Aku menulis maka aku belajar

Monday, March 19, 2012

Menebar Benih di Tengah Badai: Secuil Refleksi KBFP III


Nyaris tak tersisa sedikit ruang bagi kita untuk merefleksikan peristiwa demi peristiwa yang kita alami sebagai bagian dari realitas republik ini. Setiap jam benak kita dicecar berbagai pemberitaan media (elektronik dan cetak) mengenai carut-marut persoalan yang kita hadapi. Jika dicermati sebagian besar ternyata adalah berita-berita negatif yang menyodok kesadaran kita hingga terjerembab di sudut frustrasi: apakah Indonesia seperti ini yang akan terwariskan ke anak-cucu kita? Atau mungkin lebih parah lagi?

Tak berlebihan jika menganalogikan kondisi negara kita dengan realitas sepakbola nasional. Kita kedodoran di semua lini pertahanan. Seluruh pemain di lapangan berlaga tanpa strategi yang terkoneksi satu dengan yang lain sehingga yang tampil adalah si A, si B, dan si C dan seterusnya, tapi bukan strategi tim dengan visi/misi yang jelas dan tentu saja “gawang” yang kelihatan di depan sana. “Bola” keindonesiaan hanya ditendang ke sana-sini menurut keinginan pemain secara individual tanpa spirit tim untuk menggolkannya. Permainan hanya menjadi dagelan saling oper “bola” dan menggiringnya untuk dikeploki penonton. Tak heran dengan jumlah pemain yang imbang pun kita terus kebobolan sampai 10-0. Itu hanya analogi sederhana yang hendak memperlihatkan bahwa persoalan kita bukan soal individu (apalagi banyak pemain yang dinaturalisasi) melainkan soal mekanisme kepemimpinan dan spirit tim.

Mengurus negara jelas berbeda dengan mengurus sepakbola. Tapi yang hendak dipertanyakan secara kritis bukan soal besar-kecil suatu institusi atau organisasi. Organisasi hanyalah wadah mati yang tidak berfungsi tanpa digerakkan oleh spirit organisme. Organisasi, tak peduli ukurannya, bisa bergerak dan berfungsi seturut orientasi visi/misi yang hendak dicapai jika didukung oleh organ-organ yang bergerak dan hidup (organisme). Dengan kata lain, mesti ada keseimbangan dialektis antara “organisasi” dan “organisme”. Organisasi yang kian kuat tapi mengabaikan organisme hanya akan menimbulkan mekanisasi kehidupan dan mendorong proses dehumanisasi. Sebaliknya, hanya ribut soal organisme akan menyeret kita pada perdebatan tak berujung mengenai “siapa” yang layak menjadi pemimpin lalu mengerucut pada kultus individu seolah-olah sosok itu mampu menyelesaikan seluruh masalah sendirian.

Dialektika itulah yang terjadi dalam perbincangan mengenai kepemimpinan nasional yang digelar oleh Akademi Demokrasi, Kepemimpinan, dan Kebangsaan (KaDer Bangsa) melalui Kader Bangsa Fellowship Program (KBFP) Angkatan III di Yogyakarta selama 4 hari penuh (13-16 Maret 2012). Melalui program ini para peserta tidak hanya ditantang untuk membedah berbagai situasi problematik dengan sejumlah pisau analisis yang ditawarkan oleh para fasilitator. Lebih jauh, para peserta yang berasal dari beraneka ragam latar belakang profesi dan aktivitas diajak untuk memikirkan dan mencari solusi masalah-masalah yang sedang mendera bangsa ini bersama-sama secara komprehensif. Perbedaan diapresiasi sebagai kekayaan dan modal sosial, bukan ancaman, sehingga diskusi dan persilangan berbagai ide pun terjadi secara kreatif.

Sudah pasti tidak ada solusi instan kendati KBFP sudah menjejak pada angkatan III. Namun, ada optimisme bahwa kita tidak akan berdiam diri menyikapi situasi problematik kebangsaan Indonesia yang tampaknya sedang kehilangan visionary leadership. Diakui oleh beberapa orang bahwa KBFP Angkatan III lebih dinamis dibandingkan dua angkatan sebelumnya jika ditinjau dari ke-bhineka-an pesertanya. Saya sendiri melihat ini sebagai potensi besar untuk mencari celah-celah solusi yang bisa dilakukan pada lingkup terkecil ruang gerak aktivitas peserta angkatan III yang sebagian besar terlibat dalam pemberdayaan masyarakat kecil.

Potensi itu terbentuk dan makin menguat karena isu-isu nasional tidak hanya didiskusikan pada tataran abstrak (teoretis) tetapi disikapi secara kritis melalui refleksi-refleksi pragmatis mereka yang bergelut dengan dinamika sosial masyarakat kecil. Melalui prose situ, menurut saya, KBFP Angkatan III hendak mencari terobosan keluar dari jalan buntu diskursus kebangsaan dengan menitikberatkan pada dialektika aksi dan refleksi. Makin terbentuk kesadaran bahwa persoalan-persoalan bangsa ini bukan hanya soal krisis ekonomi, krisis penegakan hukum, krisis solidaritas kebangsaan, melainkan juga krisis “ideologi bersama” (common ideology) yang pernah menyatukan kita dalam satu spirit keindonesiaan. Pada titik inilah maka keindonesiaan itu menyeruak sebagai sebuah persoalan “visi” yang secara hakiki mengarahkan gerak organisme kebangsaan kita sekaligus memperkuat bentuk konsensus kenegaraan kita ke masa depan.

Tidak semua hal bisa dibincangkan hanya dalam 4 hari oleh sekitar 50-an peserta. Malah sampai pada akhirnya tidak ada solusi yang bisa disepakati. Namun satu hal yang pasti adalah KBFP mulai dari Angkatan I-III menjadi suatu wadah perjumpaan kreatif dan penuh persahabatan untuk menelisik lebih dalam liku-liku persoalan yang menyelimuti postur keindonesiaan kita saat ini. Karakter strong leader tetap diperlukan tetapi jauh lebih esensial adalah konstruk visionary leadership yang mesti ditancapkan pada setiap kiprah kita. Sampai di situ maka kita semua – tak peduli siapa dan apa latar belakangnya – memiliki kesempatan untuk menciptakan mekanisme kepemimpinan yang visioner melalui kerja kita mulai dari level akar-rumput dan tidak lagi terperangkap pada strategi pencitraan individu yang hanya menebar pesona tapi abai pada penguatan kapasitas mekanisme kepemimpinan secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Mau dibawa kemana hubungan kita? Itu pertanyaan yang akan terus menyertai komitmen kita. Semoga kita tidak mengalami amnesia meskipun kita juga sadar ini ibarat menebar benih di tengah badai.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces