Pengantar
Watak misioner Kristianitas pada dasarnya menemukan bentuknya dalam proses panjang sejarah dirinya yang berkelindan dengan sejarah sosial komunitas penganutnya. Prinsip misioner Kristianitas lazimnya mengacu pada panggilan pemuridan (discipleship) yang dilakukan oleh Yesus terhadap duabelas orang laki-laki yang kemudian disebut para murid. Keduabelas orang inilah yang kemudian dipercaya [dan ditetapkan] oleh generasi selanjutnya sebagai para rasul yang mentransmisi ajaran-ajaran awal Yesus, yang kemudian diawetkan menjadi dogma-dogma Kristianitas selama berabad-abad melalui berbagai aliran interpretatif dan denominasi. Meskipun demikian, panggilan pemuridan dan implikasi praktis, sosiologis dan politisnya sebenarnya mencakup banyak kalangan, termasuk para perempuan. Namun karena konstruk sosiologis masyarakat pembentuk dan penerus tradisi Kristianitas lebih bersifat patriarkhal maka narasi-narasi perempuan dalam sejarah pemuridan dituturkan secara senyap dibandingkan narasi-narasi maskulin.
Panggilan pemuridan Yesus tersebut kemudian ditetapkan sebagai landasan konversi atau proselitisasi orang-orang lain untuk menerima ajaran dan tradisi Kristianitas awal sehingga membentuk komunitas-komunitas pengikut ajaran Yesus [dan Paulus] yang kian membesar secara kuantitas. Tentu saja, pembesaran secara kuantitatif komunitas-komunitas Kristen ini punya dampak sosiologis dan politis terutama dengan para penguasa dimana mereka berkembang. Hubungan antara komunitas Kristen awal dan rezim-rezim penguasa pun bersifat dinamis yang kerap ditandai oleh kompromi, konspirasi dan konfrontasi, bahkan tidak jarang berujung persekusi ketika rezim penguasa menganggap eksistensi komunitas Kristen sebagai ancaman serius terhadap status-quo kekuasaan.
Titik balik paradigma misi Kristianitas terjadi pada salah satu momentum sejarah ketika seorang penguasa (Kaisar Konstantinus) memberi legitimasi politis Kristianitas menjadi agama resmi penguasa dan oleh sebab itu berimplikasi menjadi agama yang dianut mayoritas secara politis. Misi keagamaan yang sebelumnya lebih banyak berlangsung sebagai gerakan bawah tanah, minoritas dan cenderung dicap subversif, kini berubah drastis menjadi misi politik yang berjubah agama dan/atau sebaliknya misi agama dengan menggunakan seluruh instrumen ideologis kekuasaan politik (negara). Pada momentum sejarah itu dan selanjutnya makin sulit dibedakan dan dipisahkan antara misi agama dan misi politik. Cuius regio, eius religio. Maka pernyataan Injil Matius 28:19-20: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” yang mulanya merupakan panggilan pemuridan mendapat pembobotan politis sebagai panggilan untuk mengkristenkan pihak lain (masyarakat/individu) dengan segala cara sebagaimana yang telah kita saksikan melalui sejarah kolonialisasi bangsa-bangsa Barat terhadap bangsa-bangsa lain di muka bumi. Semangat kristenisasi (sering dikemas dengan terminologi “pekabaran injil”) yang juga berlangsung dengan semangat misi kebudayaan eropanisasi, berjalan beriringan dengan hasrat eksploitatif atas kekayaan alam dan manusia di luar kawasan kekuasaan mereka.
Kristianitas di Maluku bertumbuh dalam konteks sosial-politik dan ekonomi semacam itu (kolonialisasi). Watak misi Kristen di Maluku pun terbentuk dalam semangat misi keagamaan dan misi politik kekuasaan yang saling bertaut. Misi keagamaan mengekspresikan hasrat menambah jumlah penganut sebagai afirmasi kekuatan penjajah, yang dilanjutkan dengan misi politik yang mengambil keuntungan politik dan ekonomi melalui manipulasi agama. Dengan demikian, memahami dinamika misi Kristen di Maluku mesti ditempatkan secara proporsional sebagai juga misi sosial-politik Kristen secara kontekstual. Artinya, misi Kristen itu tidak hanya berkutat pada hal-ihwal teologis atau spiritual semata-mata tetapi menggumuli realitas sosial-politik komunitas Kristen yang hidup bersama-sama dengan berbagai komunitas beriman lain di Maluku dan Indonesia.
Tantangan dalam dunia yang berubah
Jika misi Kristen terbentuk dalam konteks kolonialisasi lalu terwarisi sebagai tradisi Kristianitas (terutama GPM) saat ini, maka apakah yang membedakan misi Kristen bangsa-bangsa Eropa zaman kolonial dengan misi Kristen yang sekarang? Apakah terjadi pergeseran paradigma ataukah hanya perubahan bentuk sedangkan substansinya tetap? Sejauhmana dibutuhkan pergeseran paradigma misiologis dan atas dasar tantangan seperti apa?
Watak misi Kristen yang terpola sebagai relasi superior-inferior antara kaum penjajah dan kaum terjajah pada derajat tertentu telah menyebabkan sikap Kristianitas yang condong permisif terhadap bentuk-bentuk polarisasi sosial antara “elite” dan “rakyat jelata”, kompromistis dengan determinasi kekuasaan daripada kritis terhadap ketidakadilan dan keengganan – jika bukan ketakutan – untuk keluar dari zona [ny]aman keberagamaan berhadapan dengan persoalan-persoalan sosial terkait dengan relasi-relasi kekuasaan dalam kehidupan masyarakat.
Pergantian rezim penguasa dari kaum penjajah kepada kaum inlander elite berlanjut dengan dinamikanya sendiri sejak awal proklamasi kemerdekaan hingga Indonesia pascareformasi. Era Indonesia pascareformasi menandai munculnya kegairahan demokratisasi yang lebih prospektif setelah terbelenggu oleh sistem kekuasaan kuasi-demokrasi yang berjalan beriringan dengan militerisme (security approach). Hampir dapat dipastikan misi Kristen yang digagas dan diimplementasikan tetap berlangsung di bawah kontrol hegemonik negara. Kehidupan keberagamaan dan hubungan antarkelompok agama tidak luput pula dari kontrol negara sebagaimana tampak dari penentuan lima agama resmi oleh negara dan hubungan antarkelompok agama yang lebih berlangsung secara mekanik dan artifisial daripada organik dan genuine.
Konseptualisasi dan aplikasi misi Kristen pun tidak beranjak jauh dari tendensi menambah kuantitas melalui cara-cara “penginjilan” yang eksklusif, jika tidak sekadar mempertahankan apa yang sudah ada dengan modifikasi instrumentalistik semata. Metode-metode “penginjilan” lebih kreatif tampaknya pada permukaan kendati substansinya tetap konvensional dan jumud menyikapi dinamika perubahan konteks. Pada tataran itu, Kristianitas Indonesia secara garis besar terbelah menjadi dua arus: ekumenikal dan evangelikal. Arus ekumenikal berupaya memberi makna baru atas misi Kristen dengan serius mempertimbangkan kontekstualisasi teologi menanggapi dinamika perubahan sosial-politik dan kebudayaan populer untuk mengakarkan Kristianitas pada konteks keindonesiaan dengan seluruh dimensi sosiologis dan politis-ideologisnya; sedangkan kaum evangelikal masih berkutat pada paradigma pragmatis “membawa jiwa pada Kristus”. Penyikapan kedua mainstream Kristianitas tersebut terhadap isu-isu sosial-politik semacam kemiskinan, ketidakadilan struktural, korupsi, kekerasan struktural oleh negara, kerusakan lingkungan, kesetaraan jender dsb, pun berbeda.
Sebagai salah satu anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), sejak awal GPM berkomitmen untuk melibatkan seluruh aktivitas misionernya dalam bingkai gerakan ekumene. Sebagai yang demikian, maka GPM menyadari bahwa perspektif misi Kristen dalam konteks Indonesia kontemporer mesti bersandar pada paradigma misi yang transformatif menyikapi berbagai situasi problematika yang menyertai kesejarahan dan dinamika sosial Indonesia. Dalam hubungan antardenominasi pada tubuh PGI terjalin kesepakatan-kesepakatan ekumenis yang lebih berorientasi pada penguatan kehidupan bersama dalam bingkai keindonesiaan. Sementara dalam hubungan antarkelompok agama, meskipun pada taraf tertentu masih terkesan elitis, belajar dari sejarah – terutama sejarah kelam konflik yang melibatkan Islam-Kristen di Maluku – GPM setahap demi setahap mendekonstruksi perspektif misi Kristennya dan melakukan berbagai terobosan transformatif dalam menerjemahkan misi Kristennya secara aplikatif.
Transformasi Misi Kristiani GPM
Perspektif dan praksis misi kristiani GPM tidak dapat dilepaskan dari eksistensinya sebagai bagian integral dari pergumulan Kristianitas di Indonesia. Sebagai gereja yang lahir dan tumbuh dalam konteks partikular/lokal Maluku, warga GPM bergulat dengan persoalan-persoalan lokal di Maluku. Namun demikian, hampir sebagian besar [tidak semua!] persoalan-persoalan yang terjadi di ranah lokal pada kenyataannya dipicu oleh berbagai faktor penyebab di ranah nasional dan global, yang merefleksikan ketegangan tarik-menarik kepentingan ideologis-politis dan ekonomis antarberbagai kelompok. Di dalam ketegangan itu agama-agama turut memainkan perannya secara variatif. Oleh karena itu, perspektif dan praksis misi kristiani GPM kini didesak untuk meluaskan cakrawala teologisnya dan manifestasi program-program misionernya hingga pada cakupan nasional, regional dan internasional.
Seperti telah disebutkan bahwa diskursus tentang misi Kristen lazim didasarkan pada prinsip “Amanat Agung” dalam Injil Matius 28:19-20. Teks ini seolah-olah sudah menjadi mantera ampuh bagi manifestasi misi Kristen atau yang kerap disebut “penginjilan”. Tafsir terhadap “Amanat Agung” itu bisa dielaborasi pada kesempatan lain. Namun, di sini saya memilih teks lain yang lebih bernada profetik, yang ditaruh oleh penulis Injil Lukas sebagai ucapan Yesus sendiri dengan mengutip kitab Nabi Yesaya 61:1-2: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.”
Pendasaran prinsip misi Kristiani pada teks Lukas ini daripada “Amanat Agung” Matius dilakukan lebih karena teks Lukas bernuansa profetik (keberpihakan) dan bukan triumfalistik (penundukan); partisipatif dan bukan normatif; kreatif dan bukan imperatif. Di dalamnya terkandung pengakuan bahwa misi itu sendiri merupakan dorongan inspiratif dari Roh Tuhan. Tuhanlah yang memiliki misi ini (misio dei) sehingga segala bentuk kepongahan spiritual mesti tunduk pada kedaulatan Tuhan Sang Pemberi Mandat Misi. Manusia sebagai “misionaris” hanyalah suruhan atau utusan atau pengemban mandat misio dei itu untuk mewartakan kebenaran tetapi bukan Kebenaran itu sendiri. Misi itu sendiri terlaksana dalam hubungan segitiga, bukan dua-arah saja (Tuhan dan manusia). Hubungan segitiga itu adalah Tuhan Sang Kebenaran Sejati – Manusia (secara sosial) – Konteks (lingkungan hidup). Dengan demikian, misi Kristiani menurut perspektif profetik Yesaya dan Lukas lebih berkarakter misi sosial-kontekstual dan bukan misi keselamatan individual yang dengan mudah tergelincir pada truth-claims lantas menegasi liyan secara apologetik atas dasar narsisme spiritualitas.
Prinsip profetik inilah yang menginspirasi refleksi misiologis yang kontekstual dan berdaya transformatif pada tataran kehidupan sosial masyarakat yang kian hybrid dan plural saat ini. Tiga frase aktif pada teks itu: [1] “menyampaikan kabar baik kepada orang miskin”; [2] “memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan dan penglihatan bagi orang buta”; [3] “membebaskan orang-orang tertindas”, jelas mengekspresikan makna sosiologis-politis teks ini yang mesti dijadikan sebagai sandaran teologis dalam mengejawantahkan praksis misi kristiani yang kontekstual dimana kemiskinan, ketertawanan, kebutaan dan ketertindasan menjadi orientasi misiologis Kristianitas saat ini.
Ada empat isu tentatif yang akan saya ulas secara singkat sebagai upaya menerjemahkan prinsip profetik Lukas di atas ke dalam konteks pergumulan GPM. Tentu saja, keempat isu tersebut mesti dibaca sebagai salah satu fragmen saja di antara begitu banyak fragmen misiologis yang menyusun konstruk perspektif misiologis GPM.
a. Misi Kristiani GPM dalam konteks perjumpaan agama-agama
Sejak menjadi gereja mandiri terlepas dari “induk-semang” Belanda pada tahun 1935, GPM telah menyadari bahwa eksistensi agama-agama lain (terutama Islam) merupakan bagian dari dinamika kehidupan bermasyarakat dan Kristianitas di Maluku. Namun, kesadaran tersebut belum mendorong pada upaya serius dan sistematis-teologis menempatkan Islam atau agama-agama lain sebagai “teman seperjalanan”. Kehadiran dan perjumpaan dengan Islam, misalnya, masih dipahami sebatas isu kebudayaan (pela dan gandong) tetapi belum menjadi isu teologis yang diwacanakan dan dikonstruksikan secara programatis sebagai agenda misi transformatif. Masih kental terasa derivasi mentalitas superior dimana Kristianitas – karena dibawa oleh kaum penjajah perkasa – dianggap sebagai “agama tinggi” (high-religiosity) dibandingkan dengan agama[-agama] lain. Sikap dan mentalitas semacam ini sudah tidak dapat dipertahankan karena narasi-narasi lokal dan nasional memperlihatkan bahwa hubungan antaragama (terutama Islam-Kristen) sangat mempengaruhi pengembangan manusia dan kebudayaan Maluku yang berkeadaban. Sudah terlalu banyak energi sosial yang terkuras oleh perseteruan terselubung maupun terbuka kedua komunitas agama tersebut, yang pada gilirannya menyita konsentrasi dan orientasi praksis-teologis agama-agama untuk berkontribusi membangun kebudayaan Salam-Sarane sebagai basis misi kemanusiaan universal agar menjadi rahmatan lil-alamin.
b. Misi Kristiani GPM dalam era masyarakat digital
Kemajuan pesat teknologi informasi-komunikasi telah menghadirkan tantangan baru bagi masyarakat modern. Pola-pola komunikasi verbal-tradisional kini bergeser secara signifikan menjadi komunikasi verbal-digital bahkan simbol-digital melalui aplikasi software chatting. Komunikasi antarindividu berlangsung melalui pertukaran simbol-simbol linguistik (tulisan) dan ikon-ikon digital yang dianggap mampu menerjemahkan “rasa”, bahkan menyediakan media gambar-bergerak (video). Semiotika publik pun berlangsung pada wilayah virtual yang tidak lagi melibatkan perjumpaan atau percakapan verbal secara langsung, sehingga komunitas manusia modern pengguna teknologi infokom digital pun kini berinteraksi melalui pertukaran interpretatif simbol-simbol pada ranah sibernetika. Pada konteks semacam ini berlangsung fenomena anomali: privatisasi ruang publik dan publisitas ruang privat. Jejaring media sosial menjadi ruang mengekspresikan sentimen pribadi sekaligus menyebarkannya menjadi konsumsi publik melalui aplikasi tautan pertemanan global. Semua itu berlangsung melampaui batas-batas teritori geografis dan lintas-identitas. Di situ perspektif misi keagamaan konvensional mengalami degradasi karena luruhnya human-touch tetapi pada saat yang sama tereskalasi melintasi berbagai rubicon atau tapal batas segala sesuatu yang ditabukan. Tantangan bagi GPM adalah bagaimana pendasaran teologis bagi artikulasi misiologis GPM menapaki dekade-dekade digital abad ke-21 mampu merespons kemajuan teknologi digital semacam ini.
c. Misi Kristiani GPM sebagai manifestasi penguatan civil society
Perjalanan menggereja umat Kristen di Maluku juga menjadi bagian dari sejarah sosial dan kebudayaan Indonesia sebagai nation-state yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Sejak waktu itulah GPM bersama-sama dengan seluruh komponen Kristianitas dan agama-agama lain-lain bergerak menyusuri tapak-tapak pergumulan untuk memaknai kesepakatan mengindonesia dan memberi muatan pada identitas keindonesiaan dalam konteks masyarakat multibudaya Indonesia. Sejarah pergolakan ideologis antara “nasionalisme-agama-komunisme” (nasakom) yang mencapai kulminasi historis dalam wujud ideal bernama Pancasila, tarik-menarik kepentingan pusat-pinggiran atau lokal-nasional (center-periphery) telah melahirkan bentuk-bentuk resistensi dan konflik berhadapan dengan politik sentralisasi “orde-orde” rezim penguasa (Orde Lama, Orde Baru, Orde paling Baru), hegemoni negara (pusat/Jakarta) yang berimplikasi politis dan ekonomis telah melahirkan bentuk-bentuk marjinalisasi masyarakat ugahari (indigenous people) yang hidup di kepulauan nusantara yang berlimpah sumber daya tanah, hutan dan laut. Realitas semacam itu pada derajat tertentu telah dan sedang ditanggapi oleh GPM melalui perluasan diskursus misi Kristen yang lebih konkret dalam bentuk-bentuk kebijakan pelayanan dan gerakan-gerakan advokasi bagi penguatan civil society di Maluku dan Indonesia. Dalam realitas semacam itulah suara profetik Yesaya (yang dikutip dalam Injil Lukas di atas) makin signifikan menjadi landasan misi profetik kristiani GPM.
d. Misi Kristiani GPM sebagai produk liberalisasi teologi primordial
Sebagai gereja yang mewarisi tradisi Kristianitas Reformasi ala Eropa (Belanda), GPM tidak dapat mengelak fakta historis dan teologis bahwa pada dirinya mengalir semangat tradisi itu yang mewujud dalam berbagai rupa pola pengorganisasian gereja, ritual (liturgi) dan interpretasi teks-teks Alkitab. Seiring dengan tuntutan perkembangan zaman terjadi pula sejumlah perubahan sebagai konsekuensi dari komitmen melakukan kontekstualisasi teologi warisan kolonial. Proses kontekstualisasi teologi dan tradisi menggereja tampaknya berlangsung setengah hati karena masih tertawan oleh konstruksi teologi klasik, terutama seperti yang masih diajarkan dalam pendidikan teologi. Perkembangan perspektif teologi kontekstual sebagaimana diformulasikan khususnya pada konteks Asia dan pascakolonial tidak serta-merta diikuti sebagai salah satu katalisator untuk konstruksi teologi kontekstual Maluku. Diskursus teologis masih berkutat seputar teologi primordial tentang diri sendiri dan belum secara tegas memposisikan pergulatan kontekstualisasi teologi pada komplesitas realitas keindonesiaan dan pergumulan Kristianitas Asia yang sebagian besar masih berjuang menghadapi hegemoni kapitalisme oleh berbagai korporasi internasional dan kiblat pemikiran teologi “Barat”. Liberalisasi teologi menunjuk pada upaya memaknai teks-teks Alkitab yang selama ini diyakini sebagai “tak terbantahkan” (sola scriptura) secara kritis. Secara kritis artinya pembacaan dan pemaknaan teks-teks Alkitab dilakukan dengan menggunakan instrumen atau lensa metodologis ilmu-ilmu sosial-politik dan antropologi sehingga teologi “ditemukan” dari akar-rumput melalui narasi-narasi lokal yang sejatinya merefleksikan arena pergumulan kemanusiaan universal. Sehingga pesan-pesan alkitabiah yang terkandung dalam praksis misi kristiani GPM menjadi praksis misi yang terbuka bagi semua dan memanusiakan manusia serta terbebaskan dari batas-batas identifikasi primordial (agama dan etnisitas).
Penutup
Pemerian ringkas mengenai perspektif dan prospek misi kristiani GPM kontemporer di atas tentu tidak merepresentasikan keseluruhan kompleksitas dimensi-dimensi Kristianitas di Maluku dan Indonesia. Catatan kecil ini pada dasarnya hendak memperlihatkan sejumlah preferensi teologis dan sosiologis yang mesti dipertimbangkan oleh GPM sebagai salah satu institusi keagamaan terbesar di Indonesia.
Dinamika dan dialektika pelayanan “jemaat” dan “masyarakat” telah menjadi arena keprihatinan untuk membangun dan mengembangkan misi kristiani yang membumi dan menyapa kemanusiaan dalam realitas kehidupannya. Dengan demikian, misi kristiani GPM pada gilirannya memang sudah tidak lagi hanya berkutat dengan dirinya sendiri dan asyik-masyuk dengan narsisme spiritual semata. Misi kristiani GPM tetap menjadi spirit menggereja abad ke-21 namun dengan dekonstruksi mendasar postulat-postulat teologis yang diwarisi sejak era kolonial. Misi kristiani GPM harus menjadi misi memanusiakan manusia sebagaimana memang aksioma itu yang seharusnya melandasi seluruh praksis misi kristiani GPM kini dan songsong masa depan.
Yogyakarta, 10 Juli 2014
Read more ...
Watak misioner Kristianitas pada dasarnya menemukan bentuknya dalam proses panjang sejarah dirinya yang berkelindan dengan sejarah sosial komunitas penganutnya. Prinsip misioner Kristianitas lazimnya mengacu pada panggilan pemuridan (discipleship) yang dilakukan oleh Yesus terhadap duabelas orang laki-laki yang kemudian disebut para murid. Keduabelas orang inilah yang kemudian dipercaya [dan ditetapkan] oleh generasi selanjutnya sebagai para rasul yang mentransmisi ajaran-ajaran awal Yesus, yang kemudian diawetkan menjadi dogma-dogma Kristianitas selama berabad-abad melalui berbagai aliran interpretatif dan denominasi. Meskipun demikian, panggilan pemuridan dan implikasi praktis, sosiologis dan politisnya sebenarnya mencakup banyak kalangan, termasuk para perempuan. Namun karena konstruk sosiologis masyarakat pembentuk dan penerus tradisi Kristianitas lebih bersifat patriarkhal maka narasi-narasi perempuan dalam sejarah pemuridan dituturkan secara senyap dibandingkan narasi-narasi maskulin.
Panggilan pemuridan Yesus tersebut kemudian ditetapkan sebagai landasan konversi atau proselitisasi orang-orang lain untuk menerima ajaran dan tradisi Kristianitas awal sehingga membentuk komunitas-komunitas pengikut ajaran Yesus [dan Paulus] yang kian membesar secara kuantitas. Tentu saja, pembesaran secara kuantitatif komunitas-komunitas Kristen ini punya dampak sosiologis dan politis terutama dengan para penguasa dimana mereka berkembang. Hubungan antara komunitas Kristen awal dan rezim-rezim penguasa pun bersifat dinamis yang kerap ditandai oleh kompromi, konspirasi dan konfrontasi, bahkan tidak jarang berujung persekusi ketika rezim penguasa menganggap eksistensi komunitas Kristen sebagai ancaman serius terhadap status-quo kekuasaan.
Titik balik paradigma misi Kristianitas terjadi pada salah satu momentum sejarah ketika seorang penguasa (Kaisar Konstantinus) memberi legitimasi politis Kristianitas menjadi agama resmi penguasa dan oleh sebab itu berimplikasi menjadi agama yang dianut mayoritas secara politis. Misi keagamaan yang sebelumnya lebih banyak berlangsung sebagai gerakan bawah tanah, minoritas dan cenderung dicap subversif, kini berubah drastis menjadi misi politik yang berjubah agama dan/atau sebaliknya misi agama dengan menggunakan seluruh instrumen ideologis kekuasaan politik (negara). Pada momentum sejarah itu dan selanjutnya makin sulit dibedakan dan dipisahkan antara misi agama dan misi politik. Cuius regio, eius religio. Maka pernyataan Injil Matius 28:19-20: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” yang mulanya merupakan panggilan pemuridan mendapat pembobotan politis sebagai panggilan untuk mengkristenkan pihak lain (masyarakat/individu) dengan segala cara sebagaimana yang telah kita saksikan melalui sejarah kolonialisasi bangsa-bangsa Barat terhadap bangsa-bangsa lain di muka bumi. Semangat kristenisasi (sering dikemas dengan terminologi “pekabaran injil”) yang juga berlangsung dengan semangat misi kebudayaan eropanisasi, berjalan beriringan dengan hasrat eksploitatif atas kekayaan alam dan manusia di luar kawasan kekuasaan mereka.
Kristianitas di Maluku bertumbuh dalam konteks sosial-politik dan ekonomi semacam itu (kolonialisasi). Watak misi Kristen di Maluku pun terbentuk dalam semangat misi keagamaan dan misi politik kekuasaan yang saling bertaut. Misi keagamaan mengekspresikan hasrat menambah jumlah penganut sebagai afirmasi kekuatan penjajah, yang dilanjutkan dengan misi politik yang mengambil keuntungan politik dan ekonomi melalui manipulasi agama. Dengan demikian, memahami dinamika misi Kristen di Maluku mesti ditempatkan secara proporsional sebagai juga misi sosial-politik Kristen secara kontekstual. Artinya, misi Kristen itu tidak hanya berkutat pada hal-ihwal teologis atau spiritual semata-mata tetapi menggumuli realitas sosial-politik komunitas Kristen yang hidup bersama-sama dengan berbagai komunitas beriman lain di Maluku dan Indonesia.
Tantangan dalam dunia yang berubah
Jika misi Kristen terbentuk dalam konteks kolonialisasi lalu terwarisi sebagai tradisi Kristianitas (terutama GPM) saat ini, maka apakah yang membedakan misi Kristen bangsa-bangsa Eropa zaman kolonial dengan misi Kristen yang sekarang? Apakah terjadi pergeseran paradigma ataukah hanya perubahan bentuk sedangkan substansinya tetap? Sejauhmana dibutuhkan pergeseran paradigma misiologis dan atas dasar tantangan seperti apa?
Watak misi Kristen yang terpola sebagai relasi superior-inferior antara kaum penjajah dan kaum terjajah pada derajat tertentu telah menyebabkan sikap Kristianitas yang condong permisif terhadap bentuk-bentuk polarisasi sosial antara “elite” dan “rakyat jelata”, kompromistis dengan determinasi kekuasaan daripada kritis terhadap ketidakadilan dan keengganan – jika bukan ketakutan – untuk keluar dari zona [ny]aman keberagamaan berhadapan dengan persoalan-persoalan sosial terkait dengan relasi-relasi kekuasaan dalam kehidupan masyarakat.
Pergantian rezim penguasa dari kaum penjajah kepada kaum inlander elite berlanjut dengan dinamikanya sendiri sejak awal proklamasi kemerdekaan hingga Indonesia pascareformasi. Era Indonesia pascareformasi menandai munculnya kegairahan demokratisasi yang lebih prospektif setelah terbelenggu oleh sistem kekuasaan kuasi-demokrasi yang berjalan beriringan dengan militerisme (security approach). Hampir dapat dipastikan misi Kristen yang digagas dan diimplementasikan tetap berlangsung di bawah kontrol hegemonik negara. Kehidupan keberagamaan dan hubungan antarkelompok agama tidak luput pula dari kontrol negara sebagaimana tampak dari penentuan lima agama resmi oleh negara dan hubungan antarkelompok agama yang lebih berlangsung secara mekanik dan artifisial daripada organik dan genuine.
Konseptualisasi dan aplikasi misi Kristen pun tidak beranjak jauh dari tendensi menambah kuantitas melalui cara-cara “penginjilan” yang eksklusif, jika tidak sekadar mempertahankan apa yang sudah ada dengan modifikasi instrumentalistik semata. Metode-metode “penginjilan” lebih kreatif tampaknya pada permukaan kendati substansinya tetap konvensional dan jumud menyikapi dinamika perubahan konteks. Pada tataran itu, Kristianitas Indonesia secara garis besar terbelah menjadi dua arus: ekumenikal dan evangelikal. Arus ekumenikal berupaya memberi makna baru atas misi Kristen dengan serius mempertimbangkan kontekstualisasi teologi menanggapi dinamika perubahan sosial-politik dan kebudayaan populer untuk mengakarkan Kristianitas pada konteks keindonesiaan dengan seluruh dimensi sosiologis dan politis-ideologisnya; sedangkan kaum evangelikal masih berkutat pada paradigma pragmatis “membawa jiwa pada Kristus”. Penyikapan kedua mainstream Kristianitas tersebut terhadap isu-isu sosial-politik semacam kemiskinan, ketidakadilan struktural, korupsi, kekerasan struktural oleh negara, kerusakan lingkungan, kesetaraan jender dsb, pun berbeda.
Sebagai salah satu anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), sejak awal GPM berkomitmen untuk melibatkan seluruh aktivitas misionernya dalam bingkai gerakan ekumene. Sebagai yang demikian, maka GPM menyadari bahwa perspektif misi Kristen dalam konteks Indonesia kontemporer mesti bersandar pada paradigma misi yang transformatif menyikapi berbagai situasi problematika yang menyertai kesejarahan dan dinamika sosial Indonesia. Dalam hubungan antardenominasi pada tubuh PGI terjalin kesepakatan-kesepakatan ekumenis yang lebih berorientasi pada penguatan kehidupan bersama dalam bingkai keindonesiaan. Sementara dalam hubungan antarkelompok agama, meskipun pada taraf tertentu masih terkesan elitis, belajar dari sejarah – terutama sejarah kelam konflik yang melibatkan Islam-Kristen di Maluku – GPM setahap demi setahap mendekonstruksi perspektif misi Kristennya dan melakukan berbagai terobosan transformatif dalam menerjemahkan misi Kristennya secara aplikatif.
Transformasi Misi Kristiani GPM
Perspektif dan praksis misi kristiani GPM tidak dapat dilepaskan dari eksistensinya sebagai bagian integral dari pergumulan Kristianitas di Indonesia. Sebagai gereja yang lahir dan tumbuh dalam konteks partikular/lokal Maluku, warga GPM bergulat dengan persoalan-persoalan lokal di Maluku. Namun demikian, hampir sebagian besar [tidak semua!] persoalan-persoalan yang terjadi di ranah lokal pada kenyataannya dipicu oleh berbagai faktor penyebab di ranah nasional dan global, yang merefleksikan ketegangan tarik-menarik kepentingan ideologis-politis dan ekonomis antarberbagai kelompok. Di dalam ketegangan itu agama-agama turut memainkan perannya secara variatif. Oleh karena itu, perspektif dan praksis misi kristiani GPM kini didesak untuk meluaskan cakrawala teologisnya dan manifestasi program-program misionernya hingga pada cakupan nasional, regional dan internasional.
Seperti telah disebutkan bahwa diskursus tentang misi Kristen lazim didasarkan pada prinsip “Amanat Agung” dalam Injil Matius 28:19-20. Teks ini seolah-olah sudah menjadi mantera ampuh bagi manifestasi misi Kristen atau yang kerap disebut “penginjilan”. Tafsir terhadap “Amanat Agung” itu bisa dielaborasi pada kesempatan lain. Namun, di sini saya memilih teks lain yang lebih bernada profetik, yang ditaruh oleh penulis Injil Lukas sebagai ucapan Yesus sendiri dengan mengutip kitab Nabi Yesaya 61:1-2: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.”
Pendasaran prinsip misi Kristiani pada teks Lukas ini daripada “Amanat Agung” Matius dilakukan lebih karena teks Lukas bernuansa profetik (keberpihakan) dan bukan triumfalistik (penundukan); partisipatif dan bukan normatif; kreatif dan bukan imperatif. Di dalamnya terkandung pengakuan bahwa misi itu sendiri merupakan dorongan inspiratif dari Roh Tuhan. Tuhanlah yang memiliki misi ini (misio dei) sehingga segala bentuk kepongahan spiritual mesti tunduk pada kedaulatan Tuhan Sang Pemberi Mandat Misi. Manusia sebagai “misionaris” hanyalah suruhan atau utusan atau pengemban mandat misio dei itu untuk mewartakan kebenaran tetapi bukan Kebenaran itu sendiri. Misi itu sendiri terlaksana dalam hubungan segitiga, bukan dua-arah saja (Tuhan dan manusia). Hubungan segitiga itu adalah Tuhan Sang Kebenaran Sejati – Manusia (secara sosial) – Konteks (lingkungan hidup). Dengan demikian, misi Kristiani menurut perspektif profetik Yesaya dan Lukas lebih berkarakter misi sosial-kontekstual dan bukan misi keselamatan individual yang dengan mudah tergelincir pada truth-claims lantas menegasi liyan secara apologetik atas dasar narsisme spiritualitas.
Prinsip profetik inilah yang menginspirasi refleksi misiologis yang kontekstual dan berdaya transformatif pada tataran kehidupan sosial masyarakat yang kian hybrid dan plural saat ini. Tiga frase aktif pada teks itu: [1] “menyampaikan kabar baik kepada orang miskin”; [2] “memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan dan penglihatan bagi orang buta”; [3] “membebaskan orang-orang tertindas”, jelas mengekspresikan makna sosiologis-politis teks ini yang mesti dijadikan sebagai sandaran teologis dalam mengejawantahkan praksis misi kristiani yang kontekstual dimana kemiskinan, ketertawanan, kebutaan dan ketertindasan menjadi orientasi misiologis Kristianitas saat ini.
Ada empat isu tentatif yang akan saya ulas secara singkat sebagai upaya menerjemahkan prinsip profetik Lukas di atas ke dalam konteks pergumulan GPM. Tentu saja, keempat isu tersebut mesti dibaca sebagai salah satu fragmen saja di antara begitu banyak fragmen misiologis yang menyusun konstruk perspektif misiologis GPM.
a. Misi Kristiani GPM dalam konteks perjumpaan agama-agama
Sejak menjadi gereja mandiri terlepas dari “induk-semang” Belanda pada tahun 1935, GPM telah menyadari bahwa eksistensi agama-agama lain (terutama Islam) merupakan bagian dari dinamika kehidupan bermasyarakat dan Kristianitas di Maluku. Namun, kesadaran tersebut belum mendorong pada upaya serius dan sistematis-teologis menempatkan Islam atau agama-agama lain sebagai “teman seperjalanan”. Kehadiran dan perjumpaan dengan Islam, misalnya, masih dipahami sebatas isu kebudayaan (pela dan gandong) tetapi belum menjadi isu teologis yang diwacanakan dan dikonstruksikan secara programatis sebagai agenda misi transformatif. Masih kental terasa derivasi mentalitas superior dimana Kristianitas – karena dibawa oleh kaum penjajah perkasa – dianggap sebagai “agama tinggi” (high-religiosity) dibandingkan dengan agama[-agama] lain. Sikap dan mentalitas semacam ini sudah tidak dapat dipertahankan karena narasi-narasi lokal dan nasional memperlihatkan bahwa hubungan antaragama (terutama Islam-Kristen) sangat mempengaruhi pengembangan manusia dan kebudayaan Maluku yang berkeadaban. Sudah terlalu banyak energi sosial yang terkuras oleh perseteruan terselubung maupun terbuka kedua komunitas agama tersebut, yang pada gilirannya menyita konsentrasi dan orientasi praksis-teologis agama-agama untuk berkontribusi membangun kebudayaan Salam-Sarane sebagai basis misi kemanusiaan universal agar menjadi rahmatan lil-alamin.
b. Misi Kristiani GPM dalam era masyarakat digital
Kemajuan pesat teknologi informasi-komunikasi telah menghadirkan tantangan baru bagi masyarakat modern. Pola-pola komunikasi verbal-tradisional kini bergeser secara signifikan menjadi komunikasi verbal-digital bahkan simbol-digital melalui aplikasi software chatting. Komunikasi antarindividu berlangsung melalui pertukaran simbol-simbol linguistik (tulisan) dan ikon-ikon digital yang dianggap mampu menerjemahkan “rasa”, bahkan menyediakan media gambar-bergerak (video). Semiotika publik pun berlangsung pada wilayah virtual yang tidak lagi melibatkan perjumpaan atau percakapan verbal secara langsung, sehingga komunitas manusia modern pengguna teknologi infokom digital pun kini berinteraksi melalui pertukaran interpretatif simbol-simbol pada ranah sibernetika. Pada konteks semacam ini berlangsung fenomena anomali: privatisasi ruang publik dan publisitas ruang privat. Jejaring media sosial menjadi ruang mengekspresikan sentimen pribadi sekaligus menyebarkannya menjadi konsumsi publik melalui aplikasi tautan pertemanan global. Semua itu berlangsung melampaui batas-batas teritori geografis dan lintas-identitas. Di situ perspektif misi keagamaan konvensional mengalami degradasi karena luruhnya human-touch tetapi pada saat yang sama tereskalasi melintasi berbagai rubicon atau tapal batas segala sesuatu yang ditabukan. Tantangan bagi GPM adalah bagaimana pendasaran teologis bagi artikulasi misiologis GPM menapaki dekade-dekade digital abad ke-21 mampu merespons kemajuan teknologi digital semacam ini.
c. Misi Kristiani GPM sebagai manifestasi penguatan civil society
Perjalanan menggereja umat Kristen di Maluku juga menjadi bagian dari sejarah sosial dan kebudayaan Indonesia sebagai nation-state yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Sejak waktu itulah GPM bersama-sama dengan seluruh komponen Kristianitas dan agama-agama lain-lain bergerak menyusuri tapak-tapak pergumulan untuk memaknai kesepakatan mengindonesia dan memberi muatan pada identitas keindonesiaan dalam konteks masyarakat multibudaya Indonesia. Sejarah pergolakan ideologis antara “nasionalisme-agama-komunisme” (nasakom) yang mencapai kulminasi historis dalam wujud ideal bernama Pancasila, tarik-menarik kepentingan pusat-pinggiran atau lokal-nasional (center-periphery) telah melahirkan bentuk-bentuk resistensi dan konflik berhadapan dengan politik sentralisasi “orde-orde” rezim penguasa (Orde Lama, Orde Baru, Orde paling Baru), hegemoni negara (pusat/Jakarta) yang berimplikasi politis dan ekonomis telah melahirkan bentuk-bentuk marjinalisasi masyarakat ugahari (indigenous people) yang hidup di kepulauan nusantara yang berlimpah sumber daya tanah, hutan dan laut. Realitas semacam itu pada derajat tertentu telah dan sedang ditanggapi oleh GPM melalui perluasan diskursus misi Kristen yang lebih konkret dalam bentuk-bentuk kebijakan pelayanan dan gerakan-gerakan advokasi bagi penguatan civil society di Maluku dan Indonesia. Dalam realitas semacam itulah suara profetik Yesaya (yang dikutip dalam Injil Lukas di atas) makin signifikan menjadi landasan misi profetik kristiani GPM.
d. Misi Kristiani GPM sebagai produk liberalisasi teologi primordial
Sebagai gereja yang mewarisi tradisi Kristianitas Reformasi ala Eropa (Belanda), GPM tidak dapat mengelak fakta historis dan teologis bahwa pada dirinya mengalir semangat tradisi itu yang mewujud dalam berbagai rupa pola pengorganisasian gereja, ritual (liturgi) dan interpretasi teks-teks Alkitab. Seiring dengan tuntutan perkembangan zaman terjadi pula sejumlah perubahan sebagai konsekuensi dari komitmen melakukan kontekstualisasi teologi warisan kolonial. Proses kontekstualisasi teologi dan tradisi menggereja tampaknya berlangsung setengah hati karena masih tertawan oleh konstruksi teologi klasik, terutama seperti yang masih diajarkan dalam pendidikan teologi. Perkembangan perspektif teologi kontekstual sebagaimana diformulasikan khususnya pada konteks Asia dan pascakolonial tidak serta-merta diikuti sebagai salah satu katalisator untuk konstruksi teologi kontekstual Maluku. Diskursus teologis masih berkutat seputar teologi primordial tentang diri sendiri dan belum secara tegas memposisikan pergulatan kontekstualisasi teologi pada komplesitas realitas keindonesiaan dan pergumulan Kristianitas Asia yang sebagian besar masih berjuang menghadapi hegemoni kapitalisme oleh berbagai korporasi internasional dan kiblat pemikiran teologi “Barat”. Liberalisasi teologi menunjuk pada upaya memaknai teks-teks Alkitab yang selama ini diyakini sebagai “tak terbantahkan” (sola scriptura) secara kritis. Secara kritis artinya pembacaan dan pemaknaan teks-teks Alkitab dilakukan dengan menggunakan instrumen atau lensa metodologis ilmu-ilmu sosial-politik dan antropologi sehingga teologi “ditemukan” dari akar-rumput melalui narasi-narasi lokal yang sejatinya merefleksikan arena pergumulan kemanusiaan universal. Sehingga pesan-pesan alkitabiah yang terkandung dalam praksis misi kristiani GPM menjadi praksis misi yang terbuka bagi semua dan memanusiakan manusia serta terbebaskan dari batas-batas identifikasi primordial (agama dan etnisitas).
Penutup
Pemerian ringkas mengenai perspektif dan prospek misi kristiani GPM kontemporer di atas tentu tidak merepresentasikan keseluruhan kompleksitas dimensi-dimensi Kristianitas di Maluku dan Indonesia. Catatan kecil ini pada dasarnya hendak memperlihatkan sejumlah preferensi teologis dan sosiologis yang mesti dipertimbangkan oleh GPM sebagai salah satu institusi keagamaan terbesar di Indonesia.
Dinamika dan dialektika pelayanan “jemaat” dan “masyarakat” telah menjadi arena keprihatinan untuk membangun dan mengembangkan misi kristiani yang membumi dan menyapa kemanusiaan dalam realitas kehidupannya. Dengan demikian, misi kristiani GPM pada gilirannya memang sudah tidak lagi hanya berkutat dengan dirinya sendiri dan asyik-masyuk dengan narsisme spiritual semata. Misi kristiani GPM tetap menjadi spirit menggereja abad ke-21 namun dengan dekonstruksi mendasar postulat-postulat teologis yang diwarisi sejak era kolonial. Misi kristiani GPM harus menjadi misi memanusiakan manusia sebagaimana memang aksioma itu yang seharusnya melandasi seluruh praksis misi kristiani GPM kini dan songsong masa depan.
Yogyakarta, 10 Juli 2014