Banyak pengalaman menarik dan menantang selama kurang lebih 2 minggu terlibat dalam program sosialisasi PIP/RIPP GPM di jemaat-jemaat se-Klasis Pulau Ambon. Selain mendengar langsung berbagai gumulan jemaat dalam diskusi-diskusi, tetapi juga beta mendapat pengalaman berharga untuk melihat keberadaan jemaat-jemaat secara langsung melalui pengamatan pribadi.
Percakapan langsung dengan jemaat-jemaat yang memiliki tingkat pemahaman yang variatif memberikan tantangan tersendiri mengenai metode menyampaikan muatan PIP/RIPP secara lebih gamblang dan sederhana. Ternyata itu tidak mudah. Apalagi selama ini beta pung aktivitas lebih banyak berkaitan dengan proses pembelajaran di kampus yang memiliki audiensi lebih homogen (mahasiswa). Tetapi toh dalam proses itu beta belajar banyak dari jemaat-jemaat terutama dalam upaya memasuki alam pikir mereka cukup kompleks. Kompleksitas pemikiran jemaat-jemaat terutama - menurut beta - sangat kuat dibingkai oleh interpenetrasi pengetahuan sehari-hari dan refleksi iman sehari-hari dalam ruang-ruang kehidupan mereka (pekerjaan, keluarga, pelayanan, pendidikan, dll). Itulah yang menyebabkan perlu energi ekstra untuk memasuki ranah realitas maupun diskursus kejemaatan. Tentu saja jika ingin tetap konsisten pada pendekatan yang partisipatif, bukan otoritatif.
Akan lebih mudah memang menerapkan pendekatan otoritatif ketimbang partisipatif. Pendekatan partisipatif itu sangat melelahkan dan menguras energi. Sementara pendekatan otoritatif lebih dirasakan mudah dan tidak merepotkan karena lebih berdaya "fatwaisme": ini boleh itu tidak boleh! Justru di situlah perjalanan menyinggahi jemaat-jemaat se-Klasis Pulau Ambon ini makin menarik untuk dicermati.
Kenapa pendekatan partisipatif dan otoritatif perlu disentil di sini? Sebab ternyata bahwa karakteristik jemaat-jemaat (Klasis Pulau Ambon) makin menampakkan karakteristik transisional. Tidak bisa lagi dipetakan secara rigid sebagai jemaat pedesaan dan/atau jemaat perkotaan. Dinamika sosial jemaat juga sangat kuat dipengaruhi intensitas perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat. Ini membuat tingkat persoalan jemaat makin rumit dan tentu saja tidak bisa disederhanakan dalam sebuah pemahaman umum belaka. Seorang penatua di salah satu jemaat bertanya, "Bapa pandita, apakah seng ada isu laeng yg diungkap dan dianalisis dalam khotbah2 minggu selain soal narkoba, selingkuh, dan cerai? Memang betul masalah-masalah itu ada tapi kenapa pendeta-pendeta cuma ulang paleu deng akang padahal ada masalah laeng yg dihadapi jemaat yang perlu juga direfleksikan melalui mimbar?"
Sebuah pertanyaan sederhana tapi cukup menyentak, yang membuat beta juga bertanya: Apakah memang tingkat penguasaan kita para pendeta terhadap pemetaan masalah kejemaatan hanya sejauh yg diungkapkan oleh sang penatua itu? Atau, perlukah kita membeberkan semua masalah dalam khotbah berdurasi 15 menit? Atau, apakah memang sudah diperlukan sebuah proses "pendidikan teologi jemaat" (PTJ) yang dirancang secara sistematis sehingga menjadi salah satu mekanisme pembelajaran bagi seluruh perangkat pelayan GPM dalam mencermati dan memahami peta pelayanan secara lebih utuh?
Sorry, coretan ringkas ini harus berakhir dengan pertanyaan...
No comments:
Post a Comment