Aku menulis maka aku belajar

Monday, January 5, 2009

Menjelang Misteri

Peralihan waktu nyaris tak terasa. Semuanya mengalir tak beda dengan hari-hari sebelumnya. Kembang api dan petasan rasanya malah kehilangan pesona. Kosong. Ketika semua menggempita dalam keriuhan belanja dan penganan; ketika pusat-pusat belanja dijejali para pemburu barang dan asesoris – atau hanya sekadar cuci mata, aku malah tenggelam dalam rutinitas “panitia natal”. Capek. Maka ketika semua tangan terkepal dan mulut berujar doa selamat di peralihan tahun, aku malah terkapar menerima ongkos kerja panitia natal dengan terbujur di ranjang dengan sakit di sekujur badan. Impas? Tak tahulah.

Namun dalam sakit, aku malah menemukan waktu yang mengalir. Merasakan alirannya dalam sakit dan hening. Saat terkapar dengan seluruh persendian yang ngilu, aku malah terbelit dalam permenungan: apa lagi yang baru nanti? Atau, semua hanya keterjebakan diri dalam rutinitas. Menjemukan namun tak terelakkan. Basi tapi mesti ditelan. Ataukah ada yang lain? Tantangan. Peluang. Kemujuran. Kecelakaan. Bahkan, kematian? Bukankah semuanya adalah probabilitas, yang sering tak ingin kita percakapkan tapi toh dalam hati kecil kita merasa tak kuasa menghindari sepersekian probabilitasnya.

Merasakan aliran waktu saat terkapar sakit dalam jeda peralihan tahun, membuat aku jadi menikmati denyut penuaan dalam diri. Setahun lagi berlalu. Apa yang tersisa untuk menjadi energi menapaki tahun “baru”? Seberapa “baru” tahun ini (2009) hingga tetap menyodorkan percik-percik api pengharapan? Sebulan? Dua bulan? Lalu kapan 2009 akan menjadi tua atau lama? Apakah harus menunggu peralihan tahun yang akan datang (2010), lalu ia menjadi lama? Lantas, “baru”-nya di mana: baru datang atau baru substansinya?

Sudah puluhan “tahun baru” aku lewati. Tiba-tiba tersadar, benarkah semua “tahun baru” itu menggelimangi kesadaranku dan eksistensiku dengan yang “baru”? Atau malah hanya suatu gerak menua yang kuterima apa adanya? Aku belum berkarya apa-apa. Semua tersapu oleh kerja dan kerja untuk urusan “hidup” – yang makin terkerdilkan sebagai urusan perut. Hidup hanya urusan perut? Begitulah yang masih menjajah pikiranku. Ada mimpi tapi tersimpan dalam hati. Ada cita-cita tapi belum menyata. Ada harapan tapi masih tersimpan. Lantas, kapan? Lagi-lagi aku terjebak dalam aliran waktu dan – mau tak mau – kembali menikmati denyut penuaan dalam diri.

Menjadi tua tak selalu menjadi dewasa. Begitu banyak lubang-lubang yang menghiasi persahabatan, hanya karena kita enggan menutupinya. Sehingga berulang-ulang terjungkal dalam kesalahan yang sama. Lebih pilih perang daripada perdamaian. Lebih suka menyerang daripada menenteram. Lebih nikmat mengunggulkan ego daripada merangkul yang lain. Bumi pun dipaksa menyerap darah karena kepongahan manusia. Mesin-mesin perang berderap melindas kehidupan. Anak-anak dan perempuan terkapar di tengah puing-puing dengan daging terkuak memamerkan tulang dan isi tubuh terburai. Pemandangan baru di tahun yang baru? Sudah berapa tahun baru terlewati dengan dentuman mesiu dan bau anyir darah? Tahun baru perlu perang baru?

Ah, terkapar sakit di peralihan tahun sungguh-sungguh membuatku menikmati detak jantung yang makin lemah karena penuaan. Tetapi aliran waktu ini malah menderaskan aliran darah dalam tubuhku. Aku tidak mau tua sebelum berkarya! Menjadi tua seharusnyalah menjadi dewasa untuk melahirkan percikan-percikan api momentum berkarya. Menjadi tua adalah menjadi berhikmat untuk mendaraskan pengalaman-pengalaman yang berlalu, menjadi suatu kitab kehidupan. Mewariskan pengetahuan dan hikmat sebagai roh zaman bagi anak-cucu.

Tahun baru. Umurku tidak akan baru. Kenyataan menua adalah inspirasi untuk membebaskan pikiran dan nurani agar tidak terkerangkeng dalam ringkihnya raga. Umurku tidak akan baru. Mungkin juga tidak panjang. Tetapi kalau aku telah menapak peralihan tahun ini – meski terkapar sakit – rasanya itu tanda untuk melahirkan karya baru. Merajut pengalaman, menarasikan masa depan, membuai harapan-harapan dalam dekapan. Menyemai cinta bagi sang bumi.

Tahun baru. Apa masih perlu kuucapkan “selamat”?

1 comment:

  1. Pertanyaannya adalah, "Benarkah Tahun Baru itu benar-benar mesti ada?". Memang dalam hitungan astrologi dan sejenisnya, sekali perputaran bumi mengelilingi matahari disebut setahun. Mungkin kita hanya bisa menikmati hidup ini dalam susah dan senangnya seiring perjalanan waktu. Toh kita ini makhluk sejarah yang hidupnya juga tergantung waktu.

    ReplyDelete

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces