Aku menulis maka aku belajar

Friday, October 17, 2008

Hidup Cuma Sekali, Kenapa Takut Sukses?


Takut sukses? Aneh. Mana ada orang yang tidak ingin sukses? Semua orang kan pasti mau mencapai dan menikmati kesuksesan dalam hidupnya?! Mau kaya, rumah mewah, mobil mewah, gonta-ganti handphone, bisa jalan-jalan ke luar negeri sebulan sekali, jaminan finansial hidup masa depan sudah mapan, bisnis berjalan mulus dengan prospek pendapatan yang meroket, dan sebagainya. Ups, nanti dulu. Semua orang memang ingin sukses. Itu sudah pasti. Tetapi gambaran tentang kesuksesan seperti di atas bukanlah matra kesuksesan yang paripurna. Malah bisa dikatakan bahwa sekuritas finansial, rumah mewah, mobil mewah, dan sebagainya itu, hanyalah imbas atau percikan-percikan kecil dari kesuksesan yang sesungguhnya. Jadi, apa sebenarnya yang menjadi hakikat kesuksesan itu? Dalam tulisan ini saya ingin mulai dengan menyoroti “karakter sukses”.

Karakter Sukses
Semua orang tentu tidak menolak segala sesuatu yang kita bisa sebut sebagai imbas kesuksesan: bisnis lancar, keuangan mapan, dsb. Namun tidak semua orang bersedia untuk menerima, menghayati, bahkan mempraktikkan apa yang disebut karakter sukses. Karakter sukses adalah suatu proses pembentukan karakter yang berlangsung dalam kontinyuitas tanpa batas atau selagi hayat masih dikandung badan. Setiap manusia sejak dilahirkan sudah terkandung dalam dirinya benih-benih sukses. Benih-benih sukses ini akan berkembang seiring dengan perkembangan hidup manusia. Jika benih-benih ini – selama proses hidup – jatuh di tanah yang subur, dirawat, dikembangkan, maka itu akan menjadi pohon-pohon sukses yang berakar jauh ke dalam kepribadian sekaligus bertumbuh menjulang ke atas. Karena akarnya yang menghujam ke dalam, meskipun ada angin kencang menghantam pohonnya tetapi tidak akan roboh karena ditahan oleh akar-akar yang kuat.

Sebaliknya, jika benih-benih sukses ini diabaikan dan disia-siakan, atau jatuh di tanah yang kurang subur, maka dapat dipastikan dalam waktu singkat benih itu akan mati. Kalau pun ia bisa bertumbuh, akarnya rapuh dan tidak mampu menyuplai sari makanan dari tanah sehingga tanaman sukses itu pun layu. Lebih parah lagi, ketika angin datang angin kencang dengan segera ia akan roboh dan tercerabut bersama akarnya. Maka dalam hal ini karakter sukses sebenarnya merupakan sebuah proses alami dalam kehidupan manusia. Seperti kata-kata inspiratif, “taburlah gagasan, tuailah perbuatan; taburlah perbuatan, tuailah kebiasaan; taburlah kebiasaan, tuailah karakter; taburlah karakter, tuailah nasib”.

Akan tetapi, meskipun merupakan sebuah proses alami dalam kehidupan manusia, ternyata tidak semua orang mampu menyadarinya, bahkan mau mendeteksinya. Karena berproses, karakter sukses akan terbentuk dalam suatu rentang waktu yang panjang, tetapi berdaya tahan lama. Karakter sukses bukanlah sesuatu yang instan. Itulah sebabnya tidak semua orang yang berduit punya karakter sukses; tidak semua orang sekolahan (bergelar sarjana dan seterusnya) punya karakter sukses; tidak semua businessman punya karakter sukses, dan seterusnya.

Lihat saja: banyak orang berduit tetapi miskin kepedulian kepada sesamanya padahal orang karakter sukses tahu bahwa duitnya itu hanyalah benda-benda mati yang hanya bisa “berbicara” dalam relasi kemanusiaan dengan orang lain. Banyak orang sekolahan (para sarjana) yang kuat ilmunya tetapi rapuh integritasnya, sehingga malah menggunakan ilmunya itu untuk membodohi orang lain (sesuatu yang bertentangan dengan hakikat ilmu sebagai media pencerdasan manusia). Padahal seorang sarjana yang berkarakter sukses adalah orang yang menghargai kejujuran dan integritas (satu kata dan perbuatan). Banyak businessman yang usahanya maju tetapi mengalami kemunduran dalam menghormati nilai-nilai hakiki manusia. Manusia atau orang lain hanya dilihat sebagai “komoditas” yang akan diterima atau dirangkul kalau memberikan prospek keuntungan bagi bisnisnya. Nilai manusia direduksi menjadi sekadar “sumber daya” yang artinya hanya tenaganya saja yang diperlukan; terlepas dari perasaannya, kayakinannya. Jadi, bagaimanakah kita bisa mencapai tahapan karakter sukses itu?

Menapaki Tangga Karakter Sukses

Anak Tangga 1 – Belajar
Salah satu penanda yang membedakan manusia dan hewan adalah kemauan dan kemampuan manusia untuk belajar. Hewan juga belajar, tetapi secara instingtif. Sedangkan kemampuan manusia untuk belajar mencakup matra yang lebih komprehensif – spiritual, kognitif, intuitif, emotif, motorik. Sehingga hanya pada diri manusialah dapat ditemukan kecerdasan. Kecerdasan adalah kombinasi potensi intrinsik dan kompetensi ekstrinsik. Potensi intrinsik adalah kekuatan dari dalam (inner power), sedangkan kompetensi ekstrinsik adalah proses mendeteksi inner powerthe power of kindness (daya kebaikan). itu untuk dijadikan energi membangun hidupnya secara utuh. Itulah yang disebut “belajar”. Dari proses itu manusia akan menemukan apa yang disebut oleh Pierro Ferruci sebagai

Anak Tangga 2 – Komunikasi
Mari kita menapaki anak tangga kedua. Sejak dilahirkan, kehidupan manusia sudah terkondisikan dalam atmosfer komunikasi. Sentuhan dan belaian ibu, genggaman ayah yang menuntun saat belajar jalan, kekasih yang menggandeng saat berjalan-jalan, berjabat tangan saat bertemu dengan teman; semuanya merupakan bentuk komunikasi fisik. Ada juga komunikasi simbolis, yang biasanya kita lakukan saat bercakap-cakap dengan orang lain. Dalam percakapan kita sebenarnya sedang melakukan pertukaran simbol-simbol, entah dalam wujud kata-kata atau bahasa tubuh. Semua bentuk komunikasi itu sangat menentukan relasi-relasi kita dengan manusia maupun lingkungan hidup. Jika komunikasi tidak berjalan lancar, bahkan rusak, maka sebenarnya manusia kehilangan matra kemanusiaannya yang utama yang membuatnya terasing. Seseorang yang merasa terasing atau gagal berkomunikasi akan seperti aliran sungai yang mampat oleh tumpukan sampah dan akhirnya airnya meluber keluar dari alirannya. Anda tahu mengapa “Ryan” (pelaku mutilasi) yang dikenal “pendiam” dan “baik” justru menunjukkan gejala psikopat yang mengerikan? Saya kira salah satu faktor adalah ia kehilangan kemampuan mengomunikasikan dorongan-dorongan batinnya sehingga “meluber” dalam tindakan-tindakan yang sadis.

Anak Tangga 3 – Daya Mengasihi
Anda pernah melihat daya mengasihi atau kekuatan cinta? Tidak usah jauh-jauh, saya dan Anda adalah bukti dari kekuatan cinta atau daya mengasihi. Bayangkan saja kita ada karena cinta dua orang (ayah dan ibu kita) yang sebelumnya sama sekali tidak saling mengenal. Apakah yang menyatukan mereka berdua? Cinta. Dan kita semua adalah buah dari cinta ayah dan ibu kita. Itu berarti sebagian besar energi yang mengalir dalam diri kita adalah energi cinta. Tetapi, mengapa justru dunia kita lebih banyak menampilkan pertengkaran, peperangan, dan pembunuhan? Jawabnya adalah: karena kita tidak mengeksplorasi energi itu seluas-luasnya untuk menjadi bahan dasar membangun kehidupan bersama di dunia. Meskipun dalam diri kita terkandung energi cinta, tetapi ia tidak muncul dengan sendirinya. Energi cinta itu harus digali dan diolah secara maksimal karena diri kita adalah tambang cinta yang tidak pernah habis digali. Sayangnya, energi ini sering kali diabaikan.

Anak Tangga 4 – Proaktif
Setelah menapaki “belajar”, “komunikasi”, dan “daya mengasihi”, maka kita akan memahami mengapa kita harus bersikap proaktif. Orang yang proaktif tetap dipengaruhi oleh stimulus luar (fisik, sosial, atau psikologis). Namun respons mereka terhadap stimulus tersebut, sadar atau tidak sadar, didasarkan pada pilihan atau respons menurut nilai tertentu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi, “Mereka tidak dapat merenggut harga diri kita jika kita tidak memberikannya kepada mereka.” Orang yang proaktif menyadari bahwa mereka memiliki kehendak bebas (free-will) untuk menerima dan menolak stimulus luar. Penerimaan dan/atau penolakan tersebut didasarkan pada nilai-nilai yang dibatinkan dan dipraktikkan sebagai panduan menuju tujuan akhir (end-in-mind). Pada tahapan ini, orang-orang yang berkarakter sukses sama sekali tidak dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang terjadi di luar diri mereka, selagi end-in-mind mereka masih menjadi rujukan. Kegagalan akan dilihat sebagai awal dari suatu kesuksesan, dan kesuksesan akan dipelajari sebagai kesempatan mengatasi kemungkinan gagal.

Anak Tangga 5 – Menunduk dan Menengadah
Anak tangga kelima sebenarnya merupakan kulminasi atau puncak dari karakter sukses. Pada puncak inilah orang-orang dengan karakter sukses ditantang untuk terus-menerus melakukan evaluasi (menunduk, melihat ke proses sebelumnya yang telah dilalui) agar tetap berada dalam kesadaran akan kemampuannya sendiri. “Menunduk” dalam proses ini berarti menyadari seberapa banyak energi yang telah dikeluarkan, dan berhenti sejenak dalam jeda untuk mengakumulasi energi baru. Menunduk bukan berarti “menyerah” atau “pasrah”. Pada saat yang sama, orang berkarakter sukses juga akan menengadah untuk melihat kemungkinan-kemungkinan baru yang bisa ditapaki lebih tinggi. Kemungkinan-kemungkinan baru itu akan selalu dapat dilihat jika seluruh energi untuk telah dipulihkan. Itulah sebenarnya prinsip keseimbangan alami yang ada dalam diri kita.

Apakah ini anak tangga yang terakhir? Bukan. Anak tangga puncak bukanlah anak tangga terakhir. Jadi masih ada anak tangga ke-6, ke-7, dan seterusnya? Ya, tentu saja. Anak tangga ke-6, ke-7, dan seterusnya adalah: belajar’, komunikasi’, daya mengasihi’, proaktif’, dan menunduk/menengadah’, dan seterusnya. Prinsipnya akan terus berulang tetapi dengan kualitas yang makin meningkat.

Nah, sekarang sudah jelas kan bahwa tidak semua orang mampu dan mau meniti anak tangga demi anak tangga tersebut. Tidak jarang banyak yang memilih berhenti pada anak tangga ke-1; atau bahkan sama sekali tidak mau menapaki anak tangga ke-1; atau ada juga yang menganggap apakah kita perlu meniti kelima anak tangga tersebut. Bagi saya, ini bukan persoalan perlu atau tidak perlu, melainkan kita berani atau tidak berani. Anda sendiri bagaimana? Takut, atau masih pikir-pikir, atau mungkin sudah mencapai puncak anak tangga kelima yang pertama? Tapi kenapa harus takut ya? Hidup cuma sekali, kenapa harus takut sukses? Ayo kamu bisa!
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces