yang secara umum tampak pada magnum opus Dieter Bartels – “Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku”.

Dalam bacaan saya, buku ini merupakan refleksi komprehensif Dieter Bartels yang mencoba merajut data sejarah, sosiologis, antropologis, politis dan keagamaan yang digarapnya melalui suatu proses panjang penelitian etnografis sejak tahun 1970-an hingga sekarang (2017). Membaca buku ini dengan segera membentangkan sebuah perspektif bahwa antropologi Dieter Bartels – yang kemudian disebutnya sebagai “antropologi aksi” – sebenarnya adalah jembatan epistemik dua kosmos: kosmos Salam / kosmos Sarane dan kosmos timur / kosmos barat.

Kosmos Salam / Kosmos Sarane
Konsep Salam-Sarane di Maluku Tengah adalah konsep yang hibrid, yang melahirkan berbagai perspektif polydoxy. Salam-Sarane sekaligus adalah perspektif dan praksis kebudayaan dan keagamaan yang menghidupi dinamika historis dan kemanusiaan orang Maluku. Pada suatu lini-masa (timeline), keduanya berada sebagai oposisi yang dikotomis dan tersegregasi sehingga membentuk worldview-nya masing-masing. Namun, pada lini-masa yang lain, keduanya berjumpa pada satu ranah kebudayaan yang mendorong konstruksi identitas bersama secara dialektis: perbedaan disadari dan diserap menjadi miliknya sendiri. Di situlah antropologi Bartels tidak hanya sekadar cross-cultural juxtaposition tetapi lebih kepada apa yang menjadi landasan epistemik antropologinya sebagai semantic accretion and semantic depletion. Dengan perspektif itulah antropologi Bartels tidak dilakukan agar orang lain memahami orang Maluku, tetapi suatu “jembatan” historis-antropologis yang dengannya orang Maluku memahami (atau memulihkan?) identitasnya sendiri setelah ratusan tahun sejak periode kolonial mengalami sindrom tuna-identitas – sebagaimana tampak dalam sebutan “Belanda-hitam”. Mungkin itu pula yang menyebabkan zwartepiet lebih populer daripada sinterklas di Ambon. Dinanti sekaligus ditakuti oleh anak-anak.

Jembatan historis-antropologis Bartels itu juga menghubungkan dua kosmos religiositas Islam-Kristen berbasis ikatan kultural pela/gandong. Kedua agama ini punya sejarah dan teologinya masing-masing. Keduanya tertanam di ranah kebudayaan Maluku, bertumbuh dan berkembang secara kontekstual, kemudian terkonstruksi dengan tampilan (performa) yang berbeda. Meskipun ikatan-ikatan pela/gandong di Maluku Tengah bersifat sangat eksklusif dan terbatas, tetapi realitas keberagamaan dan politik pasca Orde Baru sampai saat ini membentangkan banyak kemungkinan untuk menjadikannya sebagai model baru melalui proses semantic accretion. Sebagaimana sudah sejak akhir 1970-an Bartels mengafirmasi bahwa “the vehicle of Agama Nunusaku is pela” (1978:320). Muatan, makna dan tujuan hakiki Agama Nunusaku – istilah yang diperkenalkan oleh Jensen – adalah masyarakat Ambon sendiri. Itu berkenaan dengan kekhasan masyarakat, yang memberi makna pada identitas Ambon dan berupaya merawat masyarakat Ambon serta menjaga keseimbangan harmonis-dialektis antara Salam-Sarane.

Bartels mencapai titik hipotetik bahwa agama etnis Ambon memperlihatkan kesejajaran dengan “agama sipil” (civil religion) seperti yang dianalisis oleh Robert Bellah pada masyarakat Amerika Serikat. Namun, lebih lanjut, bagi Bartels, Agama Nunusaku berbeda dengan agama etnis tradisional dan menegaskan bahwa dimensi “agama sipil” di dalamnya mesti dipahami dalam pengertian orang Ambon terlibat tanpa sadar dalam agama yang mentransendensikan konsep umum tentang agama. Agama Nunusaku itu invisible, seperti ranah sucinya yaitu Gunung Nunusaku, yang melalui nilai-nilai dan praksis pela/gandong dijaga oleh Muslim-Kristen Ambon. Di situlah, bagi saya, antropologi Bartels menantang proses-proses hermeneutika kebudayaan bagi penguatan relasi-relasi keagamaan yang belakangan ini makin terkristal dalam wujud politik identitas yang sektarianistik hampir di semua belahan dunia.

Kosmos Timur / Kosmos Barat
Penelitian Bartels tentang situasi hidup komunitas Maluku di Belanda merupakan dekonstruksi terhadap paradigma penelitian antropologi konvensional. Disertasinya yang ditulis pada tahun 1978 di Universitas Cornell tidak hanya menjadi karya akademik yang pada akhirnya berdebu di rak perpustakaan, tetapi malah menjadi semacam cultural guideline bagi penguatan identitas kebudayaan komunitas Maluku diaspora di Belanda. Kajiannya yang tertuang dalam buku Moluccans in Exile (1994) menyajikan suatu perspektif antropologis modern yang mengulas secara detail bagaimana kehidupan suatu “komunitas tradisional Timur” dalam konteks masyarakat modern Barat. Ulasan tersebut memperlihatkan pula bahwa relasi-relasi sosial-politik yang terbentuk dalam “komunitas tradisional” Maluku tidak hanya ditentukan secara eksternal oleh masyarakat modern Barat. Relasi-relasi sosial-politik itu juga dihidupi dan dirawat melalui relasi-relasi mitis-ideologis antara realitas Belanda dan realitas “gunung-tana” Maluku. Inilah yang menjadikan kajian Bartels unik, menantang dan berdaya tahan lama karena seakan-akan menjadi jembatan epistemologis dan kebudayaan postmodern antara Kosmos-Timur dan Kosmos-Barat, yang dalam ilmu-ilmu sosial Barat sering terperangkap pada apa yang disebut Gaston Bachelard sebagai epistemological break.

Penutup
Pada akhirnya, saya hanya bisa menyatakan bahwa buku “Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku” karya Dieter Bartels ini adalah karya antropologis besar (magnum opus) atau thick description tentang manusia dan kebudayaan Maluku Tengah. Karya ini harus menjadi bacaan wajib bagi seluruh jenjang pendidikan di Indonesia sebagai cara lain membaca Indonesia. Kajian antropologi Indonesia – terutama studi agama-agama – selama ini banyak bertumpu pada thick description dari Religion of Java karya Clifford Geertz. Buku ini menjadi tawaran perspektif untuk mencermati dan mengenali postur agama dan kebudayaan masyarakat di luar Pulau Jawa. Jika rezim Orde Baru dikenal karena mampu membangun “satu pusat” (one center), yaitu Jawa dan Jakarta sebagai representasi Indonesia, maka buku ini sedang mendekonstruksi worldview kita untuk melihat “banyak pusat” (many centers) dari konteks masyarakat majemuk Indonesia. Dengannya proses pembangunan tidak lagi terpaku sebagai proses membangun modernitas yang monolitik/tunggal tapi sebagai proses memaknai dinamika multiple modernities. Perspektif dan praksis itu penting untuk melihat setiap keunikan sosial-budaya-agama sebagai kekuatan membangun nasionalisme Indonesia yang sejati.

Proficiat bung Dieter!

Ambon, 23 Agustus 2017
Read more ...

Thursday, August 17, 2017

Catatan di Ufuk 72

Setiap buku punya cerita. Setiap buku punya logika. Cerita adalah pantulan pengalaman kehidupan dalam rangkaian momen-momen kesejarahan. Logika adalah gerak nalar untuk menjernihkan setiap momen tersebut. Simpul keduanya membentuk olah interpretasi yang melibatkan unsur dan aktor yang jamak. Dengan demikian, pembacaan terhadap satu buku pada hakikatnya adalah gerak hermeneutis memahami dunia-buku itu dan dunia sang pembaca buku itu. Itulah yang membuat buku mempunyai "roh"-nya sendiri, yang bergentayangan meninggalkan raga penulis/aktor untuk merasuki dunia-dunia baru pembaca yang menjadi fabrikasi wacana yang unik.

Rabu, 16 Agustus 2017, Lembaga Penelitian (Lemlit) UKIM menggelar acara peluncuran buku bertajuk "Inspirator dari Timur: Jejak Pemikiran dan Perjuangan Johannes Latuharhary dan Johannes Leimena" (UKIM Press 2017). Dalam konteks pendidikan tinggi, acara semacam ini sudah lazim. Tidak ada yang unik. Tetapi buku ini unik, dan karenanya momentum peluncuran buku ini besok, sehari sebelum peringatan Proklamasi Republik Indonesia ke-72, menjadi momentum yang unik. Apa uniknya?

Muatan buku ini bukanlah tulisan-tulisan mutakhir, tetapi bukan berarti bisa dianggap usang. Pada tahun 1995, 1996 dan 1997, secara berturut-turut UKIM menggelar Kuliah Memorial (Memorial Lecture) untuk beberapa tokoh pergerakan nasional dan kemerdekaan Indonesia asal Maluku. Profesi dan peran mereka beragam tapi komitmen mereka untuk mengukuhkan Indonesia merdeka adalah satu.

Tahun 1995 Kuliah Memorial dimulai dengan membahas "Dua Johannes" (Latuharhary dan Leimena), 1996 membahas E.U. Pupella dan Hamid bin Hamid, dan 1997 membahas J.B. Sitanala dan Duba Latuconsina. Ada semangat yang besar bahwa selepas acara itu seluruh materi yang dipresentasikan akan diolah untuk dipublikasikan. Namun, cita-cita itu pupus seiring dengan gonjang-ganjing konflik sosial yang meluluhlantakkan masyarakat Ambon/Maluku selama 1999-2005. Kampus UKIM tak luput dari dampak konflik. Sebagian besar gedung hangus terbakar dan hancur beserta isinya, termasuk arsip Kuliah Memorial tersebut.

Lama sekali peristiwa Kuliah Memorial itu hanya menjadi cerita-cerita dari mulut ke mulut dan sekadar ingatan bersama dari orang-orang yang pada tahun-tahun itu terlibat dalamnya. Sampai kemudian pada awal tahun 2017, ada seorang alumnus (yang tahun 1995 adalah mahasiswa peserta acara Kuliah Memorial) yang menemukan kembali bundel materi Kuliah Memorial "Dua Johannes" di antara tumpukan koleksi pustaka pribadinya. Arsip itu kemudian diserahkan ke pihak Lemlit UKIM, yang kemudian memutuskan untuk mengetik ulang, menyunting dan menerbitkannya tepat sehari sebelum peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI yang ke-72.

Pilihan momentum tersebut bukan tanpa alasan. Alasan yang utama adalah kedua Johannes ini (Latuharhary dan Leimena) adalah dua aktor sejarah yang turut menyumbang memberi isi "keindonesiaan" sebagai nasionalitas yang jamak. Nasionalitas semacam itu menolak determinasi konsensus kebangsaan yang hanya berpijak pada adagium basi "mayoritas-minoritas". Keduanya mampu memberi argumentasi yang kokoh dalam perdebatan sengit bersama-sama dengan perwakilan kelompok-kelompok sosial-politik-agama Nusantara bahwa pilihan mengindonesia tidak bisa dan tidak boleh disandarkan pada arogansi identitas (etnis dan agama) serta tunduk pada hegemoni monarkhi. Pilihan mengindonesia adalah pada "res-publica", yang serta-merta menjadikan Indonesia sebagai simpul kesepakatan bernegara.

Itulah yang menjadikan buku ini unik. Meskipun berisi catatan-catatan reflektif mengenai kedua Johannes tersebut yang dipaparkan pada tahun 1995, namun tetap terkandung "roh" yang menggerakkan nalar dan praksis keindonesiaan saat ini (2017 ~ 22 tahun kemudian) untuk menjernihkan kembali kesepakatan mengindonesia itu berhadapan dengan kecenderungan arogansi kekuasaan yang berupaya memangkas identitas jamak Indonesia hanya menjadi bonsai identitas monolitik di atas pijakan pseudo-logika "mayoritas-minoritas".

Rabu, 16 Agustus 2017, catatan-catatan reflektif mengenai "Dua Johannes" ini akan dipublikasikan dan ditanggapi oleh beberapa pihak. Besar harapan, publikasi buku ini akan menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda Indonesia untuk kembali merefleksikan dan menyelami kedalaman makna dan hakikat "menjadi Indonesia" yang pernah disepakati tahun 1945. Besar harapan pula, memasuki usia 72 tahun "menjadi Indonesia" nanti tanggal 17 Agustus 2017, kita tidak hanya meriah dengan lomba makan krupuk, balap karung atau panjat pinang; atau hanya secara formalitas mengikuti upacaranya. Tapi juga mampu menebarkan harapan bahwa angka 72 bukanlah senja melainkan ufuk yang mengarahkan visi kebangsaan kita jauh ke masa depan, serta tidak mengubur cita-cita kemerdekaan itu hanya demi sebutir biji kepentingan kekuasaan yang pongah dan tamak.

Salam Indonesia!
Read more ...

Monday, July 31, 2017

Walang Pekabaran Injil

Undangan dari Ketua Klasis Pulau Ambon Utara dan Ketua Majelis Jemaat Rumahtiga untuk berbagi dalam forum diskusi jemaat Walang PI (29/07), beta terima dengan "antusias" dan "malu hati". "Antusias" karena forum diskusi ini sudah berumur lama dengan melibatkan para pendeta, majelis jemaat dan warga jemaat. Jadi sifatnya terbuka dan informal tapi serius. Untuk itu materinya perlu disiapkan dengan baik sesuai tema yang disodorkan. "Malu hati" karena semestinya forum-forum diskusi semacam ini lebih hidup dan dinamis dalam lingkungan akademis seperti kampus. Kenyataannya, menggelar diskusi informal tapi serius dan konsisten di kampus ternyata sulit sekali. Ini impresi sementara beta. Jadi anggaplah lebih bernuansa subjektif.

Diskusi berjalan seru dan menggairahkan kendati ditemani guyuran hujan lebat. Itu pula yang justru "memberi angin" bagi kami untuk melanjutkan obrolan hingga sempat membuat moderator, Dr. Agus Kastanya, agak kewalahan membatasi percakapan yang terus mengalir seiring derasnya hujan di luar.

Beta cukup puas dengan dinamika diskusinya. Setidaknya dari situ beta menimba banyak wawasan berharga, terutama dari peserta yang bukan pendeta, mengenai isu utama diskusi. Oh ya, Walang PI kali ini kami membahas tentang "Misiologi Masyarakat Urban: Tantang-Jawab GPM". Dengan isu atau tema itu, perhatian lebih dipusatkan pada memahami realitas pembangunan jemaat dalam konteks masyarakat urban di Kota Ambon dengan seluruh dampak derivatifnya pada berbagai bidang. Pada titik-titik tertentu beberapa isu telah digarap dalam proses penyusunan renstra jemaat. Namun, pada titik-titik lain ada sejumlah dinamika konteks yang membutuhkan penanganan "darurat" yang mesti ditindaklanjuti secara taktis dan kreatif dalam sinergitas jemaat-jemaat dan klasis.

Hal menarik lain yang menantang adalah pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh peserta (yang didominasi warga jemaat GPM Rumahtiga) sangat kuat mengindikasikan perlunya pendekatan pelayanan yang komprehensif dan humanis. Maksudnya, menurut mereka, persoalan-persoalan tertentu tidak bisa ditangani semata-mata dengan selalu merujuk pada legal-standing aturan gereja sebab membutuhkan fleksibilitas atau keluwesan dalam menanggapinya. Landasannya adalah perspektif dan praksis humanisme (kemanusiaan).

Ini tampak misalnya pada kasus ibu Mien Rahakbauw di Hatu yang menderita kurang gizi tanpa mampu berbuat apa-apa karena kondisi hidup yang sangat miskin. Pelayanan kepada ibu MR tidak sempat dilakukan karena ada tarik-menarik alasan bahwa ibu MR bukan anggota jemaat setempat. Atas laporan dari seorang pemuda yang juga pegiat media, Klasis Ambon Utara bersama beberapa KMJ mengambil langkah sigap untuk menangani masalah ibu MR sampai membawanya ke rumahsakit untuk mendapat penanganan medis yang memadai serta menjamin dukungan finansial kesehatannya.

Itu contoh kasus yang kemudian menggiring diskusi kami lebih dalam menyelisik makna, perspektif dan praksis misi kristiani GPM saat ini. Banyak isu-isu lanjutan yang pada akhirnya terbuka untuk dibincangkan bersama dalam forum diskusi berikutnya. Yang jelas, kegairahan peserta untuk bincang-bincang "sersan" semacam ini penting terus dihidupkan untuk menangkap kegelisahan bersama yang pada gilirannya dapat mewujud dalam aksi-aksi kemanusiaan bersama.

Salut untuk Walang PI Jemaat Rumahtiga.

*Terima kasih untuk putriku, Kailani (3 thn), yang telah menemani selama diskusi sebagai peserta termuda dan menyimak dengan tekun*
Read more ...

Friday, July 21, 2017

UKIM: Kampus Tanpa "Jantung"

Satu semester sudah berlalu. Ada banyak pengalaman menarik dalam proses belajar bersama mahasiswa setelah 5 tahun vakum mengajar karena tugas studi. Dalam proses belajar-mengajar satu semester beta juga belajar bahwa banyak perubahan yang terjadi dibandingkan 2009-2010 saat belum pergi studi.

Hal yang paling menarik sekaligus menggelisahkan adalah perubahan besar karakter akademik mahasiswa yang indikator paling jelas bisa dilihat dari kemampuan menalar dan mendialogkan nalarnya dengan sejumlah referensi (literatur). Beta melihat setidaknya dua faktor penyebab:

[1] Gempuran gaya hidup berandroid jelas telah mengikis nyaris habis kemampuan mahasiswa (juga dosen?) untuk tahan bertekun melahap buku-buku referensi dari setiap matakuliah. Ini terlihat dari kegagapan mahasiswa dalam menanggapi suatu isu (bahkan yang paling populer sekalipun) dengan suatu alur nalar yang mumpuni sesuai dengan status yang disandangnya: mahasiswa. Pada setiap jam-jam kosong transisi antar-matakuliah, pemandangan lazim adalah mahasiswa yang bergerombol duduk di area parkiran, atau di tangga-tangga menuju lantai 2-3 gedung fakultas teologi. Yang dilakukan,sejauh beta amati, adalah ngobrol (tukel), mengotak-atik laptop (tidak jelas apa yang dikerjakan dengan laptop itu) dan yang paling banyak adalah "merenungi" androidnya masing-masing sambil sesekali senyum-senyum sendiri. Tidak ada yang tampak membaca buku.

[2] Makin luruhnya tradisi akademik yang dalam dunia kampus ditandai oleh tingginya kekerapan (frekuensi) diskusi-diskusi ilmiah, baik yang dikelola oleh kelompok-kelompok mahasiswa maupun oleh dosen-mahasiswa. Bahkan undangan diskusi di luar kampus pun tak ditanggapi serius. Dampak yang paling kentara dari fakta tersebut adalah lemahnya kemampuan mahasiswa dalam mengartikulasi gagasannya di kelas, termasuk dalam merumuskan pertanyaan dan menangkap ide-ide utama yang bisa diolah sebagai argumentasi dalam menanggapi suatu isu. Penggunaan bahasa (Indonesia) yang blepotan baik secara lisan maupun tulisan, serta miskin kosa-kata, memperlihatkan secara gamblang bahwa aktivitas olah-nalar tidak berjalan seimbang antara mencerap (membaca) dan menceritakan (artikulasi/argumentasi).

Keadaan itu tidak bisa sepenuhnya ditimpakan sebagai kesalahan mahasiswa. Ada hal prinsipil yang turut menyumbang sebagai faktor penyebab memburuknya situasi itu selama bertahun-tahun. Itu adalah KETIADAAN PERPUSTAKAAN DALAM KOMPLEKS KAMPUS UKIM. Sering beta sulit mencerna secara akal sehat mengapa para petinggi kampus tidak melihat hal ini sebagai situasi gawat-darurat (emergency) bagi nafas hidup dan detak jantung aktivitas akademik di kampus. Padahal dimana-mana kita selalu mendengar slogan "Perpustakaan adalah Jantung Universitas".

Kekuatan utama universitas-universitas besar di dunia adalah "jantung yang kuat dan sehat" alias perpustakaan yang hebat. Kehebatan perpustakaan bukan pada kemegahan gedungnya melainkan pada "tali poro" atau isi koleksi literatur yang dimilikinya. Itulah yang menjadi magnet utama mengapa orang memilih studi di suatu kampus.

Ketika tahun 2015 beta menjalani program sebagai "visiting scholar" di Cornell University, New York, Amerika Serikat, rekomendasi yang diberikan oleh promotor dan co-promotor adalah karena Cornell mempunyai perpustakaan terbaik dunia terutama untuk studi Asia Tenggara dan Indonesia (bersaing dengan Universitas Leiden di Belanda dan Australia National University). Perpustakaan Olin-Kroch, salah satu gedung dari 5 gedung perpustakaan utama di Cornell, adalah gedung berlantai 5 yang memuat khusus koleksi Kajian Asia Tenggara dan Indonesia. Lantai dasar berisi naskah-naskah klasik dan arsip. Lantai 1-5 memuat berjubel literatur tentang Indonesia, yang bahkan tidak lagi bisa ditemukan di Indonesia. Tapi itulah yang membuatnya tetap "kuat" dan "unik" karena memiliki "jantung yang sehat". Selain tentu saja tersedianya ruang-ruang diskusi di perpustakaan.

Kenyataan itu menyadarkan beta bahwa persoalan terbesar dan utama membangun tradisi akademik di UKIM, pertama-tama adalah dengan memperkuat "jantung" (perpustakaan) dan menjadikannya sebagai bagian vital dan sentral dalam aktivitas akademik keseharian. Tapi bagaimana itu bisa terjadi kalau gedung perpustakaan jauh "ilang-ilang" di Kusu-kusu Sere sana? Beta saja sebagai dosen sejak awal semester sampai akhir semester ini "malas" ke sana meskipun punya kendaraan sendiri. Apalagi yang harus naik angkutan umum. Waktu menunggu angkot lebih lama daripada waktu membaca di perpustakaan Kuser.

Bagaimana mengharapkan mahasiswa membaca dan berdiskusi (tentang isu atau bahas buku) jika kondisi "jantung" dipisahkan dari "tubuh utama"? Bagaimana pula dosen mau merekomendasikan buku referensi (apalagi yang berbahasa Inggris minimal)? Sedangkan untuk yang berbahasa Indonesia saja dosen harus "memaksa" mahasiswa (karena dosen enggan meminjamkannya untuk difotokopi oleh mahasiswa) untuk membeli buku dan mahasiswa memelas agar tidak usah beli buku (dan lebih suka mengisi paket data)? Maka yang termudah adalah menggantungkan harapan pada "tete gugel" untuk mencari informasi dalam rangka membuat makalah tugas. Tak heran, semua makalah mahasiswa, bahkan skripsi dan tesis, penuh dengan catatan-kaki yang diambil dari internet begitu saja dan mengalami "busung lapar" literatur buku-buku teks.

Tahun 1847, untuk menanggapi karya M. Proudhon "Philosophy of Poverty", Karl Marx menulis sebuah risalah bertajuk "The Poverty of Philosophy". Apakah situasi yang sedang dijalani oleh UKIM, yang kehilangan detak jantungnya, saat ini juga sedang mengarah pada "the poverty of philosophy"?

Walahuallam

Read more ...

Ambon Banjir

Setiap kali hujan lebat mengguyur Ambon, foto-foto dan klip-klip video dampak banjir di berbagai wilayah Pulau Ambon pun berseliweran di medsos. Sekadar info bencana atau protes terhadap situasi, termasuk terhadap mereka yang punya kewenangan/kuasa/aparatur untuk mengubah situasi itu, kita tidak tahu pasti.

Ada banyak problem di balik "banjir" dan "tanah longsor", yang sudah jadi wajah suram kebanyakan masyarakat urban di Indonesia (termasuk Kota Ambon). Salah satu yang penting untuk ditanyakan adalah: Apakah ada yang tahu, bagaimana visi-misi pembangunan dan eksekusi program cepat-tanggap bencana, terutama mengenai tata ruang kota dan penanganan banjir, dari pemkot Ambon dan para cagub dan cawagub Maluku?

Setidaknya, jangan hanya spanduk dan banner saja yang "bak jamur di musim hujan" tapi saat hujan seperti sekarang ini malah tidak ada "jamur"-nya (baca: JAMinan URgensi). Setiap kepemimpinan publik harus memiliki sensitivitas untuk menetapkan jaminan urgensi (jamur) sebagai basis kebijakannya setelah melakukan pemetaan masalah dari rakyat/warga yang akan dilayaninya.

Hal itu juga menegaskan bahwa yang sudah terpilih memimpin kota ini dan yang akan maju berkompetisi di Pilkada Gubernur nanti bertanggung jawab memenuhi cita-cita yang dikampanyekan sekaligus membuka jalur-jalur aspirasi bagi persoalan-persoalan publik melalui visi-misi dan program-program pembangunan yang terukur dan realistis.

Kembali ke "banjir". Masih ada yang ingat apa solusi programatik pemkot? Dan apakah ada yang tahu dan bisa berbagi info apa saja yang "dijanjikan" para cagub/cawagub?

Atau kita puaskan diri saja "dibanjiri" janji-janji pembangunan pada "musim kampanye" dan siap siaga mengungsi setiap kebanjiran air di musim hujan?

Read more ...

Thursday, June 22, 2017

Menata Manusia Kota

Ada hal menarik di antara sejumlah isu dan program yang diperdebatkan dalam dua tahap Debat Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta lalu, yaitu perbedaan perspektif mengenai pembangunan. Satu paslon dengan fasih mengelaborasi program-program pembangunan yang lebih konkret mengelola tata ruang kota melalui pembukaan lahan-lahan publik yang dapat menjadi ruang perjumpaan sosial di tengah-tengah atmosfer sosial-ekonomi yang kian pengap.

Sementara paslon kompetitornya bersikukuh ingin “mendekonstruksi” perspektif rivalnya dengan berpijak pada asumsi dasar bahwa pembangunan ibukota ini harus lebih berorientasi pembangunan manusianya. Titik tumpu perspektif semacam itu, dikatakan mereka, adalah pada pembinaan moral dan akhlak. Kendati demikian, orientasi pembinaan moral dan akhlak itu pun tidaklah jelas kecuali dengan mencantelkan begitu saja beberapa terminologi khas keagamaan (tertentu). Meski tampak sepele seolah-olah hanya soal perbedaan sudut pandang dalam visi manajemen pembangunan, namun sebenarnya ada titik temu filosofis dan antropologis pada kedua cara pandang tersebut.

Titik temu filosofis ada pada pemaknaan pembangunan sebagai suatu tindakan eksistensial dan tidak sekadar instrumental. Pembangunan mesti mendapat pembobotan sebagai proses rasionalisasi dan tindakan konstruktif yang dilakukan secara komprehensif dengan memperhitungkan dampak dan visi programatik. Di situ pembangunan menjadi sebuah tindakan relasional-eksistensial antara manusia (sebagai individu dan masyarakat) dengan kosmos (dunia semesta).

Titik temu antropologis dapat ditemukan pada pemaknaan manusia sebagai subjek yang berpikir dan membangun dengan menggunakan seluruh perangkat ideologis dan kebudayaannya. Di situ dimensi pluralitas yang mencirikan kemanusiaan dan peradabannya mesti dipertimbangkan secara serius agar relasi-relasi berkeadaban tidak tergelincir menjadi konflik-konflik kepentingan dan politik identitas.

Dua perspektif dalam implementasi strategi pembangunan yang diwacanakan dalam perhelatan debat cagub/cawagub DKI Jakarta tersebut akan digunakan sebagai lensa amatan terhadap dinamika pembangunan Kota Ambon pasca terpilihnya para pemimpin kota ini.

Ambon Kota Multikultur
Dua sejarawan mencatat dalam artikel-artikel mereka bahwa setidaknya sejak abad ke-17, masyarakat Ambon memiliki postur sosial-budaya yang majemuk. Gerrit Knaap dalam artikelnya “A City of Migrants: Kota Ambon at The End of the Seventeenth Century” mengulas tentang perkembangan Kota Ambon dalam kurun 130 tahun pertama serta gerak perubahannya menjadi kota multirupa (a non-Ambonese city). Kendati ada persamaan ciri dengan kota-kota lain pada awal periode kolonial namun tetap dapat ditemukan keunikannya sendiri. Sementara Richard Leirissa dalam tulisannya bertajuk “The Bugis-Makassarese in the Port Towns: Ambon and Ternate through the nineteenth century” secara lebih spesifik menyelisik aktivitas dan keberadaan para pedagang dari Sulawesi Selatan yang telah mengunjungi Maluku sejak abad ke-17. Penaklukan Makassar oleh VOC pada pertengahan abad ke-17 mengakhiri masa emas perdagangan Bugis-Makassar di Maluku. Namun sejumlah kecil kelompok etnis ini masih tinggal di Ambon dan Ternate, juga pulau-pulau lain. Leirissa menyelisik struktur komunitas-komunitas Bugis-Makassar di Kota Pelabuhan Ambon dan Ternate sepanjang abad ke-19.

Catatan historis dua sejarawan tersebut memperkuat asumsi umum bahwa postur sosial-budaya-politik-ekonomi masyarakat Ambon memang sudah lama terbentuk sebagai masyarakat urban multikultur. Stagnasi antropologis dan politis kemudian terjadi sejak era Indonesia merdeka tahun 1945 dan selanjutnya. Sentralisasi kekuasaan politik-ekonomi negara-bangsa baru yang digawangi oleh duet Soekarno-Hatta secara ideal mampu mewujudkan masyarakat imajinatif Indonesia sebagai satu kesatuan geopolitik. Pada era pasca Soekarno-Hatta, yang lebih dikenal sebagai Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, ada tendensi politik yang kian menguat untuk melakukan simplifikasi kemajemukan tersebut melalui program hegemonik penyeragaman bahkan dari cara berpikir atau ideologi.

Konsekuensi utama dari dua rezim tersebut adalah suatu konstruksi kesadaran dan realitas sebagai yang serba-tunggal dan monolitik. Diferensiasi sosial didaku sebagai ranah tabu yang bisa mengancam stabilitas nasional. Tabu itu kemudian meledak dalam berbagai ekspresi politik identitas ketika gelombang besar reformasi dan demokratisasi menyapu seluruh bangunan politik normatif yang pernah megah berjaya selama 32 tahun Orde Baru. Konstelasi sosial-politik pasca Reformasi yang terus bergolak dalam euforia demoratisasi pun dihadapi secara ambigu oleh para pemimpin republik ini. Suatu fenomena ambiguitas politik yang tak pernah ada presedennya sehingga menimbulkan turbulensi sosial karena postur politik yang masih kuat bertendensi patron-klien.

Apa yang kita saksikan belakangan ini adalah alih-alih keluar dari jebakan politik identitas kita malah terus memainkannya sebagai posisi dan kekuatan tawar untuk berebut “kue” kekuasaan yang kian menggoda dengan tuntutan otonomi daerah dan demokrasi patronase. Oleh karena itu, sudah menjadi pemandangan dan berita umum bahwa rebutan kekuasaan itu terutama memuncak pada momentum lima tahunan pemilihan kepala daerah (pilkada) dimana pengajuan visi-misi calon pemimpin menjadi salah satu indikator utama realibilitas kepemimpinan vis-à-vis realitas situasi problematik daerahnya. Bahkan nyaris sulit dilacak adanya good-political-will untuk saling adu argumentasi mengenai realitas konteks dan capaian-capaian terukur yang diharapkan dapat mengatasi isu-isu problematik secara kontekstual.

Menggumuli Perspektif Pembangunan Kota Ambon
Penghadapan secara kritis realitas Pilkada Jakarta (dan hasilnya) dengan ekspektasi kepemimpinan politik dan/atau pemerintahan Kota Ambon, bukanlah hal yang mengada-ada. Seperti sudah disebutkan bahwa refleksi sosial-politik mengenai proses Pilkada Jakarta sebagai contohnya, memunculkan dua titik temu yang patut dipertimbangkan secara serius: titik temu filosofis dan titik temu antropologis.

Pertimbangan atas kedua titik temu tersebut sangat urgen dilakukan untuk mengantisipasi dan mengatasi pragmatisme politik dan pembangunan. Sikap pragmatis secara politis sangat kuat pengaruhnya bagi masyarakat urban seperti Ambon karena dinamika perubahan dan pembangunan yang makin mendesak orang untuk lebih berpikir dan bertindak serba instan. Hal itu turut distimulasi oleh perkembangan teknologi informasi-komunikasi yang kini terus-menerus mengindoktrinasi “budaya instan” (speed culture) dalam setiap aktivitas keseharian, bahkan telah menjadi gaya hidup masyarakat urban. Psikologi sosial massa pun digempur bertubi-tubi oleh gelombang berita daring (online) yang diserap tanpa dibaca apalagi dipahami substansinya terlebih dulu. Kita sedang menjadi network society (Manuel Castels) yang cepat merespons apa saja tetapi lamban berpikir secara refleksif dan mendalam. Tak heran, relasi-relasi sosial dan relasi-relasi kuasa pun menjadi liar karena lebih reaktif ketimbang refleksif.

Kepemimpinan masyarakat urban sekompleks Kota Ambon – dimana terjadi pula overlapping of power antara ranah kuasa pemerintah kota dan pemerintah provinsi (Ambon sebagai ibukota Provinsi Maluku) – pada kedua titik temu tersebut tidak bisa berjalan secara pragmatis belaka. Refleksi filosofis dan antropologis dibutuhkan agar gerak pembangunan sosial-budaya-politik-ekonomi tidak semata-mata bertumpu pada hitung-hitungan matematis anggaran proyek pembangunan sambil mengabaikan pembangunan manusia kota itu sendiri. Pengabaian aspek multikulturalisme dalam proses pembangunan masyarakat urban Kota Ambon hanya akan berujung pada penciptaan enclaves segregatif berbagai ekspresi politik identitas, yang pada gilirannya membentuk pola-pola “kampungisasi” dalam penataan wilayah urban kota ini.

Pada konteks yang kompleks semacam itu dibutuhkan penguatan kesadaran bahwa proses pembangunan bukanlah semata-mata gawe-nya para teknokrat di lembaga-lembaga pemerintahan kota dan provinsi. Lebih jauh, dengan tumpuan titik temu filosofis dan antropologis tersebut kepemimpinan di daerah ini – baik kota maupun provinsi – membutuhkan suatu kajian serius yang oleh Van Peursen, filsuf Belanda, disebut sebagai “strategi kebudayaan”. Seperti apakah strategi kebudayaan itu? Jawabnya akan ditentukan oleh seberapa serius konstelasi sosial-budaya masyarakat Kota Ambon dicermati melalui lensa perspektif multikulturalisme yang semestinya melibatkan seluruh stakeholders pembangunan bagi penguatan kesejahteraan sosial. Jika tidak, secara fisik kita memang tinggal di ranah geografis yang disebut “kota” tapi mentalitas kita sebenarnya belum siap beranjak menuju pada realitas masyarakat urban dimana pluralitas dan multikulturalisme adalah keniscayaan absolut untuk keluar dari perangkap politik identitas yang absurd.

*Harian AMBON EKSPRES, 21 Juni 2017*

Read more ...

Saturday, June 3, 2017

Untuk Anakku

Untuk Anakku

Satu lagi ceruk telah kau lampaui...
Ina-Ama bangga dengan apa yang kau capai
Suatu hari kelak adikmu pun mengikuti

Masa depanmu membentang bagai laut biru
Tantangannya bergolak bagai ombak
Lihat tanuar dan jadilah bijak

Ina-Ama dan Kailani menyemat asa
Kau tumbuh makin dewasa
Jernih nalar
Bela rasa
Kokoh raga
Beriman setia

Kainalu, kau adalah ombak laut
Menghantam karang tanpa takut
Menemani nelayan saat melaut
Menjadi tautan harapan yang tiada surut

2062017

Read more ...

Tuesday, May 30, 2017

Darurat Kebangsaan

Pemerintah Filipina memberlakukan status Darurat Militer di Marawi. Perang pun pecah, mengusir penduduk Marawi ke tenda-tenda pengungsian, menjegal kerinduan anak-anak untuk belajar dengan tenang-damai di sekolah, mendepak orang-orangnya  dari tempat-tempat pekerjaan mereka. Saudara-saudara ingin tahu rasanya? Tanyakan itu kepada rakyat Maluku, rakyat Poso, rakyat Papua dan rakyat Aceh. Berbahagialah saudara-saudara yang tiada pernah mengalaminya. Jangan sekali-kali pernah bermimpi ingin merasakan dan mengalaminya.

Marawi berjarak tak jauh dari Indonesia. Tapi "angin"-nya sudah berhembus kuat menggoyang rekatan kebangsaan kita. Jangan naif menganggap terorisme bisa ditangkal hanya dengan rangkaian kata berlembar-lembar dalam formula RUU Anti-Terorisme. Kecenderungan untuk meneror (membuat liyan takut) sesungguhnya ada dalam diri setiap manusia ketika ia merasa nyaman dengan kuasa dominasi atas liyan yang dimilikinya. Kuasa yang pongah mempesona hingga ada yang tak ragu menancapkan paku-paku kebencian di otak anak-anak hingga mereka tak segan berseru "bunuh Ahok" dalam langgam nada menyambut hari yang suci di bulan Ramadhan. Ya, seruan bengis yang meluncur dari mulut-mulut mungil, yang bahkan mungkin tak tega menatap kucuran darah dari leher ayam yang digorok untuk digoreng menjadi santapan.

Paku-paku kebencian itu kini sudah telanjur menghujam dalam, mematikan syaraf-syaraf nurani hingga anak-anak akil-balik yang sedang bergolak jiwa mencari pengakuan jatidiri di balik panji-panji geng motor, tak segan membacok siapa saja tanpa alasan. Kecuali alasan memuaskan hasrat memangsa sesamanya manusia. Itu wajah teror sehari-hari kita saat ini.

Tak usah menunggu "Darurat Militer" karena jika nurani kita jeli maka kita bisa merasakan bahwa kita sedang memasuki goncangan kebangsaan yang sangat kritis alias gawat darurat. Goncangan kebangsaan yang dimulai dari membiarkan pikiran dan rasa kebencian atau permusuhan bergerak liar di dunia maya. Lantas, menggumpal dalam bentuk-bentuk perilaku penuh kekerasan di dunia nyata, karena menganggap semua yang berbeda adalah ancaman bagi dirinya dengan seluruh atribut identitas yang melekat - entah etnis, agama, maupun afiliasi ideologi politik.

Ruang-ruang virtual menjadi arena menabur benih-benih kebencian dan cemoohan tanpa batas. Simbol-simbol negara diinjak-injak dan dihina, kemajemukan dikafirkan oleh doktrin-doktrin agama dan politik yang monolitik. Tumpah-ruah segala hujatan seolah bisa menggantikan Tuhan yang menjatuhkan palu penghakiman "sesat" - sesat agama, sesat pikir, sesat ideologi.

Apakah situasi gawat-darurat ini akan kita biarkan berlarut-larut membuat kita hanyut dalam hempasan arus kebencian, keserakahan kuasa-harta, dan kekerasan demi kekerasan yang menggerus etika kebangsaan "menjadi Indonesia" yang dengan susah-payah kita jaga dan rawat selama ini?

Read more ...

Saturday, May 27, 2017

SAHUR

Setiap pagi mendengar ajakan sahur setelah adzan subuh, menarik ingatanku ke masa kecil di Malang. Dilahirkan di Surabaya, aku menjalani masa kecil dan remaja, hingga lulus SMA, di kampung Bareng, Kecamatan Klojen, Kotamadya Malang. Aku dan kedua adik tinggal bersama Opa-Oma. Orangtua kami bekerja di Kalimantan Selatan.

Di antara banyak pengalaman, ada pengalaman berkesan selama tinggal di kampung Bareng. Setiap bulan puasa, teman-teman di kampung Bareng selalu mengajak berkeliling sambil "kotekan", menabuh ember, memukul kentongan dan kaleng bekas, sambil melilitkan sarung di leher dan berteriak bersahutan "sahur, sahur" pada titik-titik perhentian tertentu. Kampung Bareng adalah kampung urban padat penduduk dengan gang-gang kecil yang saling berhubungan sehingga nyaris tidak ada yang namanya "gang buntu".

Kelompok sahur di sekitar kampung kami terbagi ke dalam beberapa kelompok berdasarkan umur. Dalam kelompok-kelompok itu aku bertemu dengan banyak teman "Sekolah Minggu". Kami menikmati suasana itu sebagai suasana hiburan dan pertemanan, karena sehari-hari kami memang adalah teman-teman sepermainan: sepedaan, layangan, nekeran, umbulan, sambil sesekali mencari belut di petak-petak sawah pinggiran kampung. Lagipula, suasana permainan bersama semacam itu, kala itu, merupakan saat yang paling menghibur dan mengasyikkan ketimbang nonton tivi yang hanya ada satu saluran resmi - TVRI - dengan selingan "siaran niaga" yang itu-itu saja.

Karena yang dibunyikan bukan "nada-nada agamis" maka tidak ada syair yang perlu dilafaskan bersama. Hanya "kotekan" alias bunyi-bunyian yang dihasilkan dari benda-benda yang dipukul (ember, kaleng, kentongan bambu). Maka bunyi-bunyian tanpa syair itu menjadi harmoni yang memecah kesunyian dini hari seputar kampung. Suara yang keluar dari mulut kami hanya teriakan "sahur, sahur" sambil sesekali gelak tawa. Harmoni bunyi tanpa syair dan karenanya bebas tafsir, karena bunyi itu diproduksi oleh semua dan menjadi milik semua, dengan satu misi bersama: membangunkan warga untuk sahur. Maka "kotekan" sahur menjadi tindakan bersama warga Bareng (apapun agamanya). Suatu tindakan kebudayaan yang melangkaui matra ritualistik internal saudara-saudara Muslim yang menjalani ibadah puasa.

Setelah puluhan tahun meninggalkan Kota Malang, beberapa kali sempat singgah dan bertandang ke kampung Bareng. Sempat pula bersua beberapa teman bermain dulu sambil bertukar cerita tentang ingatan bersama yang rajutannya tetap merekatkan hubungan persahabatan kami sebagai warga kampung, kendati saat ini sudah banyak yang tinggal di luar Bareng. Tentu saja, kampung Bareng dan warganya sudah banyak yang berubah. Gang-gang kecil masih ada meski tampak seolah-olah menyempit di mataku. Mungkin juga karena himpitan rumah-rumah yang kian memadati celah-celah tersisa. Tidak banyak lagi orang Bareng yang kukenal kecuali segelintir yang dulu tergolong senior yang masih hidup dan krasan di Bareng.

Kota Malang kini kian padat dengan aneka manusia dan kendaraan, juga perubahan jalur-jalur lalu-lintas yang beberapa kali sempat membuatku kesasar. Apalagi sudah ada beberapa lokasi wisata yang besar di Kota Batu, kota tetangga Malang. Tapi bagiku "Malang pancet mbois". Selamat menjalani ibadah puasa.

Salam satu jiwa!

Read more ...

Didin dan Belitan Cacing Sonari

Tampaknya hukum dan aparat hukum di negara ini makin menjauh dari rasa keadilan sosial. Hukum dan aparat hukum bak macan yang garang mengaum menakuti rakyat kecil tapi sesungguhnya macan ompong untuk "mengigit" para penjahat kelas kakap.

Fakta itulah yang sedang dijalani oleh Didin, seorang pekerja serabutan di Bogor. Sehari-hari dia adalah penjual jagung bakar hingga suatu hari ditangkap dengan tuduhan merusak kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Tuduhan merusak hutan ditimpakan pada Didin yang suatu hari memasuki hutan untuk mencari cacing sonari. Aktivitas mencari cacing sonari ini sudah sering dilakukan oleh warga desa sekitar karena jenis cacing ini biasa dikonsumsi sebagai "obat tradisional" (tipus, demam). Hal itu diakui oleh sejumlah peneliti ekologi.

Namun, tuduhan yang ditimpakan oleh polisi hutan taman nasional kepada Didin sangat ganjil. Pasalnya, Didin dituduh merusak kawasan taman nasional itu (penebangan pohon) seluas 35 hektar karena aktivitasnya mencari cacing sonari. Lebih aneh lagi, tidak ada tersangka lain selain Didin. Bisa dibayangkan, ada seorang petani miskin yang mampu menebang pohon di kawasan hutan seluas 35 hektar seorang diri hanya dalam waktu 2 minggu?

Pihak polisi hutan menyatakan bahwa Didin mempunyai "kaki-tangan" sekitar 40 orang yang digerakkan untuk menebang pohon pada kawasan hutan seluas 35 hektar. Tapi hanya Didin yang ditangkap bahkan tanpa barang bukti apapun. Adison, kepala polisi hutan taman nasional, menyatakan bahwa Didin mencari cacing sonari dengan cara menebang pohon-pohon karena cacing itu waktu kecil masih di atas pohon, nanti waktu besar baru jatuh ke tanah. Penjelasan yang bagi saya sangat absurd.

Padahal menurut Didin, untuk mencari cacing sonari tidak perlu sampai masuk jauh ke dalam hutan apalagi menebang pohon karena cacing sonari bisa didapatkan di akar-akar tanaman pakis. Cukup mencabut tanaman pakis lalu mengais bagian akarnya maka bisa didapat cacing sonari di situ.

Tentang tuduhan kepadanya, Didin pun tak mengerti. Suatu hari dia diminta oleh seorang cukong untuk mencari cacing sonari. Pada hari itulah dia ditangkap oleh polisi hutan dengan tuduhan merusak kawasan taman nasional seluas 35 hektar serta ancaman dipenjara 10 tahun. Adison menyatakan bahwa proses penyidikan kasus ini masih berlangsung kendati sudah 2 bulan belum ada tersangka lain selain Didin, petani dan penjual jagung bakar yang miskin. Didin kini sudah "dititipkan" di tahanan polres sampai menunggu pengajuan berkas perkara ke tingkat pengadilan.

Kasus Didin sebenarnya merefleksikan rapuhnya rasa keadilan dalam proses penegakan hukum di negeri ini. Rakyat kecil-miskin selalu menjadi pihak yang dikambinghitamkan, dipinggirkan, disingkirkan dan dihancurkan hidupnya hanya untuk menjaga kepentingan kaum kapitalis besar yang "berselingkuh" dengan aparat negara (sipil dan militer). Mereka memuaskan hasrat keserakahan harta dan kuasa dengan mencuri habis-habisan sumber daya alam hanya untuk membiayai gaya hidup extravaganza yang rakus tanpa batas.

Jika kita mau membuka mata dan telinga kita akan menemukan realitas "Didin" di sekitar kita. Siapakah yang akan membela mereka di hadapan keangkuhan hukum?

Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces