Waktu
sudah menunjuk larut malam. Pukul 12.30 waktu Yogyakarta. Tapi mata masih
melotot di depan monitor komputer dan jari-jari masih berlompatan menari di
atas tombol-tombol keyboard. Ada beberapa tugas yang harus dituntaskan. Petikan
gitar RyoNiveu mengiring suasana hati dari “Enggo Lari” hingga “Nusaniwe
Tanjung Alang”. Tiba-tiba perhatianku teralihkan oleh posting foto dan catatan
kecil dari bung Jacky Manuputty yang melekat pada dinding akun facebook. Foto yang
memperlihatkan anak-anak muda Maluku yang sedang membubuhkan tanda tangan
mereka pada selembar kain putih panjang. Catatan bung Jacky pun mengurai dan
merefleksikan peristiwa itu.
Aku
tercekat membacanya. Mencoba berimajinasi pada tiap rangkaian kata dan untaian
kalimat, aku pun terhenyak oleh kekaguman. Anak-anak muda ini sungguh luar
biasa! Mereka memperlihatkan segumpal militansi yang mengeras dalam hasrat
untuk memilih “berdamai” dengan cara mereka. Aku tahu ini bukan sesuatu yang
instan meskipun mereka dibesarkan dan dibentuk oleh budaya instan dan
konsumerisme. Jalan “berdamai” mereka tidak jatuh dari langit. Tidak pula
diberikan oleh orang tua mereka. Jalan itu mereka pilih dan tentukan sendiri
karena mereka menolak tegas mewarisi kebencian yang telah mencabik-cabik
sejarah orang tua mereka. Mereka tidak menghindari kebencian itu tetapi
menerimanya sebagai pelajaran getir untuk membangun masa depan mereka tanpa harus
memilih berpijak di situ.
Aku
tidak di sana, di tengah kerumunan anak-anak muda “kabaressi” itu. Tapi sungguh malam
ini aku merasakan ledakan spirit yang sulit terdefinisikan – dan mungkin juga
tak perlu didefinisikan. Toh, anak-anak muda kabaressi perdamaian itu tak butuh
definisi apapun yang hanya penuh pesona teoretik tapi carut-marut dalam
praksis. Mereka memilih untuk bertindak, tanpa publikasi yang “lebay”. Merajut
aneka narasi mereka sendiri dan mencoba membuat simpul-simpul nurani dengan bahasa muda mereka. “Kopi Badati” adalah simpul nurani itu. Jauh dari jepretan
kamera wartawan, di sudut-sudut kampung, di ujung-ujung lorong, dalam guyuran
hujan dan selimut dingin, mereka menawarkan sebuah bentuk persahabatan melalui kopi dan penganan sederhana kepada sahabat-sahabat mereka. Itu terjadi di
wilayah-wilayah “perbatasan” yang sebenarnya bersifat imajinatif. Namun apa
yang mereka lakukan justru meluruhkan sekat-sekat perbatasan imajinatif itu,
dengan kopi dan penganan.
Tubuhku
memang tidak di sana. Tapi jiwaku, sumangaku, ada di sana. Karena itu,
jari-jariku tak lagi menari di atas keyboard mengikuti ritme paper-paper tugas
kuliah. Tiba-tiba jari-jariku melompat cakadidi menari mengikuti ritme “kopi
badati”. Hanya tarian sederhana yang menghentak mewujud untaian kalimat yang
mengalir mengikuti hentakan semangat “kopi badati” di kintal Gong Perdamaian.
Kekagumanku meluap tak terbendung untuk anak-anak muda kabaressi ini. Aku yang
tidak di sana bersama mereka seakan dirasuki roh mereka untuk mengangkat mukaku
dengan bangga – mereka sedang membangun masa depan Maluku. Aku kehabisan
kata-kata untuk menuliskannya, tapi malam ini makin kental keyakinanku bahwa
aku tidak akan kehabisan harapan untuk menegakkan spirit perdamaian di tanah
airku, Maluku.
kabar sukacita:
ReplyDelete"Telah lahir bagi kita, generasi baru Maluku: Anak-Anak Perdamaian!"
salam :)
Ierfun_BuN Sepakat dengan pinggirsentris :)
ReplyDeletebuat yang punya tulisan ... beta rasa di ambon meledakkan semangat dengan laku dan ale meledakkan beta dengan tulisan ini ... sangat inspiratif bunbg ... salam :)
Terima kasih untuk apreasiasinya... hanya upaya kecil untuk terus membakar semangat persaudaraan yang damai dan saling menghidupkan... Mena!
ReplyDeletebeta iko dong pung pertemuan par hari sabtu tanggal 26 tuh.. :)
ReplyDeleteBADATI dong sadap batul.. ;)
Peace for Ambon Manise.. ;)