Tatanan masyarakat global sontak berubah drastis sejak penemuan dan identifikasi penyebaran virus corona yang dimulai dari Wuhan, Cina. Hanya dalam hitungan bulan (sejak Desember 2019 sampai Maret 2020), kepanikan melanda masyarakat berbagai negara dan mendesak semua pemerintahan mengambil kebijakan darurat baik untuk mengantisipasi dan mengatasi penyebaran virus ini, serta mencari berbagai cara menangkal penyakit akibat virus corona, yang oleh WHO dilabeli sebagai Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Hingga pada titik klimaks sejumlah otoritas negara menempuh langkah karantina wilayah (lockdown). Pemerintah dan masyarakat Indonesia tak luput dari gempuran kepanikan. Presiden Joko Widodo membentuk Satuan Gugus Kerja untuk antisipasi penyebaran corona, yang kemudian dilanjutkan dengan penerbitan 5 protokol penanganan COVID-19. Langkah pemerintah pusat direspons secara beragam oleh pemerintahan daerah-daerah di Indonesia. Ada yang tetap tenang dan terkesan lamban. Ada pula yang mencoba bereaksi cepat meski kelabakan karena tidak didukung oleh perangkat sistem dan infrastruktur yang memadai. Beberapa yang lain terkesan reaktif.
Tindakan-tindakan responsif juga dilakukan oleh berbagai institusi keagamaan dan pendidikan. Sejumlah universitas ternama dengan segera mengambil keputusan meniadakan aktivitas pembelajaran di klas-klas, serta menggantinya dengan perkuliahan daring (online). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun melanjutkan dengan anjuran agar para guru dan siswa tidak lagi beraktivitas di sekolah-sekolah, serta menggunakan alternatif pembelajaran jarak jauh atau daring. Lembaga keagamaan seperti PGI dan sinode-sinode gereja anggotanya pun tak kalah cepat menerbitkan surat edaran yang menghimbau jemaat-jemaat untuk mengurangi frekuensi kegiatan-kegiatan peribadahan secara berkelompok di gereja-gereja. Malah, ada yang tak tanggung-tanggung membatalkan dan menggantinya dengan model peribadahan daring.
Penyelenggaraan berbagai seminar, workshop, dan pertemuan-pertemuan sejenis yang melibatkan lebih dari 30 orang dengan segera dibatalkan atau penjadwalan ulang (rescheduling). Lokasi-lokasi wisata ditutup dan pelarangan kerumunan massa (social distancing) di tempat-tempat publik selama masa inkubasi 14 hari virus corona. Mereka yang terdeteksi positif corona pun segera diisolasi. Di berbagai instansi diberlakukan pemeriksaan suhu tubuh (body thermal) dan menyediakan perlengkapan kebersihan tangan (hand sanitizer), serta penyemprotan cairan disinfektan ke segala sudut gedung atau ruangan. Teknologi informasi-komunikasi pun menjadi media dengan peran ganda: menyebarkan informasi yang valid dan informasi hoax. Akibatnya, terjadi kepanikan luar biasa di masyarakat yang mendorong panic buying dengan memborong barang-barang kebutuhan pokok di berbagai swalayan.
Yang tak kalah riuhnya adalah perdebatan-perdebatan teologis seputar penghentian aktivitas-aktivitas reguler keagamaan. Sebagian berpendapat bahwa jika ujung dari seluruh masalah COVID-19 ini adalah kematian, bukankah itu suatu keniscayaan bagi semua manusia? Jadi, tidak perlu berlebihan dalam menanggapinya dan dihadapi “biasa-biasa saja”. Sebagian lain lebih realistis merespons berbagai tindakan antisipasi sebagai suatu kebijaksanaan (wisdom) manusia menyikapi kondisi darurat global ini, sehingga dengannya mengambil langkah-langkah preventif dan kuratif yang sigap. Inti dari berbagai kesigapan ini adalah mengantisipasi agar tidak ada korban yang lebih banyak lagi hanya karena ketidakpedulian dan ketidaktahuan mengenai serangan virus ini.
Perdebatan-perdebatan teologis di lingkungan Kristen pun sengit. Kendati Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), setelah melakukan kajian cepat situasi darurat, menerbitkan surat edaran dan himbauan kepada sinode-sinode gereja anggotanya, namun tidak serta-merta itu ditindaklanjuti dengan sigap. Ada keterbelahan perspektif mengenai situasi ini. Perspektif yang satu memandang situasi ini perlu ditanggapi secara cepat dengan mengikuti protokol yang diterbitkan pemerintah dan PGI. Pertimbangannya semata-mata hanyalah agar aktivitas-aktivitas komunal keagamaan yang mendominasi kehidupan beragama (Kristen) untuk sementara dihentikan sebagai langkah antisipatif terhadap penyebaran virus corona. Aksioma teologis yang digunakan adalah “keselamatan hidup” warga jemaat mereka masing-masing. Lagipula, sergapan virus corona yang cepat, senyap dan tiba-tiba ini tidak bisa menjadi bahan perdebatan teologis yang bertele-tele karena sudah menjadi pandemik. Sementara perspektif yang satunya lagi lebih nyaman untuk berwacana dengan aneka dalil teologis yang condong menganggap remeh situasi darurat ini. Konsep keimanan yang dipropagandakan lebih mengarah pada sikap fatalistik dengan dalih “kuasa Tuhan lebih besar daripada virus corona” dan “kuasa virus ini dapat dipatahkan hanya melalui kekuatan doa dan ibadah (konvensional)”. Konsekuensinya, alih-alih frekuensi ibadah berkelompok dalam jumlah besar kian dikurangi tapi malah ditingkatkan. Padahal, pihak otoritas kesehatan pemerintah telah menegaskan pelarangan menggelar acara-acara komunal yang melibatkan kerumunan orang banyak dan penjarakan sosial antara satu orang dengan orang lainnya (minimal 1 meter).
Beberapa sinode gereja segera menerbitkan surat edaran atau surat himbauan dengan secara tegas mencantumkan langkah-langkah konkret mengantisipasi penyebaran virus corona dalam konteks kejemaatan masing-masing. Ada pula yang, karena didukung oleh fasilitas teknologi yang memadai, dengan segera menghentikan aktivitas-aktivitas peribadahan rutin, seperti Ibadah Minggu, serta menggantikannya dengan radio streaming dan/atau live streaming. Warga jemaat tetap dapat beribadah tapi di rumah masing-masing.
Belakangan, Majelis Pekerja Harian Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) pun turut menerbitkan “Pesan Gembala”. Menurut saya, respons Sinode GPM agak telat. Sepertinya ada beberapa pertimbangan yang dipikirkan matang-matang sebab berimplikasi langsung pada tindakan-tindakan liturgis yang membutuhkan pendasaran teologis dan panduan teknis, seperti model liturgi alternatif seperti apa yang bisa diaplikasikan dalam beragama konteks jemaat-jemaat GPM yang tersebar di pulau-pulau di Maluku, terutama dalam prosesi peneguhan sidi baru dan pelayanan perjamuan kudus yang selama ini lebih lazim menggunakan cawan bersama. Pesan Gembala MPH Sinode GPM itu baru diterbitkan pada tanggal 21 Maret 2020 saat jumlah yang positif terinfeksi virus corona telah mencapai 369 orang. Kendati sejumlah anjuran praktis dicantumkan dengan jelas, namun terasa ada keengganan untuk menegaskan protokol teknis operasional pada larangan kerumunan massa dalam jumlah besar dalam acara-acara ibadah di jemaat-jemaat GPM (butir 5 dan 7).*
Secara reguler, jemaat-jemaat GPM mengikuti acara ibadah setiap hari dalam seminggu. Ibadah-ibadah wadah pelayanan (lelaki, perempuan, anak/remaja, pemuda, keluarga) dibagi setiap hari dalam seminggu dengan puncaknya pada Ibadah Minggu di gedung gereja utama atau gereja sektor. Dengan demikian, perjumpaan dan kerumunan orang dalam jumlah lebih dari 10 orang terjadi setiap hari hanya untuk aktivitas peribadahan. Dari kenyataan itu saja sudah bisa dipastikan terkandung potensi penyebaran virus corona intrakelompok maupun interkelompok. Jika umumnya aktivitas ibadah dilaksanakan pada petang hari (dengan andaian warga jemaat sudah pulang kerja) maka bisa ditemui bahwa mereka langsung pergi ke rumah keluarga tempat ibadah. Mereka tidak sempat membersihkan diri (mandi dan ganti pakaian kerja). Di tempat ibadah, mereka duduk berdekatan/berdesakan, saling berjabat tangan, dan meninggalkan “bekas” di tempat duduk, dinding, pintu rumah keluarga tempat ibadah. Tentu saja, tidak ada penyemprotan cairan disenfektan setelah ibadah. Selain itu, Ibadah Minggu di gereja-gereja diikuti oleh banyak orang yang datang dengan beragama kondisi. Apakah gedung gereja sudah disemprot cairan disenfektan sebelum/sesudah ibadah berlangsung? Apakah sarana cuci tangan sudah memadai untuk digunakan oleh semua warga jemaat yang beribadah? Apakah penataan ruangan ibadah sudah memenuhi syarat social distancing? Apakah setiap warga jemaat yang turut beribadah sudah melewati pemeriksaan body thermal? Apakah warga jemaat yang sakit (flu) menyadari kondisi kesehatannya yang terganggu itu sehingga bersedia mengenakan masker atau mengerti bagaimana cara bersin yang tidak berisiko menularkan virus corona yang mampu bertahan di udara selama 3 jam? Pertanyaan-pertanyaan ini hanyalah sedikit dari kegelisahan mengenai potensi penyebaran virus corona melalui media kerumunan orang dalam aktivitas-aktivitas keagamaan seperti ibadah komunal di gereja.
Dalam kondisi pandemik COVID-19 ini, isu peribadahan mesti ditempatkan sebagai problem sosial yang berpotensi memperluas dampak penyebaran virus corona. Ini bukan semata-mata problem teologis/liturgis yang didasarkan begitu saja pada dogma-dogma gerejawi. Pengumbaran dalil-dalil berupa ayat-ayat Alkitab yang dianggap memperteguh iman bahwa kuasa Tuhan mampu menaklukkan ancaman virus corona hanya memberikan efek eskapisme dari kepanikan psikologis. Namun bersamaan dengan itu, melumpuhkan nalar untuk melihat ancaman virus corona ini sebagai problem kemanusiaan secara relasional. Seseorang bisa saja menjadi media biologis yang meneruskan virus ini kepada orang lain, tanpa dia atau orang yang tertular menyadarinya (efek domino). Dengan demikian, penolakan protokol kesehatan hanya dengan dalih-dalih teologis-dogmatis itu justru menjadi ancaman serius bagi kehidupan bersama. Di situlah dalil-dalil ayat-ayat alih-alih menjadi solusi malah menjadi problem teologis karena mengabaikan kehidupan kemanusiaan semesta.
Ancaman virus corona, dalam perspektif agama-agama, tidak hanya mengandung problem teologis “mengapa Tuhan membiarkan virus ini hidup” dan “iman mampu menaklukkan kuasa virus ini” tapi yang lebih fundamental adalah “jika kita diminta oleh perintah agama kita untuk menjaga kehidupan, maka mengapa kita malah berbalik menghancurkannya?”. Tidak hanya itu, ancaman virus corona juga sedang mengobrak-abrik egoisme diri dalam memperjuangkan hidup bersama. Anjuran untuk mengisolasi diri dari kerumunan sebenarnya adalah cara kita menghargai kehidupan bersama. Iman tidak terbentuk kokoh hanya melalui doa-doa pribadi tapi melalui tindakan-tindakan sosial yang mengapresiasi kehidupan sendiri dan orang lain (relasional faith). Apa artinya ibadah kolektif jika melaluinya justru ancaman kematian sedang mengincar diri sendiri dan banyak orang lain? Sebenarnya, apa makna hakiki suatu ritual ibadah?
Kisah Yesus yang mengobrak-abrik lapak para pedagang di pelataran Bait Allah pada sudut pandang tertentu hendak memberi pesan bahwa Bait Allah telah menjadi tempat bersemayam virus egoisme dan ketamakan ekonomi. Untuk itu, Bait Allah harus di-lockdown agar ritual-ritual ibadah tidak menjadi kamuflase iman untuk menutupi kepentingan-kepentingan memenuhi syahwat politik dan ekonomi. Bait Allah harus disterilkan dan dengan demikian kembali menjadi ruang sunyi perjumpaan Tuhan dan manusia dalam keterisolasian meditatif dari segala kebisingan hidup. Konsep Bait Allah sebagai suatu tempat (place) sentral aktivitas ritual juga didekonstruksi oleh Yesus dengan model meditasi menyepi untuk berdoa sendiri di Taman Getsemani. Pada banyak kisah lainnya diceritakan bahwa usai mengajar banyak orang, Yesus menarik diri dari kerumunan orang, lalu menyepi dan berdoa seorang diri.
Bait Allah tidak lagi dipahami sebagai “place” tapi “space”, yakni suatu ruang semesta yang terbuka bagi terjadinya interaksi dan komunikasi antara Manusia-Alam-Tuhan dalam keterhubungan yang jernih dan hening. Di situ pula konsep ibadah menjadi dinamis karena bukan lagi merujuk pada suatu aktivitas ritual khusus di suatu tempat ibadah tapi melebur menjadi aktivitas keseharian manusia di dalam keluarganya, pekerjaannya, studinya, dan kariernya. “Menyepi untuk berdoa” adalah pula simbolisasi dari mengasah kepekaan indra untuk waspada merasai situasi sekitar. Tantangan terbesar adalah “tertidur lelap” seperti yang dialami oleh para murid Yesus sehingga Ia menegur mereka: “Mengapa engkau tidak sanggup berjaga-jaga?”. Kesiapsiagaan menjadi suatu prasyarat pemuridan Yesus.
Dalam bahasa latin, corona berarti mahkota. Virus ini disebut corona karena bentuknya yang menyerupai mahkota. Virus ini mampu merontokkan sistem antibody manusia yang kemudian membuatnya rentan terhadap serangan penyakit. Namun, corona (mahkota) dapat dipahami secara metaforis sebagai penggambaran kekuasaan dan kekayaan yang bersifat absolut (seperti kekuasaan raja/ratu pada suatu kerajaan) atau kepemimpinan otoritarian. Ancaman corona jenis ini secara sosiologis makin menggerogoti antibody relasi-relasi kemanusiaan dan kepentingan-kepentingan sesaat yang berdesak-desakan mengerubungi nalar dan nurani manusia. Maka diperlukan saat-saat untuk “lockdown” dan mengisolasi diri dalam keheningan untuk melepaskan diri dari keriuhan suara yang mendorong manusia melakukan apa saja untuk kepentingan dirinya sendiri (egoisme). Dalam keheningan nalar dan nurani, akal budi manusia mengalami proses detoksifikasi sehingga menjadi lebih jernih menatap kemungkinan-kemungkinan kehidupan di tengah deru badai ancaman yang menihilkan kehidupan manusia dan semesta.
* Pesan Gembala MPH Sinode GPM yang dikutip di sini adalah versi awal yang saya dengar ketika dibacakan dalam Ibadah Minggu 22 Maret 2020 di Gereja Rehoboth. Beberapa hari kemudian MPH Sinode GPM menerbitkan versi kedua (final) dengan instruksi yang lebih jelas dan tegas.