Saya
merasa beruntung dapat terlibat dalam program International Summer School tahun
2012 selama dua minggu di dua tempat terkenal di Indonesia: Yogyakarta dan
Bali. Program ini diinisiasi oleh sekelompok sarjana ilmu sosial dan humaniora
dari Universitas Boston, Amerika Serikat, dan diselenggarakan setiap tahun
dengan tema dan tempat yang berbeda-beda. Indonesia (Yogyakarta dan Bali)
terpilih sebagai tempat penyelenggaraan program ini tahun 2012 dengan tema Negotiating Space in Diversity: Religions
and Authorities; dan Universitas Gadjah Mada (CRCS dan ICRS) bertindak
sebagai host. Sebuah pengalaman yang
sangat berharga karena saya berjumpa, berdiskusi, dan menjalani aktivitas
bersama selama dua minggu dengan puluhan peserta yang terpilih dari berbagai
negara, nasionalitas, dan profesi. Kami beraktivitas, berbagi ide, refleksi dan
pengalaman, serta bermain, bersama-sama secara intensif.
Salah
satu kekuatan program ini adalah setiap orang – entah fasilitator dan
partisipan – terlibat dalam pengalaman bersama dan merefleksikan berbagai
pengalaman tersebut secara utuh. Yang menjadi fokus utama bukanlah soal
kemampuan mengelaborasi teori-teori besar dan abstrak (master narratives) melainkan mengasah bersama-sama karakter
intelektual dan emosional menyikapi pengalaman perjumpaan dengan berbagai
komunitas yang “tak lazim” dalam pengalaman di konteks hidupnya masing-masing.
Pengalaman-pengalaman perjumpaan tersebut tidak hanya mengundang decak kagum
tetapi juga mengusik kenyamanan intelektual dan kultural, mengundang
kegelisahan, dan mencuatkan ketidaknyamanan karena dianggap telah melanggar apa
yang selama ini dianggap sebagai “batas-batas” (borders) identitas primordial (etnisitas, seksualitas,
religiositas, intelektualitas) yang telah atau makin mapan.
Di
Yogyakarta, misalnya, kami berkunjung ke dan berdialog dengan komunitas
pesantren Al-Qodir di kaki Gunung Merapi, Al-Muayyad di Solo, dan Pesantren
Waria di Yogyakarta. Pesantren Al-Qodir menjadi titik perjumpaan agama-agama
yang sangat penting saat Gunung Merapi meletus beberapa waktu lalu. Mengalirnya
bantuan dari berbagai organisasi sosial maupun keagamaan bagi korban Merapi
ternyata memicu kecurigaan di kalangan salah satu kelompok agama akan
kemungkinan terjadinya upaya mengonversi korban dengan alasan pemberian
bantuan. Kecurigaan ini ditepis sedikit demi sedikit oleh KH Masrur Ahmad dari
Ponpes Al-Qodir yang membuka diri bekerja sama dengan berbagai organisasi keagamaan
dan menyediakan pesantrennya sebagai tempat penampungan bantuan untuk kemudian
bersama-sama menyalurkannya kepada korban Merapi. Kerja sama itu ternyata
berlanjut hingga kini dalam berbagai bentuk program pemberdayaan di kawasan
pedesaan lereng Merapi.
Lain
lagi cerita dari Ponpes Al-Muayyad di Solo. Sejak serentetan peristiwa bom di
beberapa tempat di Jawa dan Bali, nama Solo seolah identik dengan “sarang
teroris”. Pemberitaan media massa yang meliput KH Baasyir dan Ponpes Ngruki
Solo berhasil membentuk citra publik mengenai Solo yang “beringas” dan
“anti-Barat”. Citra ponpes semacam itu pun terkikis karena kami melihat sisi
lain aktivitas pesantren yang berjihad dengan konsep dan metode yang sama
sekali berbeda. Ponpes Al-Muayyad tidak hanya menepis pencitraan pesantren yang
buruk tetapi juga menjadi salah satu kekuatan pemberdayaan masyarakat di bidang
pertanian, pengairan, pendidikan, dan perdamaian. Di bawah kepemimpinan KH Dian
Nafi, ponpes ini menawarkan gagasan-gagasan kontekstual dan praktik-praktik
pemberdayaan yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat yang menjadi sasaran
pelayanan aktivitas mereka tersebut. Prinsip-prinsip Islami diterjemahkan
secara praktis dalam bidang-bidang kehidupan rakyat yang konkret.
Rasanya
tak berlebihan jika pengalaman perjumpaan yang paling mengguncangkan zona
nyaman religiositas kami adalah ketika berdialog dengan para waria di Ponpes
Waria Yogyakarta. Penyambutan yang “wah” (dengan shalawat dan tarian
tradisional) lengkap dengan susunan acara yang rapi membuat kami merasa agak
risih. Dialog dengan para sahabat waria dalam kelompok-kelompok pun membuka
perspektif kami mengenai apa yang mereka rasakan menjalani hidup sebagai waria,
alasan-alasan apa yang membuat mereka bertahan dalam pilihan hidup semacam itu,
dan bagaimana mereka menegosiasikan identitas kewariaan mereka di tengah-tengah
berbagai stereotip dan stigma berdasarkan rujukan-rujukan keagamaan. Tentu saja
keberadaan ponpes waria di tengah perkampungan padat penduduk di Yogyakarta
memercikkan kesadaran akan daya akseptabilitas masyarakat sipil terhadap
pilihan-pilihan orientasi seksual yang plural, serta kelenturan dalam
menghayati iman keagamaan dalam konteks pluralisme Yogyakarta.
Di
Bali lain lagi ceritanya. Kami tinggal di Ubud dan mengunjungi beberapa puri
(keluarga raja) dan pura (kuil), serta Gereja Katolik dan komunitas Muslim di
Dusun Saren Jawa, Desa Budhakeling, Bali. Dialog yang terjadi menguak
matra-matra menarik yang selama ini tenggelam dalam hiruk-pikuk turisme di
Bali. Gesekan dan negosiasi identitas “politik” terjadi antara
kelompok-kelompok puri sembari menyeret kaum pura (agama) ke dalam pusaran arus
utamanya. Identitas ke-Bali-an menjadi pusat pertaruhan dalam berbagai
negosiasi identitas yang majemuk. Konsep dan implementasi Ajeg Bali (kebangkitan Bali) pasca tragedi bom Bali kemudian
menjadi poros identitas yang menyatukan “etnisitas” (Bali) dan “agama” (Hindu).
Untuk
mempertahankan pengaruh dan hegemoninya, kaum puri mempromosikan perpaduan
politik Bali-Hindu sebagai upaya memurnikan kebalian dan kembali pada akar
tradisi religiositas Hindu yang dalamnya kekuasaan mereka tetap terjaga.
Sementara itu, di lingkar luar kaum puri, berlangsung pemaknaan yang berbeda
mengenai kebalian itu sendiri. Kalangan komunitas Bali-Katolik berpendapat
bahwa identitas kebalian tidaklah menyatu secara perenial dengan “Hindu”.
Identitas tersebut semata-mata merupakan ekspresi budaya yang menghidupkan
spiritualitas keagamaan yang jamak. Oleh karena itu, identitas kebalian itu
dapat termanifestasi melalui beraneka ragam spiritualitas sejauh
batasan-batasan kebudayaan yang menandainya tetap tampak (bahasa, ritual,
kekerabatan). Kalangan Bali-Katolik pun sibuk melahirkan ide-ide dan
praktik-praktik kontekstualisasi sebagai upaya menemukan iman kristiani dalam
konteks kebudayaan Bali dan sebagai orang Bali.
Dengan
akar sejarah dan dinamika sosial-budaya yang berbeda, gerakan kontekstualisasi
dan dialog spiritualitas juga ditemukan pada komunitas Muslim Dusun Saren Jawa,
Desa Budhakeling. Islam berakar dalam ingatan sejarah dan dihidupi sebagai
matra identitas yang memperkaya makna kebalian dalam komunitas ini. Dari
generasi ke generasi selama ratusan tahun komunitas Muslim Saren Jawa hidup
sebagai bagian integral masyarakat Hindu-Bali. Dialog antar-iman tampaknya
bukan lagi materi yang perlu didiskusikan tetapi telah menjadi karakteristik
kebudayaan bagi masyarakat Budhakeling. Negosiasi identitas keagamaan semacam
ini seakan meruntuhkan mitos-mitos bahwa Hindu adalah Bali dan sebaliknya.
Masyarakat Budhakeling membuktikan bahwa mitos-mitos semacam itu tidak
sepenuhnya menggambarkan wajah Bali sebagaimana selama ini diterima oleh
publik.
Sisi
“harmonis” yang tampak dalam sebagian besar dialog kami ternyata justru
mengundang rasa penasaran sebagian peserta dari kawasan Eropa dan Amerika
Serikat. Pemberitaan media massa telah berhasil mengonstruksi “realitas” bahwa
selama 20 tahun terakhir Indonesia telah menjadi sarang teroris dan arena
kontestasi kekerasan massal (antar-agama dan antar-kelompok etnis). “Realitas”
itulah yang berusaha digali melalui dialog-dialog kami, terutama dari
teman-teman Eropa dan Amerika Serikat. Beberapa rekan seakan-akan sulit keluar
dari perspektif baku berbagai analisis konflik sosial bahwa bisa ditemukan pada
konteks yang paling riel suatu realitas yang berbeda dengan apa yang telah
dikonstruksikan sejumlah pakar Barat tentang Indonesia kontemporer. Belum lagi
kecurigaan bahwa dialog-dialog tersebut tidak sepenuhnya tulus dan masih
menyembunyikan sisi-sisi gelap realitas keindonesiaan yang tidak ingin
dipaparkan oleh pihak lain. Jika sisi “konflik” yang ditampilkan maka muncul
kecemasan bahwa itu akan menjadi pemantik api “pertarungan identitas” yang
lebih parah dan karenanya selama ini hanya tersembunyi di sudut gelap kesadaran
sosial masyarakat Indonesia.
Hanya
Degung Santikarma, seorang aktivis dan pengamat antropologi Bali, yang pada
hari terakhir dengan lantang menjungkirbalikkan sisi harmonis itu dan
menelanjangi sisi lain Bali yang sarat warna-warni intrik politik dan kekerasan
sosial. Degung sepenuhnya mendasarkan analisisnya pada konstruksi kekerasan
struktural oleh negara yang pada gilirannya melahirkan bentuk-bentuk kekerasan
massal yang dianggap “normal”. Rujukan historisnya dengan sengaja dipilih pada
titik peristiwa kekerasan massal kepada anggota atau yang dicurigai sebagai
anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun-tahun 1965-1966 di Jawa dan
Bali.
Sejarah
itu, menurut Degung, telah menjadi catatan kelam dalam ingatan sosial
masyarakat Bali. Banyak orang menyadarinya namun enggan menceritakannya. Mereka
menyimpannya rapat-rapat di bilik-bilik bawah sadar mereka, bahkan jika mungkin
melupakannya – kendati tidak pernah bisa. Degung pun berjuang memecahkan
kebisuan mereka. Kebalian pun menjadi sesuatu yang kompleks karena berbagai
kontestasi identitas terjadi di tengah arena-arena politik, ekonomi, turisme,
agama, dan kebudayaan glokal.
No comments:
Post a Comment