Dialog pada sesi panel diskusi bersama Dr. Abdul Manaf Tubaka dan Pdt. Maryo Manjaruni, M.Cs. pada Sabtu lalu (13/10/2018) di Gereja Ebenhaezer Rumahtiga, ternyata bersambung. Beta dan Manaf bersepakat untuk melakukan “kuliah bersama” antara mahasiswa fakultas teologi UKIM dan mahasiswa fakultas ushuludin jurusan sosiologi agama IAIN Ambon. Kebetulan pada semester ini Manaf mengampu matakuliah “Agama dan Masalah Minoritas” dan beta mengampu “Teologi Publik”. Kami melihat ada beberapa simpul gagasan yang bisa ditautkan dan didialogkan bersama-sama baik antarmatakuliah maupun antarmahasiswa pesertanya.
Hari ini, Selasa (16/10/2018), sekitar 40-an mahasiswa fakultas teologi UKIM bertandang ke Kampus IAIN Ambon, Fakultas Ushuludin Jurusan Sosiologi Agama. Bergabung bersama sekitar 20-an mahasiswa IAIN. Manaf, yang adalah Ketua Jurusan (kajur) Sosiologi Agama, menyambut kami. Sekitar 10 menit kami berbincang sambil menunggu ruangan disiapkan dengan penambahan beberapa kursi.
Ruang klas yang tampak luas ketika kosong, dengan segera penuh sesak ketika semua mahasiswa UKIM-IAIN berada di dalamnya. Beberapa mahasiswa IAIN rela berdiri di bagian belakang karena tidak kebagian kursi.
Kuliah dibuka dengan perkenalan singkat dan pengantar oleh Manaf. Ia dengan fasih mengulas alasan-alasan mengapa matakuliah Agama dan Masalah Minoritas disajikan di IAIN Ambon, serta capaian pembelajarannya. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan sejumlah isu kontekstual berkaitan dengan stereotip minoritas di Indonesia.
Beta menyambung dengan menjelaskan dinamika historis dan sosiologis Kekristenan pada abad-abad ke-17 s.d. ke -19 yang masih sangat kental bercorak kolonial di Indonesia, benturan-benturan interpretatif teologis yang membentuk postur Kekristenan Indonesia termasuk perjumpaan dan ketegangannya dengan Islam Indonesia, dan gerakan kontekstualisasi Kekristenan dalam relasi dengan agama-agama lain serta berbagai spiritualitas lokal masyarakat Indonesia yang majemuk ini.
Beberapa mahasiswa dengan antusias mengacungkan tangan saat diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dan tanggapan. Manaf harus membatasi menjadi hanya 6 mahasiswa: 3 UKIM dan 3 IAIN. Pertanyaan-pertanyaan tajam pun diluncurkan, seperti “keselamatan”, “poligami”, “kiamat”, “akidah”, “tafsir teks kitab suci”, “agama ibrahimik dan agama lokal” dan lain-lain. Beta dan Manaf secara bergantian menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jelas, perspektif yang kami bangun bukan pada tataran doktrinal atau apologetika, tapi memahami realitas keberagamaan sebagai fenomena sosial-budaya. Dengan perspektif itu, kami membentangkan kemungkinan-kemungkinan membangun religiositas yang lebih humanis, bukan semata-mata pada sekat moralitas dan doktriner yang serba hitam-putih dalam mencermati realitas hidup yang kompleks dan berwarna-warni.
Kuliah sore tadi kami akhiri dengan kesepakatan (lagi) untuk melanjutkan percakapan dalam kunjungan balasan mahasiswa IAIN ke Kampus UKIM. Terima kasih Dr. Abdul Manaf Tubaka dan para mahasiswa sosiologi agama IAIN Ambon.
Sampai jumpa di Kampus UKIM!