Tahun 1990 saat saya pertama
menjejakkan langkah di halaman kampus UKIM Talake serta-merta saya mengenal
nama Arnold Nicholas Radjawane, rektor UKIM saat itu. Sosok itu ternyata punya
sombar tersendiri bagi masyarakat Maluku. Betapa tidak, Nick Radjawane atau
yang biasa disapa bapa Radja ini juga adalah mantan ketua sinode GPM,
cendekiawan Kristen pertama yang menggondol gelar “Sarjana Theologia” dari STT
Jakarta, magister teologi dari Amerika Serikat dan doktor teologi (biblical
studies) pertama jebolan Jerman. Sosok bapa Radja punya kharisma tersendiri di
hati masyarakat Maluku dari berbagai latar belakang hidup. Malah ketika tahu
saya masuk pendidikan teologi, oma saya menasihati saya begini: “Kalau jadi
pendeta musti jadi pendeta yang pintar seperti Pendeta Nick Radjawane.” Waktu
mendengar itu saya hanya mengiyakan saja. Baru kemudian saya mengerti arti
nasihat oma saya itu setelah menjadi murid bapa Radja.
Episode pertama
Tahap-tahap awal kuliah di
fakultas teologi adalah masa-masa sulit bagi saya. Baru mendengar nama-nama
matakuliahnya saja sudah merinding: bahasa Yunani, bahasa Ibrani, bahasa
Inggris Teologi, pengantar PB, pengantar PL, hermeneutika, dll. Berbahasa
Indonesia saja masih belum “baik dan benar”, sekarang sudah berhadapan dengan
bahasa-bahasa yang aneh itu. Tapi tidak ada pilihan. Seluruh kompetensi itu pun
teruji pada semester-semester pertengahan saat mengikuti kuliah hermeneutika
dari Dr. A.N. Radjawane. Bapa Radja adalah ensiklopedia berjalan.
Pengetahuannya sangat luas, termasuk di luar disiplin ilmu teologi. Hardikan
yang selalu terdengar kalau kami tidak menjawab pertanyaannya atau pasif di
kelas adalah “Bodok, bodok, bodok… baca, baca, baca… Jadi pendeta jangan malas
baca nanti dapa dibodohi oleh jemaat lalu sama-sama bodok”. Kami kadang
tersenyum saja sebab hardikan itu disampaikan beliau dengan nada hardikan orang
tua bukan umpatan yang menyakitkan hati.
Tidak cuma itu. Hampir setiap
pertemuan kelas selalu saja ada buku baru yang disuguhkan kepada kami untuk
dibaca. Parahnya, semua dalam bahasa Inggris. Tak hanya menyarankan membaca
buku – ini yang sangat mengagumkan – di tengah kesibukannya beliau ternyata
selalu mengecek di perpustakaan apakah nama-nama kami tercatat di buku hadir
perpustakaan dan buku-buku apa saja yang kami pinjam. Luar biasa. Saya pernah
ditugaskan oleh bapa Radja membersihkan perpustakaan pribadi beliau. Sungguh
saya kagum. Koleksi buku di perpustakaan pribadinya sangat luar biasa.
Alih-alih mengaturnya, saya malah asyik membolak-balik dan membaca sepintas
beberapa judul. Tugas yang harusnya selesai 2 hari pun molor jadi seminggu.
Tapi proses itulah yang membuat saya belajar: seorang cendekiawan hidup di
antara buku-bukunya. Namun toh kami kadang-kadang kesal karena sudah dimarahi
untuk pinjam atau baca buku di perpustakaan tapi buku yang dicari tidak ada
karena sedang dibaca beliau.
Episode kedua
Kuliah hermeneutika oleh bapa
Radja adalah kuliah yang paling mengasyikkan. Radjawane seolah-olah menjadi
pemandu wisata yang dengan jelas-gamblang mengulas eksistensi Israel-alkitab
dari semua aspek. Kalau Radjawane bicara tentang Israel-alkitab kami seperti
sedang berwisata karena beliau menunjukkan setiap dimensinya dengan sangat
detail. Kefasihannya dalam berbahasa Ibrani membuat studi Perjanjian Lama
menjadi sangat mengasyikkan, terutama saat beliau melantunkan Mazmur dalam
langgam Ibrani – saat itulah kami menyadari keindahan Mazmur sebagai sebuah
nyanyian iman.
Konsekuensi dari panduan wisata
itu adalah kami harus menguasai peta Israel-alkitab. Ujian Akhir Semester
matakuliah hermeneutika adalah membaca peta buta Israel-alkitab. Susah.
Menghafal peta Ambon saja belum mampu apalagi peta Israel-alkitab. Tapi itulah
yang terjadi. Jauh kemudian hari saya pun mengerti manfaatnya. Ketika membaca
teks PL saya dengan sendirinya sudah langsung membayangkan peta geografis
sebagai konteksnya. Radjawane pula yang mengenalkan nama-nama “raksasa” studi
biblika PL dan teologi: Gerhard von Rad, Martin Noth, Julius Welhaussen, Rudolf
Bultmann, Jurgen Moltmann, Karl Barth, Paul Tillich, dll. Terserah apa
penilaian orang, tapi saya selalu mengikuti jadwal khotbah ibadah Minggu oleh
bapa Radja. Ada semacam perpaduan kecerdasan dan retorika yang mengagumkan.
Episode ketiga
Radjawane telah membuat saya jatuh
cinta pada PL. Saya pun merancang proposal skripsi tentang kajian PL terutama
Deuteronomi (bidang keahlian Radjawane). Saya berharap bisa mendalami
Deuteronomi di bawah bimbingan Radjawane. Sayang sekali, saat proposal skripsi
saya dibahas, Radjawane sedang menjadi dosen tamu di Fiji; ibu Eta
Hendriks-Ririmase dan bapa Apet Damamain sedang studi doktor. Praktis tidak ada
dosen pembimbing PL saat itu. Rapat dosen mengusulkan agar saya mengganti topik
tapi saya tolak. Akhirnya diputuskan saya tetap dengan tema PL tapi bukan
biblika murni melainkan etika PL di bawah bimbingan Pdt. Ely Kaihena, M.Th.
Untuk waktu yang lama kami tidak
lagi bertemu bapa Radja yang memilih terlibat dalam aktivitas politik
kepartaian dan terpilih sebagai anggota DPR-RI. Bahkan ketika saya berada di
Jakarta pun jarang sekali bersua. Tapi sungguh mengejutkan ketika suatu kali
beliau meminta saya dan Nancy untuk makan malam di rumah dinas Kalibata karena
beberapa hari ke depan bapa Radja dan ibu Sien harus keluar. Mereka berencana
pulang ke Ambon. Saat itu bapa Radja sudah sakit. Kami menghabiskan waktu 2 jam
berbincang-bincang tentang banyak hal sebelum makan malam. Pada saat makan
malam, saya meminta izin mengatakan sesuatu dan beliau bersedia mendengarkan.
Saya hanya bilang: “Beta ni bapa pung murid. Sampai kapanpun tetap bapa pung
murid. Hari ini beta ingin bilang sesuatu sebagai murid kepada gurunya. Kapan
Arnold Nicholas Radjawane menuangkan ide-ide briliannya dalam bentuk buku? Dan
kapan katong bisa mengatasi kemacetan kaderisasi pasca-Radjawane?” Radjawane
terdiam.
Suatu ketika di Ambon, Radjawane
memanggil saya dan Elifas Maspaitella. Beliau menyerahkan seluruh naskah lama
dan meminta kami berdua mengetik ulang lalu mengedit untuk diterbitkan. Tapi
sayang, “proyek” itu tidak jalan karena kondisi kesehatan bapa Radja menurun,
padahal kami membutuhkan pendampingan beliau untuk revisi beberapa gagasan
dalam artikel-artikel yang pernah ditulisnya.
Saya tidak tahu harus
merefleksikan apa dengan seluruh perjumpaan saya dan bapa Radja. Saya sengaja
menuliskannya dalam komposisi episode-episode untuk terus mengingatkan saya
siapa Radjawane dan efek Radjawane terhadap kehidupan saya. Bagi saya ini lebih
dari sekadar catatan saya tentang Arnold Nicholas Radjawane, tapi dialog
kehidupan saya dengan beliau. Hardikan “bodok, bodok, bodok… baca, baca, baca…”
terasa bak lecutan cemeti yang pedis tapi membuat saya selalu siuman untuk
berpikir dan tidak berhenti belajar. Akhirnya, saya pun mengerti nasihat oma
saya: “Kalau jadi pendeta musti pintar seperti pendeta Nick Radjawane”.
Selamat menempuh kehidupan yang
baru bapa Radja!