Aku menulis maka aku belajar

Monday, March 23, 2009

Beberapa Catatan Mengenai Editorial Media Indonesia [artikel lama]

Beberapa Catatan Mengenai Editorial Media Indonesia: “Indonesia di Ambon” (Minggu, 28 April 2002)

Saya adalah salah seorang pemirsa setia Editorial Media Indonesia (EMI) yang ditayangkan MetroTV. Topiknya aktual, ulasannya kritis dan lugas, sehingga menarik minat untuk dicermati. Bagi saya, ulasan EMI dalam beberapa tayangan secara impresif mampu mengajak pemirsa untuk melihat fenomena di balik realitas sosial-politik yang mengemuka.

Tetapi saya kecewa dengan ulasan EMI pada hari Minggu 28 April 2002 yang lalu, yang dalam amatan saya, terkesan sepihak dan tendensius.

Pertama, ulasan EMI seolah-olah hendak menempatkan seluruh konteks konflik sosial di Maluku dalam kerangka gerakan separatis berlabel Republik Maluku Selatan (RMS). Indikator empirik yang dipakai ialah adanya aksi-aksi pengibaran dan pelepasan balon gas yang diikat dengan bendera RMS pada tanggal 25 April 2002.

Tanggapan:
Konflik sosial di Maluku yang telah berlangsung selama 3 tahun mesti dipahami sebagai salah satu persoalan rumit menyangkut tarik-menarik kekuasaan di kalangan elit politik yang sedang gamang menentukan postur state pasca-Suharto (sebagai kubu yang secara sosiologis masih sangat berpengaruh dalam ranah politik Indonesia) yang pada gilirannya merujuk pada disorientasi pemaknaan terhadap eksistensi keindonesiaan. Apa yang kita mengerti mengenai ”Indonesia” selama ini, menurut saya, terbentuk hanya dari kesadaran subjektif particular terhadap sejarah kita sebagai satu bangsa. Kesadaran subjektif siapa? Tidak lain kesadaran subjektif dari pihak penguasa. Dengan kekuasaan yang dimiliki, mereka mereduksi makna pluralitas kebangsaan ke dalam suatu konsep ideology yang didasarkan pada aksentuasi ide-ide kebudayaan parsial. Ada dua karakter ideologi yang dikembangkan oleh penguasa Orba: (1) konsep ideologi berdasarkan worldview Jawa; (2) konsep ideologi militeristik. Kedua konsep ideologi ini bermuara pada paham kekuasaan politik yang sentralistik sebagai manifestasi kreasi lingkaran simbolik kekuasaan yang berpusat pada “keraton” (=indoktrinasi militer), menafikan pluralism (=uniformitas), mistikasi figur penguasa (=ketaatan absolute pada komandan), pandangan kosmologis dimana wilayah periferi tidak independen melainkan berada dalam gerak kosmik-sentripetal (=pusat teritori). Kendati gaung reformasi masih terus didengungkan, namun secara substansial konsep kebangsaan kita belum beranjak dari landasan ideologis seperti itu. Malah kini muncul kembali gerakan politik primordial yang mendasarkan diri pada ideology religius dan etnosentrisme. Fenomena ini muncul karena kekuatan periferi yang terdesak selama Orde Baru mendapat angin untuk tampil kembali di pentas politik Indonesia. Termasuk fenomena RMS.

Gerakan RMS adalah suatu realitas politik yang pernah muncul dalam wacana politik kebangsaan Indonesia kontemporer. Itu tidak bisa dipungkiri. Tetapi bagaimana RMS ditangani oleh penguasa Indonesia, ternyata tidak banyak yang tahu. Sebagian besar dokumen sejarah yang kita peroleh di sekolah-sekolah hanya menginformasikan bahwa RMS berhasil ditumpas oleh TNI. Ada sebagian pengikutnya dihukum, ada pula yang memilih ikut Belanda, beranak-pinak di sana dan terus melanggengkan utopia kemerdekaan Maluku serta ideologisasi entitas kultural pada generasi-generasi berikutnya. Informasi sejarah seperti ini membentuk struktur kesadaran bahwa embrio gerakan separatis ini masih hidup dan bisa menjadi bahaya laten (yang anehnya, dikaitkan dengan keberadaan orang-orang Maluku di Indonesia). konsekuensinya, identitas orang-orang Maluku selalu dilekatkan pada “genealogi politis” semacam itu (misal: beberapa orang Maluku bermarga “Soumokil” a priori dianggap sebagai anak-cucu Dr. Soumokil, penggagas RMS) sehingga semua akses ke instansi-instansi tertentu dibatasi/ditutup. Meski secara kualitatif mereka cukup capable dalam bidangnya.

Yang lain, pada masa Orba, setiap tanggal 25 April selalu ditempatkan aparat keamanan (tentara/polisi) di negri-negri Kristen, seolah-olah orang Kristen Maluku/Ambon adalah pengikut RMS yang harus selalu diwaspadai. Pada hari itu setiap penduduk negri dilarang melakukan aktivitas apapun (termasuk pergi ke kebun atau melaut). Stigmatisasi ini berlangsung selama bertahun-tahun dan melahirkan sebentuk kesadaran di kalangan generasi muda Maluku (terutama yang Kristen) bahwa “kami” adalah orang-orang RMS, meskipun tidak tahu apa dan bagaimana sejarah RMS. Siapa yang menentukan identitas orang Maluku seperti itu, ya penguasa pusat di Jakarta. Padahal dalam dokumen sejarah tertentu, RMS itu dimotori dan bisa hidup justru karena kolaborasi ekstensif berbagai elemen politik lokal dari beberapa negri Kristen dan negri Islam (dalam hal ini peranan bapa raja dari negri-negri tersebut). Pematangan rencana pembentukan RMS itu sendiri digagas di negri Tulehu, sebuah negri Islam di Pulau Ambon dan didukung oleh beberapa negri Islam lainnya dari pulau-pulau Lease (Saparua, Haruku). Di Haruku, bapa raja negri Pelau, Duba Latuconsina, merupakan salah satu tokoh penting dan berpengaruh. Juga Abdullah Solissa yang sekarang menjabat sebagai Koordinator Yayasan Al-Fatah Ambon adalah salah seorang tokoh dalam kabinet RMS.

Dalam proses pembelajaran sejarah selanjutnya dimensi-dimensi tersebut mengalami distorsi bahkan kooptasi oleh negara (melalui kebijakan di bidang pendidikan yang kurikulumnya diawasi secara ketat) karena ada vested-interest kelompok-kelompok politik tertentu yang berafiliasi berdasarkan ideology agama, baik di tingkat lokal maupun nasional. Kepentingan-kepentingan tersebut mesti diamankan dan karena itu dibutuhkan “kambing hitam”. Siapa lagi kalau bukan kelompok minoritas (Kristen). Afiliasi berdasarkan agama (Islam) pada aras nasional ternyata lebih memberikan keuntungan secara politis kepada kelompok-kelompok politik lokal ketimbang afiliasi berdasarkan etnisitas. Kekuatan agama lebih efektif dalam membangun solidaritas sosial daripada etnisitas. Solidaritas sosial semacam ini terbukti sangat ampuh dalam proses mencari dukungan massa karena masyarakat Indonesia pada umumnya sangat kental rasa keagamaannya.

Dalam kenyataan seperti itu, pencermatan terhadap konflik sosial di Maluku tidak bisa secara sederhana dilihat hanya dari angle separatism. Secara esensial, gerakan pemisahan-diri (self-separation) dari arus utama (mainstream) hanyalah impuls dari rasa keterdesakan atau ketertindasan yang tak mampu ditahan dan mesti direspons dengan reaksi agar suatu kelompok sosial dan seluruh perangkat nilai-nilai budayanya survive dalam medan sejarah peradaban manusia.

Kedua, aksi unjuk rasa sekelompok massa (muslim) dengan atribut bendera merah-putih dilihat sebagai reaksi “orang-orang Indonesia” yang menentang pengibaran bendera RMS dan mendesak aparat TNI-Polri untuk menindak tegas kelompok yang mengibarkan bendera RMS di sejumlah tempat di Ambon.

Tanggapan:
Siapakah yang bisa disebut “orang-orang Indonesia”? Apa parameter yang digunakan untuk mengidentifikasi “keindonesiaan” tersebut?

Ini pertanyaan krusial yang sampai saat ini kita masih terus mencari sosok idealnya. Dalam amatan saya, Indonesia adalah suatu fenomena baru: satu realitas dengan dua identitas, yaitu identitas nasional dan identitas primordial. Saya adalah orang Ambon/Maluku yang beragama Kristen, dan itu identitas primordial saya. Cukupkah itu? Tidak. Pada saat yang sama, saya adalah orang Indonesia, dan itu identitas nasional saya. Kedirian saya secara utuh berada dalam dialektika dua identitas tersebut. Saya (juga Anda, dan orang-orang lain) hidup di dalam realitas Indonesia dengan dua identitas tersebut. Indonesia adalah fenomena baru per 17 Agustus 1945 yang belum pernah ada presedennya. Karena itu kita akan kehilangan core Indonesia seperti itu bila rujukan yang dipakai adalah Majapahit, Sriwijaya, Mataram dll sebagai fragmen-fragmen historis yang pernah ada secara sendiri-sendiri.

Indonesia ini merupakan produk kesepakatan politis orang-orang yang tergabung dalam delegasi dari wilayah-wilayah bekas jajahan pemerintah Hindia-Belanda, untuk menjadi satu wilayah geopolitik yang bernama “Indonesia”. Nama yang dipilih untuk republik baru ini bukan “Republik Jawa” (meski etnis Jawa yang terbesar), bukan pula “Republik Islam” (meski penganut agama Islam yang terbesar), melainkan Republik Indonesia. Makna politis yang terkandung dalam terminology ini ialah keterbukaan terhadap pluralitas sosial, budaya dan agama, malah juga terhadap berbagai ideology politik (sehingga ideology yang disepakati bukan “Islam” atau “Marxis-sosialis” atau “ultra-nasionalis”, melainkan PANCASILA sebagai kolaborasi dialektis varian-varian ideologis yang berkembang masa-masa awal Indonesia itu). Dalam konsep Indonesia semacam ini, pihak mayoritas tidak rasa diri jago dan berhak menentukan segala sesuatu secara arbitrer.

Dalam pandangan saya, Indonesia seperti ini menampilkan suatu spirit demokrasi nation-state yang menjamin kesetaraan (equality) bagi setiap warga negaranya. Perbedaan adalah suatu kewajaran yang mesti disikapi secara arif bukan represif. Pluralitas adalah kekayaan, bukan ancaman. Pada momentum itulah kita sebenarnya membutuhkan suatu seni mengelola kemajemukan yang terberi dalam entitas kebangsaan kita.

Jadi Indonesia adalah pilihan bersama untuk menjadi satu (seperti dua orang yang bersepakat untuk mengikat diri dalam perkawinan). Bila janji setia untuk saling memperhatikan dan menghargai perbedaan masing-masing dilanggar, bukankah lebih baik kita pisah baik-baik? Kenapa mesti ada pihak yang “harus” diam ketika diperlakukan tidak adil dan ada pihak lain yang bisa dibiarkan melakukan penindasan terhadap kelompok lain?

Kalau ada pihak yang menentang pengibaran bendera RMS, itu bukan saja muncul dari pihak kaum Muslim Maluku tetapi juga dari mayoritas rakyat Maluku yang Kristen. Pada sisi ini, setiap media massa mesti jeli menyikapinya. Tetapi kenapa tidak ada sikap reaktif dari pihak Kristen, malah terkesan tenang-tenang saja? Soalnya ialah (1) pengibaran itu dilakukan oleh kelompok tertentu yang punya kepentingan sendiri. Itu mesti dibedakan dengan stigma bahwa semua orang Kristen adalah pengikut RMS dan karena itu harus dilibas (sebagaimana yang sering diserukan dalam serangkaian tabligh akbar di Ambon). Di sini orang-orang Kristen Maluku mengalami dilema dan perlu berhati-hati agar tidak kontraproduktif; (2) kadar ketidakpercayaan rakyat di Maluku terhadap kapabilitas pemerintah daerah (penguasa darurat sipil) dan pemerintah pusat dengan perangkat-perangkat militernya yang beroperasi di Maluku, makin parah.

Siapa yang menjadi musuh negara di Maluku? Orang-orang Kristen? Tidak ada! Yang sering diberitakan oleh media massa nasional (tapi tidak semua nasionalis) adalah “bentrok” dan “konflik” tapi bukan “penyerangan sepihak” oleh kelompok-kelompok paramiliter berkedok “jihad”. Dalam konteks ini, pemerintah sebagai representasi negara bersikap ambivalen (atau memang sudah direkayasa seperti itu) sehingga membuka kemungkinan bagi munculnya berbagai instrumen liar di luar negara yang merasa berhak membunuh orang lain atas dasar ideologinya sendiri (berdasar agama atau politik). Mereka menafikan eksistensi serta piranti hukum negara dan menganggap bahwa mereka sendiri adalah hukum yang berhak menjatuhkan vonis mati bagi setiap orang yang secara subjektif diposisikan sebagai “musuh”. Lantas, musuh mereka identik dengan musuh negara. Padahal mereka sendiri bertindak melampaui kewenangan pihak state dalam menangani persoalan politik internal. Sungguh naif! Kalau sudah begitu, sebenarnya Indonesia yang mana yang mau mereka bela? Dan Indonesia di Ambon yang mana yang EMI maksudkan? Kelompok Islam an sich sebagai Indonesia hanya karena berdemonstrasi dengan mengusung atribut merah-putih, atau kelompok yang mana?

Ketiga, aksi penyerangan ke negri Soya (Kristen) Kecamatan Sirimau Kota Ambon pada pk. 04.00 WIT yang menewaskan 12 orang (termasuk seorang bayi berusia 8 bulan dan seorang anak balita – menurut berita Liputan 6 Petang SCTV) dan 12 orang lainnya luka-luka, hanya dilihat sebagai reaksi wajar atas sikap inkonsistensi aparat keamanan menindak pelaku pengibaran bendera RMS. Mungkin karena alasan itulah, tidak dirasa perlu untuk memasukkannya dalam ulasan EMI.

Tanggapan:
Bagaimana EMI menyikapi serangan subuh ke negri Soya pada 28 April 2002? Menurut saya penting diperhatikan bila EMI ingin mempertahankan kredibilitasnya sebagai media “Indonesia”. Sebagai orang yang pernah menjadi korban dalam penyerangan sepihak (tanpa alasan yang jelas, kecuali hanya oleh semangat agresi membabi-buta) oleh kelompok jihad di Ambon, saya sadar bahwa pemberitaan media massa mengenai konflik Ambon telah mengalami distorsi yang signifikan sehingga pada gilirannya membentuk opini public yang tidak fair terhadap orang-orang Ambon. Pengibaran bendera RMS seolah-olah memberi legitimasi bahwa semua orang Ambon/Maluku (khususnya yang Kristen) adalah anggota gerakan separatis yang mesti digilas habis. Oleh karena itu, semua komponen masyarakat yang “berjiwa nasionalis” berhak untuk membumihanguskan eksistensi rakyat Maluku (Kristen) sampai ke akar-akarnya. Karena selain secara politis, orang-orang Kristen Maluku adalah musuh “negara” (?), juga secara religius, mereka adalah orang-orang kafir yang harus diperangi (dibasmi).

Dalam pandangan saya, EMI tidak jujur dan lugas dalam mencermati realitas eskalasi konflik pasca Malino II. Ulasan EMI ternyata terjebak pada inferensi premature karena peroleh data eksploratif yang tidak valid dalam menentukan link and match antarpeubah yang menentukan fluktuasi konflik di Maluku, khususnya Ambon.

Ambon memang sudah menjadi gray-zone yang sulit untuk ditelusuri pangkal masalah dan ujung solusinya dalam rimba kompleksitas situasi problematiknya. Tetapi bukan berarti kita bisa seenaknya melakukan justifikasi atas berbagai fenomena yang mencuat di Ambon. Karena itu setiap orang yang ingin berkomentar tentang Ambon mesti menyadari karakteristik politik dan budaya Maluku dalam konstelasi pergolakan ideology di pentas politik Indonesia kontemporer. Oleh karena itu, usulan umum saya kepada media massa di Indonesia: sebaiknya selektif dalam memilih komentator mengenai masalah Maluku. Jangan hanya terpaku pada orang-orang di eksekutif atau legislative yang “omong besar” tapi “miskin konsep” dalam menganalisi konflik Maluku yang muaranya hanya tampilan sikap eksklusif dan arogan yang dangkal.

Demikianlah beberapa komentar singkat saya terhadap ulasan EMI: “Indonesia di Ambon”. Saya harap ini merupakan salah satu upaya kita untuk terus-menerus menguji berbagai sosialisasi konseptual khususnya menyangkut dinamika realitas sosial di Indonesia.

Wassalam...

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces