Kesibukan rutin menyita sebagian besar waktu sehingga hampir-hampir tak tersisa jeda untuk melakukan refleksi dan menuangkannya di ruang ini. Aktivitas berjalan seakan tak membiarkan sedikitpun kesempatan menarik nafas dan memuntahkan ide-ide yang berkeliaran liar di benak saya. Begitulah. Mengeluh pun tidak banyak gunanya selain mengikuti saja alunan irama rutin kehidupan dan menikmatinya sebagai proses mematangkan sejumlah ide.
Ada ide untuk mengisi bulan April yang sudah menanti di ambang pintu dengan beberapa refleksi mengenai simbol-simbol budaya yang mengakrabi kehidupan orang-orang Maluku sehari-hari. Tiba-tiba saja ide ini menyeruak ketika sedang melamun di halaman kampus UKIM sembari mengamati tingkah polah para pengejar ilmu di kampus talake ini. Sengaja saya segera menorehkannya di sini untuk terus mengingatkan ada agenda yang harus diselesaikan di sela-sela kepadatan rutinitas yang kerap menjebak ide dalam kemacetan lalu lintas pengalaman sehari-hari.
Kenapa harus April?
Pertanyaan yang saya sendiri tak yakin dengan jawaban saya sendiri. Hanya selintas asumsi bahwa menjelang bulan April ada semacam intensitas peningkatan aktivitas "pengamanan" yang tak lazim. Hari ini saja, dalam perjalanan menuju ke talake, ada sepasukan tentara yang "show-force" dengan perlengkapan perang komplit. Seolah-olah bulan April adalah bulan ancaman yang mesti direspons secara reaktif. Mungkin saja saya salah. Atau itu hanya anggapan yang terlampau berlebihan. Mungkin.
Tetapi rasanya juga bisa diterima jika bulan April dalam perspektif tentara di Maluku akan condong pada kegelisahan (atau ancaman?) terutama menjelang tanggal 25 April. Rupanya tanggal ini telah menjadi tanggal sakral sehingga aparat keamanan selalu bergegas menyiapkan ritual-ritual militer untuk menghadapi tanggal tersebut. Saya pribadi merasa aneh. Stigmatisasi orang Maluku sebagai pengikut ideologi dan/atau gerakan RMS tampaknya memang sudah tertanam kuat dalam cara pandang kaum militer di Indonesia. Sehingga seluruh proses menolak rasionalisasi "RMS masih ada" seakan-akan selalu membentur tembok tebal indoktrinasi militer di Indonesia. Maka tak mengherankan bahwa seluruh partipasi dan kontribusi orang Maluku terhadap proses menjadi Indonesia nyaris tenggelam tak bermakna.
Saya tak berpretensi melakukan analisis politik di sini. Yang menjejali benak saya justru adalah kegelisahan untuk melihat sebenarnya apa [lagi] yang bisa disumbangkan oleh orang Maluku sehingga keindonesiaan menjadi sebuah pergulatan bersama dengan komunitas lokal di wilayah-wilayah lain dari Merauke sampai di Sabang. Saya rasa itulah yang bisa dilakukan (setidaknya oleh saya sendiri).
Read more ...
Ada ide untuk mengisi bulan April yang sudah menanti di ambang pintu dengan beberapa refleksi mengenai simbol-simbol budaya yang mengakrabi kehidupan orang-orang Maluku sehari-hari. Tiba-tiba saja ide ini menyeruak ketika sedang melamun di halaman kampus UKIM sembari mengamati tingkah polah para pengejar ilmu di kampus talake ini. Sengaja saya segera menorehkannya di sini untuk terus mengingatkan ada agenda yang harus diselesaikan di sela-sela kepadatan rutinitas yang kerap menjebak ide dalam kemacetan lalu lintas pengalaman sehari-hari.
Kenapa harus April?
Pertanyaan yang saya sendiri tak yakin dengan jawaban saya sendiri. Hanya selintas asumsi bahwa menjelang bulan April ada semacam intensitas peningkatan aktivitas "pengamanan" yang tak lazim. Hari ini saja, dalam perjalanan menuju ke talake, ada sepasukan tentara yang "show-force" dengan perlengkapan perang komplit. Seolah-olah bulan April adalah bulan ancaman yang mesti direspons secara reaktif. Mungkin saja saya salah. Atau itu hanya anggapan yang terlampau berlebihan. Mungkin.
Tetapi rasanya juga bisa diterima jika bulan April dalam perspektif tentara di Maluku akan condong pada kegelisahan (atau ancaman?) terutama menjelang tanggal 25 April. Rupanya tanggal ini telah menjadi tanggal sakral sehingga aparat keamanan selalu bergegas menyiapkan ritual-ritual militer untuk menghadapi tanggal tersebut. Saya pribadi merasa aneh. Stigmatisasi orang Maluku sebagai pengikut ideologi dan/atau gerakan RMS tampaknya memang sudah tertanam kuat dalam cara pandang kaum militer di Indonesia. Sehingga seluruh proses menolak rasionalisasi "RMS masih ada" seakan-akan selalu membentur tembok tebal indoktrinasi militer di Indonesia. Maka tak mengherankan bahwa seluruh partipasi dan kontribusi orang Maluku terhadap proses menjadi Indonesia nyaris tenggelam tak bermakna.
Saya tak berpretensi melakukan analisis politik di sini. Yang menjejali benak saya justru adalah kegelisahan untuk melihat sebenarnya apa [lagi] yang bisa disumbangkan oleh orang Maluku sehingga keindonesiaan menjadi sebuah pergulatan bersama dengan komunitas lokal di wilayah-wilayah lain dari Merauke sampai di Sabang. Saya rasa itulah yang bisa dilakukan (setidaknya oleh saya sendiri).