Di tengah berbagai kontestasi kekerasan
massal yang mengeras dalam kemasan “perbedaan agama” dan kasus-kasus pembiaran aksi-aksi
sepihak pelarangan aktivitas beribadah dan penutupan/penyegelan tempat[-tempat]
ibadah penganut agama tertentu, sejumlah pemerhati dan aktivis perdamaian dan
kebebasan beragama berkumpul untuk membincangkan masalah-masalah tersebut dalam
format konferensi nasional yang digelar oleh Institut Dialog Antariman (DIAN) atau
Interfidei Yogyakarta. Rangkaian acara workshop dan konferensi ini
diselenggarakan sebagai bagian dari evaluasi 20 tahun Interfidei bergelut
dengan masalah-masalah hubungan antariman di Indonesia. Sikap yang bermunculan
pun beraneka ragam. Ada yang pesimis, ada yang optimis. Bahkan ada yang nyaris “frustrasi”,
kendati tak sedikit yang tetap menaruh harap besar akan transformasi hubungan
antariman di Indonesia pada masa depan.
Sikap pesimis mencuat karena setelah berkiprah selama 20 tahun bersama-sama dengan seluruh jejaring yang dibangunnya, kegairahan komunikasi antariman seolah-olah tetap membentur “benteng kokoh” sektarianisme agama-agama. Aksi-aksi kekerasan dengan manipulasi slogan-slogan dan simbol-simbol agama kian mengeras dan seolah tak tersentuh oleh tangan-tangan hukum yang menjadi kewajiban negara (pemerintah) sebagaimana amanat konstitusi republik ini. Wajah negeri ini kian carut-marut dengan apa yang oleh Mark Juergensmeyer dalam Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence disebut sebagai “cosmic war” (hlm. 145-163). Jangankan merayakan, menerima perbedaan saja sudah menjadi sesuatu yang haram.
Sikap pesimis mencuat karena setelah berkiprah selama 20 tahun bersama-sama dengan seluruh jejaring yang dibangunnya, kegairahan komunikasi antariman seolah-olah tetap membentur “benteng kokoh” sektarianisme agama-agama. Aksi-aksi kekerasan dengan manipulasi slogan-slogan dan simbol-simbol agama kian mengeras dan seolah tak tersentuh oleh tangan-tangan hukum yang menjadi kewajiban negara (pemerintah) sebagaimana amanat konstitusi republik ini. Wajah negeri ini kian carut-marut dengan apa yang oleh Mark Juergensmeyer dalam Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence disebut sebagai “cosmic war” (hlm. 145-163). Jangankan merayakan, menerima perbedaan saja sudah menjadi sesuatu yang haram.
Namun demikian, di tengah gemuruh kekerasan
dan pertarungan kekuasaan yang menyeret agama-agama untuk turut bermain api di
dalamnya, ada sejumlah lain optimisme bahwa dinamika yang telah terbangun
selama ini akan membuahkan hasil positif kendati prosesnya mesti terus dikawal
dengan konsistensi dan komitmen sejati. Resistensi terus dibangun dengan tetap
menuturkan narasi-narasi perdamaian terhadap tendensi mengkooptasi kesadaran
publik dengan narasi-narasi “kegilaan massa”, “pembiaran negara”, “pelecehan
konstitusi negara”, “separatisme”, “pembisuan suara-suara marjinal”, dan
lain-lain. Pelan dan melelahkan, tetapi tetap dilakukan kendati dengan energi
yang kian terengah-engah.
Dialog Antariman: Menyerap Sumber-sumber
Energi Baru
Perhelatan 20 tahun Interfidei Yogyakarta
diartikulasikan dalam bentuk-bentuk evaluasi kritis, kritik-diri, dan
penyibakan orientasi masa depan dialog antariman di Indonesia. Empat sesi panel
diskusi yang digelar secara berurutan seakan-akan hendak meringkas 20 tahun
perjalanan Interfidei sebagai narasi bersama yang masih penuh dengan
lubang-lubang tutur yang perlu ditinjau dan dilengkapi dari waktu ke waktu.
Seluruh narasi itu pun mesti dilihat sebagai
sebentuk kegalauan ketika ternyata desain epitemologis dan teologis antariman
itu kerap dibenturkan dengan narasi besar negara-teater. Alur narasi dialog
antariman tak jarang terinterupsi oleh sisipan-sisipan fakta kekerasan yang
tampaknya makin membelit-mengusut susah diurai. Sisipan-sisipan itu begitu
mengganjal narasi dialog antariman ketika aktor-aktor yang melenggang di pentas
realitas adalah representasi kekuatan-kekuatan negara yang makin bebal
menyikapi karakter keindonesiaan yang serba-majemuk ini.
Seberapa jauh gerakan dialog antariman tetap
konsisten untuk terus berkutat menghadapi gempuran-gempuran aktor negara ini?
Atau, masihkah tersisa energi untuk terus menantang negara sambil terus menari
mengikuti ritme dinamika yang dideterminasi oleh negara itu sendiri? Ataukah
mesti diperhitungkan dengan cermat terobosan alternatif yang melaluinya gerakan
dialog antariman menentukan sendiri ritmenya dengan penyasaran domain-domain
lokalitas yang kerap tak tersentuh negara? Sosok sekaliber Prof. Syafii Ma’arif
pun pada akhirnya berujar, “Kalau seperti ini, saya rasa lama sekali. Kita
perlu pendekatan yang strategis dan cepat.”
Nyaris berada di titik kritis “frustrasi” ternyata muncul pendekatan-pendekatan yang lebih membumi. Pendekatan-pendekatan dialog antariman yang dilakukan oleh beberapa sahabat seolah menjungkirbalikkan pakem-pakem dialog antariman yang kerap dicurigai hanya menjadi kegenitan elitis yang terlena dalam diskusi-diskusi “sejuk” di hotel-hotel mewah. Farcha Ciciek, misalnya, menggagas pendekatan dialog antariman yang dimulai dengan menghidupkan kembali dunia bermain anak-anak dalam kemeriahan tradisi-tradisi lokal sebagai salah satu gerakan menancapkan kesadaran akan kekayaan identitas yang mesti dirangkul, bukan dimusuhi atau diberangus demi sebuah “kebenaran” yang pongah.
Ciciek mendasarkan seluruh pendekatannya
pada hasil penelitiannya di sekolah-sekolah umum yang makin menampakkan wajah
sektarianistik. Indoktrinasi-indoktrinasi religius pada kenyataannya kian
mempertegas garis-garis demarkasi identitas agama dan gender. Dan itu semua
berlaku di sekolah-sekolah umum. Ciciek, misalnya, menemukan bahwa siswi-siswi
pada beberapa SMU dilarang mengikuti festival seni suara berdasarkan “ajaran”
bahwa suara perempuan adalah aurat, sehingga tidak boleh diperdengarkan secara
publik. Ini yang olehnya dilihat sebagai “pembiusan perempuan oleh agama”.
Padahal hakikat agama adalah pembebasan manusia dari segala bentuk anasir
dehumanisasi.
Demikian pula pendekatan “story-telling”
yang digunakan sebagai strategi meredam gempuran isu-isu provokatif ternyata
menjadi salah satu modal sosial masyarakat lokal di Ambon untuk tetap mengurung
potensi merebaknya kericuhan pada 12 September 2011 lalu. Seluruh ruang media
dieksplorasi untuk menghadirkan narasi-narasi perdamaian yang sangat manusiawi
ke ranah-ranah publik. Narasi-narasi perdamaian dalam diskursus masyarakat
lokal itu sering tenggelam ditelan gelombang pemberitaan media massa yang lebih
memilih angle “konflik” daripada
perdamaian. Konstruksi “konflik” pun kian terinternalisasi dan menaklukkan
kesadaran bahwa orang sudah jenuh dengan pertikaian yang hanya berujung pada “lose-lose solution”. Seluruh energi
sosial terkuras habis dalam konstruksi kebencian yang tampaknya dilanggengkan
dengan berbagai pembiaran oleh negara.
Menyibak Kabut Masa Depan Dialog Antariman
Dengan seluruh eksperimentasi yang
didasarkan pada pengalaman-pengalaman riel tersebut, maka refleksi 20 tahun
Interfidei ini juga menyibak kabut kegelisahan untuk menerawang masa depan
dialog antariman di Indonesia. Harapan besar untuk makin mematangkan kesadaran
dan praksis dialog antariman hingga ke tingkat basis atau akar-rumput
terbentang luas justru dengan melihat dari “kecerdasan lokal” masyarakat basis
dalam mengelola perbedaan identitas yang inheren dalam realitas sosial hidup
mereka sehari-hari.
Stigma “rakyat bodoh dan perlu diajar”
sebenarnya telah didekonstruksi oleh kearifan-kearifan lokal masyarakat itu
sendiri. Maka tugas para pembelajar dan aktivis perdamaian dan dialog antariman
kemudian tidak lagi “menggurui” dan “melatih” melainkan bersama-sama mereka
menemukan modal-modal sosial itu di dalam kehidupan masyarakat itu sendiri;
mengelolanya sebagai akumulasi energi positif untuk makin menghargai kehidupan
dengan cara menghargai keberlainan (otherness).
Kedewasaan terbentuk bukan melalui ruang-ruang pelatihan yang menjenuhkan,
tetapi justru pada ruang-ruang sosial yang mempertemukan mereka dalam konteks
kemanusiaan riel yang saling membutuhkan keberlainan itu. Semoga dengannya
agama-agama tidak hanya tersumbat menjadi “presentasi” dalam seminar-seminar
atau konferensi-konferensi belaka, tetapi mengalir sebagai “re-presentasi”
modal-modal sosial yang diawetkan dalam struktur kematangan masyarakat basis.
No comments:
Post a Comment