Dalam catatan pertama, saya mencoba menyoroti pentingnya membangun teologi politik sebagai salah satu pilar menggerakkan GPM mengembangkan perspektif eklesiologinya. Salah satu implikasi teologis dari kesadaran politik tersebut adalah dekonstruksi fondasi-fondasi pemikiran teologi yang diwacanakan melalui penyelenggaraan pendidikan teologi.
Dalam lintasan sejarah kekristenan di Maluku, pendidikan teologi sudah dimulai sejak berkaryanya badan-badan misi Barat yang datang bersamaan dengan ekspansi kolonialisasi bangsa-bangsa Eropa. Tentu saja bahwa “pendidikan teologi” yang berlangsung pada masa-masa itu masih sangat kuat dideterminasi oleh paradigma teologi Kristen yang berkembang di Barat, dan sangat tergantung pada agen-agen Injil yang bekerja sebagai misionaris di wilayah-wilayah koloni. Dari segi metode pengajaran, teologi yang dikultivasi ke dalam benak komunitas lokal di Maluku zaman itu masih berpola indoktrinasi dengan menempatkan komunitas lokal sebagai objek kafir yang perlu dimurnikan melalui proses kristenisasi. Kendati kristenisasi yang dipahami sebenarnya lebih merupakan difusi nilai-nilai dan praktik-praktik kebudayaan Barat. Maka terbentuklah suatu komunitas beridentitas ganda: orang-orang Kristen yang tetap bermental tradisional-adatis.
Dalam konstruksi mental semacam itulah (yang nyaris tidak mengalami perubahan hingga menjelang berdirinya Indonesia sebagai entitas politik mandiri tahun 1945), jemaat-jemaat Kristen dibina dan diasuh oleh guru-guru jemaat, penginjil, dan pendeta. Mereka “diproduksi” oleh lembaga-lembaga pendidikan teologi yang masih bersifat kedinasan: diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga pendeta dan pengajar gerejawi. Peran dan fungsi itu masih dipertahankan hingga sekarang oleh fakultas teologi UKIM, meskipun dalam beberapa hal sudah dilakukan modifikasi kurikulum mengikuti perkembangan dalam sistem pendidikan teologi maupun sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Kondisi tersebut tidak terhindari karena fakultas teologi UKIM merupakan lembaga pendidikan tinggi milik GPM, yang dalam penyelenggaraannya harus tetap mengikuti format visi dan misi GPM di bawah naungan Yayasan Perguruan Tinggi (Yaperti) GPM.
Dalam kalangan internal fakultas teologi UKIM pun telah terjadi pergeseran paradigma dalam pembelajaran teologi sebagai ilmu. Untuk waktu yang cukup lama paradigma ilmu teologi di fakultas teologi UKIM sangat kuat dipengaruhi oleh pendekatan biblisentrisme yang termanifestasi melalui kajian-kajian alkitabiah (biblika) historis-kritis. Hal itu dapat dilihat dari bangunan kurikulum dan ketersediaan tenaga dosen di bidang biblika yang berlimpah.
Namun, pada dasawarsa terakhir, telah terjadi pergeseran paradigma ilmu teologi dengan lebih memberi aksentuasi pada “teologi kontekstual”. Dengan aksentuasi ini, seluruh kajian ilmu teologi diposisikan secara kritis pada tuntutan untuk memahami dinamika konteks dan implikasi dari berbagai ajaran-ajaran teologi terhadap pertumbuhan suatu gereja dalam konteks yang berbeda. Melalui pendekatan ini pola-pola indoktrinasi yang jumud secara gradual mulai ditinggalkan. Kesadaran akan dimensi-dimensi kultural yang sebenarnya memberi inspirasi bagi suatu living theology mulai tumbuh. Demikian pula dengan konteks agama-agama yang pada hakikatnya merupakan wajah komunitas Maluku dan Indonesia pun mulai dilirik dan dicermati sebagai dimensi penting dalam pesona teologi kontekstual.
Teologi hendak ditempatkan sebagai suatu diskursus keilmuan yang mesti berinteraksi secara interdisipliner dengan kajian-kajian kemasyarakatan (sosial, politik, budaya, hukum, dsb). Sebagai yang demikian, dosen dan mahasiswa teologi mau tidak mau harus membedah konteks dengan pisau analisis sosial serta instrumen-instrumen penelitian sosial, sehingga realitas itu tidak terpahami secara mentah tetapi dikaji dengan disiplin keilmuan yang matang. Apa yang dihasilkan oleh teologi itu sendiri bukanlah suatu rumusan-rumusan mengambang melainkan suatu terobosan-terobosan teoretik yang dibangun melalui alur induktif.
Namun, teologi ternyata tidak cukup dipahami dalam lingkup diskursus keilmuan. Pembelajar teologi selama ini dilihat pula sebagai pengemban nilai-nilai moralitas publik. Fungsi itu melekat karena teologi tidak hanya terekspresi sebagai ilmu tetapi juga internalisasi nilai-nilai transendental yang diyakini berasal dari Tuhan sebagai sumber kebaikan tertinggi. Bobot fungsi itu makin bertambah ketika si pembelajar teologi diharapkan mampu menjaga karakter-karakter ideal tersebut sebagai “pendeta” atau “pemimpin jemaat”. Pemahaman semacam ini menggiring pada aktivitas berteologi (doing theology), bukan sekadar belajar teologi secara formal.
Menempatkan teologi sebagai ilmu dan praksis, maka kita akan menyadari bahwa teologi mesti menjalankan fungsinya sebagai kekuatan transformatif dalam kehidupan sosial. Fungsi transformasi ini harus dilakukan secara cermat dan hati-hati agar teologi tidak tergelincir hanya menjadi problem-solver sendirian, tetapi dilakukan karena diperkuat oleh jejaring diskursus keilmuan sehingga memampukan pembelajar teologi membaca dan menafsir realitas sosial secara tepat sambil menghadapkannya secara kreatif dengan refleksi nilai-nilai transendental yang melekat pada keyakinan-keyakinan religiusnya.
Di lain pihak, teologi sebagai praksis tidak dapat dilepaskan dari determinasi institusional gerejawi sebagai tempat dipeliharanya tradisi berteologi. Gereja hidup dalam dunia dan masyarakat yang terus berubah. Gereja tidak bisa mengisolasi diri dari efek-efek perubahan sosial yang terjadi. Tetapi sikap gereja terhadap perubahan itulah yang membuatnya berbeda dengan sikap organisasi-organisasi sosial lainnya. Perubahan disikapi dalam perspektif penghayatan iman yang diawetkan dalam berbagai bentuk tradisi gerejawi. Tradisi iman inilah yang menjadi fondasi kehidupan bergereja, bahkan roh gereja, dalam menyiasati perubahan sosial.
“Praxis” di sini berkonotasi teologis dan sosiologis. Ajaran-ajaran kebenaran dalam gereja (ortodoksi) hanya dapat diimplementasikan secara komunal dalam tubuh institusi gerejawi, yang sekaligus mensyaratkan tersusunnya hierarkhi organisasi dengan pembagian otoritas yang tegas. Ortodoksi tidak akan mampu bertahan tanpa kekuatan komunal yang menjalankan tindakan-tindakan kebenaran (ortopraksis). Kendati disadari bahwa ortodoksi kerap menimbulkan ketegangan interpretatif sehingga melahirkan tindakan-tindakan yang tak sejalan.
Dengan konstatasi tersebut, saya mencermati bahwa pendidikan teologi pada hakikatnya adalah upaya membangun jembatan-jembatan konseptual yang secara imajinatif menghubungkan matra-matra “transendental” (Ultimate Being) dan “kultural”. Matra transendental sebagian dapat ditemukan dalam dialog teologis dan historis dengan pengungkapan-pengungkapan iman dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda (masa lampau). Di sinilah kita bicara tentang pewarisan. Sedangkan matra kultural dapat menjadi media berteologi yang kaya dengan berbagai ekspresinya (bahasa, simbol, ritual, dll) untuk menemukan sebagian lain yang transendental itu dalam konteks kekinian (kontemporer). Pada lingkup ini kita bicara tentang pembaruan.
Jadi, teologi pada akhirnya memang menjadi suatu muara perjumpaan, yang sekaligus menimbulkan putaran arus, antara pewarisan dan pembaruan. Perjumpaan ini bisa menjadi perjumpaan yang kreatif yang melahirkan pemikiran dan tindakan berteologi yang baru dan relevan. Tetapi juga bisa menjadi perjumpaan yang tidak seimbang jika yang satu mendominasi yang lain (antara ilmu dan praksis). Di sini yang muncul adalah kejumudan (rigidity), yang menghalangi seluruh proses kreatif karena mempertahankan tradisi.
Lantas, percakapan tentang spiritualitas pun menjadi menarik dan menantang. Spiritualitas “pendeta” semacam apakah yang mampu menampung pusaran arus pewarisan dan pembaruan dalam konteks GPM? Adakah “spiritualitas” itu hanya terpasung pada romantisme masa lalu yang lebih banyak terbangun dari kecenderungan narsistik (pengagungan diri)? Ataukah “spiritualitas” itu sebentuk keberanian untuk melepaskan seluruh atribut kehormatan tanpa takut mengambil pilihan berisiko untuk menjadi “pelayan” dalam arti denotatifnya? Ini memang sulit karena “pelayan” atau “hamba” dalam gereja telah melekat dengan “Tuhan” (pendeta adalah hamba Tuhan), yang pada gilirannya malah mengaburkan taraf kehambaannya, karena orang yang dekat dengan “Tuhan” dipastikan kedudukannya lebih tinggi dibandingkan kaum jemaat-jelata, yang – konon – hidupnya [dianggap] jauh dari Tuhan. Apalagi kalau keberjarakan dengan sang Tuhan diukur dari “siapa yang belajar [ilmu] teologi” dan “siapa yang menjadi objek dari [aktor] teologi”. Suatu anggapan yang melahirkan dikotomi “pendeta” dan “kaum awam”.
Nah, kalau sudah begitu, spiritualitas itu seharusnya menjadi milik “pendeta” ataukah milik “jemaat”, atau keduanya? Pendeta meneladani jemaat atau jemaat meneladani pendeta? Tentu ini bukan catatan akhir, melainkan awal dari proses menorehkan narasi dan tindakan berteologi kita, terutama menapaki usia 75 tahun GPM. Seperti yang sering dikatakan: dari tanah lapang kecil ke tanah lapang besar; tanah lapang kecil adalah diskursus ilmu teologi yang mendorong tumbuhnya teologi kehidupan di tanah lapang besar. Lagi-lagi, itu hanya terjadi jika GPM menjadikan fakultas teologinya sebagai pusat kajian yang link and match dengan geliat konteks jemaat-jemaatnya mulai dari ujung utara hingga barat daya.