Sebagai suatu entitas geopolitik dan sosiologis, Indonesia merupakan fenomena baru dalam sejarah dunia yang eksistensinya mewujud konkret pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sebelum 17 Agustus 1945 belum ada “Indonesia”, sehingga era sebelum itu dapat disebut sebagai era pra-Indonesia atau yang lebih kerap disebut era Nusantara. Kebaruan (novelty) identitas keindonesiaan itu sangat kuat dideterminasi oleh dua faktor utama, yaitu [1] pengalaman sejarah pahit penderitaan selama kolonialisasi bangsa-bangsa lain dari Eropa (Barat) silih berganti sehingga mendorong timbulnya perlawanan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan, dan [2] motivasi kolektif untuk menikmati kemerdekaan sebagai suatu bangsa mandiri berlandaskan kesepakatan sosial-politik sebagai hasil negosiasi identitas primordial (agama dan etnisitas) yang majemuk dari berbagai kelompok sosial yang hidup di wilayah Nusantara.
Kedua faktor determinan tersebut yang menjadikan Indonesia sebagai fenomena baru karena dibangun di atas suatu kesepakatan politik atau kontrak sosial bahwa dengan mempertimbangkan realitas kemajemukan maka dibutuhkan semacam landasan bersama (common ground) yang mengakomodasi berbagai identitas secara harmonis. Pilihan common ground itu tidak dapat lagi berbasis identitas primordial baik identitas agama maupun identitas etnis tertentu. Pilihan common ground itu harus merupakan perpaduan harmonis atau sinkretis dari berbagai dimensi sosial-politik dan kebudayaan yang menandai eksistensi pluralitas identitas masyarakat yang bersepakat untuk hidup sebagai satu bangsa. Sebagai sebentuk negosiasi identitas, pilihan akan suatu common ground yang ideal bukanlah hal yang mudah. Namun, para pendiri bangsa (founding fathers/mothers) ini, yang mewakili berbagai kelompok, kepentingan dan ideologi, telah berhasil memperlihatkan kematangan politik dan kecerdasan budaya dengan menjadikan Pancasila sebagai common ground Indonesia sebagai fenomena baru tersebut.
Aneka perdebatan dan ketegangan diskursif yang mewarnai proses kesepakatan “menjadi Indonesia” pada masa-masa awal pascakemerdekaan memberikan indikasi kuat bahwa para pendiri republik ini telah dan terus berupaya melampaui tendensi primordialistik dalam diri mereka masing-masing. Realitas “mayoritas” dan “minoritas” disadari tetapi tidak menjadi penghambat utama membangun kesepakatan yang bersifat egalitarian di antara berbagai kelompok. Oleh karena itu, demokrasi pun menjadi pilihan sistem politik dalam membangun Indonesia sebagai fenomena baru. Hanya melalui demokrasi, kemajemukan bangsa yang baru merdeka ini dapat dikelola sebagai kekuatan, dan bukan sebagai ancaman. Landasan filosofis-ideologis Pancasila sebagai perpaduan kreatif hasil kecerdasan budaya dan pilihan politik demokrasi sebagai bentuk kematangan politik telah menjadi kekuatan pemersatu nation-state Indonesia hingga saat ini. Tentu saja, Indonesia semacam ini merupakan sebentuk prestasi global jika dibandingkan dengan pengalaman negara-negara lain yang gagal mengelola pluralitas dalam dirinya.
Namun demikian, prestasi Indonesia sebagai fenomena baru tersebut tidak luput dari berbagai tantangan yang menguji sejauhmana dan seberapa tangguh kesepakatan mengindonesia itu masih dijunjung tinggi. Perjalanan bersama sebagai suatu bangsa selama 69 tahun (1945-2014) hampir pada setiap periode sejarahnya ditandai oleh dinamika sosial-politik dan kebudayaan yang bervariasi. Pada satu waktu kesepakatan mengindonesia itu dinodai oleh realitas politik otoritarianisme dimana rezim penguasa menanggapi perbedaan dan mengelola kemajemukan dengan tangan besi (security approach and militarism). Perbedaan diakui sekaligus ditegaskan sebagai ancaman yang tidak boleh dibicarakan atau ditampilkan ke permukaan, sehingga diperlukan mekanisme penyeragaman mulai dari cara berpakaian hingga cara berpikir.
Pada periode sejarah yang lain, otorianisme rezim penguasa mencapai titik jenuh politik sehingga melahirkan perlawanan-perlawanan politik identitas untuk menegaskan perbedaan secara eksplisit bahkan cenderung vulgar. Pernak-pernik warna identitas primordial, terutama agama dan etnisitas, yang sekian lama dipoles oleh satu warna yang seragam, pasca orde “Reformasi 1998” mulai dimunculkan kembali secara tegas. Keterbukaan politik yang sebelumnya dibungkam dan diseragamkan kemudian memperoleh momentum historis untuk diwujudkan bahkan seolah-olah tanpa batas. Demokrasi kemudian seakan-akan menjadi etimologi yang bermakna ambigu: menjamin kebebasan berekspresi sekaligus memberangus liyan (otherness). Semua orang dan/atau kelompok merasa berhak menyuarakan aspirasi dan ekspresinya sebagai warga negara, pada satu sisi, tetapi dengannya merasa paling benar dan berhak menihilkan semua yang berbeda dengan dirinya dan/atau kelompoknya. Dalam konteks semacam itu, negara sebagai representasi kewargaan yang seharusnya mengapresiasi hak hidup dan bernegara setiap warganya seolah-olah absen menjalankan fungsinya. Apa yang terjadi kemudian dapat dilihat pada serangkaian peristiwa tragis kekerasan antarkelompok sosial dan agama yang berlarut-larut sehingga menimbulkan korban jiwa dan material yang tidak sedikit, serta menorehkan guratan pedih trauma sosial yang perlu waktu lama untuk memulihkannya.
Pemulihan trauma sosial warga negara dari berbagai memori pahit dalam sejarah berbangsa yang terjadi setelah 69 tahun kemerdekaan Indonesia merupakan sesuatu yang mendesak. Pada titik itulah negara dan pemerintah perlu menjalankan fungsi dan peran substansialnya membangun keadaban publik dengan kembali menempatkan landasan filosofis-ideologis Pancasila sebagai orientasi sosial-politik-budaya yang utama sebagaimana kesepakatan mengindonesia yang pernah dikukuhkan oleh para pendiri republik ini. Kesadaran historis ini sangat penting agar setiap warga negara menyadari bahwa proses mengindonesia ini bukanlah perkara yang mudah. Diperlukan komitmen untuk memahami dan menghayati realitas kemajemukan sebagai identitas Indonesia, dan oleh sebab itu setiap godaan untuk mengunggulkan ego identitas primordial (agama dan etnisitas) justru hanya akan menggiring Indonesia ke bibir jurang perpecahan.
Fungsi dan peran substansial negara dalam membangun keadaban publik itu juga mesti diimbangi oleh penguatan peran civil society. Hanya melalui penguatan peran civil society, negara dan pemerintah tidak lagi terperangkap pada jebakan otoritarianisme kekuasaan rezim negara yang despotik. Keseimbangan antara peran negara dan penguatan civil society ini mesti terus-menerus dipertahankan untuk menciptakan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara yang dialektis, kritis dan saling mengisi dengan satu tujuan yaitu mengelola seluruh potensi kekuasaan bagi kesejahteraan segenap rakyat Indonesia. Dengan demikian, rakyat dan pluralitas budaya Indonesia menjadi modal sosial yang jika dikelola dengan bijak akan mampu menempatkan Indonesia sebagai kekuatan utama yang diperhitungkan dalam membangun peradaban masyarakat global.
Selain modal sosial tersebut, upaya membangun peradaban masyarakat global mesti dilakukan dengan mengelola modal ekonomi yang dimiliki. Salah satu isu penting dalam mengelola modal ekonomi Indonesia adalah kekayaan alam dan konservasi lingkungan hidup. Sebagai negara kepulauan, kekuatan ekonomi Indonesia pada dasarnya bertumpu pada kekayaan alam darat dan laut. Sudah sejak dahulu kekayaan alam Nusantara (kemudian Indonesia) menjadi incaran bangsa-bangsa lain. Tetapi melalui sejarah pula dapat dipelajari bahwa pengelolaan kekayaan alam Indonesia selalu gagal menjadi modal ekonomi untuk menyejahterakan rakyat.
Sejak era prakolonial, kolonial hingga pascakolonial kekayaan alam (hutan dan laut) hanya dikuasai oleh segelintir rezim penguasa dan dieksploitasi tanpa batasan-batasan regulatif yang menjamin bahwa setiap warga negara – terutama rakyat jelata dan masyarakat lokal/adat – dapat menikmati hasilnya secara optimal. Kemiskinan tetap menjadi indikator utama realitas berbangsa dan bernegara Indonesia di tengah-tengah jargon “kekayaan alam Indonesia”. Hutan dan laut Indonesia yang dikuasai dan dieksploitasi secara massif oleh berbagai korporasi nasional dan/atau transnasional yang memperoleh konsesi resmi dari pihak [aparatur] negara pada gilirannya telah menimbulkan kerusakan parah lingkungan hutan, tanah dan ekosistem laut. Dampak utama kerusakan lingkungan alam tersebut sangat dirasakan oleh rakyat yang mendiami wilayah eksploitasi sepihak tersebut. Apa yang terjadi dapat dilihat pada makin terpuruknya kehidupan masyarakat lokal dalam kemiskinan struktural, serta meningkatnya arus urbanisasi. Masyarakat lokal meninggalkan tanah dan kampung mereka untuk mengadu nasib di arena kemiskinan kota. Pengangguran dan premanisme menjadi gambaran wajah kota-kota besar di Indonesia yang makin rentan terhadap lahirnya kekerasan demi kekerasan sehingga menjadi habitus kaum urban Indonesia saat ini.
Penggambaran sederhana salah satu fragmen realitas menjadi Indonesia ini tentu saja tidak menampilkan kompleksitas situasi problematik faktual. Namun dengannya dapat dilihat bahwa permasalahan yang terjadi di Indonesia merupakan jalinan dari berbagai simpul persoalan pada tingkat lokal dan nasional yang mesti dipahami dalam perspektif komprehensif. Saya melihat bahwa simpul masalah utama yang perlu ditangani secara serius dan konsisten adalah pada dua hal yang telah diulas di atas, yaitu masalah kesepakatan ideologis-historis Pancasila sebagai common ground dalam perjalanan “menjadi Indonesia” dan masalah pengelolaan lingkungan hidup yang terdesentralisasi pada lingkup elitis dan korporasi transnasional saja melainkan reorientasi pada kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat lokal pengguna manfaat kekayaan alam di wilayah mereka.
Landasan filosofis-ideologis Pancasila sebagai common ground sejatinya menjadi sumber inspirasi bagi penyusunan dan implementasi berbagai regulasi pada tingkat nasional dan lokal. Di dalamnya hak dan kewajiban setiap warga negara dengan berbagai latar belakang dan identitas dijamin untuk menjalani hidup bersama dalam realitas kemajemukan. Proses ini dapat dilakukan terutama melalui penguatan kurikulum pendidikan berbasis perspektif multikulturalisme Indonesia. Dari situ pembentukan karakter generasi muda yang menghargai perbedaan sebagai modal sosial dapat dilakukan secara sistematis dan positif. Sementara itu pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan secara bijaksana akan sangat mempengaruhi berbagai regulasi penguatan ekonomi kerakyatan yang terutama berbasis pelestarian lingkungan hutan, tanah dan laut, dan bukan semata-mata untuk kepentingan material-ekonomi yang pada akhirnya makin membuat kehidupan rakyat terpuruk dalam lingkaran setan kemiskinan struktural.
Read more ...
Kedua faktor determinan tersebut yang menjadikan Indonesia sebagai fenomena baru karena dibangun di atas suatu kesepakatan politik atau kontrak sosial bahwa dengan mempertimbangkan realitas kemajemukan maka dibutuhkan semacam landasan bersama (common ground) yang mengakomodasi berbagai identitas secara harmonis. Pilihan common ground itu tidak dapat lagi berbasis identitas primordial baik identitas agama maupun identitas etnis tertentu. Pilihan common ground itu harus merupakan perpaduan harmonis atau sinkretis dari berbagai dimensi sosial-politik dan kebudayaan yang menandai eksistensi pluralitas identitas masyarakat yang bersepakat untuk hidup sebagai satu bangsa. Sebagai sebentuk negosiasi identitas, pilihan akan suatu common ground yang ideal bukanlah hal yang mudah. Namun, para pendiri bangsa (founding fathers/mothers) ini, yang mewakili berbagai kelompok, kepentingan dan ideologi, telah berhasil memperlihatkan kematangan politik dan kecerdasan budaya dengan menjadikan Pancasila sebagai common ground Indonesia sebagai fenomena baru tersebut.
Aneka perdebatan dan ketegangan diskursif yang mewarnai proses kesepakatan “menjadi Indonesia” pada masa-masa awal pascakemerdekaan memberikan indikasi kuat bahwa para pendiri republik ini telah dan terus berupaya melampaui tendensi primordialistik dalam diri mereka masing-masing. Realitas “mayoritas” dan “minoritas” disadari tetapi tidak menjadi penghambat utama membangun kesepakatan yang bersifat egalitarian di antara berbagai kelompok. Oleh karena itu, demokrasi pun menjadi pilihan sistem politik dalam membangun Indonesia sebagai fenomena baru. Hanya melalui demokrasi, kemajemukan bangsa yang baru merdeka ini dapat dikelola sebagai kekuatan, dan bukan sebagai ancaman. Landasan filosofis-ideologis Pancasila sebagai perpaduan kreatif hasil kecerdasan budaya dan pilihan politik demokrasi sebagai bentuk kematangan politik telah menjadi kekuatan pemersatu nation-state Indonesia hingga saat ini. Tentu saja, Indonesia semacam ini merupakan sebentuk prestasi global jika dibandingkan dengan pengalaman negara-negara lain yang gagal mengelola pluralitas dalam dirinya.
Namun demikian, prestasi Indonesia sebagai fenomena baru tersebut tidak luput dari berbagai tantangan yang menguji sejauhmana dan seberapa tangguh kesepakatan mengindonesia itu masih dijunjung tinggi. Perjalanan bersama sebagai suatu bangsa selama 69 tahun (1945-2014) hampir pada setiap periode sejarahnya ditandai oleh dinamika sosial-politik dan kebudayaan yang bervariasi. Pada satu waktu kesepakatan mengindonesia itu dinodai oleh realitas politik otoritarianisme dimana rezim penguasa menanggapi perbedaan dan mengelola kemajemukan dengan tangan besi (security approach and militarism). Perbedaan diakui sekaligus ditegaskan sebagai ancaman yang tidak boleh dibicarakan atau ditampilkan ke permukaan, sehingga diperlukan mekanisme penyeragaman mulai dari cara berpakaian hingga cara berpikir.
Pada periode sejarah yang lain, otorianisme rezim penguasa mencapai titik jenuh politik sehingga melahirkan perlawanan-perlawanan politik identitas untuk menegaskan perbedaan secara eksplisit bahkan cenderung vulgar. Pernak-pernik warna identitas primordial, terutama agama dan etnisitas, yang sekian lama dipoles oleh satu warna yang seragam, pasca orde “Reformasi 1998” mulai dimunculkan kembali secara tegas. Keterbukaan politik yang sebelumnya dibungkam dan diseragamkan kemudian memperoleh momentum historis untuk diwujudkan bahkan seolah-olah tanpa batas. Demokrasi kemudian seakan-akan menjadi etimologi yang bermakna ambigu: menjamin kebebasan berekspresi sekaligus memberangus liyan (otherness). Semua orang dan/atau kelompok merasa berhak menyuarakan aspirasi dan ekspresinya sebagai warga negara, pada satu sisi, tetapi dengannya merasa paling benar dan berhak menihilkan semua yang berbeda dengan dirinya dan/atau kelompoknya. Dalam konteks semacam itu, negara sebagai representasi kewargaan yang seharusnya mengapresiasi hak hidup dan bernegara setiap warganya seolah-olah absen menjalankan fungsinya. Apa yang terjadi kemudian dapat dilihat pada serangkaian peristiwa tragis kekerasan antarkelompok sosial dan agama yang berlarut-larut sehingga menimbulkan korban jiwa dan material yang tidak sedikit, serta menorehkan guratan pedih trauma sosial yang perlu waktu lama untuk memulihkannya.
Pemulihan trauma sosial warga negara dari berbagai memori pahit dalam sejarah berbangsa yang terjadi setelah 69 tahun kemerdekaan Indonesia merupakan sesuatu yang mendesak. Pada titik itulah negara dan pemerintah perlu menjalankan fungsi dan peran substansialnya membangun keadaban publik dengan kembali menempatkan landasan filosofis-ideologis Pancasila sebagai orientasi sosial-politik-budaya yang utama sebagaimana kesepakatan mengindonesia yang pernah dikukuhkan oleh para pendiri republik ini. Kesadaran historis ini sangat penting agar setiap warga negara menyadari bahwa proses mengindonesia ini bukanlah perkara yang mudah. Diperlukan komitmen untuk memahami dan menghayati realitas kemajemukan sebagai identitas Indonesia, dan oleh sebab itu setiap godaan untuk mengunggulkan ego identitas primordial (agama dan etnisitas) justru hanya akan menggiring Indonesia ke bibir jurang perpecahan.
Fungsi dan peran substansial negara dalam membangun keadaban publik itu juga mesti diimbangi oleh penguatan peran civil society. Hanya melalui penguatan peran civil society, negara dan pemerintah tidak lagi terperangkap pada jebakan otoritarianisme kekuasaan rezim negara yang despotik. Keseimbangan antara peran negara dan penguatan civil society ini mesti terus-menerus dipertahankan untuk menciptakan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara yang dialektis, kritis dan saling mengisi dengan satu tujuan yaitu mengelola seluruh potensi kekuasaan bagi kesejahteraan segenap rakyat Indonesia. Dengan demikian, rakyat dan pluralitas budaya Indonesia menjadi modal sosial yang jika dikelola dengan bijak akan mampu menempatkan Indonesia sebagai kekuatan utama yang diperhitungkan dalam membangun peradaban masyarakat global.
Selain modal sosial tersebut, upaya membangun peradaban masyarakat global mesti dilakukan dengan mengelola modal ekonomi yang dimiliki. Salah satu isu penting dalam mengelola modal ekonomi Indonesia adalah kekayaan alam dan konservasi lingkungan hidup. Sebagai negara kepulauan, kekuatan ekonomi Indonesia pada dasarnya bertumpu pada kekayaan alam darat dan laut. Sudah sejak dahulu kekayaan alam Nusantara (kemudian Indonesia) menjadi incaran bangsa-bangsa lain. Tetapi melalui sejarah pula dapat dipelajari bahwa pengelolaan kekayaan alam Indonesia selalu gagal menjadi modal ekonomi untuk menyejahterakan rakyat.
Sejak era prakolonial, kolonial hingga pascakolonial kekayaan alam (hutan dan laut) hanya dikuasai oleh segelintir rezim penguasa dan dieksploitasi tanpa batasan-batasan regulatif yang menjamin bahwa setiap warga negara – terutama rakyat jelata dan masyarakat lokal/adat – dapat menikmati hasilnya secara optimal. Kemiskinan tetap menjadi indikator utama realitas berbangsa dan bernegara Indonesia di tengah-tengah jargon “kekayaan alam Indonesia”. Hutan dan laut Indonesia yang dikuasai dan dieksploitasi secara massif oleh berbagai korporasi nasional dan/atau transnasional yang memperoleh konsesi resmi dari pihak [aparatur] negara pada gilirannya telah menimbulkan kerusakan parah lingkungan hutan, tanah dan ekosistem laut. Dampak utama kerusakan lingkungan alam tersebut sangat dirasakan oleh rakyat yang mendiami wilayah eksploitasi sepihak tersebut. Apa yang terjadi dapat dilihat pada makin terpuruknya kehidupan masyarakat lokal dalam kemiskinan struktural, serta meningkatnya arus urbanisasi. Masyarakat lokal meninggalkan tanah dan kampung mereka untuk mengadu nasib di arena kemiskinan kota. Pengangguran dan premanisme menjadi gambaran wajah kota-kota besar di Indonesia yang makin rentan terhadap lahirnya kekerasan demi kekerasan sehingga menjadi habitus kaum urban Indonesia saat ini.
Penggambaran sederhana salah satu fragmen realitas menjadi Indonesia ini tentu saja tidak menampilkan kompleksitas situasi problematik faktual. Namun dengannya dapat dilihat bahwa permasalahan yang terjadi di Indonesia merupakan jalinan dari berbagai simpul persoalan pada tingkat lokal dan nasional yang mesti dipahami dalam perspektif komprehensif. Saya melihat bahwa simpul masalah utama yang perlu ditangani secara serius dan konsisten adalah pada dua hal yang telah diulas di atas, yaitu masalah kesepakatan ideologis-historis Pancasila sebagai common ground dalam perjalanan “menjadi Indonesia” dan masalah pengelolaan lingkungan hidup yang terdesentralisasi pada lingkup elitis dan korporasi transnasional saja melainkan reorientasi pada kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat lokal pengguna manfaat kekayaan alam di wilayah mereka.
Landasan filosofis-ideologis Pancasila sebagai common ground sejatinya menjadi sumber inspirasi bagi penyusunan dan implementasi berbagai regulasi pada tingkat nasional dan lokal. Di dalamnya hak dan kewajiban setiap warga negara dengan berbagai latar belakang dan identitas dijamin untuk menjalani hidup bersama dalam realitas kemajemukan. Proses ini dapat dilakukan terutama melalui penguatan kurikulum pendidikan berbasis perspektif multikulturalisme Indonesia. Dari situ pembentukan karakter generasi muda yang menghargai perbedaan sebagai modal sosial dapat dilakukan secara sistematis dan positif. Sementara itu pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan secara bijaksana akan sangat mempengaruhi berbagai regulasi penguatan ekonomi kerakyatan yang terutama berbasis pelestarian lingkungan hutan, tanah dan laut, dan bukan semata-mata untuk kepentingan material-ekonomi yang pada akhirnya makin membuat kehidupan rakyat terpuruk dalam lingkaran setan kemiskinan struktural.