"Ingatlah, meski sebuah rumah memiliki lampunya sendiri, tetapi rumah
ini baru akan kelihatan jika lampunya bersinar menerangi tetangganya"
(Jalaludin Rumi)
Pada tahun 1984, Kota Ambon menjadi tuan rumah penyelenggaraan Sidang Raya ke-10 Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), sebuah event gerejawi nasional yang diikuti oleh sinode-sinode gereja se-Indonesia. Untuk menyambutnya, pemerintah kota dan provinsi serta segenap lapisan masyarakat pun mulai berbenah. Pembangunan sejumlah infrastruktur publik kota diperbaiki dan ditambah, meski menghadapi guyuran hujan lebat yang sempat membuat kewalahan pemerintah kota dan provinsi saat itu. Seluruh masyarakat kota Ambon pun sibuk. Semua bergandengan tangan bekerja sama menyongsong acara gerejawi yang akbar itu. Banyak kesan bahwa pelaksanaan Sidang Raya DGI (kemudian menjadi PGI) ke-10 di Ambon menjadi salah satu barometer kesuksesan penyelenggaraan event tersebut yang ditandai oleh kesiapan panitia dan dukungan segenap lapisan masyarakat kota Ambon dan Provinsi Maluku. Tidak hanya itu, Sidang Raya DGI tersebut juga menjadi momentum teologis yang penting bagi gerakan ekumenis di Indonesia karena disepakatinya perubahan nama dan esensi “dewan” menjadi “persekutuan” – Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).
Kini 28 tahun kemudian kota Ambon kembali bersibuk mempersiapkan diri menjadi tuan rumah Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional ke-24. Persiapannya tentu tak kalah matang serta didukung oleh seluruh lapisan masyarakat kota Ambon. Namun, tentu saja pelaksanaan MTQ Nasional ini merupakan momentum yang berbeda nuansanya dengan acara akbar DGI/PGI tahun 1984. Kegiatan ini terlaksana dalam kondisi kota Ambon dan Provinsi Maluku yang makin kondusif setelah didera bertubi-tubi prahara konflik sosial beberapa waktu lampau, serta sejumlah rongrongan insiden yang seolah-olah hendak menarik kembali psikologi sosial orang Ambon ke dalam khaos seperti yang pernah dialami sebelumnya.
Insiden terdekat adalah bentrokan massa yang terjadi pada kegiatan Obor Pattimura 15 Mei 2012 yang berbuntut korban luka-luka dalam jumlah yang cukup besar. Ketegangan sempat merambat naik disertai kecemasan yang muncul melalui sejumlah polemik: Benarkah ini terjadi karena ada gerakan dalam masyarakat Ambon yang memanfaatkan acara budaya itu untuk merekayasa agar MTQ batal dilaksanakan di Ambon? Secara spekulatif tentu saja mesti dijawab “tidak”. Terlepas dari diskursus publik mengenai keterlibatan “tangan-tangan kotor yang tidak kelihatan” (invisible dirty hands) saya lebih percaya bahwa kehidupan masyarakat sipil di Ambon saat ini lebih terorientasi pada pengembangan kehidupan bersama untuk mengobati luka-luka konflik sebelumnya. Kendati tidak terhindari pula bahwa masih tersisa luka-luka “basah” yang berpotensi menjadi borok sosial dalam kehidupan bersama orang Ambon/Maluku.
Kepercayaan saya pada ketahanan masyarakat sipil tentu beralasan. Salah satunya ialah bahwa masyarakat sipil bukanlah sekumpulan orang-orang pandir yang selalu mau dibodohi untuk melakukan sesuatu yang berujung pada lumpuhnya kapasitas sosial mereka sendiri. Saya berasumsi bahwa secara sosiologis masyarakat sipil condong membentuk semacam mekanisme pertahanan diri dalam proses-proses sosial yang dijalani pada ruang dan waktu tertentu. Pertahanan diri terhadap apa dan untuk apa? Terhadap segala potensi yang dianggap mengancam relasi-relasi sosial yang pada gilirannya membawa pada keambrukan tatanan sosial yang telah dibangunnya; untuk terus melanjutkan proses-proses sosial mencapai ideal tujuan bermasyarakat oleh setiap aktornya (individu maupun kolektif).
Tidak bisa dinafikan bahwa dalam proses-proses sosial tersebut – apalagi berlangsung dalam konstruksi sistemik bernegara – selalu saja terjadi konflik kepentingan untuk merebut atau mempertahankan sumber-sumber otoritas dan kekuasaan. Pada ranah itu kerap terjadi pertarungan kekuasaan aktor-aktor (individu dan kelompok) dalam sistem negara yang bisa jadi masing-masing melibatkan dan mengerahkan seluruh daya untuk menggerakkan kekuasaannya. Dalam wacana demokrasi, hubungan negara dan masyarakat sipil dapat ditandai oleh dominasi kekuasaan negara dengan melumpuhkan seluruh bangunan aspiratif dan partisipatif masyarakat sipil (misalnya: kebijakan massa mengambang atau floating mass pada masa Orba) – civil society vs military state. Sebaliknya, masih dalam wacana demokrasi, bisa juga kelompok-kelompok masyarakat mengangkangi etika sipil ketika negara membiarkan berbagai simpul kekuatan sipil berayun secara ambivalen sehingga mencitrakan military society hand-in-hand military state (misalnya: fenomena premanisme dan vandalisme – termasuk atas nama agama – yang kian merajalela pasca reformasi Indonesia 1998). Entah mau disebut negara lemah atau negara gagal, tetapi pada prinsipnya negara sebagai suatu entitas politik yang diberi wewenang oleh rakyat (res publica) untuk mengawal seluruh bangunan konstitusi bagi kehidupan bersama harus terus menjalankan perannya secara proporsional.
MTQ dan Ukhuwah Indonesia
Untuk beberapa waktu, psikologi dan sosiologi masyarakat Maluku tergiring ke arah military society. Konflik sosial selama beberapa tahun telah membentuk suatu kesadaran dan karakter militeristik yang menggumpal dalam memori kolektif orang Ambon akan heroisme dan tragedi secara simultan. Kisah-kisah heroisme diumbar seakan-akan hendak menutupi tragedi pahit; tragedi pahit tersimpan di bilik-bilik kesadaran menjadi jamur-jamur dendam yang tertancap lekat. Tidak mudah untuk mencerabut jamur-jamur dendam itu. Tetapi bukan pula tidak mungkin. Sedikit demi sedikit, dari percakapan antarpribadi menjadi perjumpaan antarkelompok, dari keengganan menyapa menjadi pelukan hangat persaudaraan yang sempat “dingin”, ada keinginan bukan untuk membiarkan jamur-jamur dendam itu tumbuh menjadi parasit kebencian seumur hidup melainkan untuk saling membuka bilik-bilik kesadaran itu dengan rasa jujur dan ketulusan. Dari sana terkuaklah dorongan untuk menampakkan kembali corak dan karakteristik masyarakat sipil.
Penguatan karakteristik masyarakat sipil pun tak lepas dari peranan negara. Negara mempunyai peran otoritatif yang strategis untuk membuka ruang-ruang wacana publik dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat sipil. Agama, secara sosiologis, merupakan salah satu simpul bagi pengembangan karakteristik masyarakat sipil dalam ruang-ruang publik terutama bagi negara seperti Indonesia. Pada hakikatnya sebagai “gerakan sosial” agama menggerakkan masyarakat untuk berdialog tidak hanya pada tataran komunal tetapi juga individual. Di dalam agama, motivasi individual dapat mewujud menjadi semangat komunal. Namun tak dapat dipungkiri bahwa agama memiliki kelenturan yang tinggi untuk mengadopsi kekuasaan dan mengadaptasinya menjadi “teologi kekuasaan” yang melegitimasi upaya apa saja agar tetap mendominasi yang lain.
Partisipasi seluruh lapisan masyarakat kota Ambon untuk menyambut MTQ dapat dibaca sebagai proses masyarakat sipil membangun ketahanan dirinya sendiri. Itu dilakukan dengan membuka ruang-ruang perjumpaan seluas mungkin dan menerima kehadiran “liyan” dengan aneka corak identitasnya (kafilah-kafilah dari berbagai ragam etnisitas dan lokalitas). Jauh dari sekadar kegiatan formal, bagi masyarakat Ambon/Maluku, MTQ kali ini menjadi semacam terapi sosial untuk memulihkan hakikatnya sebagai masyarakat sipil, bukan masyarakat militer.
Pada titik itu, proses-proses sosial ditujukan bagi mengalirnya dialog-dialog kemanusiaan yang termanifestasi dalam kerja bersama dan penerimaan bersama pada simpul identitas keberagamaan yang berbeda. Maka tak berlebihan jika MTQ Nasional 2012 di Ambon mesti dimaknai bukan lagi sekadar semangat membangun ukhuwah islamiyah melainkan sebentuk peradaban yang sedang dinegosiasikan bersama untuk memperkuat ukhuwah Indonesia. Sebagai yang demikian, maka persaudaraan yang terjalin antara para kafilah dan masyarakat Ambon ini merupakan sebuah momentum teologis yang menjadi wujud konkret lantunan ayat-ayat suci Al-Quran yang dilafaskan dengan hati, jiwa, dan batin yang jernih.
Pada tahun 1984, Kota Ambon menjadi tuan rumah penyelenggaraan Sidang Raya ke-10 Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), sebuah event gerejawi nasional yang diikuti oleh sinode-sinode gereja se-Indonesia. Untuk menyambutnya, pemerintah kota dan provinsi serta segenap lapisan masyarakat pun mulai berbenah. Pembangunan sejumlah infrastruktur publik kota diperbaiki dan ditambah, meski menghadapi guyuran hujan lebat yang sempat membuat kewalahan pemerintah kota dan provinsi saat itu. Seluruh masyarakat kota Ambon pun sibuk. Semua bergandengan tangan bekerja sama menyongsong acara gerejawi yang akbar itu. Banyak kesan bahwa pelaksanaan Sidang Raya DGI (kemudian menjadi PGI) ke-10 di Ambon menjadi salah satu barometer kesuksesan penyelenggaraan event tersebut yang ditandai oleh kesiapan panitia dan dukungan segenap lapisan masyarakat kota Ambon dan Provinsi Maluku. Tidak hanya itu, Sidang Raya DGI tersebut juga menjadi momentum teologis yang penting bagi gerakan ekumenis di Indonesia karena disepakatinya perubahan nama dan esensi “dewan” menjadi “persekutuan” – Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).
Kini 28 tahun kemudian kota Ambon kembali bersibuk mempersiapkan diri menjadi tuan rumah Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional ke-24. Persiapannya tentu tak kalah matang serta didukung oleh seluruh lapisan masyarakat kota Ambon. Namun, tentu saja pelaksanaan MTQ Nasional ini merupakan momentum yang berbeda nuansanya dengan acara akbar DGI/PGI tahun 1984. Kegiatan ini terlaksana dalam kondisi kota Ambon dan Provinsi Maluku yang makin kondusif setelah didera bertubi-tubi prahara konflik sosial beberapa waktu lampau, serta sejumlah rongrongan insiden yang seolah-olah hendak menarik kembali psikologi sosial orang Ambon ke dalam khaos seperti yang pernah dialami sebelumnya.
Insiden terdekat adalah bentrokan massa yang terjadi pada kegiatan Obor Pattimura 15 Mei 2012 yang berbuntut korban luka-luka dalam jumlah yang cukup besar. Ketegangan sempat merambat naik disertai kecemasan yang muncul melalui sejumlah polemik: Benarkah ini terjadi karena ada gerakan dalam masyarakat Ambon yang memanfaatkan acara budaya itu untuk merekayasa agar MTQ batal dilaksanakan di Ambon? Secara spekulatif tentu saja mesti dijawab “tidak”. Terlepas dari diskursus publik mengenai keterlibatan “tangan-tangan kotor yang tidak kelihatan” (invisible dirty hands) saya lebih percaya bahwa kehidupan masyarakat sipil di Ambon saat ini lebih terorientasi pada pengembangan kehidupan bersama untuk mengobati luka-luka konflik sebelumnya. Kendati tidak terhindari pula bahwa masih tersisa luka-luka “basah” yang berpotensi menjadi borok sosial dalam kehidupan bersama orang Ambon/Maluku.
Kepercayaan saya pada ketahanan masyarakat sipil tentu beralasan. Salah satunya ialah bahwa masyarakat sipil bukanlah sekumpulan orang-orang pandir yang selalu mau dibodohi untuk melakukan sesuatu yang berujung pada lumpuhnya kapasitas sosial mereka sendiri. Saya berasumsi bahwa secara sosiologis masyarakat sipil condong membentuk semacam mekanisme pertahanan diri dalam proses-proses sosial yang dijalani pada ruang dan waktu tertentu. Pertahanan diri terhadap apa dan untuk apa? Terhadap segala potensi yang dianggap mengancam relasi-relasi sosial yang pada gilirannya membawa pada keambrukan tatanan sosial yang telah dibangunnya; untuk terus melanjutkan proses-proses sosial mencapai ideal tujuan bermasyarakat oleh setiap aktornya (individu maupun kolektif).
Tidak bisa dinafikan bahwa dalam proses-proses sosial tersebut – apalagi berlangsung dalam konstruksi sistemik bernegara – selalu saja terjadi konflik kepentingan untuk merebut atau mempertahankan sumber-sumber otoritas dan kekuasaan. Pada ranah itu kerap terjadi pertarungan kekuasaan aktor-aktor (individu dan kelompok) dalam sistem negara yang bisa jadi masing-masing melibatkan dan mengerahkan seluruh daya untuk menggerakkan kekuasaannya. Dalam wacana demokrasi, hubungan negara dan masyarakat sipil dapat ditandai oleh dominasi kekuasaan negara dengan melumpuhkan seluruh bangunan aspiratif dan partisipatif masyarakat sipil (misalnya: kebijakan massa mengambang atau floating mass pada masa Orba) – civil society vs military state. Sebaliknya, masih dalam wacana demokrasi, bisa juga kelompok-kelompok masyarakat mengangkangi etika sipil ketika negara membiarkan berbagai simpul kekuatan sipil berayun secara ambivalen sehingga mencitrakan military society hand-in-hand military state (misalnya: fenomena premanisme dan vandalisme – termasuk atas nama agama – yang kian merajalela pasca reformasi Indonesia 1998). Entah mau disebut negara lemah atau negara gagal, tetapi pada prinsipnya negara sebagai suatu entitas politik yang diberi wewenang oleh rakyat (res publica) untuk mengawal seluruh bangunan konstitusi bagi kehidupan bersama harus terus menjalankan perannya secara proporsional.
MTQ dan Ukhuwah Indonesia
Untuk beberapa waktu, psikologi dan sosiologi masyarakat Maluku tergiring ke arah military society. Konflik sosial selama beberapa tahun telah membentuk suatu kesadaran dan karakter militeristik yang menggumpal dalam memori kolektif orang Ambon akan heroisme dan tragedi secara simultan. Kisah-kisah heroisme diumbar seakan-akan hendak menutupi tragedi pahit; tragedi pahit tersimpan di bilik-bilik kesadaran menjadi jamur-jamur dendam yang tertancap lekat. Tidak mudah untuk mencerabut jamur-jamur dendam itu. Tetapi bukan pula tidak mungkin. Sedikit demi sedikit, dari percakapan antarpribadi menjadi perjumpaan antarkelompok, dari keengganan menyapa menjadi pelukan hangat persaudaraan yang sempat “dingin”, ada keinginan bukan untuk membiarkan jamur-jamur dendam itu tumbuh menjadi parasit kebencian seumur hidup melainkan untuk saling membuka bilik-bilik kesadaran itu dengan rasa jujur dan ketulusan. Dari sana terkuaklah dorongan untuk menampakkan kembali corak dan karakteristik masyarakat sipil.
Penguatan karakteristik masyarakat sipil pun tak lepas dari peranan negara. Negara mempunyai peran otoritatif yang strategis untuk membuka ruang-ruang wacana publik dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat sipil. Agama, secara sosiologis, merupakan salah satu simpul bagi pengembangan karakteristik masyarakat sipil dalam ruang-ruang publik terutama bagi negara seperti Indonesia. Pada hakikatnya sebagai “gerakan sosial” agama menggerakkan masyarakat untuk berdialog tidak hanya pada tataran komunal tetapi juga individual. Di dalam agama, motivasi individual dapat mewujud menjadi semangat komunal. Namun tak dapat dipungkiri bahwa agama memiliki kelenturan yang tinggi untuk mengadopsi kekuasaan dan mengadaptasinya menjadi “teologi kekuasaan” yang melegitimasi upaya apa saja agar tetap mendominasi yang lain.
Partisipasi seluruh lapisan masyarakat kota Ambon untuk menyambut MTQ dapat dibaca sebagai proses masyarakat sipil membangun ketahanan dirinya sendiri. Itu dilakukan dengan membuka ruang-ruang perjumpaan seluas mungkin dan menerima kehadiran “liyan” dengan aneka corak identitasnya (kafilah-kafilah dari berbagai ragam etnisitas dan lokalitas). Jauh dari sekadar kegiatan formal, bagi masyarakat Ambon/Maluku, MTQ kali ini menjadi semacam terapi sosial untuk memulihkan hakikatnya sebagai masyarakat sipil, bukan masyarakat militer.
Pada titik itu, proses-proses sosial ditujukan bagi mengalirnya dialog-dialog kemanusiaan yang termanifestasi dalam kerja bersama dan penerimaan bersama pada simpul identitas keberagamaan yang berbeda. Maka tak berlebihan jika MTQ Nasional 2012 di Ambon mesti dimaknai bukan lagi sekadar semangat membangun ukhuwah islamiyah melainkan sebentuk peradaban yang sedang dinegosiasikan bersama untuk memperkuat ukhuwah Indonesia. Sebagai yang demikian, maka persaudaraan yang terjalin antara para kafilah dan masyarakat Ambon ini merupakan sebuah momentum teologis yang menjadi wujud konkret lantunan ayat-ayat suci Al-Quran yang dilafaskan dengan hati, jiwa, dan batin yang jernih.