Nyaris tak tersisa sedikit ruang
bagi kita untuk merefleksikan peristiwa demi peristiwa yang kita alami sebagai
bagian dari realitas republik ini. Setiap jam benak kita dicecar berbagai
pemberitaan media (elektronik dan cetak) mengenai carut-marut persoalan yang
kita hadapi. Jika dicermati sebagian besar ternyata adalah berita-berita negatif
yang menyodok kesadaran kita hingga terjerembab di sudut frustrasi: apakah
Indonesia seperti ini yang akan terwariskan ke anak-cucu kita? Atau mungkin
lebih parah lagi?
Tak berlebihan jika menganalogikan
kondisi negara kita dengan realitas sepakbola nasional. Kita kedodoran di semua
lini pertahanan. Seluruh pemain di lapangan berlaga tanpa strategi yang
terkoneksi satu dengan yang lain sehingga yang tampil adalah si A, si B, dan si
C dan seterusnya, tapi bukan strategi tim dengan visi/misi yang jelas dan tentu
saja “gawang” yang kelihatan di depan sana. “Bola” keindonesiaan hanya
ditendang ke sana-sini menurut keinginan pemain secara individual tanpa spirit
tim untuk menggolkannya. Permainan hanya menjadi dagelan saling oper “bola” dan
menggiringnya untuk dikeploki penonton. Tak heran dengan jumlah pemain yang
imbang pun kita terus kebobolan sampai 10-0. Itu hanya analogi sederhana yang
hendak memperlihatkan bahwa persoalan kita bukan soal individu (apalagi banyak
pemain yang dinaturalisasi) melainkan soal mekanisme kepemimpinan dan spirit
tim.
Mengurus negara jelas berbeda
dengan mengurus sepakbola. Tapi yang hendak dipertanyakan secara kritis bukan
soal besar-kecil suatu institusi atau organisasi. Organisasi hanyalah wadah
mati yang tidak berfungsi tanpa digerakkan oleh spirit organisme. Organisasi,
tak peduli ukurannya, bisa bergerak dan berfungsi seturut orientasi visi/misi
yang hendak dicapai jika didukung oleh organ-organ yang bergerak dan hidup (organisme).
Dengan kata lain, mesti ada keseimbangan dialektis antara “organisasi” dan “organisme”.
Organisasi yang kian kuat tapi mengabaikan organisme hanya akan menimbulkan
mekanisasi kehidupan dan mendorong proses dehumanisasi. Sebaliknya, hanya ribut
soal organisme akan menyeret kita pada perdebatan tak berujung mengenai “siapa”
yang layak menjadi pemimpin lalu mengerucut pada kultus individu seolah-olah
sosok itu mampu menyelesaikan seluruh masalah sendirian.
Dialektika itulah yang terjadi
dalam perbincangan mengenai kepemimpinan nasional yang digelar oleh Akademi
Demokrasi, Kepemimpinan, dan Kebangsaan (KaDer Bangsa) melalui Kader Bangsa
Fellowship Program (KBFP) Angkatan III di Yogyakarta selama 4 hari penuh (13-16
Maret 2012). Melalui program ini para peserta tidak hanya ditantang untuk
membedah berbagai situasi problematik dengan sejumlah pisau analisis yang
ditawarkan oleh para fasilitator. Lebih jauh, para peserta yang berasal dari
beraneka ragam latar belakang profesi dan aktivitas diajak untuk memikirkan dan
mencari solusi masalah-masalah yang sedang mendera bangsa ini bersama-sama
secara komprehensif. Perbedaan diapresiasi sebagai kekayaan dan modal sosial,
bukan ancaman, sehingga diskusi dan persilangan berbagai ide pun terjadi secara
kreatif.
Sudah pasti tidak ada solusi
instan kendati KBFP sudah menjejak pada angkatan III. Namun, ada optimisme bahwa
kita tidak akan berdiam diri menyikapi situasi problematik kebangsaan Indonesia
yang tampaknya sedang kehilangan visionary
leadership. Diakui oleh beberapa orang bahwa KBFP Angkatan III lebih
dinamis dibandingkan dua angkatan sebelumnya jika ditinjau dari ke-bhineka-an pesertanya.
Saya sendiri melihat ini sebagai potensi besar untuk mencari celah-celah solusi
yang bisa dilakukan pada lingkup terkecil ruang gerak aktivitas peserta
angkatan III yang sebagian besar terlibat dalam pemberdayaan masyarakat kecil.
Potensi itu terbentuk dan makin
menguat karena isu-isu nasional tidak hanya didiskusikan pada tataran abstrak
(teoretis) tetapi disikapi secara kritis melalui refleksi-refleksi pragmatis
mereka yang bergelut dengan dinamika sosial masyarakat kecil. Melalui prose
situ, menurut saya, KBFP Angkatan III hendak mencari terobosan keluar dari
jalan buntu diskursus kebangsaan dengan menitikberatkan pada dialektika aksi
dan refleksi. Makin terbentuk kesadaran bahwa persoalan-persoalan bangsa ini
bukan hanya soal krisis ekonomi, krisis penegakan hukum, krisis solidaritas
kebangsaan, melainkan juga krisis “ideologi bersama” (common ideology) yang pernah menyatukan kita dalam satu spirit keindonesiaan.
Pada titik inilah maka keindonesiaan itu menyeruak sebagai sebuah persoalan “visi”
yang secara hakiki mengarahkan gerak organisme kebangsaan kita sekaligus
memperkuat bentuk konsensus kenegaraan kita ke masa depan.
Tidak semua hal bisa dibincangkan
hanya dalam 4 hari oleh sekitar 50-an peserta. Malah sampai pada akhirnya tidak
ada solusi yang bisa disepakati. Namun satu hal yang pasti adalah KBFP mulai
dari Angkatan I-III menjadi suatu wadah perjumpaan kreatif dan penuh persahabatan
untuk menelisik lebih dalam liku-liku persoalan yang menyelimuti postur
keindonesiaan kita saat ini. Karakter strong
leader tetap diperlukan tetapi jauh lebih esensial adalah konstruk visionary leadership yang mesti
ditancapkan pada setiap kiprah kita. Sampai di situ maka kita semua – tak peduli
siapa dan apa latar belakangnya – memiliki kesempatan untuk menciptakan
mekanisme kepemimpinan yang visioner melalui kerja kita mulai dari level
akar-rumput dan tidak lagi terperangkap pada strategi pencitraan individu yang
hanya menebar pesona tapi abai pada penguatan kapasitas mekanisme kepemimpinan
secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Mau dibawa kemana hubungan kita?
Itu pertanyaan yang akan terus menyertai komitmen kita. Semoga kita tidak
mengalami amnesia meskipun kita juga sadar ini ibarat menebar benih di tengah
badai.
No comments:
Post a Comment