Catatan Perjalanan MPP Ke-30 AM-GPM
(Musyawarah Pimpinan Paripurna - Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku)
Wooi, 15-18 Oktober 2017
Setelah bertolak dengan kapal Sumber Raya 03 dari Pelabuhan Slamet Riyadi atau Pelabuhan kecil Ambon dan berlayar semalaman, kami tiba di Jemaat Wooi, Klasis Obi. Secara administratif, jemaat ini berada di wilayah Kecamatan Obi Timur, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara.
Kapal hanya bisa berlabuh karena belum ada dermaga. Beberapa long-boat datang untuk mengangkut peserta bolak-balik menuju darat. Panitia lokal dan jemaat sudah menunggu di pantai bersamaan dengan hujan yang menyambut. Setelah semua peserta mendarat dan berkumpul di gedung gereja, fungsionaris AM-GPM membagi peserta ke rumah-rumah warga jemaat.
Beta mendapat tempat di rumah keluarga Rehaji-Lakoruhut (Son dan Loni, bersama dua anak mereka - Brevy dan Kris). Rumah mereka masih dalam kondisi semi-permanen. Lantai masih plesteran kasar semen; demikian pula dengan dinding rumah; dua kamar tidur dan satu kamar mandi belum berpintu tapi hanya ditutupi gorden; kebutuhan air diperoleh dari perigi keluarga samping rumah.
Son bekerja sebagai petani musiman yang setiap empat bulan mengambil kelapa di dusun kelapa milik keluarga, kemudian mengolahnya menjadi kopra. Proses memetik kelapa dilakukan bersama-sama dengan keluarga-keluarga lain. Pengolahan menjadi kopra dilakukan sendiri oleh masing-masing keluarga pemilik dusun. Setelah kopra selesai diolah, mereka tinggal menunggu para pedagang untuk datang menimbang, membeli dan mengangkutnya ke Ternate dan Ambon untuk selanjutnya dijual. Selain kopra, sebenarnya mereka juga mengolah padi ladang. Tapi usaha padi ladang makin surut seiring dengan mengalirnya "beras jadi" dari luar.
Terdapat tiga gedung sekolah: SD Negeri 155 Halmahera Selatan (dulu SD Inpres Wooi), SD YPPK Dr Sitanala (milik GPM) dan SMP Peduli Bangsa. Sedangkan SMA LPM belum memiliki gedung sekolah sendiri dan masih menggunakan gedung SMP. Ada 20 tenaga guru yang membagi tugas pengajaran pada tiga jenjang pendidikan tersebut secara bergiliran. Beberapa keluarga menyekolahkan anak-anak mereka untuk kuliah di Ambon. Hanya anak kades yang saat ini sedang melanjutkan kuliah di Yogyakarta. Sekolah Dasar YPPK (milik GPM) didirikan sekitar 8 tahun lalu hingga sekarang telah memiliki gedung sendiri dan mendapat akreditasi B.
Wooi diapit oleh dua jemaat, yaitu Jemaat Sum dan Jemaat Bobo. Namun tidak ada jalan penghubung antara ketiganya di pesisir selatan Pulau Obi. Transportasi antardesa di pesisir Pulau Obi hanya mengandalkan long-boat (ketinting) dan kapal ("Obi Permai" yang melayari angkutan ke Ternate dan "Amboina Star" ke Ambon). Aliran listrik hanya berfungsi dari jam 6 sore hingga 6 jam pagi. Setiap rumah dibatasi penggunaan listriknya hanya untuk 4 mata lampu. Beberapa rumah menambah daya dengan mesin genset yang mereka punya. Sinyal hp bisa diterima lancar karena sudah didirikan tower telkomsel di perbukitan sebelah utara Desa Wooi.
Mengapa selama puluhan tahun tidak tersedia infrastruktur jalan darat trans-Obi? Padahal sepanjang pesisirnya tidak ada hambatan medan yang terlalu berat untuk ditembus. Beberapa orang dengan bisik-bisik mengatakan bahwa mereka menduga ada "konsensus bisnis" antara pemda dan para pemilik kapal yang sudah belasan tahun menguasai transportasi laut. Bisa dibayangkan bahwa bisnis angkutan laut satu-satunya akan pailit atau seret keuntungan jika tersedia jalan darat yang menghubungkan desa-desa di pesisir Pulau Obi.
Selama 5 tahun terakhir (2012-2017) Jemaat Wooi dilayani oleh Pdt Jessy Siwabessy. Secara demografis, Desa Wooi terdiri dari 300 kepala keluarga dan sekitar 2000 jiwa. Ada 18 keluarga yang menjadi warga jemaat GMIH. Hampir seluruh warga jemaat GPM bekerja sebagai petani musiman, sedangkan yang lainnya adalah kepala sekolah dan guru. Mereka mempunyai dusun kelapa dan tanaman umur panjang lainnya sepanjang wilayah perbukitan di belakang kampung. Tidak besar minat mengelola hasil laut, yang lebih banyak untuk kebutuhan konsumsi keluarga.
Usai makan malam hari pertama, beta terlibat dalam bincang-bincang hangat bersama rekan-rekan pendeta yang sudah menjadi pimpinan klasis-klasis untuk berbagi pengalaman dan refleksi kontekstual mereka masing-masing. Perjumpaan yang saling menghidupkan karena sudah lama tidak bersua setelah masing-masing lulus dari Talake (Tanah Lapang Kecil) dan tersebar di berbagai Talaba (Tanah Lapang Besar).
Esok harinya, melalui bincang-bincang ringan sambil sarapan, Son, tuan rumah tempat beta menginap, bercerita tentang pengalaman mengungsi ke hutan karena diserang oleh kelompok-kelompok tak dikenal tahun 2002 sebagai imbas konflik Ambon 1999. Rumah-rumah yang mereka tinggalkan dibakar habis sehingga kemudian mereka harus memulai segala sesuatunya dari awal.
Dia juga bercerita tentang satu perusahaan yang ingin mengeksplorasi tambang pasir besi di Wooi. Rencana perusahaan itu ditolak mentah-mentah oleh orang Wooi apalagi setelah mengetahui bahwa area eksplorasi membentang sepanjang 15 km dari pantai ke gunung membelah kampung Wooi. Sementara itu, di sebelah lain Pulau Obi, sekarang sudah beroperasi perusahaan tambang nikel di Desa Kawasi.
Ibadah pembukaan MPP AM-GPM dilayani oleh Pdt Lodewik Laisila (Ketua Klasis Seram Timur). Acara pembukaan secara organisatoris dilakukan setelah ibadah. Namun mengalami keterlambatan dari jadwal yang telah ditentukan karena harus menunggu kedatangan Bupati Bahrain Kasuba dan rombongannya, yang mendarat setelah kami menunggu hampir satu jam.
Hari-hari selanjutnya dipenuhi oleh diskusi-diskusi dalam beberapa komisi mengenai konsep dan tindaklanjut advokasi yang menjadi komitmen misioner AM-GPM. Sejumlah keputusan disepakati dan berbagai upaya memperkuat jejaring advokasi dimatangkan bersama-sama. Di bawah payung tema "Allah Kehidupan, tuntunlah kami membela dan merawat kehidupan" dan subtema "Bersama-sama mengadvokasi hak hidup dan alam untuk hidup berkelanjutan yang semakin bermutu", ajang MPP AM-GPM ini adalah aksi-refleksi untuk mewujudkan panggilan menjadi "garam dan terang dunia".
Dengan segala kebersahajaan mereka, Jemaat Wooi telah menerima, menjamu dan melayani kami, 120an peserta MPP AM-GPM dari 33 daerah. Menjadi bagian kebersahajaan hidup mereka selama 4 hari telah menjadi pengalaman bernilai memaknai hidup berbela-rasa dan bersama-sama bergerak membela (advokasi) kehidupan yang membentang ke masa depan.
Hari Kamis siang (18/10), masing-masing peserta diantar oleh bapa-mama-saudara piara berkumpul di pantai untuk secara bergiliran naik long-boat menuju kapal Sumber Raya 03 yang berlabuh di tengah laut bergoyang dalam alunan ombak pasang. Perpisahan yang mengharukan saat long-boat terakhir mengantar dengan menaikkan panji AM-GPM dan bermanuver mengiringi Sumber Raya 03 yang menarik jangkar. Seakan hendak menyampaikan pesan "tidak ada perpisahan di bawah panji garam dan terang dunia". Kita akan bersua lagi di arena MPP ke-31 tahun 2018!
Angin sore itu meniup cerita-cerita kami di atas kapal sambil mata menyusur pohon-pohon kelapa sepanjang pesisir Pulau Obi. Kami akan menyinggahi Wayaloar untuk menurunkan beberapa peserta MPL Sinode GPM. Setelah 1 jam di Wayaloar, kami pun melanjutkan pelayaran ke Ambon.
Terima kasih Wooi!