Waktu masih menunjuk sekitar 2 jam lagi sebelum check-in untuk melanjutkan penerbangan ke Indonesia (Jakarta). Penerbangan yang cukup melelahkan dari San Francisco menuju Taipei. Syukurlah masih ada waktu untuk mengendurkan otot-otot yang nyaris kaku karena terlalu lama duduk di pesawat. Terlebih untuk Kainalu. Karena itu begitu mendarat di Taipei kami tak buang waktu langsung masuk ke ruang tunggu untuk penumpang transfer ke Indonesia. Relax.
Ruang tunggu yang luas makin lama makin penuh oleh penumpang yang akan ke Indonesia. Ada hal menarik, yang baru saya sadari kemudian, yaitu bahwa ternyata sebagian besar penumpang datang berkelompok. Berempat. Berlima. Sejauh amatan saya hanya segelintir yang datang sendiri-sendiri. Sambil menonton Kainalu bermain game di laptop sempat telinga saya menyambar sekelumit percakapan di antara mereka. Hampir seluruh percakapan mereka tidak dilakukan dengan bahasa Indonesia baku, tetapi bahasa Jawa ngoko. Karena pernah hidup di Malang, saya mengerti isi percakapan mereka.
Wah, ternyata mereka adalah Tenaga Kerja Indonesia(TKI) yang mudik bareng. Entah cuti ataukah sudah selesai kontrak. Apakah mereka bekerja di Taipei atau di negara-negara jiran lainnya dan transit di Taipei, saya tidak tahu. Penampilan busana mereka tak kalah dari kaum berduit di kota-kota besar, terbalut dalam kemasan “western”. Tapi bukan itu yang menarik untuk dicermati, melainkan cerita mereka. Cerita mereka menarik – sejauh kemampuan saya nguping. Mereka bercerita tentang majikan mereka, keluarga tempat mereka bekerja, anak-anak dalam keluarga majikan mereka, perabot rumah tempat mereka bekerja, gaya nyonya-nyonya mereka kalau shopping, saling membandingkan besarnya gaji, tingkah polah majikan mereka, dan masih banyak lagi. Ada yang berbisik-bisik sambil cekikikan. Tak terlalu jelas apa yang sedang digunjingkan. Ada yang setelah puas bercerita, lalu saling mengajak berpose di sudut-sudut ruang tunggu untuk “ditembak” dengan kilatan blitz kamera digital atau handphone dengan gaya yang tak kalah gaul dibandingkan para selebritas Jakarta. Makin lama tenggelam dalam aksi nguping ini, saya makin tak merasa sedang berada di Taipei – negara yang bermil-mil jauhnya dari Jakarta. Saya malah merasa seperti sedang berada di suatu desa Jawa diselingi desas-desus obrolan dalam bahasa Jawa di sana-sini.
Untuk sekejap saya merasa spaceless – kehilangan ruang – di tengah kerumunan para sahabat Indonesia ini. Sebenarnya saya sedang di Taipei atau di Jawa? Apakah yang menentukan ke-Taipei-an dan apa pula yang menentukan ke-Jawa-an di sini? Ruang? Geografis? Ataukah gerundelan manusia yang sedang mengusung budayanya dalam bahasa dan busana? Saya sendiri pun bertanya pada diri: “Aku di mana?” Satu bulan bercas-cis-cus “how are you” atau “nice to meet you” di negeri Paman Sam bersama Kainalu dan Nancy, serta sahabat-sahabat di Bay Area, Berkeley, Napa, San Francisco, Palo Alto, San Leandro, Golden Gate Bridge, Silicon Valley, dan tempat-tempat lain di California. Ada kerinduan “pulang” ke Ambon – tentu saja selain karena tuntutan pekerjaan. Tapi Nancy, istri saya, masih di Berkeley. Apakah Ambon adalah “home”? Bisakah Ambon menjadi “home” jika terpisah dari istri membuat saya dan Kainalu kerap merasa tidak “at home”? Jadi, “home” itu lokasi atau relasi? Pertanyaan demi pertanyaan menyergap benak selagi telinga masih setia menguping obrolan para TKI ini.
Para sahabat TKI ini dengan ceria saling berbagi pengalaman mereka jauh dari “home” (lokasi dan relasi) di kampung dan desa mereka di Pulau Jawa. Saya pun tenggelam dalam bayang-bayang Tanjung Alang, pasir putih pantai Natsepa, dan aroma pesisir Ambon, sekaligus juga ingatan tentang angin dingin yang menerpa Benton Hall, tempat kami tinggal selama di Berkeley. Di manakah “home”, jika ternyata kita kini berada di antara persimpangan budaya yang saling memotong di berbagai titik identitas. Di Berkeley, saya bercakap-cakap memakai bahasa Ambon dengan Izak Latu, anak Wasia di Pulau Seram dan mahasiswa program doktor di GTU Berkeley. Setiap hari Minggu kami diantar oleh amang Robert Sirait, seorang Batak yang sudah lama berjibaku di Amerika Serikat.
Di persimpangan berbagai garis identitas dan budaya tersebut, saya tersadarkan bahwa “home” adalah sebuah peziarahan untuk bertemu dengan semua, di dalam semua, menjadi semua. Jarang orang menyebut “at house” melainkan “at home”. “Home” adalah atmosfer yang melingkupi semua dan menghidupkan semua. Hanya saja kerap kita merasa perlu menyekat sehingga sebuah wilayah geografis atau imajinatif bisa kita sebut sebagai “home”. Mungkin saja kita merasa wajib menjaga “home” kita dalam bilik-bilik iman, doktrin, agama, denominasi, etnisitas, bahasa, ritual, gaya hidup, dll. Tapi toh para sahabat TKI di ruang tunggu bandara Taipei ini memperlihatkan bahwa mereka sebenarnya adalah para “homeless” – sama seperti saya dan Kainalu yang sedang terkurung di antara ritme percakapan dan gelak tawa mereka.
Kita semua adalah kaum tak berumah atau “homeless”. Yang bergerak dalam pencarian diri dan iman tanpa batas lagi. Kita adalah kaum “homeless” yang sedang terus mengais kebenaran di sana-sini; memakan buah pengetahuan baik dan jahat agar mampu berdiri bagai “tuhan-tuhan kecil”. Lantas kenapa ada saja orang yang merasa punya “home” di tengah-tengah kemahaluasan lokasi dan relasi yang bertalian, tertautan, bersimpulan dalam pengalaman-pengalaman kemanusiaan kita? Kebenaran tak lagi menjadi “home” yang merangkul tapi “hole” yang menjerumuskan. Sampai-sampai surga dan neraka pun direifikasi menjadi sebuah lokasi antah-berantah yang siap menampung si alim dan si pendosa. Aliran ini masuk surga. Aliran itu masuk neraka. Agama ini paling benar. Agama itu paling sesat. Tuhan si anu lebih perkasa. Tuhan si una loyo tak bertenaga. Ini gereja tuhan, itu gereja setan. Kaum beragama pun saling pamer raga dan otot jumawa. Ini mayoritas, itu minoritas. Maka membunuh menjadi cara ampuh mempertebal sekat sembari menggali jurang yang makin menganga di antara berbagai kutub identitas yang tak juga jelas.
Yesus yang “homeless”
Tampaknya dalam cerita-cerita Injil, Yesus juga adalah sosok yang kebingungan mencari “home”-nya. “Serigala mempunyai liang, burung mempunyai sarang, tapi aku tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala”. Yesus adalah seorang “homeless”. Di tengah malang-melintang garis identitasnya pun Yesus tak merasa “at home” dengan keyahudiannya. Sesekali Yesus menyekat dirinya dengan label Yahudi. Pada waktu yang lain, dia menyikat nalar budaya dan religiositas keyahudian kaum hipokrisi yang bersembunyi di balik jubah-jubah kesucian yang semu dan plastis. Ia berdiri mendampingi seorang perempuan yang terancam dirajam batu karena tertangkap berzinah. Ia berdialog dengan perempuan Samaria. Dia menjungkirbalikkan meja pedagang di depan Bait Allah, namun di kesempatan lain dia menyuruh Simon Petrus menyarungkan pedang lalu memberi diri digiring sebagai pecundang. Saat berpeluang meraup keuntungan politik karena dianggap mesias, dia malah mecampakkan utopia Israel merdeka yang dihembuskan kaum Zelot dengan memilih menjalani mesias yang kalah.
“Siapakah orang ini? Bukankah dia anak tukang kayu dari Nazaret?” demikian lawan-lawan politik Yesus terus berhasrat memasukkan Yesus ke dalam “home” tertentu: tukang kayu, orang Nazaret, nabi, mesias, penghujat, penyihir, dan sebagainya. Namun, Yesus tetap seorang “homeless” karena dia setia menggugat “home” yang jumud dan dangkal. “Homeless”-nya Yesus adalah dekonstruksi “at home”, yang selalu merayu manusia adem-ayem dalam zona kenyamanan. Yang membuat orang betah dalam status-quo. Statis. Menolak untuk berubah, bahkan takut berubah kendati perubahan adalah bagian dari jatidirinya. Yesus menjumpai semua orang, mengajar semua orang, mengajak semua orang. Tua/muda, lelaki/perempuan, kaya/miskin, pemuda/anak-anak, sehat/penyakitan.
Yesus adalah seorang “homeless” ketika pada akhirnya dia hanya bisa berkata lirih dalam derita pedih terpalang bak pesakitan di kayu salib: “Sudah selesai!” Apa yang sudah diselesaikannya? Ataukah pada tarikan terakhir nafasnya, dia tahu bahwa dia bukan apa-apa. Dia bukan siapa-siapa. Apa yang melekat padanya: identitasnya, budayanya, agamanya, kelompoknya, bahkan mungkin Tuhannya, hanyalah sebuah pencarian “home” yang tak pernah tuntas. “Aku pergi ke rumah Bapaku, menyediakan tempat bagimu.” Namun tak kunjung jelas tuntas di manakah rumah Bapanya itu. Sepanjang hidupnya yang singkat sampai kejang kaku di atas kayu salib, Yesus tetap seorang “homeless”. Tak pernah “at home” pada satu kejumudan identitas, lokasi dan relasi.
Ups, panggilan masuk pesawat sudah terdengar. Putuslah semua imajinasi dan keasyikan nguping ini. Let’s go home Kanu! Sayup-sayup terngiang di telinga “HOME”-nya Michael BublĂ©:
Another summer day has come and gone away
In Paris and Rome, but I wanna go home
May be surrounded by a million people I still fell all alone
Just wanna go home
Oh, I miss you, you know
And I’ve been keeping all the letters that I wrote to you
Each one a line or two “I’m fine baby, how are you?”
Well, I would send them but I know that it’s just not enough
My words were cold and flat and you deserve more than that
Another aeroplane, another sunny place
I’m lucky I know, but I wanna go home
I got to go home… let me go home
I’m just too far from where you are
I wanna come home
And I feel just like I’m living someone else’s life
It’s like I just stepped outside when everything was going right
And I know just why you could not come along with me
This was not your dream but you always believed in me
Another winter day has come and gone away
And even Paris and Rome… and I wanna go home
Let me go home…
Taipei, 11 Februari 2011