Meskipun Yesus tidak pernah menyangkal keyahudiannya, namun ia juga tidak menerima begitu saja setiap ajaran Yahudi. Yesus selalu kritis terhadap ajaran-ajaran Yahudi yang dibacanya atau disampaikan kepadanya. Dalam perikop Injil yang sama, Yesus digambarkan sebagai ABG Yahudi yang kritis dan cerdas, yang tidak menelan mentah-mentah ajaran agama yang disampaikan oleh para ahli-ahli Taurat. Lalu digambarkan bahwa si ABG Yesus berdebat dengan mereka. Pada bagian lain Injil, juga dinarasikan bahwa Yesus dengan berani menantang hukum Sabat – yang melarang orang bekerja pada hari Sabat. Sementara murid-muridnya kedapatan memetik gandum. Bagi para ahli Taurat, ini merupakan pelecehan tradisi agama. Tetapi Yesus justru menantang mereka dengan mempertanyakan “hukum untuk manusia atau manusia untuk hukum?” Yesus, si orang Yahudi itu, bukan hanya mereinterpretasi religiositas Yahudi tetapi mendekonstruksinya sedemikian rupa sehingga keberagamaan terkelupas dari cangkang simbolismenya dan manusia menemukan inti atau roh dari keberagamaan itu.
Dalam sejarah lahirnya kekristenan dan juga benturan teologis dengan Yudaisme klasik, aspek-aspek keyahudian sering ditenggelamkan atau bahkan dibelokkan seolah-olah menjadi “penolakan” Yesus terhadap keyahudiannya. Keseolah-olahan ini dalam sejarah pemikiran Kristen menggumpal dalam spirit anti-semitisme yang kemudian melahirkan kebengisan yang melukai sejarah peradaban manusia modern dengan pembantaian jutaan Yahudi diaspora di benua Eropa. Sebuah kesalahkaprahan yang fatal dalam melakukan interpretasi terhadap dekonstruksi Yesus terhadap tradisi Yahudi. Dekonstruksi disamakan begitu saja dengan destruksi atau penghancuran. Padahal Yesus pernah berkata, “Aku datang bukan untuk menghapus hukum Taurat, melainkan untuk menggenapinya.” Kalau Yesus mendekonstruksi tradisi keberagamaan Yahudi, ia sama sekali tidak bermaksud menegasi atau menghancurkannya; Yesus justru mempelajarinya dan melakukan reinterpretasi kritis atasnya sehingga hukum-hukum agama itu mengalirkan nilai-nilai kehidupan yang relevan dengan tuntutan zaman. Agama tidak lagi menjadi seperangkat hukum yang memberangus kegembiraan manusia menghidupi ruang dan waktunya di dunia. Sebaliknya, agama mengalirkan kualitas-kualitas positif dalam diri manusia yang memampukannya menghayati kehidupan sebagai arena bermain (playing ground) bersama seluruh umat manusia. Itulah yang hendak dikupas oleh Yesus.
Beberapa hari lagi saudara-saudara kita yang beragama Islam akan merayakan “hari kemenangan”. Suatu momentum kemenangan dari dorongan-dorongan dalam diri sendiri yang dijalani dengan berpuasa. Momentum kemenangan spiritual ini tidak hendak dirayakan sendiri. Karena ini adalah kemenangan bersama maka juga harus dirayakan bersama. Ada tradisi peziarahan yang cukup unik di Indonesia, yang disebut “mudik Lebaran”. Para perantauan yang bekerja atau belajar di kota-kota besar akan pulang ke kampung halaman mereka untuk merayakan hari raya Idul Fitri bersama orangtua dan kerabat.
Relasi-relasi kemanusiaan yang rusak karena dorongan-dorongan nafsu diri, dilawan dengan meditasi puasa yang dimaknai sebagai jihad untuk menemukan hakikat atau fitrah kemanusiaan. Titik balik mencapai fitrah itu kemudian hanya bermakna ketika dihayati dalam suasana kekeluargaan atau kebersamaan. Di situ terkandung pesan bahwa pembaruan batin hanya bermakna ketika terimplementasi dalam hubungan-hubungan sosial yang dipulihkan. Maka momentum fitrah itu pula menjadi momentum saling memaafkan. Memaafkan tentu saja tidak identik dengan melupakan kesalahan orang lain. Memaafkan justru melampauinya. Memaafkan adalah keberanian untuk mengakui kesalahan diri dan kesalahan orang lain, menjadikannya sebagai sejarah pengalaman hidup, untuk menguji konsistensi fitrah ilahi dalam diri maupun komunitas. Dalam arti itu, pemaafan yang tulus tidak memberi ruang bagi kemunafikan. Memaafkan orang lain atas kesalahan yang mereka lakukan adalah menerima kemanusiaan orang lain, sebagaimana kita menerima kemanusiaan diri sendiri. Memaafkan adalah membuka kedua tangan untuk merangkul orang lain dengan seluruh keberlainan mereka – agama, suku, budaya, dll. Karena dalam Idul Fitri manusia saling berjumpa dan berdialog sebagai manusia, yang telanjang dan fitri di hadapan kebesaran Tuhan yang maha rahmani dan maha mengampuni.
Dalam perenungan semacam itulah, saya kemudian makin menghayati perkataan Yesus dalam khotbahnya di bukit: “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” dan juga doa yang pernah diajarkannya kepada murid-muridnya: “dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami”. Tidakkah ini menjadi sebuah realisme kasih yang universal? Selamat Idul Fitri, saudaraku!