Menonton tayangan berita Metro TV (26 Agustus 2008) tentang tawuran antara anggota Satpol PP dan mahasiswa, yang kemudian berlanjut pada perusakan secara sengaja Sekretariat Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) di Jalan Salemba 10 oleh para anggota Satpol PP, membuat saya jadi heran. Bagaimana mungkin aparat pemerintah yang dibentuk untuk menjamin keamanan dan ketertiban publik malah terlibat dalam tawuran yang semestinya mereka cegah? Tetapi keheranan saya tersebut tidak berlangsung lama ketika saya melihat kembali sejumlah kasus mengenai sepak-terjang aparat Satpol PP di Jakarta maupun daerah-daerah lain. Saya jadi memaklumi dan yakin bahwa memang peristiwa tawuran semacam ini rentan terjadi pada suatu waktu.
Keberadaan Satpol PP sebagai bagian dari aparatur pemerintahan selama ini harus diakui telah memberikan kontribusi signifikan dalam upaya pemerintah mengimplementasikan kebijakan tata ruang kota (khususnya kota-kota besar) di Indonesia yang telah menyalahi fungsi-fungsi sarana publik. Dan kita, sebagian besar masyarakat kota, telah cukup menikmati hasilnya: ketertiban dan kenyamanan, kelancaran arus lalu-lintas di sejumlah ruas jalan, dan lain-lain. Namun demikian, kita juga mesti mengakui bahwa dalam berbagai aksi penertiban oleh Satpol PP seringkali terjadi protes dari pihak yang merasa tergusur secara paksa. Bahkan tidak jarang terjadi bentrokan fisik antara pihak Satpol PP dan pihak kelompok masyarakat yang tergusur. Ini bisa dipahami sebagai konsekuensi aksi pemaksaan dalam ranah kehidupan publik.
Keberadaan Satpol PP sebagai bagian dari aparatur pemerintahan selama ini harus diakui telah memberikan kontribusi signifikan dalam upaya pemerintah mengimplementasikan kebijakan tata ruang kota (khususnya kota-kota besar) di Indonesia yang telah menyalahi fungsi-fungsi sarana publik. Dan kita, sebagian besar masyarakat kota, telah cukup menikmati hasilnya: ketertiban dan kenyamanan, kelancaran arus lalu-lintas di sejumlah ruas jalan, dan lain-lain. Namun demikian, kita juga mesti mengakui bahwa dalam berbagai aksi penertiban oleh Satpol PP seringkali terjadi protes dari pihak yang merasa tergusur secara paksa. Bahkan tidak jarang terjadi bentrokan fisik antara pihak Satpol PP dan pihak kelompok masyarakat yang tergusur. Ini bisa dipahami sebagai konsekuensi aksi pemaksaan dalam ranah kehidupan publik.
Tetapi pada bagian yang lain, kita juga harus melihat bahwa keberadaan Satpol PP merupakan “akibat” dari suatu “sebab”, yakni kondisi sosial masyarakat urban di kota-kota besar yang semrawut serta tidak mampu lagi ditangani secara komprehensif melalui proses penyadaran publik yang prosedural oleh pemerintah daerah atau pemerintah kota. Legal di sini berarti setiap aparatur pemerintahan yang memiliki otoritas langsung dalam penanganan masalah publik harus menjalankan kewenangannya menurut suatu asas kerja (prosedur) yang bertujuan pada kesejahteraan publik. “Ketertiban masyarakat” (TibMas) mengimplikasikan adanya suatu proses memulihkan anomali sosial dalam konteks perkotaan sebagai konsekuensi laju urbanisasi yang tak terbendung.
Gelombang urbanisasi yang menggulung sejumlah kota besar di Indonesia merupakan suatu konsekuensi logis pendekatan pembangunan yang sentralistik, dengan pola patron-klien: kota adalah patron, desa adalah klien. Kalau klien ingin disebut maju dan modern, maka ia harus mengimitasi patron atau menjadi bagian dari lingkar pengaruh sang patron (kota). Pola pembangunan wilayah “patron-klien” semacam ini tidak mampu membentuk karakter masyarakat yang mandiri, melainkan membuat masyarakat klien bergantung sepenuhnya kepada masyarakat patron. Atau, gaya hidup klien yang dinilai tradisional dinilai tidak lagi relevan dengan gaya hidup patron yang modern dan gemerlap. Lalu klien terus mencari celah menjadi bagian dari patron melalui transaksi sosial yang tak berimbang. Ketidakseimbangan tersebut pada hakikatnya mengeksklusi klien dari paradigma patron, dan menjadikan klien hanya tempelan dari dinamika sosial patron (masyarakat kota).
Klien dianggap anonim. Karena anonim, mereka dianggap bukan bagian dari denyut nadi patron sehingga eksistensi mereka selalu dianggap bermasalah.
Kesemrawutan tata ruang kota sebenarnya merupakan ekses dari situasi problematik besar urbanisasi. Hingga kini masalah ini hanya berhenti pada tingkat kesadaran dan kebijakan pemerintah, tetapi sulit sekali terlaksana pada aras impelementasi. Apa yang terjadi kemudian adalah langkah-langkah taktis dan langsung untuk menghilangkan unsur-unsur sosial yang dianggap anomali dan anonim tersebut. Maka dibentuklah apa yang kini kita kenal sebagai Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Persoalan yang mengemuka dalam beberapa aksi lapangan Satpol PP adalah ketidakjelasan fungsinya yang kerap tumpang tindih dengan fungsi kepolisian. Dari penampilan saja, aparatur Satpol PP lebih tampak seperti aparat militer (sepatu lars, baret, seragam ala militer, pentungan). Sementara bila dicermati tugas-tugas yang mereka jalankan, lebih banyak kemiripannya dengan tugas-tugas petugas polisi (mengatur lalu-lintas, menangkap orang, menertibkan pedagang kaki lima). Jadi, di manakah sebenarnya batasan fungsi dan tugas antara “polisi” pamong praja dan “polisi” Republik Indonesia? Jika istilah “polisi” dapat dimaknai sebagai “mengamankan policy” dari pihak pemerintah, tidak cukupkah kesatuan polisi Republik Indonesia untuk melakukannya? Padahal dengan pemisahan Polri dan TNI pada hemat saya sudah cukup memberikan ruang bagi polisi untuk melakukan capacity building dan ekspansi kewenangannya pada aspek-aspek sipil dan non-militeristik. Toh, faktanya pemerintah kita masih membutuhkan “polisi” yang lain – polisi pamong praja.
Ketidakjelasan fungsi dan tugas antara dua unsur “polisi” tersebut nyata dalam komentar seorang aparat polisi (Polri) ketika diwawancarai oleh reporter Metro TV. Dengan entengnya ia menjawab “tidak tahu”. Padahal dalam setiap aksi penertiban (baca: penggusuran) oleh Satpol PP selalu harus didampingi oleh kesatuan Polri untuk mengantisipasi bentrokan dengan pihak yang menolak digusur. Respons seadanya tersebut mengindikasikan dengan jelas bahwa tidak koordinasi antara dua instansi “polisi” tersebut. Bukan tidak mungkin bahwa terjadi proses pembiaran atau cuci tangan supaya tidak kecipratan getahnya. Mahasiswa mau demonstrasi saja harus ada izin dan dikawal, bagaimana mungkin suatu peristiwa yang rentan terhadap bentrokan kelompok masyarakat tidak diketahui dan diantisipasi dengan pengawalan?
Kebijakan pemerintah kota untuk menertibkan sejumlah kawasan tentu sudah menjadi kewajibannya, meskipun cara-caranya seringkali dilakukan secara tidak manusiawi. Tetapi kalau sudah sampai ke tingkat tawuran yang disasarkan pada satu gedung yang merepresentasikan eksistensi dan privasi suatu organisasi, yang tak ada sangkut-paut langsung dengan aksi penertiban, tentu sudah soal lain. Apapun alasannya, kantor PGI adalah aset organisasi keagamaan yang sama vitalnya dengan kantor-kantor organisasi lain di negara ini (seperti kantor Muhammadiah, kantor MUI, kantor PBNU, dll), yang keberadaannya dilegitimasi oleh pemerintah secara nasional.
Masalah ketersinggungan anggota Satpol PP terhadap komentar para mahasiswa pada saat aksi penertiban sama sekali tidak membenarkan tindakan aparat Satpol PP untuk mengejar dan memukul mahasiswa. Bahkan hanya untuk mengejar sekelompok mahasiswa, mereka harus merusak fasilitas dan aset nasional, seperti kantor PGI, dan tanpa antisipasi aparat keamanan (polisi) padahal peristiwa itu terjadi di salah satu “jantung” ibukota Jakarta (Jalan Salemba Raya, dekat kampus Universitas Indonesia, RSCM, RS Carolus, Markas Polisi Kramat).
Menyoroti peristiwa tawuran memang bisa dari berbagai segi. Namun setidaknya, peristiwa tawuran antara aparat Satpol PP dan mahasiswa, yang bermuara pada perusakan kantor PGI, mencuatkan persoalan lain yang lebih fundamental berkaitan dengan arogansi militeristik dalam instansi pemerintahan sipil. Kalau dalam situasi perang saja, kesatuan militer tetap harus patuh pada standar strategi tempur dan tidak boleh sembarangan menggunakan otoritasnya memegang senjata, maka kita harus mengakui bahwa dalam aksi-aksi penertiban oleh Satpol PP sebenarnya harus lebih mengedepankan pendekatan sipil yang dialogis dan komunikatif untuk mencapai kesepakatan bersama (win-win solution). Kemampuan untuk membangun komunikasi sosial tersebut mutlak diperlukan jika memang keberadaan aparat Satpol PP hendak menjadi salah satu instrumen kebijakan tata ruang pemerintah kota. Tetapi lain soalnya kalau Satpol PP hendak dijadikan “tameng sipil” untuk melestarikan budaya militeristik dalam kehidupan masyarakat kita, atau bisa jadi legalisasi premanisme kelompok sipil.
Menurut saya, kita mesti mencermati keberadaan Satpol PP ini secara serius. Kita tentu tidak ingin bahwa kultur civilian dalam konteks masyarakat urban terkondisikan dalam suatu hawa militeristik yang melanggengkan metode-metode intimidasi dan kekerasan, sambil mengenyahkan kompetensi sosial untuk berdialog secara manusiawi. Sebab jika tidak, kita bukannya membangun kehidupan beradab (civilized) sebagai bagian dari kultur perkotaan, tetapi malah menghancurkan kultur tersebut dengan bahasa-bahasa “kekerasan” yang hanya layak dikumandangkan di medan perang militer – sebagai manifestasi terakhir runtuhnya peradaban manusia (lose-lose solution). Nah, kalau begitu, Satpol PP ini salah satu solusi ataukah malah bagian dari masalah?
No comments:
Post a Comment