Beberapa minggu lampau perhatian kita nyaris seluruhnya tersedot oleh peristiwa SEA GAMES ke-26 tahun 2011. Tentu yang paling diminati adalah laga tim sepakbola Garuda Muda yang berhasil terbang hingga ke puncak final menghadapi tim Malaysia. Ini gejala menarik. Umumnya yang diminati publik adalah sesuatu yang membanggakan dan dianggap sebagai andalan. Karena itu dukungan yang diberikan total. Tetapi untuk kasus sepakbola Indonesia justru terbalik. Tim sepakbola nasional (dengan macam-macam namanya) sudah lebih dari dua dekade tidak pernah menunjukkan prestasi gemilang. Dari satu pelatih ke pelatih lain, mulai dari pelatih dalam negeri, luar negeri, dan balik dalam negeri lagi. Berbagai strategi permainan telah dijajal. Sejumlah laga tanding juga telah dijalani bahkan ke beberapa negara. Namun, toh hasilnya biasa-biasa saja.
Selain itu, sepakbola kita juga punya keunikan. Meskipun organisasi PSSI masih pontang-panting mengatur dirinya, sepakbola kita rasanya tak pernah kehabisan pemain-pemain berbakat. Jadi bisa dikatakan tanpa PSSI pun banyak klub-klub sepakbola mampu menggodok pemain-pemain andal. Ah, ini sudah terlalu jauh. Saya sebenarnya tidak bermaksud menjadi komentator sepakbola di sini. Yang menarik perhatian saya adalah justru pernyataan-pernyataan orang-orang yang bukan pemain sepakbola; alias tidak pernah merumput di lapangan, apalagi menendang bola. Seorang pejabat ketika diwawancarai mengenai gagalnya tim Garuda Muda meraih emas dengan enteng mengatakan: "Kita memang kalah, tapi kalah terhormat!". Atau bahkan menanggapi kekalahan timnas pada laga-laga sebelumnya ada yang mengatakan: "Kali ini kita mengalah, sambil mempersiapkan strategi berikutnya."
Saya jadi bingung. Apakah memang dua pernyataan itu sama artinya? Bahwa "kalah terhormat" bisa diartikan sama dengan "mengalah"? Apa bisa "kalah terhormat" dimaknai sebagai sikap "menerima kekalahan" atau "belajar dari kekalahan"? Lantas, apa cukup fair untuk menyatakan bahwa "mengalah" adalah sikap sportif mengakui keunggulan lawan dan terbuka untuk membenahi diri? Atau itu hanya sekadar eskapisme dan minder karena kita selalu "patah sayap sebelum mampu terbang tinggi"?
Namun demikian, pada sisi lain, di luar lapangan, soal kalah atau menang itu soal hidup-mati bagi supporter. Setiap event sepakbola dalam negeri pada galibnya adalah sebuah "pesta pora rakyat". Lihat saja bagaimana para polantas tak berkutik menghadapi ulah ugal-ugalan para supporter yang duduk di atas kap metromini sambil meneriakkan yel-yel. Atau lumpuhnya sistem hukum menangani membludaknya jumlah supporter yang menggunakan jasa transportasi kereta api untuk nonton kesebelasan andalan mereka di kota lain. Lagi, ketidakberdayaan polisi mengantisipasi aksi brutal para supporter yang mengamuk. Kenapa? Karena mereka "tidak terima kekalahan (meskipun terhormat)" dan/atau "tidak mau mengalah".
Tapi sebenarnya saya tidak ingin mengulas soal sepakbola di sini. Perhatian saya justru pada pandangan tentang "kekalahan" itu. Setelah dipikir-pikir agaknya pandangan semacam itu sedikit banyak menggambarkan bagaimana pandangan kita tentang hidup. Bisa jadi, pandangan yang fatalistik itu terbentuk dari konstruksi pengalaman-pengalaman impotensi di tengah-tengah kompetisi kehidupan yang makin keras. Mungkin juga, itu terbentuk oleh pandangan dunia masyarakat kita yang lebih melihat kosmos ini sebagai yang transenden dan karena itu tidak memungkinkan campur tangan manusia. Maka jadilah manusia hanya menerima saja segala sesuatu sebagai "takdir" tanpa tergugah melawannya atau bahkan mengubahnya.
Hal yang agak memprihatinkan adalah jika pandangan fatalistik itu kemudian menjadi "new worldview" bahwa kita sebenarnya larut dalam dimensi duniawi ini tanpa daya mengubahnya sama sekali. Lalu makin menguatlah pandangan "biarlah semua terjadi dan kita tak berdaya apa-apa". Jika ini terus-menerus ditanamkan maka bukan tidak mungkin bahwa generasi demi generasi di masa depan akan kendor daya kompetitifnya untuk mengejar apa yang menjadi tujuannya. Bahkan, dengan cepat menghindar ketika mendapat tawaran-tawaran untuk bersaing sehat meraih tujuan akhir (end-in-mind) hanya karena merasa "kalah sebelum bertanding".
Dalam cerita Injil-injil, Simon Petrus dikenal sebagai murid yang paling agresif dan tidak mau kalah. Ia selalu yang pertama berkomentar atau mengambil sikap dalam situasi tertentu. Demikian pula dengan Thomas. Ia tidak mau pandangannya dikalahkan oleh opini publik yang menyatakan "Yesus bangkit", sebelum ia membuktikan secara fisik. Masih banyak contoh lain. Setidaknya itu menggambarkan bahwa karakteristik "tidak mau kalah" dengan terang-benderang ditampilkan dalam cerita-cerita itu. Kita pun bisa menimba pelajaran bahwa soal "tidak mau kalah" itu bukan soal kita suka berkelahi atau suka bertengkar, melainkan soal bagaimana kita mempertahankan prinsip hidup serta konsisten memperjuangkannya sebagai bagian dari cara kita menyatakan kebenaran. Menyatakan kebenaran bukan dengan "baku malawang" atau "baku pukul", melainkan dengan mencari dasar-dasar pembuktian sehingga pikiran kita tidak terkalahkan oleh pandangan umum (common sense). Jika demikian maka tertutup kemungkinan kita menjadi orang-orang yang latah, ikut-ikutan (istilah Ambon: iko rame).
"Provokator Damai" dan "Kopi Badati" pada hakikatnya adalah terminologi mengarah pada pandangan dan cara kita untuk menolak kalah. Kita tidak ingin dikalahkan oleh provokasi isu yang menggempur kita tiada henti. Kita tidak ingin dikalahkan oleh opini publik bahwa orang Maluku doyan bakupukul atau bakalae. Kita menolak kalah. Dan untuk saya pikir kita tidak akan memolesnya dengan embel-embel apapun selain demi kemanusiaan dan persaudaraan yang memanusiakan itu sendiri. Sekarang soalnya kemudian, bagaimana kita mengarahkan semangat "tidak mau kalah" ini menjadi sebuah saluran untuk terus-menerus menyemburatkan perdamaian ke ranah yang lebih luas lagi. Bahkan, menjadikannya sebagai "gelombang sinyal" ke seluruh semesta bahwa kita ingin "kepala batu" dalam mengupayakan semangat perdamaian itu sebagai bagian dari gramatika budaya kita sejagad.
Terserah.