Hari
ini (Rabu, 9 Mei 2012) saya lebih bergairah daripada hari-hari sebelumnya.
Salah satunya adalah karena hari ini akan digelar diskusi terbuka bersama
aktivis feminis Muslim asal Kanada yang kontroversial belakangan ini, Irshad
Manji. Berita pembubaran diskusi buku Irshad Manji di Jakarta sudah cukup untuk
memprovokasi diri saya sendiri mengikuti diskusi hari ini. Diskusi ini
diselenggarakan oleh Center for Religious and Cultural Studies (CRCS), program
master international yang bernaung di bawah Sekolah Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
Tapi
apa mau dikata, entusiasme saya meredup dengan segera ketika dalam perjalanan
menuju kampus berpapasan dengan serombongan demonstran (tidak jelas identitasnya)
yang sedang menuju ke Sekolah Pascasarjana UGM. Kemudian saya menyadari bahwa
rombongan demonstran tersebut mempunyai tujuan memprotes kehadiran Irshad Manji
dan mendesak agar diskusi tersebut dibatalkan. Saya tidak mengikuti seluruh
proses “negosiasi” antara pihak CRCS dan demonstran. Yang saya tahu kemudian
acara diskusi dibatalkan (ada yang bilang hanya ditunda) dan Irshad Manji pun
“diusir” dari gedung lengkung. Saya tidak punya kapasitas mencampuri kebijakan
rektorat ataupun pihak Sekolah Pascasarjana UGM dalam kasus ini. Saya hanya
ingin melihatnya dari sisi lain secara subjektif sebagai bagian dari dinamika
keilmuan yang digelar oleh lembaga sekaliber UGM.
Saya
ingin memulai bincang-bincang ini dengan impresi saya ketika pertama kali
menginjakkan kaki di kota Yogyakarta sebagai mahasiswa ICRS – UGM. Hal pertama
yang membuat saya terkesan adalah di kompleks kampus UGM terdapat beberapa
lahan yang disebut “hutan UGM”. Ada hutan yang dikelola oleh fakultas
kehutanan, ada juga yang lain oleh fakultas biologi. Mungkin ada lagi yang
lain. Keberadaan hutan UGM itu bagi saya memberikan nuansa yang kontras dengan
deretan pertokoan yang memadati wilayah sekitar kampus, lengkap dengan berjubel
papan reklame yang menyilaukan mata. Tetapi hutan UGM memberikan semacam alternatif
untuk melihat sisi lain dunia mahasiswa, bahwa selain sibuk (dan terkadang
panik!) dengan urusan deadline tugas akhir dan fotocopy buku-buku, ada
kesejukan yang hijau sebagaimana tampak pada suburnya pohon-pohon di hutan UGM
yang tumbuh dengan bebas kendati terkepung oleh libido konsumerisme dalam
tampilan beraneka ruko, restoran, dan sejenisnya.
Nuansa
“hutan” semacam itu pun saya rasakan dalam dinamika belajar di ICRS/CRCS. Sejak
awal saya menyadari betapa UGM telah menjadi lahan subur bagi tumbuhnya
pohon-pohon keilmuan. Semua tumbuh bersama-sama. Bahkan mungkin akar-akar
berbagai pohon keilmuan itu berkelindan, saling bertemu, saling mengikat,
saling berbagi sumber kehidupan tanpa saling menghalangi pertumbuhan
masing-masing. Semua bertumbuh dengan menampilkan keanekaragaman yang luar
biasa sehingga setiap orang yang masuk ke UGM seperti sedang meniti jalan
sempit di tengah hutan karena dikelilingi oleh belantara pohon-pohon keilmuan
“raksasa” yang subur.
Berbagai
diskusi digelar secara berkala. Sejumlah publikasi dari berbagai perspektif
keilmuan pun bisa diperoleh atau dibagikan. Banyak pemikir silih berganti
datang menaburkan benih-benih keilmuannya. Semuanya diterima menjadi bagian
dari keanekaragaman hayati keilmuan UGM. Di sini istilah “kontroversial” mampu
dijinakkan bukan dengan konfrontasi fisik atau teriak-teriak melainkan dengan
membuka ruang dialog yang encer, santun dan cerdas. Segala bentuk kepakaran
diuji habis-habisan seakan-akan label “pakar” bagi kaum gedung lengkung tidak
banyak berpengaruh sebelum menjelajah hutan keilmuan di tempat ini. Perdebatan
yang paling sensitif pun dibawa ke ranah publik akademis menjadi pupuk yang
menyuburkan tanah-tanah keilmuan di sini. Setiap “pohon” diterima menjadi
bagian dari hutan keilmuan UGM.
Sejujurnya,
saya sungguh tercerahkan dalam habitat hutan keilmuan UGM semacam ini. Tentu
saja, dalam keasyikan menikmatinya saya agak terhenyak ketika mendengar bahwa
hanya karena desakan pihak-pihak tertentu (dari luar?) “pohon” Irshad Manji pun
harus “ditebang” sebelum sempat menyemarakkan rimbun keilmuan di UGM. Soal isi
bukunya, bisa diperdebatkan sejauh tersedia ruang untuk mendiskusikannya.
Beberapa orang yang saya temui di lift berpendapat penolakan ini merupakan
salah satu strategi pemasaran (marketing) yang bagus bagi penerbitnya. Ada yang
mengatakan bahwa isi bukunya sebenarnya “dangkal” – apa sudah baca ya kok bisa
menilainya seperti itu? Kalau “dangkal” kenapa bisa laris? Atau jangan-jangan
pak dosen yang menilainya demikian karena frustrasi bukunya tidak selaris manis
buku Irshad Manji. Tanya kenapa?
Apapun
alasannya, saya merasa bahwa “penebangan” Irshad Manji dari hutan keilmuan UGM
oleh pihak-pihak yang tidak jelas – apalagi mengancam main “otot” – dapat
menjadi preseden [sangat] buruk bahwa dinamika diskursus keilmuan di kampus ini
ternyata bisa dipatahkan oleh kaum “ufo” (unidentified foolish object) semacam
itu. Mereka ternyata perkasa petantang-petenteng mengangkangi para
profesor/doktor di kampus ini, kendati tak juga jelas apakah mereka sudah
membaca buku Irshad Manji atau tidak sebelum berkoar-koar mengajari tentang
“kebenaran” kepada kaum profesor/doktor dan para calon master atau doktor bahkan
di habitat gedung lengkung ini.
Profesor
Amin Abdullah, dalam kelas pada hari yang sama, mengatakan bahwa dalam kondisi
semacam ini kita – kaum terpelajar dan waras – lebih baik mengalah. Kalau kita
memaksakan kehendak kita, lanjut pak Amin, kita malah jadi ikut-ikutan tidak
waras. Setuju! Meskipun saya masih lanjut bertanya pada diri sendiri: sampai
kapan kita mengalah pada situasi di mana kita sedang menyaksikan “penebangan”
pohon-pohon di hutan keilmuan UGM? Satu “pohon” Irshad Manji berhasil ditebang,
bukan tidak mungkin ini menjadi celah longgar untuk melakukan penebangan “pohon-pohon”
yang lain di kemudian hari hingga kita tersadar bahwa hutan keilmuan UGM
sedikit demi sedikit digunduli. Lantas pandangan kita makin terhampar datar
karena lahan keilmuan makin tandus dan gersang. Hanya tersisa semak-semak
ilalang. Begitukah? Semoga tidak. Terus apa?