Kebudayaan manusia terbentuk dan berkembang sebagai buah pemaknaan interaksi manusia dengan lingkungan alamnya dan lingkungan sosialnya. Interaksi itulah yang menciptakan masyarakat. Di dalam konteks bermasyarakat, manusia terus-menerus mencari sekaligus memberi makna pada kedua lingkungan tadi. Keduanya tak terpisahkan melainkan berjalin antara "budi" (nalar/moral) dan "daya" (potensi alamiah) sehingga membentuk "budaya". Padi yang tumbuh tidak hanya menjadi "daya" tetapi sekaligus termaknai sebagai "budi" saat dikelola hingga menjadi "beras" dan "nasi" di atas meja makan kita.
Dalam proses itu, padi atau beras atau nasi mengalami pelapisan berbagai makna menurut manusia yang menanam, mengolah dan mengonsumsinya. Ketiga aktivitas itulah yang membentuk kebudayaan manusia. Dengan memberi makna, manusia mengalami proses pembatinan sehingga segala tindakannya adalah wujud integratif pengetahuan-yang-teralami. Pengetahuan tidak berhenti atau terbatasi hanya pada kerja "budi" tapi juga pada "daya" alamiah ruang hidupnya. Itulah hikmat, yang menjadi muara pencarian ultim manusia, yang kerap dibahasakan ringkas dengan istilah "filosofi" ~ pencarian penuh hasrat akan hikmat.
Melalui bingkai filosofi itu maka semua fenomena dan fakta sosial-budaya yang terjadi dalam lingkungan alam dan lingkungan sosial manusia, selalu punya makna yang diarahkan bagi kehidupannya sendiri, keluarganya dan masyarakatnya. Sebatang besi di tangan seorang pandai besi bisa menjadi mata cangkul, parang, pisau dll. sebagai alat mengembangkan kebudayaan: olah tanah, membabat semak belukar, mengiris bawang untuk masakan. Namun, alat-alat itu bisa juga dipakai untuk tujuan yang berbeda dari maksud awal pembuatannya, misalnya: membunuh manusia atau hewan. Apakah jika pisau yang dibuat untuk mengiris bawang atau mengupas mangga digunakan untuk melukai dan membunuh orang lain, lantas pisau itu harus dienyahkan? Tentu tidak perlu. Karena nalar budaya penggunanyalah yang menentukan makna dan fungsi pisau itu dalam konstruk kebudayaannya. Pemaknaannya harus bergerak dialektis antara nalar instrumentalis dan nalar eksistensialis. Di situlah filosofi kebudayaan disusun agar manusia tidak hanya terkurung dalam ruang nalar instrumentalis belaka tapi terus menjelajahi makna keber-ada-annya (eksistensial).
Demikian pula halnya dengan sopi atau arak atau tuak. Itu adalah instrumen kebudayaan manusia yang difabrikasi dengan makna dan fungsi tertentu dalam interaksi sosial, yang melahirkan beragam tradisi atau festival untuk merayakan sosialitas manusia dalam masyarakatnya. Tradisi minum bir atau anggur (wine) bagi masyarakat Eropa adalah bagian dari cara menghangatkan tubuh yang terpapar suhu dingin. Sekaligus instrumen budaya menghangatkan tubuh sosial masyarakat sebagai momen bersosialisasi. Menenggak bir atau wine secara berlebihan bisa membuat peminumnya hilang setengah kesadaran alias mabuk. Tapi jelas kemabukan itu bukan disebabkan oleh bir/wine itu sendiri melainkan pada kehendak orang yang menikmatinya. Entah karena dorongan keinginan sendiri atau suasana kelompoknya.
Sopi tidak bisa dipahami terlepas dari makna dan fungsi budayanya dalam masyarakat adat di Maluku. Upacara-upacara adat di Maluku hampir selalu menyediakan sopi sebagai instrumen/media penting prosesi adat, termasuk dalam penyelesaian sengketa sosial. Fenomena dan fakta yang sama bisa dilihat pada berbagai ragam kebudayaan nusantara. Keberadaan sopi tidak bisa dikorelasikan begitu saja dengan frekuensi kasus orang mabuk dan naiknya angka statistik kriminalitas di suatu tempat. Bahwa orang hilang setengah kesadaran atau mabuk karena menenggak sopi secara berlebihan, lalu melakukan aksi kriminal, itu adalah hasil kerja "budi" orang itu sebagai individu. Sopi itu sendiri adalah instrumen budaya yang berdiri sendiri dan tidak bisa ditempatkan dalam relasi kausalitas aksi kriminal yang terjadi.
Sebagai instrumen budaya yang berdiri sendiri, sopi juga bisa diboboti dengan makna dan fungsi yang lain, misalnya ekonomi. Para produsen sopi adalah kelompok masyarakat yang mengembangkan budi-daya untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka secara transaksional dengan menyediakan materi yang diminati kelompok konsumen tertentu. Pola transaksional ekonomi pun berkembang dari lingkup yang terbatas pada satu teritori meluas ke teritori-teritori lain sebagaimana pola perdagangan lazimnya. Relasi yang terjalin adalah relasi produsen-konsumen. Produsen hidup karena ada konsumen. Konsumen ada karena kebutuhan. Dalam relasi produsen-konsumen itu, sopi tetap adalah instrumen budaya yang berdiri sendiri dan yang dimaknai memiliki nilai ekonomi yang mendatangkan keuntungan finansial bagi matarantai petani mayang-produsen-penjual-pengecer.
Formulasi hukum positif bahwa sopi termasuk minuman beralkohol yang dilarang beredar tentu harus dibaca sebagai upaya mencegah efek sosial yang buruk yang ditimbulkan jika seseorang atau sekelompok orang menenggaknya secara berlebihan. Minuman beralkohol itu bukan hanya sopi. Tapi mengapa sopi yang terus menjadi sasaran penyitaan aparat kepolisian, bahkan dengan cara-cara tidak prosedural dan tidak pantas kepada orang-orang yang bukan konsumennya? Mengapa begitu banyak jenis minuman beralkohol entah dengan kadar rendah, sedang atau tinggi, yang tetap beredar di ruang-ruang publik tapi lolos dari aksi penyitaan polisi? Simpulnya ada pada ketidakbijaksanaan pemerintah untuk menyusun regulasi perizinan peredaran sopi. Produsen sopi tetap akan memproduksi sopi karena mereka memiliki "daya" (potensi alamiah), yaitu pohon mayang. Produksi sopi akan terus beredar karena ada permintaan konsumen. Pada sisi lain, ketersediaan sopi dalam suatu masyarakat adat mesti tetap terjaga karena sebagai instrumen budaya, sopi adalah unsur penting dalam tradisi budaya masyarakat nusantara, termasuk Maluku. Penyitaan sopi dengan cara-cara yang tidak manusiawi (menyiram orang dengan sopi yang dibawanya) bukan metode yang tepat untuk mereduksi efek buruk dari konsumsi sopi secara berlebihan. Sebaliknya, cara-cara semacam itu malah memperlihatkan betapa rapuhnya penanganan hukum terhadap upaya-upaya menekan angka kriminalitas bukan pada sumber masalahnya.
Tulisan kecil ini bukan hendak menganjurkan orang minum sopi. Tapi ingin mengingatkan kita bahwa tingginya angka kriminalitas disebabkan oleh multifaktor. Peredaran sopi di kalangan masyarakat harus diatur dengan regulasi yang komprehensif. Tidak cukup hanya dengan cara menyita produknya, tapi mesti mencakup regulasi produksi, pengolahan, kemasan, citarasa, kadar alkohol dan peredaran secara berizin. Prosedur formal semacam itu tidak hanya mencegah efek buruk dari konsumsi sopi yang berlebihan tapi juga menempatkan sopi sebagai "budi-daya" yang secara ekonomi memberi keadilan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang menggantungkan nafkah mereka di pohon-pohon mayang. Pendekatan pemberdayaan ekonomi masyarakat kepulauan seperti Maluku tidak bisa disamakan begitu saja dengan wilayah-wilayah lain. Penanganan masalah sopi di Maluku membutuhkan kerangka kerja filosofi, agar tidak menimbulkan cara-cara "pilusopi" (baca: sopi membawa kepiluan).