Dengan kegirangan dan tak sabar, Pak Gino mengambil cincin barunya dan mencobanya di jari-jemarinya satu per satu. Cincin ini oleh-oleh dari seorang temannya yang baru saja kembali dari Busan, Korea Selatan, mengikuti pertemuan WCC. Tak dinyana, cincin itu ternyata agak kekecilan pada jari tengah dan jari manis kedua tangannya. Ia terus memaksa hingga jari tengahnya terasa sakit tapi cincin itu tak juga pas. Pak Gino pun kebingungan. Tiba-tiba terlintas di benaknya untuk menggunakan sabun sebagai pelicin agar cincinnya bisa masuk dan pas di jarinya. Ia pun mencobanya. Sabun batang dibasahi sedikit kemudian busanya dilaburkan seputar cincin dan jari tengahnya. Masih agak sesak tapi… bless… cincin dari Busan itu pun berhasil bertengger manis di jarinya.
Pada jam yang sama ibu Goni, istri Pak Gino, sedang asyik memilih jenis-jenis sabun dari berbagai merek terkenal di sebuah toserba. Melihat ibu Goni berdiri lama sekali di jajaran rak sabun, seorang pramuniaga yang mengira si ibu kebingungan lalu mendekatinya untuk menawarkan bantuan. Ketika ditanya sabun jenis/merek apa yang dicari, ibu Goni terdiam. Wajahnya menyiratkan kebingungan. Namun segera ia menimpali pertanyaan pramuniaga: “Eh, gini mbak, saya lupa merek sabunnya. Tapi saya cari sabun yang bintang iklannya itu Luna Maya itu lho, mbak. Apa ya mereknya?” Pramuniaga pun menyebutkan merek sabunnya dan menunjukkan tempatnya kepada ibu Goni. Tak kepalang senangnya ibu Goni. Ini sabun yang sudah lama ingin dibelinya karena ia salah seorang pengagum artis Luna Maya.
Singkat cerita, sore harinya Pak Gino dan ibu Goni duduk menikmati teh hangat di beranda rumah mereka sambil terlibat percakapan ringan. Pak Gino menceritakan pengalamannya dengan cincin dari Busan yang sesak di jarinya sampai ia harus memakai sabun mandi ibu Goni untuk mengepaskannya di jarinya. Ibu Goni mengernyitkan kening dan bertanya dengan nada agak ketus: “Pak, kenapa pake sabun mandiku? Kenapa ga pake sabun cuci piring aja? Bapak tau kan itu sabun mandi koleksiku yang mahal?! Mosok sabun mandi mahal artis Luna Maya dipake buat masukin cincin sih?” Pak Gino terbengong-bengong dengan sikap istrinya yang reaktif sambil menyahut: “Lho, mau artis Luna Maya kek, Luka Ayam kek, yang penting dia berfungsi membantu ngepasin cincin sesak itu di jariku to bu… Lah, kok sabunnya yang jadi masalah? Kau lihat nih, cincin dari Busan ini keliatan cakep kan di jariku?!” Ibu Goni meradang: “Ga bisa pak! Mau cincin dari Busan kek, Bulan kek, aku ga mau sabunku dipake untuk hal yang ga penting kayak gitu. Titik!” Mereka berdua pun tak lagi menikmati teh hangat sore itu karena percakapan keduanya lebih “hot” seputar “cincin dari Busan” dan “sabun Luna Maya”.
***
Kisah Pak Gino dan Ibu Goni itu bukan penggalan cerita sinetron. Itu hanya imajinasi saya mengikuti berbagai catatan laporan dan refleksi di forum ini (FTB) seputar peristiwa Busan beberapa waktu lalu. Lantas, di antara sekian banyak catatan dan komentar yang bervariasi ada catatan tentang “afiliasi” teologis dan filosofis seperti yang diangkat oleh Prof Gerrit Singgih. Sejumlah komentar muncul dari rekan-rekan FTB. Saya tak perlu menanggapinya.
Saya sendiri berkomentar tentang “afiliasi” pada figur Trisno, karyawan STT Jakarta, yang melayani kami sekeluarga saat kami mengungsi (akibat banjir Jakarta) di Guest House STTJ; juga figur pak Septu, penjaja angkringan seberang tempat kos saya di Jogja, yang selalu menjadi tempat nongkrong dan ngobrol sembari menikmati kopi hitam saat begadang nonton tayangan sepakbola dini hari. Sedikit kelakar tapi sebenarnya di balik komentar itu saya bermaksud mendasarkan “afiliasi” filosofis dan teologis saya sebagai pembelajar teologi (bukan teolog!) pada matra relasional yang sangat pragmatis dan eksperiensial. Saya “berafiliasi” dengan kedua figur tersebut bukan karena ide-ide raksasa mereka yang mendunia melalui berjilid-jilid buku teologi dan/atau filsafat yang diproduksi; atau karena gagasan-gagasan mereka didebat sengit baik oleh para muridnya maupun kritikusnya lalu direproduksi dengan berbagai versi dan label. “Afiliasi” saya dengan mereka terbentuk hanya melalui jeratan benang-benang tipis pengalaman bersama pada satu momen kehidupan bersama. Sederhana. Tanpa publikasi. Nihil iklan, selebrasi maupun selebritas. Mungkin saja rapuh dan mudah putus terlupakan. Tapi “pengalaman” sederhana itu menggiring saya di batas-batas refleksivitas tentang hidup dan nilai.
Tentu saja, pengalaman praktis tersebut hanyalah pengalaman pribadi yang tak perlu digembar-gemborkan. Berbanding terbalik pengalaman “komunal” peristiwa WCC di Busan yang sudah selayaknya digembar-gemborkan, diselebrasi penuh kemeriahan, dikomentari dengan berbagai catatan kritis-pedis-miris sebelum, selama, dan sesudahnya. Bahkan dua orang teolog Indonesia “ditugaskan” untuk membedah realitas “pasca-Busan”. Sayangnya, saya tidak bisa ikut mencermati catatan kedua teolog tersebut karena belum mendapatkan catatannya. Hanya beberapa catatan dari rekan-rekan yang berkesempatan mengikuti peristiwa Busan tersebut yang bisa menjadi acuan saya, yang tentu saja saya baca dan tanggapi secara tidak lengkap karena keterbatasan perspektif eksperiensial dan partisipatif dalam peristiwa Busan tersebut.
Saya merasa dalam situasi seperti Pak Gino, yang sedang mencoba mengepas-paskan “cincin dari Busan” oleh-oleh dari rekan-rekan tersebut dengan realitas “jari-jemari” Maluku-Indonesia saya. Saya mencoba memakai beberapa “sabun” perspektif hanya sekadar untuk melicinkan pesan-pesan Busan agar terpahami dan menjadi bagian dari realitas saya yang Maluku-Indonesia ini. Sesak memang dan agak sulit mengepaskannya tapi usapan beberapa “sabun” perspektif cukup menolong sehingga pesan-pesan Busan itu bertengger di jemari Maluku-Indonesia saya. Cukup pas. Indah. Enak dipandang.
Namun, sekarang “sabun” perspektif itu rupanya digugat dengan pertanyaan bagaimana afiliasi teologis dan filosofis “jemari” teologis Indonesia, sebagaimana “sabun-sabun” itu diproduksi dan direproduksi selanjutnya. Terngiang-ngiang reaksi Ibu Goni yang meradang karena sabunnya [yang mahal dan bermerek terkenal] dipakai hanya untuk melicinkan cincin suaminya. Ibu Goni merasa sabunnya adalah representasi afiliasi gaya hidup dan eksistensinya yang terbentuk melalui [re]konstruksi simbol-simbol keanggunan, kemegahan, kecantikan, kesempurnaan seperti yang dicerapnya melalui iklan artis Luna Maya. “Luna Maya” bukanlah sekadar nama, tapi simbol berdaya dahsyat yang membuatnya “ADA” di antara kejamakan realitas; bukan pula sekadar ikon selebritas, tapi “idol” yang menentukan esensi identitasnya bahkan “ideologi” yang jelas menentukan pilihan-pilihan hidupnya secara deterministik.
Berbeda dengan Pak Gino yang hanya melihat “sabun” itu secara sangat praktis-pragmatis yang berfungsi membantu menyelesaikan problemnya saat itu, Ibu Goni melihat “sabun” adalah sebuah prestise yang fungsinya hanya seputar memperkuat citra kecantikan dan keanggunan sebagaimana pilihan afiliasinya pada personifikasi “nama besar” artis Luna Maya.
“Cincin” oleh-oleh dari Busan, bagi saya, masih terasa sesak dan sebagai pembelajar sedang saya coba pas-paskan di jemari saya yang Maluku-Indonesia ini. Agak sakit karena harus saya paksa agar pas di jemari saya dan mungkin perlu waktu menyesuaikan diri dengannya. Namun, jujur saja bahwa saya tidak merasa cukup berani berdebat soal jenis, merek, dan produsen “sabun” perspektif yang saya gunakan. Kegelisahan saya praktis-pragmatis: apakah implikasi sosiologis-politis-ideologis dari Busan dalam konteks keindonesiaan? Oleh karena itu, dasar tanggapan saya (dalam komentar saya tentang afiliasi teologis/filosofis) lebih kepada relasi dan pengalaman keseharian yang konkret tetapi powerful untuk mengubah perspektif saya tentang realitas diri dan otherness yang berlangsung marak di seputar kehidupan saya.
Saya merasa tidak cukup berani untuk berdebat soal jenis dan merek “sabun” perspektif (afiliasi teologi/filosofis), paling-paling hanya bisa bertanya sederhana: punya implikasi konkretkah? Ataukah hanya sekadar me[re]produksi iklan dan idol teologi/filsafat yang condong ideologis sehingga yang muncul kemudian hanyalah bentuk-bentuk pencitraan yang mengawang tapi sama sekali tidak menggawang dalam realitas kehidupan mengindonesia yang kian tunggang-langgang dan jungkir-balik saat ini? Tak tahulah… Kita lihat saja nanti akhir perdebatan panas antara Pak Gino dan Ibu Goni.
Read more ...
Pada jam yang sama ibu Goni, istri Pak Gino, sedang asyik memilih jenis-jenis sabun dari berbagai merek terkenal di sebuah toserba. Melihat ibu Goni berdiri lama sekali di jajaran rak sabun, seorang pramuniaga yang mengira si ibu kebingungan lalu mendekatinya untuk menawarkan bantuan. Ketika ditanya sabun jenis/merek apa yang dicari, ibu Goni terdiam. Wajahnya menyiratkan kebingungan. Namun segera ia menimpali pertanyaan pramuniaga: “Eh, gini mbak, saya lupa merek sabunnya. Tapi saya cari sabun yang bintang iklannya itu Luna Maya itu lho, mbak. Apa ya mereknya?” Pramuniaga pun menyebutkan merek sabunnya dan menunjukkan tempatnya kepada ibu Goni. Tak kepalang senangnya ibu Goni. Ini sabun yang sudah lama ingin dibelinya karena ia salah seorang pengagum artis Luna Maya.
Singkat cerita, sore harinya Pak Gino dan ibu Goni duduk menikmati teh hangat di beranda rumah mereka sambil terlibat percakapan ringan. Pak Gino menceritakan pengalamannya dengan cincin dari Busan yang sesak di jarinya sampai ia harus memakai sabun mandi ibu Goni untuk mengepaskannya di jarinya. Ibu Goni mengernyitkan kening dan bertanya dengan nada agak ketus: “Pak, kenapa pake sabun mandiku? Kenapa ga pake sabun cuci piring aja? Bapak tau kan itu sabun mandi koleksiku yang mahal?! Mosok sabun mandi mahal artis Luna Maya dipake buat masukin cincin sih?” Pak Gino terbengong-bengong dengan sikap istrinya yang reaktif sambil menyahut: “Lho, mau artis Luna Maya kek, Luka Ayam kek, yang penting dia berfungsi membantu ngepasin cincin sesak itu di jariku to bu… Lah, kok sabunnya yang jadi masalah? Kau lihat nih, cincin dari Busan ini keliatan cakep kan di jariku?!” Ibu Goni meradang: “Ga bisa pak! Mau cincin dari Busan kek, Bulan kek, aku ga mau sabunku dipake untuk hal yang ga penting kayak gitu. Titik!” Mereka berdua pun tak lagi menikmati teh hangat sore itu karena percakapan keduanya lebih “hot” seputar “cincin dari Busan” dan “sabun Luna Maya”.
***
Kisah Pak Gino dan Ibu Goni itu bukan penggalan cerita sinetron. Itu hanya imajinasi saya mengikuti berbagai catatan laporan dan refleksi di forum ini (FTB) seputar peristiwa Busan beberapa waktu lalu. Lantas, di antara sekian banyak catatan dan komentar yang bervariasi ada catatan tentang “afiliasi” teologis dan filosofis seperti yang diangkat oleh Prof Gerrit Singgih. Sejumlah komentar muncul dari rekan-rekan FTB. Saya tak perlu menanggapinya.
Saya sendiri berkomentar tentang “afiliasi” pada figur Trisno, karyawan STT Jakarta, yang melayani kami sekeluarga saat kami mengungsi (akibat banjir Jakarta) di Guest House STTJ; juga figur pak Septu, penjaja angkringan seberang tempat kos saya di Jogja, yang selalu menjadi tempat nongkrong dan ngobrol sembari menikmati kopi hitam saat begadang nonton tayangan sepakbola dini hari. Sedikit kelakar tapi sebenarnya di balik komentar itu saya bermaksud mendasarkan “afiliasi” filosofis dan teologis saya sebagai pembelajar teologi (bukan teolog!) pada matra relasional yang sangat pragmatis dan eksperiensial. Saya “berafiliasi” dengan kedua figur tersebut bukan karena ide-ide raksasa mereka yang mendunia melalui berjilid-jilid buku teologi dan/atau filsafat yang diproduksi; atau karena gagasan-gagasan mereka didebat sengit baik oleh para muridnya maupun kritikusnya lalu direproduksi dengan berbagai versi dan label. “Afiliasi” saya dengan mereka terbentuk hanya melalui jeratan benang-benang tipis pengalaman bersama pada satu momen kehidupan bersama. Sederhana. Tanpa publikasi. Nihil iklan, selebrasi maupun selebritas. Mungkin saja rapuh dan mudah putus terlupakan. Tapi “pengalaman” sederhana itu menggiring saya di batas-batas refleksivitas tentang hidup dan nilai.
Tentu saja, pengalaman praktis tersebut hanyalah pengalaman pribadi yang tak perlu digembar-gemborkan. Berbanding terbalik pengalaman “komunal” peristiwa WCC di Busan yang sudah selayaknya digembar-gemborkan, diselebrasi penuh kemeriahan, dikomentari dengan berbagai catatan kritis-pedis-miris sebelum, selama, dan sesudahnya. Bahkan dua orang teolog Indonesia “ditugaskan” untuk membedah realitas “pasca-Busan”. Sayangnya, saya tidak bisa ikut mencermati catatan kedua teolog tersebut karena belum mendapatkan catatannya. Hanya beberapa catatan dari rekan-rekan yang berkesempatan mengikuti peristiwa Busan tersebut yang bisa menjadi acuan saya, yang tentu saja saya baca dan tanggapi secara tidak lengkap karena keterbatasan perspektif eksperiensial dan partisipatif dalam peristiwa Busan tersebut.
Saya merasa dalam situasi seperti Pak Gino, yang sedang mencoba mengepas-paskan “cincin dari Busan” oleh-oleh dari rekan-rekan tersebut dengan realitas “jari-jemari” Maluku-Indonesia saya. Saya mencoba memakai beberapa “sabun” perspektif hanya sekadar untuk melicinkan pesan-pesan Busan agar terpahami dan menjadi bagian dari realitas saya yang Maluku-Indonesia ini. Sesak memang dan agak sulit mengepaskannya tapi usapan beberapa “sabun” perspektif cukup menolong sehingga pesan-pesan Busan itu bertengger di jemari Maluku-Indonesia saya. Cukup pas. Indah. Enak dipandang.
Namun, sekarang “sabun” perspektif itu rupanya digugat dengan pertanyaan bagaimana afiliasi teologis dan filosofis “jemari” teologis Indonesia, sebagaimana “sabun-sabun” itu diproduksi dan direproduksi selanjutnya. Terngiang-ngiang reaksi Ibu Goni yang meradang karena sabunnya [yang mahal dan bermerek terkenal] dipakai hanya untuk melicinkan cincin suaminya. Ibu Goni merasa sabunnya adalah representasi afiliasi gaya hidup dan eksistensinya yang terbentuk melalui [re]konstruksi simbol-simbol keanggunan, kemegahan, kecantikan, kesempurnaan seperti yang dicerapnya melalui iklan artis Luna Maya. “Luna Maya” bukanlah sekadar nama, tapi simbol berdaya dahsyat yang membuatnya “ADA” di antara kejamakan realitas; bukan pula sekadar ikon selebritas, tapi “idol” yang menentukan esensi identitasnya bahkan “ideologi” yang jelas menentukan pilihan-pilihan hidupnya secara deterministik.
Berbeda dengan Pak Gino yang hanya melihat “sabun” itu secara sangat praktis-pragmatis yang berfungsi membantu menyelesaikan problemnya saat itu, Ibu Goni melihat “sabun” adalah sebuah prestise yang fungsinya hanya seputar memperkuat citra kecantikan dan keanggunan sebagaimana pilihan afiliasinya pada personifikasi “nama besar” artis Luna Maya.
“Cincin” oleh-oleh dari Busan, bagi saya, masih terasa sesak dan sebagai pembelajar sedang saya coba pas-paskan di jemari saya yang Maluku-Indonesia ini. Agak sakit karena harus saya paksa agar pas di jemari saya dan mungkin perlu waktu menyesuaikan diri dengannya. Namun, jujur saja bahwa saya tidak merasa cukup berani berdebat soal jenis, merek, dan produsen “sabun” perspektif yang saya gunakan. Kegelisahan saya praktis-pragmatis: apakah implikasi sosiologis-politis-ideologis dari Busan dalam konteks keindonesiaan? Oleh karena itu, dasar tanggapan saya (dalam komentar saya tentang afiliasi teologis/filosofis) lebih kepada relasi dan pengalaman keseharian yang konkret tetapi powerful untuk mengubah perspektif saya tentang realitas diri dan otherness yang berlangsung marak di seputar kehidupan saya.
Saya merasa tidak cukup berani untuk berdebat soal jenis dan merek “sabun” perspektif (afiliasi teologi/filosofis), paling-paling hanya bisa bertanya sederhana: punya implikasi konkretkah? Ataukah hanya sekadar me[re]produksi iklan dan idol teologi/filsafat yang condong ideologis sehingga yang muncul kemudian hanyalah bentuk-bentuk pencitraan yang mengawang tapi sama sekali tidak menggawang dalam realitas kehidupan mengindonesia yang kian tunggang-langgang dan jungkir-balik saat ini? Tak tahulah… Kita lihat saja nanti akhir perdebatan panas antara Pak Gino dan Ibu Goni.