Gereja pada hakikatnya memiliki dua pengertian. Pertama, sebagai persekutuan orang beriman yang menjalani aktivitas hidupnya di atas landasan tradisi iman dan keyakinan personal kepada Tuhan. Kedua, sebagai suatu organisasi yang mencoba menerjemahkan keyakinan personal itu melalui pelayanan-pelayanan sosial kemanusiaan. Kedua pengertian melekat pada identitas gereja ibarat dua sisi dari sekeping koin.
Dalam pengertian itu gereja menampakkan wujudnya secara teologis sekaligus sosiologis. Ekspresi imannya tertuju pada pembentukan spiritualitas yang diresapi dan dihayati sebagai perwujudan relasi dengan Tuhan, yang turut membentuk cara berpikir dan gaya hidupnya di atas landasan nilai-nilai positif dan ideal. Sekaligus pula apa yang teologis itu hanya bisa tampak melalui tindakan-tindakan sosial (relasi dengan manusia) dan ekologis (relasi dengan lingkungan hidup). Dengan demikian, gereja hanya bisa berfungsi ketika yang teologis itu terwujudkan dalam institusi-institusi dan tindakan-tindakan sosial. Tanpa itu gereja tidak bisa disebut gereja, tetapi hanya sebuah institusi sosial biasa.
Analisis sosial (ansos) adalah sebuah metode dan instrumen yang membantu gereja makin memahami identitasnya dan tanggung jawabnya di tengah kecamuk masalah-masalah sosial sekitarannya. Melalui ansos gereja berupaya memetakan realitas sosialnya yang dirasakan memengaruhi pemahaman imannya (positif dan negatif), dan melanjutkannya pada penyusunan rencana strategis untuk mengantisipasi dan mengatasi masalah-masalah tersebut. Rencana strategis pelayanan gereja berhadapan dengan kompleksitas masalah-masalah sosial sekitarannya itu pada hakikatnya merupakan bagian dari cara gereja menghayati imannya secara praksis. Dalam arti itu, iman gereja menjadi iman praksis, bukan sekadar iman ritualistik. Dengannya pula spiritualitas gereja terbangun secara kreatif dan dinamis di dalam ruang-ruang publik sehingga gereja menjadi bagian dari pergumulan masalah publik.
Melalui ansos gereja mencoba untuk pertama-tama mengenali masalah. Yang dimaksud masalah di sini adalah masalah-masalah sosial yang memengaruhi dan menentukan arah pengembangan pelayanan gereja secara kontekstual. Gereja berkepentingan menggunakan ansos dalam rangka menentukan tindakan-tindakan pastoralnya terhadap situasi problematik internal yang memiliki pertautan dengan dinamika sosial-budaya-ekonomi masyarakat.
Ada empat momen pengalaman dalam ansos: [1] momen pemetaan masalah; [2] momen analisis sosial; [3] momen refleksi teologis; [4] momen perencanaan pastoral. Uraian mengenai empat momen pengalaman ini telah diulas panjang lebar dalam banyak tulisan dan buku. Salah satu buku yang bisa dijadikan rujukan adalah karya Joe Holland, Analisis Sosial dan Reflesi Teologis (terbitan Kanisius Yogyakarta). Saya tidak akan mengulangnya dalam ruang terbatas ini.
Setidaknya dengan menyebutkan empat momen pengalaman dalam ansos itu kita menemukan bahwa “refleksi teologis” dan “perencanaan pastoral” tidak semata-mata dibangun di atas imajinasi religius berdasarkan tafsir kitab suci (Alkitab). Jika hanya sebatas itu maka teologi hanya menjadi sebuah wacana tanpa ruang dan waktu. Sementara yang ingin dicapai melalui ansos adalah teologi kehidupan, yang memiliki ruang dan waktu, merembes dalam setiap geliat kehidupan konkret manusia dalam masyarakat dan situasi hidupnya. Dengan jalan itu gereja merencanakan tindakan pastoral (pastor = gembala) dalam arti bahwa tiap langkah gereja adalah langkah yang membawa jemaat dan masyarakat merumuskan masalahnya dan menentukan apa yang menjadi kebutuhannya sebagai proses pemberdayaan diri menjadi gereja yang hidup dan manusiawi.
Ansos hanyalah instrumen. Yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kita menggunakan instrumen tersebut dengan tepat seturut dengan visi dan misi menggereja itu sendiri. Ansos bukan segala-galanya, karena yang terlebih utama adalah cara ansos itu memperkuat gereja mencapai tujuan-tujuan menggerejanya secara konkret bersama-sama dengan semua pihak. Jika demikian, ansos juga menjadi acuan bahwa menggereja adalah sebuah proses yang terus bergerak seiring gerak perubahan zaman dan masyarakat. Zaman berubah, masalah pun makin kompleks, dan karenanya perencanaan pastoral pun mesti menggeliat secara kontekstual. Itulah spiritualitas Kristen sejati.