Semasa masih berjibaku sebagai mahasiswa di Universitas Kristen Satya Wacana, saya mempunyai seorang sahabat, Masroer. Dia seorang Muslim saleh yang kritis. Kami kerap terlibat dalam diskusi "panas" mengenai Keislaman dan Kekristenan. Malah, kalau tak puas diskusi bisa berlanjut di kamar asrama (tempat saya tinggal) atau rumah kontrakan Masroer sambil menyeruput kopi kental dan sukun goreng. Saya sungguh menikmati suasana itu, karena percakapan di antara kami adalah semacam faith seeking understanding, iman yang mencari pengertian. Kami tidak berdebat kusir, atau bersitegang karena masing-masing memegang prinsip. Tetapi kami saling menguji kadar keberimanan Kristen dan Islam kami dalam suatu diskursus kritis, malah condong filosofis. Tidak selalu berujung pada kesepakatan. Itu sudah pasti. Karena sejak awal kami berkomitmen bahwa suatu diskursus mengenai religiositas nampaknya harus bermuara pada agree for disagree. Toh, itu juga merupakan sebuah kekayaan dalam spiritualitas ber-Tuhan (teisme).
Entah mengapa, saat menyaksikan tayangan berita mengenai gelombang protes terhadap film "Fitna" karya Geert Wilders, saya jadi teringat Masroer, sahabat saya itu. Dulu, kami sering berdebat sengit, bahkan saling melancarkan kritik. Tetapi dalam kritik, ternyata saya tidak hanya makin mencintai iman kristiani saya, tetapi juga makin menghayati iman islami Masroer. Demikian juga sebaliknya. Masroer menyimpan sajadahnya di kamar saya supaya bisa tetap melaksanakan sholat jika sedang berada di situ. Ketika kami berpisah, barang yang saya minta dari dia sebagai kenang-kenangan adalah sajadahnya itu.
Saya tidak ingin mengomentari soal film "Fitna", karena sudah banyak kajian kritis yang diarahkan terhadap film itu termasuk kepada Geert Wilders. Saya justru tertarik untuk melihat bahwa kedangkalan Wilders dalam memahami Al-quran justru bermula dari kedangkalannya memahami Alkitab (tentu jika sampai saat ini dia masih mengaku sebagai seorang Kristen). Memahami dan menghayati Al-quran dan Alkitab (juga kitab-kitab suci lainnya) tidak bisa dilakukan dalam suatu kerangka pengertian yang saintifik-ilmiah. Karena dalam ranah religiositas, iman tidaklah bermula pada pengetahuan melainkan pada pengalaman-pengalaman adikodrati yang mengelevasi eksistensi manusia pada suatu suasana batiniah yang transendental. Pada titik itulah manusia mengkreasi simbol-simbol alamiah dalam pertautan eksistensial dengan kehadiran Sang Tuhan (omnipresence). Tuhan hadir dalam segalanya, tetapi segalanya tidak bisa dituhankan. Tuhan menampak dalam guntur, kilat, petir, badai, tetapi juga dalam keheningan, semilir angin sepoi-sepoi. Keagungan Tuhan disimbolisasikan seperti burung rajawali yang mampu terbang di antara gunung-gunung batu, tetapi juga dipahami sebagai yang tak bernama – Aku adalah Aku!
Alkitab (dan juga kitab-kitab suci lainnya) merupakan buku yang sarat dengan simbol – bentuk huruf, kata, kalimat, ungkapan, intonasi, alegoris, dsb. Membaca Alkitab (dan kitab-kitab suci lainnya) serta-merta adalah membaca simbol dan menafsir makna. Simbol itu sendiri bukanlah suatu entitas linguistik yang rigid, baku, kaku, melainkan terbuka dan dinamis sehingga ketika dibaca akan membuka ranah tafsir yang luas dan multibentuk. Terlepas dari kepentingan apa yang melatari Geert Wilders membuat dan menyebarluaskan film "Fitna", tetapi Wilders sudah menjadi contoh bahwa Al-quran sebagai simbol keberimanan yang menjadi hakikat religiositas Keislaman telah ditekuk hanya menjadi bacaan picisan. "Kekerasan" adalah suatu bahasa simbolik dari ambisi manusia untuk berkuasa dan mengabaikan hidup orang lain. Wilders rupanya sengaja lupa [atau memang tidak tahu karena tak tuntas membaca Alkitab] bahwa di dalam Alkitab juga sarat dengan kisah-kisah dan anjuran-anjuran berjiwa kekerasan. Bahkan, Allah pun digambarkan sebagai Allah yang murka, marah, dan mendendam. Namun, teks-teks kekerasan dalam Alkitab juga mesti dipahami sebagai model realitas kemanusiaan yang tak urung lepas dari akar-akar kekerasan. Dalam kerangka itu, membaca Alkitab harus dipahami sebagai upaya mengarungi lautan makna simbol-simbol yang [pernah] menjadi bagian dari sejarah sosiologis suatu komunitas.
Lectio Divina
Lantas, apakah teks-teks kekerasan dalam Alkitab harus dibuang? Untuk apa? Tidak perlu. Kesucian Alkitab tidaklah terletak pada arti harfiah teks-teks di dalamnya melainkan pada kehendak setiap orang yang membacanya, tenggelam dalam permenungan yang terarah bukan hanya untuk mengenal Tuhan tetapi juga mendengar suara Tuhan. Kekerasan, pemerkosaan, pembunuhan, dsb, yang tertulis dalam Alkitab adalah sebuah pantulan realitas kemanusiaan vis a vis transendensi Allah. Penghadapan yang imanen dan transenden justru hendak mengingatkan bahwa di dalam diri setiap manusia terpercik citra ilahi untuk mendatangkan kebaikan dan rahmat bagi semua ciptaan. Pada titik itulah, Alkitab (dan kitab suci lainnya) menjadi lectio divina (bacaan suci, sacred reading).
Dalam tradisi spiritualitas kristiani, Lectio Divina adalah cara membaca secara batiniah yang terdiri dari empat langkah:
- Lectio = pemilihan atau bacaan
- Meditatio = merenungkan makna atau meditasi
- Oratio = berbicara atau berdoa
- Contemplatio = permenungan atau kontemplasi
Lectio. Lectio tidak sama artinya dengan membaca koran atau tabloid atau kertas ujian. Lectio adalah membaca dengan pelan-tenang-mendalam-tenggelam dalam Allah. Kalau dalam Penelaahan Alkitab kita mencoba mengetahui lebih banyak tentang Allah, lectio mengajak kita mendengar lebih banyak dari Allah. Ini tidak mudah karena kita terbiasa dengan serba cepat, instan, asal jadi. Lectio juga adalah soal cita rasa dalam menikmati bacaan Alkitab; berulang-ulang; perlahan-lahan; tenang; fokus pada kata, kalimat, paragraf. Tidak usah pikirkan apa maknanya; tidak usah membayangkan apa konteksnya. Dengan lectio kita diajak untuk akrab dengan teks Alkitab, meresapkannya dalam jiwa. Tidak usah pusing dengan maknanya, dengarkan saja teks itu. Alami teks itu.
Meditatio. Kata “meditasi” muncul sekitar 15 kali dalam PL (tidak muncul dalam PB). Ada 14 kali muncul dalam Mazmur, 6 kali dalam Mazmur 119; juga Yosua 1:2-8 – “renungkanlah itu siang dan malam...”. Kata Ibrani untuk “meditasi” adalah hagah, yang bisa diterjemahkan “mengunyah” atau “memamah”. Meditasi dalam Kristen melibatkan pikiran yang aktif. Meditasi bukanlah sikap pasif karena melibatkan empat langkah (Ignatius dari Loyola):
- Deformata reformare – membarui apa yang telah dirusak oleh dosa
- Reformata conformare – membuat apa yang telah dibarui diteguhkan seturut model ilahi
- Conformata confirmare – memperkokoh apa yang telah diteguhkan
- Confirmata transformare – mentransformasi dengan kasih resolusi yang telah dikokohkan itu.
Oratio. Oratio berarti doa; oratio adalah percakapan yang diarahkan kepada Tuhan: “Tuhan, mengapa Engkau memberiku firman ini sekarang?” Istilah orant terkait dengan sosok yang ditemukan dalam lukisan Kristen perdana di katakombe Roma. Orant adalah seseorang yang berdiri dan berdoa dengan tangan yang terbuka. Ini melambangkan penerimaan dan keterbukaan; bukan hanya bertanya kepada Allah melainkan juga siap mendengar jawaban dari Allah (personal). Tidak ada dua individu yang memiliki persepsi yang sama ketika membaca satu kata atau satu ayat. Karena itu percakapan kita dengan Allah adalah dialog batiniah (inner dialogue).
Contemplatio. Contemplatio (kontemplasi) adalah keheningan batin dan inaktivitas. Transisi dari doa yang aktif ke keheningan kontemplasi berlangsung lembut dan bertahap. Contemplatio (bhs. Latin) berarti merenungkan suatu konsep dengan hati atau pikiran. Di sini pikiran dibedakan dari tindakan (considering beda dengan doing), tetapi tidak bisa dipisahkan karena hidup merupakan kesatuan harmoni antara tubuh dan roh. Bagi orang Kristen, kontemplasi bukanlah suatu disiplin yang menolak tubuh, melainkan untuk sementara menenangkan tubuh dan pikiran kita untuk satu tujuan: bersaat teduh dalam kasih Allah. Allah menghampiri kita dan berbicara dengan kita dalam kelembutan sebagaimana dialami oleh Elia (1 Raj. 19:11-12) dan Maria saudara Marta (Luk. 10:38-42).
Saya merasakan betapa naifnya saya ini karena selama ini hanya membaca Alkitab sebatas deretan kata-kalimat, hanya menghafal ayat-ayatnya tetapi tidak berkontemplasi dan mengalami Tuhan di dalamnya. Penghinaan terhadap agama apa saja sudah berlangsung sepanjang sejarah peradaban manusia. Berkurangkah kadar kesucian spiritualitas Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, dsb., yang kita miliki? Rasanya kok nggak tuh. Karena di dalam Lectio Divina kita tidak sedang membela Tuhan, tetapi merasakan Tuhan. Geert Wilders rupanya tidak sampai ke taraf religiositas itu, Anda pasti beda kan? Atau memilih cara Geert Wilders untuk menyerang balik?
Trims Masroer, untuk persahabatan kita dan percakapan yang pernah kita lakukan di Salatiga. Aku makin cinta Islam sambil menghayati Kristus yang terus meledekku..."Aku tidak perlu dibela, karena salib itu sudah Kupikul sendiri. Kasihilah musuhmu."
Assalamualaikum warahmatullahiwabarakaatuh...
No comments:
Post a Comment