Sejak menjadi mahasiswa Fakultas Teologi UKIM pada tahun 1990an, beta kerap mendengar istilah “fakultas teologi sebagai dapur” atau biasanya disebut “Talake itu dapurnya GPM” (yang pasti dimaksud di situ adalah fakultas teologi par excellence). Ini adalah analogi yang hendak menggambarkan relasi institusional dan fungsional antara institusi pendidikan tinggi teologi dan gereja (GPM) sebagai rumah induknya. Analogi ini dibangun dari realitas historis dan eklesiologis bahwa pada mulanya institusi pendidikan teologi dibentuk untuk mempersiapkan kader-kader pelayan gereja – secara khusus pendeta dan kemudian guru PAK – yang dapat difungsikan untuk memfasilitasi pelayanan gereja secara struktural maupun fungsional dalam konteks yang terbatas.
Hubungan yang terbangun secara spesifik antara kampus (teologi) dan gereja (GPM) kemudian menjadi jaringan kerja sama yang mekanis: kampus mempersiapkan kader dalam bidang keilmuan dan keterampilan (pastoral, khotbah, tafsir alkitab, psikologi dll), kemudian kader-kader yang “siap pakai” itu dimanfaatkan oleh gereja untuk memperkuat kapasitas pelayanan dan struktur organisasinya. Seluruh bangunan kurikulum pendidikan teologi kemudian hanya dipersiapkan untuk kebutuhan “rumah induk” (gereja). Tidak lebih dari itu. Dari situlah kemudian relasi itu membentuk konsep/praktik yang pragmatis bahwa institusi pendidikan teologi adalah semacam “sekolah kedinasan dari gereja”. Umumnya ini dipadankan dengan STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri) dengan output sebagai lurah, camat, dst. Bisa jadi, mindset ini pula yang mendasari munculnya “anekdot” “orang pandai/bodoh itu di talake” dan “orang setia/tidak setia itu di talaba”.
Analogi “dapur” tentu kontekstual sesuai dengan zamannya. Meskipun jika ditelisik lebih jauh analogi itu sebenarnya mengandaikan secara implisit hubungan yang subordinat karena posisi dapur dalam arsitektur rumah pada umumnya berada di belakang. Orang tatua bilang: “Biar dapor talamburang, makang sabarang-sabarang, yang penting kintal atau foris barsih.” Ungkapan itu menggambarkan bahwa penampilan “depan” (kintal/foris) dari “rumah induk” harus lebih diutamakan daripada penampilan “belakang” (dapur). Lagipula, yang biasa tampil di foris untuk terima tamu adalah para lelaki; sedangkan perempuan tempatnya di dapur yang sesak oleh asap tungku dapur dan aroma bumbu dapur. Tidak mengherankan dalam pengalaman turun jemaat, banyak pendeta yang mempraktikkan strategi langsung masuk dapur untuk mengenal kehidupan suatu keluarga anggota jemaat. Karena dari dapurlah akan tampak bagaimana kondisi sebenarnya suatu rumah tangga.
Perubahan zaman dan perubahan sosial adalah keniscayaan yang tak terhindari. Seiring perkembangan zaman dan perubahan masyarakat dalam konteks politik kenegaraan, pemerintah menerbitkan berbagai regulasi yang bertujuan menata lembaga-lembaga pendidikan tinggi, termasuk pendidikan tinggi teologi. Beban regulasi makin bertambah berat dan ketat ketika tahun 1996 melalui negosiasi alot antara PERSETIA dan DIKTI akhirnya teologi diterima sebagai salah satu rumpun ilmu dalam konstruksi pohon ilmu yang digunakan oleh pemerintah (DIKTI). Konsekuensinya, pendidikan teologi harus mulai merekonstruksi seluruh bangunan kurikulumnya untuk disesuaikan dengan tuntutan pemerintah yang menggunakan parameter-parameter keilmuan dan metodologis yang tidak pernah diaplikasikan sebelumnya pada pengembangan pendidikan tinggi teologi. Beta masih ingat ketika kondisi penyesuaian masih gonjang-ganjing fakultas teologi kelabakan menyelenggarakan ujian negara dan menyesuaikan gelar yang berubah-ubah dalam waktu singkat. Angkatan-angkatan sebelum tahun 1990 menggunakan gelar “Sarjana Theologia” atau S.Th. Angkatan beta diwisuda dengan gelar “Sarjana Agama” atau disingkat S.Ag (yang sering diplesetkan “sarjana alam gaib”). Angkatan berikutnya (terutama pasca 1996) kemudian berubah menjadi “Sarjana Sains” atau S.Si (dengan embel-embel “teol.” di belakangnya untuk membedakan dengan gelar serupa dari bidang ilmu lain).
Ya, teologi kemudian menjadi “ilmu” yang dikembangkan secara ketat baik epistemologinya maupun metodologinya. Lantas, bagaimana relasinya dengan “rumah induk” (gereja)? Hampir di semua fakultas atau sekolah teologi yang dimiliki oleh sinode-sinode gereja, konteks ini menghadirkan ambivalensi dalam penyusunan kurikulum teologi. Seorang teman menyebutnya “kurikulum banci”, sebab harus berdiri pada dua perspektif yang sering konfrontatif. Gereja-gereja mengeluhkan lulusan-lulusan fakultas teologi tidak lagi terampil melayani dan lebih tampil sebagai ilmuwan. Dalam tarikan nafas yang sama, pada sisi lain, fakultas teologi harus bergelut dengan berbagai regulasi pemerintah untuk kepentingan akreditasi institusi dan akreditasi dosen, dengan seabrek persyaratan melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat (Tri Dharma Perguruan Tinggi), dan menulis artikel untuk dimuat pada jurnal-jurnal terakreditasi dalam/luar negeri.
Bangunan kurikulum pun tidak lagi semata-mata mengacu pada kebutuhan gereja, tetapi lebih kepada pengembangan ilmu teologi itu sendiri dan implikasinya pada peningkatan mutu institusi universitas. Nah, bertambah lagi bebannya karena kemudian fakultas teologi – meskipun disebut-sebut sebagai “kakak tertua” dalam konteks UKIM – harus realistis menerima dirinya dan beradaptasi dalam lingkungan akademik yang beragam. Penelitian-penelitian yang dilakukan dituntut lebih terintegrasi di bawah koordinasi universitas (UKIM) karena pemerintah tidak berhubungan langsung dengan fakultas tetapi harus melalui bendera universitas.
Catatan ringkas ini hanya ingin memperlihatkan kompleksitas konteks Fakultas Teologi UKIM, yang tidak bisa lagi semata-mata dipandang secara pragmatis sebagai “dapur” gereja (GPM). Analogi tersebut, menurut beta, harus bergeser secara paradigmatis ke arah penguatan kapasitas dan fungsi sebagai lembaga pendidikan tinggi. Sejarah fakultas teologi sebagai bagian dari gereja tentu tidak dapat dipungkiri. Tetapi fakultas teologi kini semestinya dikembangkan dengan lebih bertumpu pada paradigma keilmuan yang integratif, interkonektif, dan interdisipliner sesuai dengan tuntutan pasar dan/atau masyarakat. Lulusan-lulusan fakultas teologi bahkan kini telah menyebar ke berbagai arena pekerjaan dan institusi non-gerejawi. Artinya, ilmu teologi kian berkembang secara paradigmatis kemudian tidak hanya dalam rangka memenuhi kebutuhan gereja belaka, tetapi kebutuhan masyarakat yang lebih luas. Jika paradigmanya demikian maka proses pembelajaran pada fakultas teologi makin variatif dan mengarah pada terbentuknya output (lulusan) yang bermanfaat dalam konteks “pelayanan” yang lebih luas, bukan hanya pada lingkup kecil gereja (GPM). Konsep “jemaat” atau “tanah lapang besar” pun seyogyanya mengembang menjangkau ranah-ranah luas yang melampaui pagar-pagar institusional bernama sinode gereja.
Beta berpikir, istilah “dapur” tampaknya tidak lagi memadai. Mungkin analogi “sumur” dapat menjadi paradigma baru dalam mengembangkan proses pembelajaran dan aktualisasi ilmu teologi secara lebih kontekstual dan progresif. Yang perlu dipikirkan, jika “sumur” kering maka akan menjadi malapetaka bukan hanya bagi seisi “rumah induk” tapi mungkin bagi “orang sekampung” (masyarakat). Begitulah.
Read more ...
Hubungan yang terbangun secara spesifik antara kampus (teologi) dan gereja (GPM) kemudian menjadi jaringan kerja sama yang mekanis: kampus mempersiapkan kader dalam bidang keilmuan dan keterampilan (pastoral, khotbah, tafsir alkitab, psikologi dll), kemudian kader-kader yang “siap pakai” itu dimanfaatkan oleh gereja untuk memperkuat kapasitas pelayanan dan struktur organisasinya. Seluruh bangunan kurikulum pendidikan teologi kemudian hanya dipersiapkan untuk kebutuhan “rumah induk” (gereja). Tidak lebih dari itu. Dari situlah kemudian relasi itu membentuk konsep/praktik yang pragmatis bahwa institusi pendidikan teologi adalah semacam “sekolah kedinasan dari gereja”. Umumnya ini dipadankan dengan STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri) dengan output sebagai lurah, camat, dst. Bisa jadi, mindset ini pula yang mendasari munculnya “anekdot” “orang pandai/bodoh itu di talake” dan “orang setia/tidak setia itu di talaba”.
Analogi “dapur” tentu kontekstual sesuai dengan zamannya. Meskipun jika ditelisik lebih jauh analogi itu sebenarnya mengandaikan secara implisit hubungan yang subordinat karena posisi dapur dalam arsitektur rumah pada umumnya berada di belakang. Orang tatua bilang: “Biar dapor talamburang, makang sabarang-sabarang, yang penting kintal atau foris barsih.” Ungkapan itu menggambarkan bahwa penampilan “depan” (kintal/foris) dari “rumah induk” harus lebih diutamakan daripada penampilan “belakang” (dapur). Lagipula, yang biasa tampil di foris untuk terima tamu adalah para lelaki; sedangkan perempuan tempatnya di dapur yang sesak oleh asap tungku dapur dan aroma bumbu dapur. Tidak mengherankan dalam pengalaman turun jemaat, banyak pendeta yang mempraktikkan strategi langsung masuk dapur untuk mengenal kehidupan suatu keluarga anggota jemaat. Karena dari dapurlah akan tampak bagaimana kondisi sebenarnya suatu rumah tangga.
Perubahan zaman dan perubahan sosial adalah keniscayaan yang tak terhindari. Seiring perkembangan zaman dan perubahan masyarakat dalam konteks politik kenegaraan, pemerintah menerbitkan berbagai regulasi yang bertujuan menata lembaga-lembaga pendidikan tinggi, termasuk pendidikan tinggi teologi. Beban regulasi makin bertambah berat dan ketat ketika tahun 1996 melalui negosiasi alot antara PERSETIA dan DIKTI akhirnya teologi diterima sebagai salah satu rumpun ilmu dalam konstruksi pohon ilmu yang digunakan oleh pemerintah (DIKTI). Konsekuensinya, pendidikan teologi harus mulai merekonstruksi seluruh bangunan kurikulumnya untuk disesuaikan dengan tuntutan pemerintah yang menggunakan parameter-parameter keilmuan dan metodologis yang tidak pernah diaplikasikan sebelumnya pada pengembangan pendidikan tinggi teologi. Beta masih ingat ketika kondisi penyesuaian masih gonjang-ganjing fakultas teologi kelabakan menyelenggarakan ujian negara dan menyesuaikan gelar yang berubah-ubah dalam waktu singkat. Angkatan-angkatan sebelum tahun 1990 menggunakan gelar “Sarjana Theologia” atau S.Th. Angkatan beta diwisuda dengan gelar “Sarjana Agama” atau disingkat S.Ag (yang sering diplesetkan “sarjana alam gaib”). Angkatan berikutnya (terutama pasca 1996) kemudian berubah menjadi “Sarjana Sains” atau S.Si (dengan embel-embel “teol.” di belakangnya untuk membedakan dengan gelar serupa dari bidang ilmu lain).
Ya, teologi kemudian menjadi “ilmu” yang dikembangkan secara ketat baik epistemologinya maupun metodologinya. Lantas, bagaimana relasinya dengan “rumah induk” (gereja)? Hampir di semua fakultas atau sekolah teologi yang dimiliki oleh sinode-sinode gereja, konteks ini menghadirkan ambivalensi dalam penyusunan kurikulum teologi. Seorang teman menyebutnya “kurikulum banci”, sebab harus berdiri pada dua perspektif yang sering konfrontatif. Gereja-gereja mengeluhkan lulusan-lulusan fakultas teologi tidak lagi terampil melayani dan lebih tampil sebagai ilmuwan. Dalam tarikan nafas yang sama, pada sisi lain, fakultas teologi harus bergelut dengan berbagai regulasi pemerintah untuk kepentingan akreditasi institusi dan akreditasi dosen, dengan seabrek persyaratan melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat (Tri Dharma Perguruan Tinggi), dan menulis artikel untuk dimuat pada jurnal-jurnal terakreditasi dalam/luar negeri.
Bangunan kurikulum pun tidak lagi semata-mata mengacu pada kebutuhan gereja, tetapi lebih kepada pengembangan ilmu teologi itu sendiri dan implikasinya pada peningkatan mutu institusi universitas. Nah, bertambah lagi bebannya karena kemudian fakultas teologi – meskipun disebut-sebut sebagai “kakak tertua” dalam konteks UKIM – harus realistis menerima dirinya dan beradaptasi dalam lingkungan akademik yang beragam. Penelitian-penelitian yang dilakukan dituntut lebih terintegrasi di bawah koordinasi universitas (UKIM) karena pemerintah tidak berhubungan langsung dengan fakultas tetapi harus melalui bendera universitas.
Catatan ringkas ini hanya ingin memperlihatkan kompleksitas konteks Fakultas Teologi UKIM, yang tidak bisa lagi semata-mata dipandang secara pragmatis sebagai “dapur” gereja (GPM). Analogi tersebut, menurut beta, harus bergeser secara paradigmatis ke arah penguatan kapasitas dan fungsi sebagai lembaga pendidikan tinggi. Sejarah fakultas teologi sebagai bagian dari gereja tentu tidak dapat dipungkiri. Tetapi fakultas teologi kini semestinya dikembangkan dengan lebih bertumpu pada paradigma keilmuan yang integratif, interkonektif, dan interdisipliner sesuai dengan tuntutan pasar dan/atau masyarakat. Lulusan-lulusan fakultas teologi bahkan kini telah menyebar ke berbagai arena pekerjaan dan institusi non-gerejawi. Artinya, ilmu teologi kian berkembang secara paradigmatis kemudian tidak hanya dalam rangka memenuhi kebutuhan gereja belaka, tetapi kebutuhan masyarakat yang lebih luas. Jika paradigmanya demikian maka proses pembelajaran pada fakultas teologi makin variatif dan mengarah pada terbentuknya output (lulusan) yang bermanfaat dalam konteks “pelayanan” yang lebih luas, bukan hanya pada lingkup kecil gereja (GPM). Konsep “jemaat” atau “tanah lapang besar” pun seyogyanya mengembang menjangkau ranah-ranah luas yang melampaui pagar-pagar institusional bernama sinode gereja.
Beta berpikir, istilah “dapur” tampaknya tidak lagi memadai. Mungkin analogi “sumur” dapat menjadi paradigma baru dalam mengembangkan proses pembelajaran dan aktualisasi ilmu teologi secara lebih kontekstual dan progresif. Yang perlu dipikirkan, jika “sumur” kering maka akan menjadi malapetaka bukan hanya bagi seisi “rumah induk” tapi mungkin bagi “orang sekampung” (masyarakat). Begitulah.