Tahun 2014 baru berjalan memasuki bulan kedua. Harapan-harapan yang membubung tinggi saat melepas lenggang 2013 menuju ke masa lalu belum pupus dari angkasa raya semesta. Kita semua masih menanti setiap asa itu mewujud dan memberi secercah kemungkinan untuk bangkit membenahi keterpurukan selama tahun yang telah berlalu.
Namun, siapakah yang kuasa memerintah “betara kala”? Setiap asa dan doa pun rasanya merunduk kelu di hadapannya. Lantas, pada gilirannya kita pun kembali mengikuti ritme langkahnya tanpa daya melawan segala peristiwa. Sinabung murka, Jakarta basah kuyup, ribuan hektar sawah merana, tanah-tanah “bergoyang” mengikuti hentakan iramanya sendiri, 19 titik api gunung-gunung perkasa Nusantara kabarnya bangkit dari mati-surinya, masih sederet panjang lagi gejala alam yang harus kita nantikan aksinya.
Sementara manusia? Ah, apa masih perlu membicarakannya? Sejak Socrates, Plato, Aristoteles, Gautama, sederetan nabi dan rasul agama samawi, Gandhi, Martin Luther King Jr., Hegel, Levinas, Marx, Weber, Froom, Habermas, Giddens (siapa lagi ya?), hingga Soekarno, Gus Dur, mbah Marijan (yang lain tambah sendiri) mengajarkan seribu satu interpretasi tentang siapa manusia dan bagaimana melakoni hakikat kemanusiaan itu agar setiap individu menghayatinya dalam kefanaannya. Hanya dengan menghayati kefanaannya, manusia mampu melampaui jebakan-jebakan arogansi yang condong mendewakan pikirannya sendiri, tafsirannya sendiri, bahkan dirinya sendiri sehingga pudarlah batas kemanusiaan dan ketuhanan yang menentukan kefanaannya sebagai manusia. Maka “Tuhan” itu pun tersisip bisu di bawah kepongahan manusia yang merasa “tahu-Tuhan” tapi “tidak-tahu-diri”.
Wah, sebenarnya saya mau ngomong apa sih? Sorry bro/sis, rupanya saya mulai “tidak-tahu-diri”. Sebenarnya begini. Dengan seluruh peristiwa bencana yang menjadi pendahuluan tahun 2014 kita bisa belajar hal-ihwal apa saja yang perlu didahulukan untuk dilihat sebagai akar persoalan kita bersama. Seorang pakar menulis di salah satu harian lokal Jogja mengulas alasan mengapa Erupsi Sinabung dan beberapa lainnya, tidak dianggap sebagai “bencana nasional”. Ulasannya sangat akademik tapi kering, penuh catatan tentang undang-undang ini dan aturan itu yang menetapkan bencana nasional, sambil berkelit bahwa pemerintah sudah mengucurkan dana sekian milyar. Kesimpulannya: itu bukan bencana nasional karena jumlah korban [manusia] dan kerugian [material] masih belum mencapai kriteria yang ditetapkan. Anehnya, manusia yang terlantar di tempat-tempat pengungsian seperti tak digubris. Mereka seolah tak lebih dari angka dan statistik yang dihadapkan dengan setumpuk regulasi.
Beda lagi dengan kawasan ibukota yang terendam banjir hampir semua wilayahnya. Berita-berita media cetak dan terutama elektronik (televisi) ramai menuding gubernur dan wakil gubernurnya sebagai biang-kerok, sampai-sampai diminta harus minta maaf kepada rakyat. Bersamaan dengan itu, para pengungsi banjir pun menjadi “bintang iklan” karena disambangi para petinggi parpol atau ormas. Akar masalah utama banjir pun hanyut bersama dengan janji-janji dan gaya pencitraan. Manusianya digubris hanya sebatas demi mendongkrak rating pencitraan electoral menjelang hajatan politik 2014.
Nah, bicara soal akar nih. Kalau berkunjung ke kota Jogja, anda sudah tentu tidak akan melewatkan menikmati Malioboro dan Pasar Kembang. Sudah sejak lama (sejak zaman kolonial Belanda atau mungkin sebelumnya?) kawasan ini sudah menjadi ikon kosmopolitanisme kota Jogja. Turis (domestik dan mancanegara) berbaur melenggang menyusuri sudut-sudut Malioboro, saling menyapa dengan berbagai bahasa, saling menawar harga dengan bahasa tubuh (jari-jemari, lambaian tangan, mimik muka) lantas “deal!”: harga pas, barang dilepas, pelanggan puas. Kalau kocek lemas, nikmati saja Malioboro dengan mata karena sepanjang ruas jalannya pandangan kita bisa melahap suguhan sampai “kenyang” (gratis pula!) barang-barang karya seni superkreatif ala Jogja.
Bagi penikmat foto[grafi], semua objek bisa menjadi latar untuk dijepret sana-sini atau sekadar “selfi”. Yang selalu membuat saya tak habis kagum adalah betapa luar biasanya objek papan nama jalan “Malioboro” yang terletak di ujung jalan, berseberangan dengan Stasiun Kereta Api Tugu, dibelah oleh ruas jalan “Pasar Kembang”. Tidak pernah sepi dari gerombolan pencinta fotografi! Anda bisa bayangkan kan, betapa istimewanya kota ini. Namun, satu lagi yang membuat saya kagum, di ujung lain (selatan) Malioboro depan Benteng Vreideburg, tepat di perempatan titik nol kota Jogja, berdiri sebuah patung raksasa setengah manusia (ke bawah) dan akar (ke atas), yang biasa disebut “patung akar”. Saya tidak tahu sejak kapan patung itu bercokol di situ tapi sejak pertama saya ke Jogja, patung akar sudah menjadi salah satu ikon Malioboro bahkan kota Jogja. Pernah saya menanyakan apa arti simbolik patung akar itu kepada seorang pelukis jalanan di trotoar Malioboro, ia dengan percaya diri menjawab: “O, itu simbol bahwa kemana saja orang Jogja pergi tidak akan pernah meninggalkan akar budayanya. Ya bisa juga diartikan siapa saja yang pernah berkunjung ke Jogja, akan selalu mengenang bahwa ia juga berakar di sini – kota yang memberi kesempatan untuk semua budaya bertumbuh.” Luar biasa, bukan?!
Namun, sayang seribu sayang, ikon kota Jogja itu, patung akar, sudah tercerabut dari tanahnya. Patung akar tidak lagi berakar. Akarnya yang kokoh menampilkan wajah multibudaya Jogja ternyata rapuh digerogoti kesempitan cara berpikir dan cara melihat kehidupan masyarakat Jogja yang menggeliat genit dan berwarna-warni. Kedalaman seni didangkalkan oleh kepicikan kuasi-religiositas sehingga seni terjerembab hanya pada parameter “hitam-putih”; keluasan daya kreasi dan nalar manusia ditekuk dan dilipat hanya oleh pagar-pagar prapaham norma kesantunan yang semu dalam kabut epistemik “pornografi”; lalu, norma sosial surut dalam batas-batas yang ditentukan oleh pejabat (representasi otoritas publik) yang gemetar berhadapan dengan teror segelintir orang yang tidak mewakili kepentingan publik. Lihatlah apa yang terjadi. Atas nama semua itu, patung akar pun terjerembab tak lagi menjadi penanda kosmopolitanisme Jogja dan tergerus makna simboliknya sebagai perekat sosial para penikmat seni, yang saling berinteraksi meski hanya sekadar minta tolong difoto dan saling menilai hasil foto; atau bahkan di kaki patung akar itu, akar-akar cinta saling membelit pada pandangan pertama. Mereka tak mempersoalkan patung akar itu telanjang atau berbusana, karena sebenarnya yang tercipta adalah kekuatan-kekuatan simbol yang membuka ruang-ruang perjumpaan segala bentuk keberbedaan (otherness) itu sebagai manusia, tentunya.
Patung akar itu sudah melenggang meninggalkan arena Malioboro dan tumbang! Apakah itu pertanda akar-akar kosmopolitanisme dan pluralitas Jogja turut tercerabut dan tumbang? Entahlah. Catatan ringkas ini hanyalah sebentuk kegelisahan saya karena merasa akar-akar keambonan saya sudah saling membelit dengan patung akar Malioboro. Saya menjadi Ambon di Jogja karena tanah budaya Jogja memberikan kesempatan untuk bertumbuh memahami keambonan saya di tengah riuhnya identitas-identitas budaya di Jogja. Saya juga menjadi Jogja karena perjumpaan-perjumpaan berbagai budaya dan agama menumbuhkan akar-akar persahabatan lintas-budaya dan lintas-iman di kota ini.
Yah, sudahlah. Saya hanya bisa berucap lesu: “que sera sera”. Izinkan saya menikmati angkringan sejenak diiringi alunan suara serak dan genjringan gitar pengamen Malioboro:
Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana Jogja
Di persimpangan langkahku terhenti
Ramai kaki lima
Menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi
Seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri
Ditelan deru kotamu ...
Walau kini kau t'lah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Ijinkanlah aku untuk s'lalu pulang lagi
Bila hati mulai sepi tanpa terobati
Ah, nikmat…