Aku menulis maka aku belajar

Tuesday, April 7, 2009

124 Tahun Pendidikan Teologi: Pembaruan dan Pewarisan

Senin, 6 April 2009 yang lalu Fakultas Filsafat UKIM Ambon menyelenggarakan Seminar Sehari dengan pembedahan dua topik: [1] Politik untuk Kesejahteraan Rakyat; [2] Jabatan Gereja dan Spiritualitas Pendeta GPM. Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam rangka peringatan 124 tahun pendidikan teologi di Maluku – yang bermuara pada terbentuknya institusi Fakultas Filsafat UKIM.

Penetapan dua topik tersebut tentu mempunyai alasan-alasan signifikan yang lahir dari tuntutan konteks. Saya tidak tahu secara jelas apa alasan-alasan tersebut karena belum membaca kerangka acuan kegiatan seminar itu. Tetapi menarik untuk mencermati garapan dua topik tersebut dikaitkan dengan pendidikan teologi di Maluku – yang kini telah dijalankan oleh dua lembaga: Fakultas Filsafat UKIM dan Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri (STAKPN). Namun yang menjadi sorotan di sini ketika berbicara tentang pendidikan teologi adalah eksistensi Fakultas Filsafat UKIM, yang merupakan buah dari pergumulan gereja (GPM) untuk memikirkan dan mengembangkan suatu tindakan berteologi pada aras ilmu pengetahuan dan aplikasinya bagi praksis bergereja.

Dua panelis pertama, Dr. Rumadi (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dan Prof. Dr. M.J. Saptenno (Universitas Pattimura), mencoba membedah realitas kontekstual “agama-agama” dan “politik-hukum” di Indonesia. Dengan penelusuran yang komprehensif Rumadi memaparkan postur beragama secara global dan lokal yang sering berada pada ayunan bandul pendulum “penegak moralitas” dan “penjaga benteng kebenaran transendental”. Ayunan pendulum pada kedua sisi tersebut jelas memperlihatkan bahwa sikap dan tindakan beragama tidak bisa disekap hanya pada wilayah privat semata, tetapi berimplikasi sosiologis sehingga matra-matra keberagamaan pada hakikatnya tidak mampu diceraikan dari matra-matra kehidupan sosial secara menyeluruh. Namun demikian, Rumadi tiba pada hipotesis bahwa tampilnya agama ke ruang publik harus dibatasi agar tidak merambah ke masalah politik dan ajang kontestasi perebutan kekuasaan. Ini dilihatnya sebagai faktor determinan yang merusak profetisme agama. Toh, untuk menyelesaikan problem kemanusiaan agama harus dipanggil keluar dari liang persembunyiannya. Sementara itu, Saptenno, dengan kecermatan sebagai pakar hukum tata negara, mendasari elaborasinya dengan asumsi “kekuasaan membutuhkan hukum untuk mendapat legitimasi, sebaliknya hukum membutuhkan kekuasaan untuk dapat diimplementasikan atau upaya penegakkan hukum”.

Empat panelis pada sesi kedua lebih banyak mengupas matra-matra teologis dalam membicarakan “spiritualitas”. Bahkan lebih khusus lagi, seluruh perhatian ditujukan pada figur pendeta, yang dalam hal ini dilihat sebagai produk atau outcome lembaga pendidikan tinggi teologi. Metamorfosis institusional – jika bukan reformasi substansial – dalam beberapa dasawarsa jelas memperlihatkan perubahan-perubahan signifikan yang dipengaruhi oleh terbitnya peraturan-peraturan dan undang-undang di bidang pendidikan tinggi. Dinamika perubahan tersebut dicermati sebagai salah satu penyebab terjadinya pergeseran-pergeseran pada tingkat pemahaman mahasiswa teologi terhadap konteksnya (jemaat) dan juga spiritualitasnya yang inheren dalam pilihannya menggeluti ilmu teologi.

Ulasan sesi kedua ini cukup komprehensif. Hampiran historis mengenai jabatan gereja dikupas oleh Dr. Cornelis Alyona dengan memaparkan temuan-temuan dalam studi dokumen sejarah sehingga konsep “pejabat gereja” atau “pendeta” dapat ditemukan makna konotatif dan denotatifnya di sepanjang jejak-jejak sejarah gereja di Maluku. Berpindah ke ranah teologi alkitabiah, Dr. I.W.J. Hendriks memulai dengan asumsi bahwa telah terjadi penurunan kesadaran panggilan para pelayan gereja (pendeta) di lingkungan GPM. Hendriks menunjuk sejumlah indikator yang menjadi titik berangkat untuk membicarakan “pendeta dan spiritualitas”. Dr. M.M. Ririmasse-Hendriks dan Pdt. Ruth Elwarin-Rumthe, S.Th. sebagai dua panelis (perempuan) terakhir menyajikan wawasan-wawasan kelembagaan dari perspektif formal BPH Sinode GPM dan perspektif praktis pendeta jemaat yang telah melayani selama 34 tahun.

Penyajian materi dalam dua sesi tersebut dapat dipahami sebagai upaya membaca realitas kontekstual sekaligus menjawab tantangan-tantangan yang muncul dari realitas tersebut. Dengan demikian, “teologi” hendak ditempatkan sebagai suatu diskursus keilmuan yang mesti berinteraksi secara interdisipliner dengan kajian-kajian kemasyarakatan (sosial, politik, budaya, hukum, dsb). Sebagai yang demikian, dosen dan mahasiswa teologi mau tidak mau harus membedah konteks dengan pisau analisis sosial serta instrumen-instrumen penelitian sosial, sehingga realitas itu tidak terpahami secara mentah tetapi dikaji dengan disiplin keilmuan yang matang. Apa yang dihasilkan oleh teologi itu sendiri bukanlah suatu rumusan-rumusan mengambang melainkan suatu terobosan-terobosan teoretik yang dibangun melalui alur induktif.
Namun, teologi ternyata tidak cukup dipahami dalam lingkup diskursus keilmuan.

Pembelajar teologi selama ini dilihat pula sebagai pengemban nilai-nilai moralitas publik. Fungsi itu melekat karena teologi tidak hanya terekspresi sebagai ilmu tetapi juga internalisasi nilai-nilai transendental yang diyakini berasal dari Tuhan sebagai sumber kebaikan tertinggi. Bobot fungsi itu makin bertambah ketika si pembelajar teologi diharapkan mampu menjaga karakter-karakter ideal tersebut sebagai “pendeta” atau “pemimpin jemaat”. Pemahaman semacam ini menggiring pada aktivitas berteologi (doing theology), bukan sekadar belajar teologi secara formal.
Menempatkan teologi sebagai ilmu dan praksis, maka kita akan menyadari bahwa teologi mesti menjalankan fungsinya sebagai kekuatan transformatif dalam kehidupan sosial. Fungsi transformasi ini harus dilakukan secara cermat dan hati-hati agar teologi tidak tergelincir hanya menjadi problem-solver sendirian, tetapi dilakukan karena diperkuat oleh jejaring diskursus keilmuan sehingga memampukan pembelajar teologi membaca dan menafsir realitas sosial secara tepat sambil menghadapkannya secara kreatif dengan refleksi nilai-nilai transendental yang melekat pada keyakinan-keyakinan religiusnya.

Di lain pihak, teologi sebagai praksis tidak dapat dilepaskan dari determinasi institusional gerejawi sebagai tempat dipeliharanya tradisi berteologi. Gereja hidup dalam dunia dan masyarakat yang terus berubah. Gereja tidak bisa mengisolasi diri dari efek-efek perubahan sosial yang terjadi. Tetapi sikap gereja terhadap perubahan itulah yang membuatnya berbeda dengan sikap organisasi-organisasi sosial lainnya. Perubahan disikapi dalam perspektif penghayatan iman yang diawetkan dalam berbagai bentuk tradisi gerejawi. Tradisi iman inilah yang menjadi fondasi kehidupan bergereja, bahkan roh gereja, dalam menyiasati perubahan sosial. “Praxis” di sini berkonotasi teologis dan sosiologis. Ajaran-ajaran kebenaran dalam gereja (ortodoksi) hanya dapat diimplementasikan secara komunal dalam tubuh institusi gerejawi, yang sekaligus mensyaratkan tersusunnya hierarkhi organisasi dengan pembagian otoritas yang tegas. Ortodoksi tidak akan mampu bertahan tanpa kekuatan komunal yang menjalankan tindakan-tindakan kebenaran (ortopraksis). Kendati disadari bahwa ortodoksi kerap menimbulkan ketegangan interpretatif sehingga melahirkan tindakan-tindakan yang tak sejalan.

Dengan konstatasi tersebut, saya mencermati bahwa pendidikan teologi pada hakikatnya adalah upaya membangun jembatan-jembatan konseptual yang secara imajinatif menghubungkan matra-matra “transendental” (Ultimate Being) dan “kultural”. Matra transendental sebagian dapat ditemukan dalam dialog teologis dan historis dengan pengungkapan-pengungkapan iman dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda (masa lampau). Di sinilah kita bicara tentang pewarisan. Sedangkan matra kultural dapat menjadi media berteologi yang kaya dengan berbagai ekspresinya (bahasa, simbol, ritual, dll) untuk menemukan sebagian lain yang transendental itu dalam konteks kekinian (kontemporer). Pada lingkup ini kita bicara tentang pembaruan.

Jadi, teologi pada akhirnya memang menjadi suatu muara perjumpaan, yang sekaligus menimbulkan putaran arus, antara pewarisan dan pembaruan. Perjumpaan ini bisa menjadi perjumpaan yang kreatif yang melahirkan pemikiran dan tindakan berteologi yang baru dan relevan. Tetapi juga bisa menjadi perjumpaan yang tidak seimbang jika yang satu mendominasi yang lain (antara ilmu dan praksis). Di sini yang muncul adalah kejumudan (rigidity), yang menghalangi seluruh proses kreatif karena mempertahankan tradisi. Lantas, percakapan tentang spiritualitas pun menjadi menarik dan menantang. Spiritualitas “pendeta” semacam apakah yang mampu menampung pusaran arus pewarisan dan pembaruan dalam konteks GPM? Adakah “spiritualitas” itu hanya terpasung pada romantisme masa lalu yang lebih banyak terbangun dari kecenderungan narsistik (pengagungan diri)? Ataukah “spiritualitas” itu sebentuk keberanian untuk melepaskan seluruh atribut kehormatan tanpa takut mengambil pilihan berisiko untuk menjadi “pelayan” dalam arti denotatifnya? Ini memang sulit karena “pelayan” atau “hamba” dalam gereja telah melekat dengan “Tuhan” (pendeta adalah hamba Tuhan), yang pada gilirannya malah mengaburkan taraf kehambaannya, karena orang yang dekat dengan “Tuhan” dipastikan kedudukannya lebih tinggi dibandingkan kaum jemaat-jelata, yang – konon – hidupnya [dianggap] jauh dari Tuhan. Apalagi kalau keberjarakan dengan sang Tuhan diukur dari “siapa yang belajar [ilmu] teologi” dan “siapa yang menjadi objek dari [aktor] teologi”. Suatu anggapan yang melahirkan dikotomi “pendeta” dan “kaum awam”.

Nah, kalau sudah begitu, spiritualitas itu seharusnya menjadi milik “pendeta” ataukah milik “jemaat”, atau keduanya? Pendeta meneladani jemaat atau jemaat meneladani pendeta? Tentu ini bukan catatan akhir, melainkan awal dari proses menorehkan narasi dan tindakan berteologi kita. Nos Autem Praedicamus Christum Crucifixum!

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces