Sudah hampir setengah bulan saudara-saudara kita yang beragama Islam menjalani ibadah puasa. Saya mengucapkan selamat beribadah puasa! Sudah pasti dalam menjalani ibadah puasa ini ada banyak hikmah yang dapat dipetik, dan juga tak kurang tantangan serta godaan yang menggelitik agar kita tidak setia pada komitmen beribadah itu.
Sebagai saudara sebangsa saya turut merasakan betapa dalamnya makna "menahan diri" atau berpuasa ketika dijalankan dengan sungguh-sungguh. Saya harus mengakui bahwa saya pribadi tidak mampu menjalankannya. Jujur saja. Itu bukan karena dalam agama yang saya imani tidak mempunyai tradisi berpuasa, melainkan berpuasa pada hakikatnya bukanlah berhenti pada tataran makna praktis, yaitu menahan lapar dan haus, melainkan menembus jantung eksistensi kemanusiaan - mengelola dorongan-dorongan batiniah agar menemukan kembali fitrah kemanusiaan terdalam sebagai insan ciptaan Tuhan.
Tradisi gereja, sebagai pengejawantahan tafsir ajaran kristiani, memang memahami puasa dalam berbagai corak pandangan dan sikap. Hanya dalam praktik secara komunal, kekristenan tidak memasukkan aktivitas berpuasa sebagai salah satu sakramen dalam ajarannya. Berpuasa lebih dilihat sebagai aktivitas meditasi personal dari orang-orang yang melatih diri untuk mengelola dorongan-dorongan batiniah yang cenderung tak terkendalikan.
Di dalam Alkitab sendiri disebutkan secara eksplisit bahwa sebelum memulai pelayanan kemanusiaan-Nya Yesus menjalani suatu masa pencobaan di mana Ia berpuasa penuh selama 40 hari. Selama masa 40 hari itu Yesus tidak hanya berpuasa, tetapi juga mengalami tekanan-tekanan batin yang muncul sebagai konsekuensi menurunnya stamina tubuh. Kondisi itu kemudian diproyeksikan sebagai saat-saat di mana Yesus harus berhadapan dengan tawaran dan/atau godaan sang iblis. Tawaran kenikmatan sang iblis sungguh berat karena langsung menohok pada kebutuhan utama yang diperlukan dalam stamina tubuh yang menurun. Tetapi justru kemampuan untuk menghadapi dan mengendalikan godaan itulah yang menjadi kekuatan dari proses berpuasa itu sendiri.
Berpuasa, menurut saya, juga adalah kemampuan untuk melihat apa yang dibutuhkan oleh orang lain melampaui apa yang dibutuhkan diri sendiri. Oleh karena itu, sejauh yang saya tahu, dalam berpuasa saudara-saudara yang Muslim diminta untuk memperbanyak amal-soleh dan memberikan zakat kepada orang-orang miskin. Ini merupakan suatu ibadah yang sempurna. Karena pengekangan diri pribadi berimplikasi langsung pada pemberian diri kepada orang lain.
Saya tidak ingin terlalu banyak membahas masalah teologis dalam ibadah puasa. Keprihatinan saya justru terletak pada maraknya tindakan razia yang dilakukan oleh aparat pemerintah (polisi dan satpol-pp) terhadap sekelompok masyarakat yang dilihat sebagai "penyakit masyarakat". Saya justru melihat kesucian bulan puasa harus ditempatkan sebagai proses menempa diri dan menjernihkan motivasi-motivasi pribadi agar tidak terperangkap dalam dorongan mencari kepuasan yang semu. Dan semua itu harus dilakukan dalam suatu konteks sosial yang riel. Bulan puasa adalah bulan yang suci. Kesucian itu tidak bisa dilihat sebagai pemberangusan segala hal yang dianggap kotor dan najis - seperti pelacuran dan minuman keras - belaka. Kesucian itu justru harus mengejawantah dalam pencurahan cinta-kasih sebagai sesama manusia. Pelacuran dan minuman keras (dan juga beberapa aktivitas lain yang dianggap kotor) mesti dipahami sebagai ekses dari ketidakmampuan kita sebagai manusia mengelola kehidupan bersama secara adil dan arif. Itu bukan penyebab yang mengotori bulan puasa ini.
Dalam pemahaman saya, pergelutan iman dengan berpuasa merupakan suatu panggilan beribadah bagi setiap orang (bukan hanya kaum Muslim) untuk menjalani kehidupan bersama secara adil. Berpuasa merupakan suatu kekuatan untuk melawan apa yang tidak boleh kita ambil karena bukan hak kita. Berpuasa merupakan suatu motivasi untuk melihat keberadaan sesama kita secara utuh dan memahami kebutuhan hidup mereka dengan suatu sikap empatik yang mendalam.
Razia justru membuka ruang yang sangat besar bagi kita untuk melakukan penindasan dan ketidakadilan kepada orang lain atas nama "kebenaran" kita sendiri. Padahal hakikat berpuasa (termasuk dalam pemahaman iman kristiani saya) adalah kemampuan untuk hidup dengan kerendahan hati dan membangun kehidupan bersama secara utuh. Berpuasa adalah mengekang keinginan diri untuk merangkul dan menopang orang lain.
Dalam konteks itulah saya melihat kita perlu dengan jernih memahami bahwa razia PSK atau pengemis atau minuman keras, bukanlah jawaban yang mampu menjaga kesucian bulan puasa ini. Justru sebaliknya, pemahaman yang jernih dan penerimaan realitas hidup bersama yang rumit dan penuh carut-marut masalah dalam kehidupan berbangsa kita ini akan melahirkan suatu sikap yang dewasa dalam memahami kehidupan orang lain. Kita mengekang hawa nafsu amarah kita, dan melihat dengan tenang setiap masalah yang dihadapi oleh saudara-saudara kita yang lain. Dengan ketenangan puasa, saya yakin kita bisa menjaga kesucian berpuasa. Bukan dengan razia, tetapi dengan bela-rasa (compassion) kepada mereka yang terperangkap dalam hawa nafsu atau kondisi yang sebenarnya tidak mereka inginkan.
Dengan mengatakan itu, bukan berarti saya mendukung aksi-aksi mabuk-mabukan atau yang mengganggu ketertiban hidup bersama. Tetapi justru saya sedang menghayati puasa dan merasa bahwa hakikat puasa justru makin diteguhkan ketika berhadapan dengan godaan dan tantangan.
Selamat berpuasa, saudaraku!
No comments:
Post a Comment