Kalau Anda tidak pernah nonton film kartun “Ipin dan Upin” produksi salah satu stasiun tv Malaysia, Anda tentu sulit membayangkan intonasi pengulangan kata “betul” pada judul di atas. Figur Ipin dan Upin memang sedang naik daun sekarang. Bukan hanya karena kejenakaan mereka tetapi juga karena film kartun berdurasi 1 jam ini kental menampilkan nuansa Melayu dengan bobot edukasi berkualitas tinggi. Tidak mengherankan hanya dalam beberapa tayangannya oleh TPI dengan segera “Ipin dan Upin” telah menjadi idola di kalangan anak-anak Indonesia. Bahkan gaya khas Ipin yang selalu menimpali segala hal dengan kata-kata “betul, betul, betul” kini menjadi ungkapan yang popular dalam percakapan masyarakat Indonesia.
Ketertarikan pada film seri “Ipin dan Upin” dimulai ketika pada jam tayangnya anak kami, Kainalu, selalu minta untuk pindah ke saluran TPI. Setelah beberapa kali mengikuti tayangannya, saya juga merasakan ada sesuatu yang atraktif pada film itu. Bukan karena kecanggihan animasi ala Naruto atau Ben 10, tetapi pada muatan edukasi yang disampaikannya secara sederhana, ringan, jenaka. Bukan hanya itu, menonton “Ipin dan Upin” seolah menyedot kita pada kekayaan dimensi khazanah kebudayaan Melayu dan Asia, yang mau tak mau membuat kita merasa “ini film kita”. Lihat saja bagaimana penampilan berbagai karakter dari teman-teman si kembar Ipin dan Upin: Mei-Mei yang berlatar Tionghoa, Ismail, Ijart, Ehsan, dll. Semuanya terasa akrab di telinga Asia-Melayu kita.
Kita boleh saja – dulu – mencak-mencak bahwa Malaysia telah banyak “nyolong” unsur-unsur budaya yang katanya adalah budaya Indonesia. Tetapi kita sendiri melihat bahwa semua tindakan kita dalam menanggapi Malaysia kemudian hanya terbentur pada dinding retorika dan reaktif. Tidak ada sama sekali upaya sistematis untuk menanamkan matra-matra kemajemukan yang menjadi karakter keindonesiaan kita melalui suatu paket edukasi yang sungguh-sungguh berakar dalam struktur kesadaran anak-anak. Sebaliknya, stasiun-stasiun tv kita hanya sibuk berlomba-lomba menayangkan kerusuhan dan kekerasan. Berulang-ulang. Tayangan tv Indonesia menjadi membosankan dan tak ramah bagi pertumbuhan kesadaran anak-anak, yang kemudian mengukuhkan kesadaran bahwa kekerasan adalah jalan terbaik mencapai keinginan. Itukah yang memang ingin kita wariskan kepada anak-anak kita?
Ipin dan Upin menjadi suatu tayangan alternatif yang membawa anak-anak kembali ke dalam dunia mereka. Dunia bermain dan belajar dari pengalaman-pengalaman sehari-hari. Jauh dari kesan hipokrisi karena sarat muatan pesan-pesan agama yang tidak kontekstual. Pemahaman keagamaan ditanamkan bersamaan dengan kesadaran akan kemajemukan realitas hidup bersama: dalam pergaulan teman-teman dari berbagai latar belakang etnis, suku, agama, bahasa. Saya melihat bahwa melalui penayangan Ipin dan Upin, Malaysia benar-benar serius mengelola pemahaman identitas mereka sebagai bangsa Asia-Melayu. Bisa dikatakan bahwa Malaysia sedang merekonstruksi kesadaran identitas Asia dan Melayu melalui penancapan ideologis kultur Melayu. Dan, tentu saja, jangan kita kaget kalau suatu waktu hampir sebagian besar khazanah budaya Melayu dan Asia diklaim sebagai cultural heritage dari Malaysia. Dan Malaysia membuktikan bahwa merekalah yang “truly Asia”. Kalau sudah begitu, maka saya cuma bisa mengikuti gaya Ipin: BETUL, BETUL, BETUL…