Ada hal menarik di antara sejumlah isu dan program yang diperdebatkan dalam dua tahap Debat Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta lalu, yaitu perbedaan perspektif mengenai pembangunan. Satu paslon dengan fasih mengelaborasi program-program pembangunan yang lebih konkret mengelola tata ruang kota melalui pembukaan lahan-lahan publik yang dapat menjadi ruang perjumpaan sosial di tengah-tengah atmosfer sosial-ekonomi yang kian pengap.
Sementara paslon kompetitornya bersikukuh ingin “mendekonstruksi” perspektif rivalnya dengan berpijak pada asumsi dasar bahwa pembangunan ibukota ini harus lebih berorientasi pembangunan manusianya. Titik tumpu perspektif semacam itu, dikatakan mereka, adalah pada pembinaan moral dan akhlak. Kendati demikian, orientasi pembinaan moral dan akhlak itu pun tidaklah jelas kecuali dengan mencantelkan begitu saja beberapa terminologi khas keagamaan (tertentu). Meski tampak sepele seolah-olah hanya soal perbedaan sudut pandang dalam visi manajemen pembangunan, namun sebenarnya ada titik temu filosofis dan antropologis pada kedua cara pandang tersebut.
Titik temu filosofis ada pada pemaknaan pembangunan sebagai suatu tindakan eksistensial dan tidak sekadar instrumental. Pembangunan mesti mendapat pembobotan sebagai proses rasionalisasi dan tindakan konstruktif yang dilakukan secara komprehensif dengan memperhitungkan dampak dan visi programatik. Di situ pembangunan menjadi sebuah tindakan relasional-eksistensial antara manusia (sebagai individu dan masyarakat) dengan kosmos (dunia semesta).
Titik temu antropologis dapat ditemukan pada pemaknaan manusia sebagai subjek yang berpikir dan membangun dengan menggunakan seluruh perangkat ideologis dan kebudayaannya. Di situ dimensi pluralitas yang mencirikan kemanusiaan dan peradabannya mesti dipertimbangkan secara serius agar relasi-relasi berkeadaban tidak tergelincir menjadi konflik-konflik kepentingan dan politik identitas.
Dua perspektif dalam implementasi strategi pembangunan yang diwacanakan dalam perhelatan debat cagub/cawagub DKI Jakarta tersebut akan digunakan sebagai lensa amatan terhadap dinamika pembangunan Kota Ambon pasca terpilihnya para pemimpin kota ini.
Ambon Kota Multikultur
Dua sejarawan mencatat dalam artikel-artikel mereka bahwa setidaknya sejak abad ke-17, masyarakat Ambon memiliki postur sosial-budaya yang majemuk. Gerrit Knaap dalam artikelnya “A City of Migrants: Kota Ambon at The End of the Seventeenth Century” mengulas tentang perkembangan Kota Ambon dalam kurun 130 tahun pertama serta gerak perubahannya menjadi kota multirupa (a non-Ambonese city). Kendati ada persamaan ciri dengan kota-kota lain pada awal periode kolonial namun tetap dapat ditemukan keunikannya sendiri. Sementara Richard Leirissa dalam tulisannya bertajuk “The Bugis-Makassarese in the Port Towns: Ambon and Ternate through the nineteenth century” secara lebih spesifik menyelisik aktivitas dan keberadaan para pedagang dari Sulawesi Selatan yang telah mengunjungi Maluku sejak abad ke-17. Penaklukan Makassar oleh VOC pada pertengahan abad ke-17 mengakhiri masa emas perdagangan Bugis-Makassar di Maluku. Namun sejumlah kecil kelompok etnis ini masih tinggal di Ambon dan Ternate, juga pulau-pulau lain. Leirissa menyelisik struktur komunitas-komunitas Bugis-Makassar di Kota Pelabuhan Ambon dan Ternate sepanjang abad ke-19.
Catatan historis dua sejarawan tersebut memperkuat asumsi umum bahwa postur sosial-budaya-politik-ekonomi masyarakat Ambon memang sudah lama terbentuk sebagai masyarakat urban multikultur. Stagnasi antropologis dan politis kemudian terjadi sejak era Indonesia merdeka tahun 1945 dan selanjutnya. Sentralisasi kekuasaan politik-ekonomi negara-bangsa baru yang digawangi oleh duet Soekarno-Hatta secara ideal mampu mewujudkan masyarakat imajinatif Indonesia sebagai satu kesatuan geopolitik. Pada era pasca Soekarno-Hatta, yang lebih dikenal sebagai Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, ada tendensi politik yang kian menguat untuk melakukan simplifikasi kemajemukan tersebut melalui program hegemonik penyeragaman bahkan dari cara berpikir atau ideologi.
Konsekuensi utama dari dua rezim tersebut adalah suatu konstruksi kesadaran dan realitas sebagai yang serba-tunggal dan monolitik. Diferensiasi sosial didaku sebagai ranah tabu yang bisa mengancam stabilitas nasional. Tabu itu kemudian meledak dalam berbagai ekspresi politik identitas ketika gelombang besar reformasi dan demokratisasi menyapu seluruh bangunan politik normatif yang pernah megah berjaya selama 32 tahun Orde Baru. Konstelasi sosial-politik pasca Reformasi yang terus bergolak dalam euforia demoratisasi pun dihadapi secara ambigu oleh para pemimpin republik ini. Suatu fenomena ambiguitas politik yang tak pernah ada presedennya sehingga menimbulkan turbulensi sosial karena postur politik yang masih kuat bertendensi patron-klien.
Apa yang kita saksikan belakangan ini adalah alih-alih keluar dari jebakan politik identitas kita malah terus memainkannya sebagai posisi dan kekuatan tawar untuk berebut “kue” kekuasaan yang kian menggoda dengan tuntutan otonomi daerah dan demokrasi patronase. Oleh karena itu, sudah menjadi pemandangan dan berita umum bahwa rebutan kekuasaan itu terutama memuncak pada momentum lima tahunan pemilihan kepala daerah (pilkada) dimana pengajuan visi-misi calon pemimpin menjadi salah satu indikator utama realibilitas kepemimpinan vis-à-vis realitas situasi problematik daerahnya. Bahkan nyaris sulit dilacak adanya good-political-will untuk saling adu argumentasi mengenai realitas konteks dan capaian-capaian terukur yang diharapkan dapat mengatasi isu-isu problematik secara kontekstual.
Menggumuli Perspektif Pembangunan Kota Ambon
Penghadapan secara kritis realitas Pilkada Jakarta (dan hasilnya) dengan ekspektasi kepemimpinan politik dan/atau pemerintahan Kota Ambon, bukanlah hal yang mengada-ada. Seperti sudah disebutkan bahwa refleksi sosial-politik mengenai proses Pilkada Jakarta sebagai contohnya, memunculkan dua titik temu yang patut dipertimbangkan secara serius: titik temu filosofis dan titik temu antropologis.
Pertimbangan atas kedua titik temu tersebut sangat urgen dilakukan untuk mengantisipasi dan mengatasi pragmatisme politik dan pembangunan. Sikap pragmatis secara politis sangat kuat pengaruhnya bagi masyarakat urban seperti Ambon karena dinamika perubahan dan pembangunan yang makin mendesak orang untuk lebih berpikir dan bertindak serba instan. Hal itu turut distimulasi oleh perkembangan teknologi informasi-komunikasi yang kini terus-menerus mengindoktrinasi “budaya instan” (speed culture) dalam setiap aktivitas keseharian, bahkan telah menjadi gaya hidup masyarakat urban. Psikologi sosial massa pun digempur bertubi-tubi oleh gelombang berita daring (online) yang diserap tanpa dibaca apalagi dipahami substansinya terlebih dulu. Kita sedang menjadi network society (Manuel Castels) yang cepat merespons apa saja tetapi lamban berpikir secara refleksif dan mendalam. Tak heran, relasi-relasi sosial dan relasi-relasi kuasa pun menjadi liar karena lebih reaktif ketimbang refleksif.
Kepemimpinan masyarakat urban sekompleks Kota Ambon – dimana terjadi pula overlapping of power antara ranah kuasa pemerintah kota dan pemerintah provinsi (Ambon sebagai ibukota Provinsi Maluku) – pada kedua titik temu tersebut tidak bisa berjalan secara pragmatis belaka. Refleksi filosofis dan antropologis dibutuhkan agar gerak pembangunan sosial-budaya-politik-ekonomi tidak semata-mata bertumpu pada hitung-hitungan matematis anggaran proyek pembangunan sambil mengabaikan pembangunan manusia kota itu sendiri. Pengabaian aspek multikulturalisme dalam proses pembangunan masyarakat urban Kota Ambon hanya akan berujung pada penciptaan enclaves segregatif berbagai ekspresi politik identitas, yang pada gilirannya membentuk pola-pola “kampungisasi” dalam penataan wilayah urban kota ini.
Pada konteks yang kompleks semacam itu dibutuhkan penguatan kesadaran bahwa proses pembangunan bukanlah semata-mata gawe-nya para teknokrat di lembaga-lembaga pemerintahan kota dan provinsi. Lebih jauh, dengan tumpuan titik temu filosofis dan antropologis tersebut kepemimpinan di daerah ini – baik kota maupun provinsi – membutuhkan suatu kajian serius yang oleh Van Peursen, filsuf Belanda, disebut sebagai “strategi kebudayaan”. Seperti apakah strategi kebudayaan itu? Jawabnya akan ditentukan oleh seberapa serius konstelasi sosial-budaya masyarakat Kota Ambon dicermati melalui lensa perspektif multikulturalisme yang semestinya melibatkan seluruh stakeholders pembangunan bagi penguatan kesejahteraan sosial. Jika tidak, secara fisik kita memang tinggal di ranah geografis yang disebut “kota” tapi mentalitas kita sebenarnya belum siap beranjak menuju pada realitas masyarakat urban dimana pluralitas dan multikulturalisme adalah keniscayaan absolut untuk keluar dari perangkap politik identitas yang absurd.
*Harian AMBON EKSPRES, 21 Juni 2017*