Tanggal 6 September kemarin GPM genap mencapai usia 75 tahun. Menjadi gereja mandiri sejak tahun 1935. Perjalanan panjang selama 75 tahun sudah pasti menghadapkan GPM dengan berbagai dinamika tantangan dan pergumulan untuk memaknai kehadirannya sebagai gereja di Maluku. Bung Jacky dalam tulisannya bertajuk “Sidang Sinode GPM Dan Doa Basudara Salam: Dimensi Dialektis Dalam Relasi Islam-Kristen di Maluku” memberi inspirasi untuk merefleksikan kembali pemaknaan GPM di tengah tantangan konteksnya di Maluku dan di Indonesia. Kendati ditulis pada saat menjelang persidangan sinode ke-35 tahun 2005 yang lalu tetapi banyak ide bernas yang masih kuat relevansinya untuk mencermati secara kritis arah penatalayanan GPM sampai menjelang persidangan sinode GPM ke-36 tahun 2010 ini.
Refleksi 75 tahun GPM tahun 2010 ini dipayungi oleh tema: “Menjadi Gereja Yang Tahan Uji Di Tengah Pusaran Zaman”. Tema ini secara jelas hendak menempatkan GPM sebagai gereja yang berproses dalam dinamika konteks sosialnya di Maluku dan di Indonesia. Terkandung suatu kesadaran bahwa GPM terus-menerus bergerak dalam semangat mengejar hakikat dirinya secara ideal sebagai gereja (process of becoming). Kesadaran diri atau identitasnya ditempa dalam suatu proses, dan karena itu GPM tidak bisa berhenti belajar untuk menjadi gereja. Tapi apa artinya menjadi gereja? Pertanyaan itu bisa ditinjau dari berbagai perspektif. Perspektif yang utama adalah GPM merupakan suatu institusi keagamaan yang memiliki visi dan misi yang spesifik, yang tidak bisa diidentikkan begitu saja dengan institusi-institusi lainnya. Kekhasan GPM sebagai institusi keagamaan, salah satunya, adalah membentuk karakter spiritualitas orang-orang Kristen yang menjadi anggotanya. Karakter spiritualitas ini mesti dipahami dalam horison yang luas, bukan sekadar persoalan “berdoa dan beribadah” saja.
Spiritualitas di sini hendak dibingkai dalam kesadaran kontekstual bahwa warga GPM sedang berproses untuk menjadi orang-orang Kristen yang memilik kualitas iman dan wawasan berteologi yang berimplikasi pada semua bidang kehidupan yang digeluti oleh warga GPM, bahkan oleh segenap lapisan masyarakat. Dalam bingkai itulah “menjadi gereja” mengarah pada penguatan warga GPM untuk doing theology dalam konteks kehidupannya masing-masing. Doing theology itu mengindikasikan kapasitas warga GPM untuk memberi makna setiap aliran pengalamannya sebagai komunitas kepulauan dengan beraneka ragam tantangannya.
Proses doing theology itu pun berlangsung dalam dinamika kesejarahan yang fluktuatif. Rentang waktu 75 tahun itu menggambarkan bahwa GPM tak kunjung henti didera berbagai persoalan internal dan eksternal. Karena itu pemaknaan “tahan uji” menjadi penting agar GPM menempatkan dirinya sebagai entitas yang tidak imun terhadap berbagai unsur-unsur eksternal di sekitar kehidupannya. Perspektif “tahan uji” ini membuka celah bagi upaya berteologi untuk memperkuat antibodi GPM. Tanpa tantangan, GPM hanya menjadi gereja yang lembek, mawali, dan cengeng. Tiga karakter yang disebut terakhir ini akan memperbesar kanker ketergantungan, terutama pada pihak pemerintah atau negara. Justru dalam gempuran persoalan postur menggereja dan perspektif teologi GPM diperkokoh, sehingga berani berjarak dengan entitas lain dalam menentukan sikapnya sebagai gereja. Namun, lagi-lagi semuanya akan mengerucut pada satu pertanyaan: apakah memang GPM sudah belajar memaknai pergumulannya untuk melahirkan postur menggereja yang kontekstual? Ataukah kembali terperangkap dalam pusaran persoalan tanpa suatu jalan keluar? Taputar atau kaluar?
Kalau bung Jacky Manuputty mengelaborasi kegelisahan menjadi gereja pada perspektif hubungan agama-agama berbasis kearifan lokal, maka saya mencoba meneropongnya melalui lensa dialektika gereja dan negara. Bisa jadi sebagian orang menganggapnya sebagai masalah klasik (dan tidak perlu diwacanakan). Tetapi saya justru melihat bahwa dialektika wacana dan praksis gereja dan negara dalam konteks Maluku dan Indonesia, terus menjadi roh yang mendasari merebaknya berbagai persoalan menggereja di Maluku.
Saya menilai selama ini GPM tidak serius membangun teologi politiknya. Ranah politik kerap ditabukan dan selalu menjadi “kambing hitam” yang seolah-olah terus menggiring gereja masuk dalam percaturan kekuasaan internal dan eksternal. Sikap yang terbangun kemudian antipati dan ambigu, sehingga membuka ruang luas bagi interpretasi personal mengenai relasi gereja dan negara. Ambiguitas ini sangat memengaruhi paradigma kepemimpinan GPM. Maka isu-isu yang muncul pada setiap persidangan gerejawi, mulai dari aras jemaat sampai sinodal, adalah bagaimana sikap gereja terhadap negara. Wacana ini terus memanas tapi tak pernah sampai pada simpul gagasan yang tuntas, apalagi implementasi praksis secara institusional.
Kenapa harus teologi politik? Salah satu masalah mendasar yang membuat GPM terus taputar dalam pusaran situasi problematik adalah persoalan politik. Jatuh-bangun GPM sebagai gereja di Maluku adalah gempuran bertubi-tubi masalah-masalah politik sejak 1935 sampai sekarang. Sesuatu yang tidak terhindari bahwa pelabelan GPM dengan RMS terus-menerus menjadi persoalan yang menguras energi bergereja di Maluku saat ini. Lihat saja bagaimana sampai tahun ini (2010) setiap tanggal 25 april, jelas terpampang pengerahan tentara dan polisi di berbagai wilayah (jemaat-jemaat) dengan alasan mengantisipasi penaikan bendera RMS. Untuk kasus ini, GPM belum memberikan pernyataan tegas mengenai advokasi berdasarkan sikap politisnya terhadap persoalan itu sebagai sebentuk posisi tawar dengan kekuatan negara (militer dan polisi). Masih banyak persoalan-persoalan lain seperti posisi jemaat-jemaat berhadapan dengan monster-monster kapitalisme yang makin kuat menancapkan kukunya di pulau-pulau Maluku. Bahkan beberapa kasus jelas menggilas kehidupan masyarakat lokal di Maluku.
Sebagai gereja, GPM tentu tidak bisa mengharapkan banyak bahwa semua persoalan tersebut bisa diselesaikan oleh pemimpin gereja yang piawai memainkan retorika politik atau memiliki kedekatan dengan unsur-unsur pemerintah. Jika paradigma menggereja hanya terpaku pada pencarian figur pemimpin semacam itu maka sebenarnya proses menggereja GPM sedang mengarah pada kultus individu dan mengabaikan kekuatan kolektif yang mestinya terbangun sebagai paradigma gereja, bukan paradigma personal sang pemimpin. Dengan mengatakan hal itu, maka orientasi persidangan gerejawi pada semua aras tidak terkuras habis hanya pada perbincangan basa-basi mengenai siapa yang layak menjadi ketua sinode. Tetapi lebih terarah pada penguatan visi menggereja yang meluas dan menyentuh ranah politik melalui penelusuran sistematis yang bermuara pada terbangunnya wawasan dan sikap politik gereja. Dengan kata lain, seluruh energi menggereja jelas terarah pada upaya mengonstruksi teologi politik yang bernas. Tak peduli siapa yang jadi pemimpin di gereja ini (kendati itu juga penting, tapi bukan yang nomor satu), tetapi teologi politik itu menjadi roh dan semangat untuk menjadi gereja yang berpihak. Karena GPM tidak bisa bersikap netral. Sekarang tergantung ke mana arah keberpihakannya: penguatan civil society atau ketergantungan pada pemerintah.
No comments:
Post a Comment