Pada tanggal 10-13 September 2009 saya terlibat bersama tim Lembaga Penelitian UKIM yang dinakhodai oleh Elia Radianto, SE, M.Si, yang juga dosen pada Fakultas Ekonomi UKIM. Kegiatan yang dijalankan oleh LP-UKIM tersebut merupakan salah satu implementasi program pengabdian masyarakat yang disasarkan pada prospek pengelolaan kripik keladi di negeri Rumberu, Kecamatan Kairatu, Seram Bagian Barat. Tim kami terdiri dari gabungan beberapa akademisi dari UKIM dan UNPATTI. Dari UKIM adalah Elia Radianto (kepala lemlit), Hobart Soselissa (Sekretaris), Ongky Samson (anggota, Dinas Perindustrian), Steve Gaspersz (anggota) dan Ona (istri Elia Radianto); sedangkan dari UNPATTI adalah Dr. John Riry dan Sandra Nendissa, keduanya dari fakultas pertanian.
Kami berkumpul di rumah Elia Radianto (Lateri) pada 10 September 2009 pagi dan berangkat menuju pelabuhan feri Liang. Tak lama kemudian Hobart datang dengan membawa mobil yang akan mengangkut kami ke pelabuhan feri Liang. Dari rumah Elia, kami mampir di Passo untuk menjemput John Riry. Rencana awal, jika memungkinkan kami akan langsung menyewa mobil ini langsung ke Pulau Seram. Tetapi rupanya tidak bisa karena kami tiba terlambat. Kapal feri pertama sudah bertolak dari pelabuhan Liang. Kami harus menunggu pelayaran berikutnya sekitar jam 12.00. Itupun belum ada kepastian apakah mobil kami bisa turut terangkut ataukah tidak. Biasanya, kalau jumlah kendaraan mobil cukup banyak maka kecil kemungkinan mobil kami bisa ikut. Karena itu kami memutuskan untuk tidak usah menyewa mobil sampai ke Seram.
Sekitar jam 12.30 kami sudah bertolak dengan kapal feri ke pelabuhan Waipirit. Setelah makan siang, kami melanjutkan perjalanan dengan mobil ke Km 18 melewati desa Gemba, Uraur, Ursana, dan Sukowati. Dari Sukowati, jalan menanjak dan kami melewati kawasan perbukitan yang hanya ditumbuhi alang-alang, karena sebagian besar pohon-pohonnya sudah ditebang. Pemandangan itulah yang menghiasi perjalanan kami hingga tiba di Km 18. Pada rencana awal, Elia sudah meminta bantuan seorang teman untuk mengatur bersama penduduk setempat agar bisa menjemput kami di mata jalan setapak menuju ke Rumberu. Namun, entah mengapa, setibanya kami di tempat tersebut kami tidak menjumpai seorang pun.
Setelah menunggu hampir 2 jam dengan usaha melakukan kontak untuk meminta beberapa orang Rumberu yang bisa mengantar kami ke negeri Rumberu, kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan tanpa panduan. Ini benar-benar bonek (bondo nekat) karena tak seorang pun yang tahu pasti jalan setapak ke Rumberu, apalagi melintasi hutan, gunung dan sungai. Tetapi karena sudah menjadi tekad maka perjalanan harus tetap dilanjutkan. Rombongan dibagi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari Elia, Ona (istri Elia), Sandra dan Hobart. Sedangkan kelompok kedua hanya terdiri dari dua orang, yaitu saya (Steve Gaspersz) dan John Riry. Kelompok pertama melanjutkan perjalanan kaki lebih dulu dengan harapan dapat tiba sebelum gelap untuk meminta bantuan penduduk negeri menjemput saya dan John Riry. Sementara saya dan John Riry menunggu “jemputan” dan menjaga sebagian besar barang-barang yang tidak bisa dibawa.
Menjelang gelap kami berdua mulai cemas, jangan-jangan rombongan pertama belum sampai di Rumberu. Karena itu kami mengambil inisiatif untuk mencari rumah penduduk terdekat agar bisa bermalam sampai besok pagi untuk melanjutkan perjalanan ke Rumberu. Syukurlah, kami menemukan satu rumah sederhana yang ternyata dihuni oleh sekelompok anak muda yang sedang menggarap proyek pertanian di kawasan Km 18. Di antara mereka ternyata ada seorang mantan mahasiswa pertanian UNPATTI yang kenal John Riry. Kami pun bermalam di situ.
Esok pagi, Hobart sudah turun lagi didampingi seorang warga negeri Rumberu. Ia menceritakan bahwa mereka (rombongan pertama) masuk Rumberu sekitar jam 20.00. Itu berarti mereka berjalan sekitar 5 jam. Bahkan, Hobart menambahkan, mereka bisa saja tersesat seandainya tidak ada dua orang penduduk Rambatu, yang mereka temui di tengah jalan, tidak mengantar mereka sampai ke Rumberu. Hobart memilih untuk langsung pulang karena dia harus memegang pedal dalam upacara wisuda UKIM. Penyajian materinya diserahkan kepada Elia. Tak lama kemudian saya dan John Riry berkemas dan melakukan perjalanan bersama bapak Niko ke Rumberu. Waktu tepat menunjukkan pk. 7.30 WIT. Medan perjalanan kami cukup melelahkan karena kami harus melintasi 2 bukit yang cukup terjal, menyeberangi dua sungai, dan mendaki lagi 2 bukit berikutnya. Kami masuk Rumberu sekitar pk. 11.00. Jadi kira-kira kami sudah berjalan sekitar 3 jam dengan 3 kali beristirahat (sekitar 3 menit). Kami tinggal di pastori jemaat Rumberu. Ketua Majelis Jemaat, Pdt. Grace Wattimena, sedang berada di Ambon untuk menjalani persalinan.
Kegiatan pelatihan pembuatan kripik keladi berlangsung keesokan harinya. Kegiatan tersebut berjalan dengan santai tapi serius. Sandra mengarahkan ibu-ibu terlibat dalam proses pembuatan mulai dari pengupasan keladi sampai pengemasan kripik keladi. Materi seharusnya dilanjutkan dengan pengarahan pembuatan label dagang oleh bapak Ongky Samson dari Dinas Perindustrian, tetapi dibatalkan karena pak Ongky tidak mampu menembus medan perjalanan yang berat. Materi selanjutnya dipandu oleh Dr. John Riry, yang memberikan beberapa tips budi daya keladi agar bisa digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kripik keladi secara sinambung. Hari Minggu, saya bertugas memimpin ibadah Minggu.
Perjalanan ke Rumberu ini juga membuka sisi lain kehidupan masyarakat Rumberu. Sungguh, saya sulit menerima bahwa jargon pembangunan yang pernah menjadi “panglima” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita di Indonesia selama puluhan tahun, ternyata hanyalah suatu slogan kosong. Pembangunan itu ternyata bukan untuk rakyat, kendati rakyat kecil yang mesti menanggung risiko ideologi pembangunan tersebut. Tidak adanya akses jalan, jaringan listrik (sepanjang jalan hanya ada tiang-tiang listrik tanpa kabel – konon kabel-kabel itu sudah dicuri untuk dijual), jaringan air bersih (warga Rumberu harus mengambil air sejauh 2 km), dan sarana pelayanan kesehatan (puskesmas). Sulit menerima kenyataan bahwa jika beberapa tempat lain (terutama di Pulau Jawa) banyak kelompok masyarakat yang berlimpah-limpah dengan segala fasilitas penunjang hidup tetapi di Rumberu saya merasa seolah-olah bukan berada di wilayah negara Indonesia. Begitu dalam jurang kesejangan yang dirasakan padahal secara geografis Rumberu masih tergolong “dekat” dengan pusat kecamatan Kairatu dan pelabuhan feri Waipirit. Tetapi kalau Anda berada di Rumberu, Anda pasti tidak mengira bahwa Anda sedang berada di Indonesia, apalagi kalau Anda membayangkan kawasan-kawasan “basah” seperti Jakarta, Surabaya, dan kota-kota lain khususnya di Pulau Jawa.
Dengan kesenjangan yang begitu dalam semacam ini, saya dipaksa untuk mengakui bahwa rakyat kecil – khususnya orang Rumberu, dan komunitas-komunitas adat lainnya di Maluku – adalah orang-orang tangguh yang mempertaruhkan hidupnya dengan perjuangan yang berat memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Mereka tidak mengeluh. Mereka menerima kenyataan hidup mereka apa adanya. Tetapi apakah dalam “kebisuan” mereka kita bisa menganggap lumrah seluruh proses pembangunan yang telah dan masih berlangsung sampai saat ini tanpa sedikitpun menyentuh realitas hidup mereka? Apakah kita akan terus mendiamkan berbagai ketimpangan dalam proses pembangunan – yang konon selalu menggelontorkan trilyunan rupiah untuk proyek ini dan itu – dan juga berbagai manipulasi yang menikmati keuntungan melalui praktik-praktik ketidakadilan terhadap rakyat? Sudah lebih dari setengah abad negara kita merdeka secara politis, toh rakyat Maluku (khususnya orang Rumberu) masih menjadi komunitas marjinal – yang mungkin dianggap tak penting jika dibandingkan komunitas-komunitas lain.