Saya bukan pegawai negeri sipil. Saya bukan pegawai pemda Maluku, bukan pula pejabat pada salah satu instansi pemerintahan di daerah ini. Saya bukan perancang pembangunan yang fasih mempresentasikan konsep-konsep pembangunan dan seabreg teori-teori pembangunan. Saya juga bukan anggota parpol yang dipercaya untuk duduk mewakili konstituen di kursi empuk kantor dan ruang sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Maluku. Saya bukan pengamat korupsi (karena saya juga tidak tahu apa definisi korupsi dan tidak tahu apa yang mau dikorupsi). Saya bukan pengamat politik dan hukum yang pandai bersilat lidah menyebut pasal-pasal KUHP dan menafsirnya dengan tepat.
Saya bukan apa-apa. Tapi saya merasa apa-apa. "Apa-apa" saya bukan karena jabatan atau status yang melekat pada diri saya. "Apa-apa" saya hanyalah ditentukan oleh kartu kecil yang disebut KTP (kartu tanda penduduk). Artinya, cuma status saya sebagai warga negaralah yang membuat saya merasa "apa-apa" terhadap apa-apa yang terjadi di negara ini - minimal yang terjadi di daerah tempat saya tinggal.
Tulisan ini juga bukan kajian teoretik ala para profesor kampus-kampus ngetop. Juga bukan bahan presentasi untuk seminar-seminar pembangunan. Sayangnya juga bukan materi kuliah (meskipun kerjaan saya memberi kuliah). Tulisan ini bukan apa-apa. Tapi tulisan ini mengandung "apa-apa". "Apa-apa" tulisan ini tidak terkait dengan jabatan atau status saya. "Apa-apa" tulisan ini lebih terkait dengan identitas saya sebagaimana - minimal - tercantum pada KTP saya. Namun "apa-apa" tulisan ini punya relasi kuat dengan cara saya memaknai identitas saya.
Jadi, apakah "apa-apa" itu dalam tulisan ini? Ini sedikit catatannya.
Ini bermula dari percakapan dengan rekan Pdt. Abraham Beresaby tentang jembatan merah-putih yang akan dibangun menjembatani teluk Ambon antara Poka-Galala. Rekan saya ini adalah ketua klasis GPM di kepulauan Babar. Masyarakat di sana lebih banyak merasakan pahitnya masalah transportasi yang tak kunjung dibenahi hingga menjelang Republik Indonesia merayakan hari kemerdekaannya yang ke-66 (17 Agustus 2011) nanti. Transportasi rakyat yang tersedia hanyalah kapal-kapal perintis, yang kondisinya pun tak bisa dibilang layak. Tapi mau apa lagi? Cuma itu yang tersedia.
Percakapan itu melebar hingga ke kondisi ratusan jembatan di beberapa wilayah pulau-pulau besar (Seram, Buru, Yamdena, dll) yang sebenarnya belum bisa disebut jembatan, karena belum berfungsi untuk menjembatani apa yang harusnya dijembatani. Ada yang setengah jadi. Ada yang masih berupa pilar-pilar. Ada yang sudah jadi tapi rusak parah diterjang luapan air sungai. Saya sendiri mengalami bahwa untuk melintasi kawasan-kawasan yang tak berjembatan itu harus dengan perjuangan keras. Malah, beberapa teman punya pengalaman diseret air sungai. Tapi, lagi-lagi, mau apa lagi? Itulah yang mesti dijalani untuk bisa bertahan hidup dengan seluruh aktivitas rakyat.
Dua cerita itu tentu saja masih bisa disambung-sambung menjadi cerita berseri tentang kondisi kepulauan kita di Maluku, juga cerita bersambung tentang penanganan pembangunan di Maluku. Cerita besar kita kemudian adalah tentang pembangunan jembatan merah-putih. Jembatan yang sebenarnya tidak dibutuhkan karena memang sudah tersedia "jembatan" lain untuk menjembatani Poka-Galala (ada jasa perahu rakyat, ada feri, bisa juga jalan putar). Artinya, kita tak terlalu membutuhkannya dalam konteks pembangunan kawasan kepulauan Maluku.
Tapi soal yang lebih "seksi" di balik cerita itu adalah besaran dana APBN yang akan digelontorkan HANYA untuk pembangunan 1 jembatan ini, yaitu 650 miliar (lihat kompas online). Luar biasa! Sementara yang sempat saya dengar pembangunan jembatan sepanjang 20 m di desa Aboru masyarakat hanya mendapat 7 juta, sisanya masyarakat cari sendiri. Tentu beda ukuran, beda pula nominal dananya. Itu wajar menurut hitung-hitungan ekonomi. Namun, pembangunan tak bisa hanya ditentukan oleh otak-atik angka ekonomis. Ada prinsip pembangunan yang mesti pula diperhatikan dan diperhitungkan, yaitu signifikansi pembangunan itu bagi kesejahteraan masyarakat pengguna hasilnya.
Kalau bicara signifikansi, maka yang mesti dicermati dengan sungguh-sungguh adalah NILAI pembangunan itu bagi perubahan yang menghidupkan aktivitas masyarakat memenuhi kebutuhan dasar mereka. Dan untuk itu aspek-aspek budaya, kesejahteraan sosial, ekualitas, fungsional, dan akseptabilitas masyarakat sangat perlu dijadikan acuan. Itu jika orientasinya adalah penguatan kapasitas sosial yang didukung sarana/prasarana publik yang memadai; bukan sekadar untuk prestise yang jadi kebanggaan semu.
Sudahkah seluruh aspirasi masyarakat pengguna hasil diperhitungkan sebelum merancangnya? Karena saya yang ber-KTP Maluku tidak pernah melihat atau mendengar bahwa sudah pernah dilakukan studi kelayakan mengenai signifikansi jembatan itu. Kalau pun sudah, sudah studi kelayakan itu dilanjutkan dengan alternatif alokasi anggaran untuk akar masalah yang dirumuskan itu? Saya yang ber-KTP Maluku belum pernah (ini subjektif) mendengar apa yang menjadi akar masalah sosial-ekonomi-budaya hingga kita merasa membutuhkan jembatan itu. Kalau pun sudah, apakah memang jembatan itu adalah solusinya? Solusi menurut siapa? Perancang konsepnya atau harapan pengguna hasilnya?
Mungkin sampai di situ dulu "apa-apa" yang bisa saya bagi. Syukurlah, kalau bagi anda itu bukan "apa-apa". Tapi lebih baik di"apa-apa"kan sejak sekarang daripada nanti. Sebab kalau sudah terlambat kita tidak bisa bikin apa-apa lagi.