Kabarnya, perbaikan Jembatan Waeruhu di Negeri Galala, Pulau Ambon, menelan anggaran (APBN 2017) sebesar Rp 10,14 Milyar. Angka yang fantastis hanya untuk perbaikan satu jembatan di wilayah Pulau Ambon, tepat di bawah Jembatan Merah Putih (JMP).
Tentu bisa dibayangkan berapa milyar atau trilyun yang bisa digelontorkan untuk perbaikan sebanyak 5 jembatan beralas kayu sepanjang perjalanan dari Piru, inakota Seram Bagian Barat, menuju Kecamatan Taniwel (Barat) ~ belum terhitung berapa puluh jembatan darurat dari batang pohon kelapa di wilayah Taniwel Timur.
Kalau anda menuju Kota Piru, jangan lupa berhenti sejenak di Gapura Kota Piru yang kabarnya pembangunannya menelan anggaran sebesar Rp 5,6 Milyar. Hanya untuk gapura. Apa fungsi gapura itu? Sejauh ini cukup berfungsi untuk latar berselfie-ria dan "persembunyian" nyaman untuk kencing jika kebelet di tengah jalan. Itu saja.
Padahal setidaknya anggaran sebesar itu cukuplah untuk memperbaiki 1 atau 2 jembatan (bahkan mungkin lebih!) yang masih beralas kayu seadanya. Di Jembatan Sapalewa, salah satu yang terpanjang, perjalanan beta dengan sepedamotor terhambat karena ban depan 1 mobil avanza terperosok pada bagian jembatan yang kayunya sudah lapuk dan patah, dengan lubang yang sebenarnya mampu "menelan" setengah body mobil itu. Tidak ada cara selain menunggu semua orang yang akan melewati jembatan itu bergerak bergotongroyong mengangkat moncong mobil dan mendorongnya sedikit demi sedikit hingga ke mulut jembatan karena as roda depan kanan patah.
Tidak banyak perubahan di Kecamatan Taniwel sejak tahun 1994 beta menjalani program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Wakolo, sekitar 9 km sebelum kota kecamatan. Kecuali jalan aspal mulus dari Piru yang, uniknya, hanya sampai di "pintu masuk" Kota Kecamatan Taniwel. Masuk ke dalam "kota" Taniwel, kualitas aspal jauh berbeda (rusak) hingga terus ke bagian timur dan medan "off-road" ke kampung-kampung pegunungan (Buria, Lohia-Sapalewa, Laturake, Riring-Rumasoal, dan yang paling jauh serta terisolasi, Neniari). Jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan roda empat hanya sampai di Buria. Itupun oleh sopir-sopir yang berpengalaman. Jika tidak, risikonya fatal antara mobil tergelincir tak terkendali atau terperosok di lubang-lubang jalan air yang membelah jalan. Selanjutnya dari Buria, perjalanan harus ditempuh dengan berjalan kaki.
Nah, menurut sodara-sodara yang budiman, pembangunan di Maluku itu fiksi atau fiktif?