Para sahabat muslimin dan muslimah tengah menjalani ibadah puasa. Selama 1 bulan, setiap hari, mereka berusaha untuk mengendalikan keinginan menikmati makanan dan minuman dalam berbagai kondisi yang mereka hadapi. Dan karena kondisi yang dihadapi berbeda-beda, keinginan untuk makan dan minum itu juga bisa menggoda hasrat yang lain, misalnya: merokok atau marah-marah. Bisa juga merembet ke hasrat-hasrat yang lain, yang dipandang dapat membatalkan kemurnian puasa sebagai ibadah itu sendiri. Itulah yang kerap digemakan sebagai berpuasa menahan hawa nafsu.
Jadi, dorongan hawa nafsu itu pertama-tama dan utama mesti dikendalikan dari keinginan makan dan minum. Rupanya hasrat makan dan minum itu merupakan hasrat mendasar dalam diri manusia. Dari hasrat untuk makan dan minum itu bisa muncul hasrat-hasrat yang lain. Misalnya, hasrat untuk bekerja demi mendapatkan uang yang bisa dipakai membeli makan dan minum agar tidak [ke]lapar[an]. Tetapi matarantai itu bisa juga dimulai dari hasrat mendapatkan uang dan/atau hasrat untuk membeli apa saja selain makan dan minum. Intinya [mungkin] adalah tetap tidak [ke]lapar[an].
Menariknya, istilah “lapar” dalam diskursus kebahasaan telah meluas dan melebar maknanya. Lapar semula sangat berkaitan dengan aktivitas lambung mencerna makanan/minuman yang dilahap manusia. Namun istilah “lapar” kini juga bisa bermakna hasrat tak terbendung untuk melahap [si]apa saja demi kepuasan si pelahap. Jadi dari makna denotatif istilah itu kini mendapat pembobotan konotatif. Dari soal kebutuhan, “lapar” sekarang lebih menjadi soal “keinginan” atau “hasrat”. Kalau lapar sebagai kebutuhan tentu orang akan makan/minum sesuai kebutuhannya, minimal sesuai ukuran lambungnya. Kalau sudah kenyang pasti dia akan berhenti makan/minum. Artinya, kebutuhannya sudah terpenuhi.
Tapi kalau “lapar” yang bermakna “hasrat” tampaknya susah untuk ditentukan batas kebutuhannya. Sebab yang namanya hasrat itu hampir selalu adalah sesuatu yang tanpa batas. Atau katakanlah, sampai pada batas tertentu akan melahirkan hasrat[-hasrat] yang lain, dan begitu seterusnya, dan seterusnya, sehingga akhirnya juga adalah hasrat tanpa batas.
Maka tak mengherankan bahwa dalam narasi Yesus dicobai di padang gurun, mata ujian pertama dari si iblis adalah soal “makan dan minum”. Rupanya dari situlah cikal bakal lahirnya hasrat-hasrat lainnya, sampai pada hasrat berkuasa tanpa batas. Sampai di situ kata banyak orang, pertanyaannya biasanya adalah “hari ini mau makan siapa?”; bukan lagi “hari ini mau makan apa?”. Sederhananya, soal perut memang soal vital. Urusan perut jualah yang bisa membuat orang mata gelap dan membunuh orang lain, bahkan ayah/ibu/saudara kandungnya sendiri. Urusan perut adalah urusan hidup dan mati, karena itu orang rela melakukan apa saja demi urusan perutnya. Lihat saja, bagaimana kesaksian orang-orang yang menjalani hidup sebagai penjual jasa seks (laki-laki dan perempuan), atau para sarjana yang frustrasi tidak mendapatkan pekerjaan lantas tenggelam dalam bisnis kriminal (gigolo, narkoba), dan masih banyak yang lainnya. Hampir semua beralasan karena desakan ekonomi (uang), yang ujung-ujungnya adalah urusan perut.
Saya adalah penganut kekristenan (protestantisme) yang secara tradisi tidak menjalankan ibadah puasa seperti yang dilakukan oleh saudara-saudara saya yang beragama Islam. Namun, demikian saya membaca bahwa Yesus Kristus, sebagai penganut tradisi Yahudi, menjalani proses berpuasa. Proses berpuasa Yesus dilalui dalam tiga tahapan: [1] mengendalikan hasrat makan dan minum dalam kondisi lapar; [2] mengendalikan hasrat pemberhalaan diri karena rakus kekuasaan; [3] mengendalikan hasrat untuk menyalahgunakan kekuasaan dalam dirinya untuk kepuasan diri sendiri.
Dari bacaan sederhana terhadap cerita Yesus tersebut, saya menyadari bahwa jika puasa dipahami sebagai “ibadah” maka pada hakikatnya puasa itu tidak lagi menjadi soal jasmaniah belaka. Tindakan puasa telah menjadi suatu pemaknaan eksistensial akan keberadaan manusia di tengah-tengah situasi hidupnya. Pemaknaan itu bersifat eksistensial karena telah melampaui makna jasmaniahnya sedemikian rupa sehingga mencapai tahap transendensi hingga ke ranah “teologis”. Jika puasa diibadahkan maka puasa telah diboboti oleh kekuatan relasi-relasi antara manusia-dengan-manusia dan manusia-dengan-Sang Tuhan.
Dengan demikian, soal ibadah puasa – menurut saya yang penganut protestantisme – adalah soal iman yang relasional. Kekuatan iman sebagai pelampauan hasrat jasmaniah yang terdeterminasi dengan sangat kuat oleh situasi kehidupan manusiawi, pada gilirannya memperkuat relasi-relasi sosial dan relasi-relasi transendental yang mengarah pada keseimbangan antara “kebutuhan” dan “keinginan” (hasrat). Keseimbangan ini yang sulit sekali dipertahankan di tengah-tengah dorongan hedonisme dan konsumerisme yang kian menggila memperbudak eksistensi kemanusiaan kita. Kawan jadi lawan; saudara jadi pencari gara-gara; kerabat jadi laknat. Seperti banyak adegan-adegan yang beberapa waktu belakangan ini kita tonton di media cetak dan media elektronik. Sementara di sisi lain kehidupan glamor dan gelimang harta trilyunan rupiah – yang katanya dibagi-bagi sebagai proses wajar dalam dunia politik – rakyat mengais sampah dan terbenam dalam lumpur kemiskinan; saling berlomba menaikkan harga dagangan; mengomersialisasikan pesan-pesan keagamaan demi kepuasan kuasa yang tamak.
Sampai di situ, ibadah puasa membawa kita pada perenungan lebih dalam apakah ini hanya sekadar menahan lapar atau bertahan dalam [ke]lapar[an]? Siapakah yang [di]lapar[kan]? Pada titik itu pula, saya sebagai penganut protestantisme mengaku bahwa saya belum siap untuk beribadah puasa. Sebab sebagai ibadah, tindakan puasa adalah tindakan seumur hidup karena menyangkut masalah hidup sendiri dan hidup orang lain.
No comments:
Post a Comment