Aku menulis maka aku belajar

Tuesday, October 9, 2012

Perebutan Hegemoni Blambangan: Bedah Buku


Pengantar
Saya berterima kasih atas kesempatan untuk menyelisik buku karya Dr Sri Margana ini. Saya merasa tidak perlu untuk “membedah” buku ini. Sebagai sebuah karya akademik (disertasi), buku ini merupakan manifestasi kerja keras dan penelusuran panjang berbagai dokumen sejarah yang dikaji dengan pendekatan metodologis sejarah yang ketat, serta telah diuji dan dibedah oleh pakar-pakar sejarah yang lebih berkompeten daripada saya. Hal sederhana yang hendak saya lakukan adalah memetakan gagasan-gagasan penulis sebagai sebuah karya sejarah dan menemukan signifikansi karya ini dalam memahami dinamika sosial masyarakat Indonesia kontemporer.
Kedua, saya perlu melakukan positioning. Saya bukan seorang sejarawan. Kendati tertarik dengan kajian-kajian sejarah namun minat akademik saya lebih tertuju pada kajian keagamaan (religious studies). Religious studies dalam arti yang formal dan sistematis tampaknya belum terlalu lazim di Indonesia.  Kajian ini kerap diidentikkan dengan kajian teologi agama-agama dan perbandingan agama. Namun, pada hakikatnya religious studies lebih berupa analisis sosiobudaya dengan menggunakan pendekatan lintas keilmuan (interdisciplinary) terhadap agama sebagai fenomena sosial. Dengan pendekatan semacam itu maka religious studies sangat terbuka dalam memanfaatkan kajian-kajian sejarah – seperti buku ini – dalam memahami fenomena keberagamaan suatu masyarakat atau kelompok-kelompok dalam suatu masyarakat. Dalam ranah ilmu-ilmu humaniora, fenomena keberagamaan dipahami sebagai bagian integral dari proses-proses sosial yang berlangsung dalam konteks sosial tertentu. Dimensi-dimensi transendental dalam religiositas dilihat terutama melalui manifestasi kultural dan sosiologisnya; bukan pada aspek teologisnya.
Ketiga, melalui lensa religious studies saya akan lebih meneropong bagaimana identitas keagamaan dikonstruksi dalam suatu masyarakat pada konteks ruang dan waktu tertentu dalam suatu lintasan historis seperti yang dinarasikan oleh sejarawan Sri Margana. Dengan demikian, kontribusi kajian sejarah tidak hanya diperlakukan sebagai suatu data tetapi lebih sebagai jendela perspektif yang membentangkan cakrawala masa lampau suatu masyarakat dengan berbagai manifestasi identitasnya, termasuk identitas keagamaan. Dalam religious studies, identitas keagamaan tidak dapat dipahami tanpa menempatkannya dalam konteks sosial secara komprehensif. Ruang yang tersedia di sini hanya akan saya gunakan melihat dimensi sosial dan fungsional agama dalam konteks masyarakat Ujung Timur Jawa atau Bang Wetan pada abad ke-18.

Membaca Sejarah
Kata “sejarah” bukanlah kata asing dalam percakapan kita sehari-hari. Namun demikian, kata itu juga mengandung pengertian yang variatif. Dalam pengalaman penelitian lapangan, ketika seseorang diwawancarai oleh peneliti mengapa suatu konsep atau perilaku diterima oleh masyarakat, maka hampir selalu jawaban yang diterima adalah “Ya, memang sudah dari dulu begitu” atau “Hal itu sudah dilakukan sejak para leluhur kami” atau “Ya, sejarahnya begitu” dll. Pernyataan semacam itu kemudian menjadi pemicu bagi peneliti untuk menyelidiki lebih lanjut hingga mampu menuliskan narasi sejarahnya berdasarkan kepingan-kepingan informasi melalui wawancara dan/atau penelitian dokumen yang tersedia.[1]
Sederhananya, sejarah adalah konstruksi naratif dan interpretatif tentang masa lampau. Sebagai narasi dan interpretasi, definisi sederhana itu pada gilirannya memunculkan isu-isu filosofis. M.C. Lemon membagi proses pembelajaran sejarah pada dua kategori filosofis: [1] filsafat sejarah spekulatif yang menelaah “muatan” sejarah manusia untuk melihatnya sebagai suatu keutuhan yang bermakna; [2] filsafat sejarah analitis yang melihat sejarah sebagai suatu disiplin untuk menemukan dan memahami masa lampau. Istilah “analitik” di sini juga turut melibatkan peran subjektif sejarawan.[2] Pernyataan Lemon ini mengindikasikan pada derajat tertentu kompleksitas pemaknaan kita tentang “sejarah”.
Michel Foucault menyatakan bahwa masa lampau yang dipahami sebagai sejarah merupakan suatu proses interpretasi terus-menerus oleh sejarawan sebagai suatu tindakan imajinasi, dan berbagai kategori kita tentang analisis, asumsi-asumsi, model-model dan cara-cara penggambarannya menjadi salah satu bagian dari sejarah yang sedang kita uraikan. Pernyataannya ini didasarkan pada penolakannya terhadap konsep sejarah yang linear. Karakter interpretatif yang terus-menerus merupakan respons terhadap kenyataan bahwa kita tidak pernah menemukan kebenaran orisinal. Penelitian kearsipan oleh Foucault dilihat sebagai tubuh evidensi yang dinarasikan yang merepresentasikan dan menunjukkan episteme (peristiwa dan rentang waktu) tertentu, yang didorong dan dijumpai oleh sejarawan dalam epistemenya sendiri.[3] Dengan demikian, menurut Munslow, peran fundamental sejarawan adalah memahami dan menjelaskan dalam wujud tulisan hubungan antara peristiwa-peristiwa dan gagasan manusia atau agensi di masa lampau. Sejarawan memilih datanya berdasarkan minatnya terhadap suatu peristiwa unik atau gagasan dan tindakan individu menanggapi kondisi tertentu. Jadi, masa lampau dan sejarah tertulis adalah dua hal yang berbeda.[4]

Blambangan dalam Konstruksi Sejarah Sri Margana
Tidak diragukan bahwa karya ini selayaknya diberi apresiasi tinggi jika kita melihat kerja keras dan ketekunan penulisnya menelusuri jejak-jejak masa lampau melalui penelitian kearsipan pada masa kolonial (sebagaimana dapat dilihat pada bibliografi mengenai arsip, sumber resmi tercetak dan sumber Jawa tercetak). Sejauh yang saya tahu, sedikit sekali sejarawan yang memiliki keahlian dalam membaca arsip-arsip kolonial karena dibutuhkan penguasaan bahasa Eropa kuno (terutama Belanda), bahasa Jawa kuno (untuk penelitian ini) dan ketekunan untuk menyusun kepingan-kepingan dokumen tersebut menjadi sebuah narasi sejarah yang runut dan jelas.
Menurut saya, tidak berlebihan jika dalam konteks kajian sejarah sosial di Jawa, karya Sri Margana ini melengkapi kajian makro sejarah seperti tiga jilid Nusa Jawa: Silang Budaya-nya Denys Lombard atau dua jilid karya Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680 (1993) atau M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200 (Edisi ketiga 2001).[5] Jika terutama upaya Lombard dan Reid lebih terarah untuk menyusun narasi sejarah kebudayaan Jawa dalam lingkup Asia Tenggara, maka Margana berupaya untuk melakukan konstruksi narasi sejarahnya pada lingkup yang lebih terbatas, yaitu Ujung Timur Jawa (Bld. Java’s Oosthoek; Jw. Bang Wetan, dengan acuan “bagaimana wilayah ini digabungkan ke dalam sebuah perkembangan politik di Jawa…” (hlm. 2). Margana menyajikan analisis sejarah bagaimana Belanda mencoba mengubah Java’s Oosthoek ini dari belantara yang dipenuhi para pelarian politik, oposan, dan pemberontak yang selalu melawan para penguasa asing (Belanda dan sekutunya), menjadi sebuah wilayah yang terintegrasi secara ekonomi dan politik dengan wilayah-wilayah kekuasaan Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Jawa dari paruh kedua abad ke-18 hingga masa-masa awal pemerintahan kolonial pada permulaan abad ke-19.
Terurai dalam sembilan bab, narasi sejarah yang disajikan oleh Margana terpetakan melalui tiga tema besar. Tema pertama adalah benturan peradaban antara dua kekuatan religius Hinduisme dan Islam. Pada paruh akhir abad ke-16 Mataram muncul sebagai pengganti Demak dan terus mendesak elemen-elemen Hindu di Jawa. Meskipun Mataram gagal mengislamkan seluruh Blambangan tetapi pengaruh Islam merembes ke lingkaran elite istana Blambangan melalui pernikahan antara mereka, termasuk raja, dengan para anggota elite istana Blambangan dari wilayah-wilayah Mataram di Jawa Timur (Lumajang, Probolinggo, dan Pasuruan). Kelompok ini kemudian menjadi sebuah faksi politik di istana Blambangan yang menanamkan benih-benih sentimen anti-Bali. Ini pada akhirnya meletus dalam upaya mengeliminasi seluruh elemen Hindu-Bali dari istana Blambangan. Konstelasi politik dan agama sedemikian melahirkan stigma kombinasi Islamisasi dan kolonialisme Jawa. Menyatakan diri sebagai orang Jawa pada waktu itu berarti menyatakan diri sebagai Muslim dan penjajah (hlm. 158).
Hinduisme dan Islam dalam konteks narasi ini mesti dipahami dalam spektrum lebih luas, yaitu bahwa kedua agama tersebut sebenarnya merepresentasikan dua kekuatan politik: Mataram sebagai sebuah imperium kolonial baru dengan koloninya yang merentang hampir di seluruh Jawa, termasuk Madura, vis-à-vis kerajaan Gelgel dan Mengwi di seberang Selat Bali. Blambangan menjadi “perbatasan” kekuasaan yang diperebutkan oleh kedua imperium ini dan mengalami “kolonialisme dari dalam” (hlm. 319). Dari perspektif Bali, Blambangan adalah batas penghalang yang sangat signifikan untuk menghadang ekspansi Islam dari Jawa. Sedangkan dari perspektif Mataram, Blambangan merupakan batas penghalang terakhir pembentukan dunia Islam di Jawa. Bagi kedua pihak, Blambangan adalah Java’s last frontier.
Kian sengitnya friksi antara VOC dan berbagai komunitas etnis pedagang diaspora menjadi tema berikutnya. Komunitas-komunitas pedagang diaspora Cina, Melayu, Bugis, Mandar, dan Bali di Blambangan secara tradisional memainkan peran penting dalam aktivitas ekonomi dan perdagangan. Seiring dengan lumpuhnya aktivitas ekonomi dan perdagangan akibat perang pemberontakan Rempeg, selama hampir satu dasawarsa, maka komunitas-komunitas pedagang ini kemudian mengembangkan sebuah pelabuhan alternatif di Pulau Nusa Barong, pesisir tenggara Jawa. Pulau ini berada di luar perbatasan monopoli Belanda. VOC mencurigainya sebagai ancaman serius dan kemudian mengirimkan sebuah ekspedisi militer untuk membersihkan pulau tersebut dari aktivitas para pedagang bebas. Aksi pembersihan ini dijustifikasi dengan tuduhan smokkelaars (penyelundup) kepada para pedagang di sana.
Hampir dalam setiap sepak terjangnya, kunci keberhasilan VOC mempertahankan hegemoninya di Jawa ditentukan oleh kemampuannya untuk menjalin hubungan yang “saling menguntungkan” dan “saling memanfaatkan” dengan para penguasa lokal, terutama setelah Perang Suksesi Jawa terakhir pada tahun 1757. Dalam banyak kasus, VOC cukup lihai memanfaatkan berbagai friksi kekuasaan lokal untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan politiknya sendiri, meskipun pada kenyataannya terus dibayang-bayangi kecemasan akan pengkhianatan dan pemberontakan sekutunya.
Tema ketiga yang dimunculkan dalam narasi sejarah ini memperlihatkan bahwa Blambangan menjadi ajang persaingan Belanda-Inggris. Kehadiran Inggris di kawasan ini berkaitan dengan berkembangnya aktivitas dagang Inggris di Kanton. English East India Company kewalahan membiayai meluasnya  aktivitas ekspor sutra dan teh dari Kanton, dan terpaksa membatasi pengiriman perak ke Cina dengan menggunakan hasil bumi Asia Tenggara sebagai bentuk pembayaran alternatif. Kehadiran Inggris inilah yang dianggap oleh Belanda sebagai ancaman besar dan karenanya Belanda mengerahkan seluruh kemampuan dan strateginya untuk mempertahankan kekuasaan ekonomi dan politiknya di Ujung Timur Jawa.
Ketiga tema besar tersebut membingkai narasi sejarah Sri Margana dalam bukunya ini dan muncul secara variatif dalam sejumlah peristiwa pemberontakan. Eksplorasi Margana terhadap berbagai dokumen dan arsip sejarah dalam buku ini kemudian mengerucut pada dua tesis menarik. Pertama, kasus pendudukan VOC di Blambangan menunjukkan bahwa di wilayah ini masyarakat Islam Jawa dan Madura memainkan peran sentral dalam ekspansi Belanda di Ujung Timur Jawa. Sebaliknya, justru komunitas Hindu yang memberikan perlawanan terhadap Belanda. Pola ini berbeda dan berlawanan dengan asumsi-asumsi umum penelitian sejarah bahwa salah satu kontribusi terbesar Islam di Nusantara adalah sebagai pelopor dalam melawan kolonialisme Belanda. Dalam hal ini, Kompeni menjadi sebuah kekuatan pendorong terjadinya Islamisasi di Blambangan dan secara simultan berperan atas merosotnya kultur dan kepercayaan Hindu-Bali (hlm. 208).
Kedua, perubahan formasi demografi telah membentuk komposisi baru etnis di Blambangan, yaitu peranakan Bali-Blambangan. Kelompok etnis baru ini muncul setelah pada paruh kedua abad ke-17 sejumlah besar orang Bali bermigrasi ke Blambangan, serta menikah dan menetap di Blambangan. Meskipun mendominasi komposisi sosial Blambangan namun keberadaan kelompok etnis ini ternyata dilematis. Pemerintah kolonial Belanda sangat berhati-hati dalam memilih para pegawai bawahan dari kelompok etnis ini dalam struktur pemerintahannya karena pengalaman pahit perseteruan dengan Bali. Namun sulit juga menemukan orang asli Blambangan (Jawa) karena dominasi peranakan Bali.
Sementara pada sisi lain, peranakan Bali-Blambangan ini tidak diakui sebagai bagian dari kasta dalam sistem stratifikasi sosial masyarakat Hindu-Bali oleh para pemimpin asli Bali yang ada di Blambangan. Dalam perspektif masyarakat Hindu-Bali di Blambangan, kelompok peranakan Bali-Blambangan ini adalah Oesing yang berarti out of caste (tidak berkasta). Istilah oesing itu sendiri, baik untuk merujuk suatu kelompok etnis atau bahasa, tidak ditemukan dalam arsip-arsip VOC.

Konstruksi Identitas Keagamaan dan Politik Kolonialisme
Konstruksi dan analisis sejarah Sri Margana ini setidaknya memunculkan dua asumsi:

1. Konstruksi Identitas Keagamaan
Dalam melakukan penelitian kearsipan kolonial maka pertimbangan “siapa penulis” dokumen (arsip) perlu mendapat perhatian serius. Dalam karya ini, dapat dipastikan bahwa para penulis dokumen tersebut adalah orang-orang yang memiliki jabatan-jabatan formal dalam struktur administrasi pemerintahan maupun ekonomi kolonial. Mereka menulis berbagai laporan dinas dan catatan perjalanan dengan kepentingan yang jelas, yaitu memberikan informasi sejelas mungkin kepada pihak penguasa yang lebih tinggi untuk mengambil keputusan strategis demi mempertahankan kekuasaan politik dan kepentingan ekonomi kolonial pada masa itu. Untuk maksud itu mereka menciptakan pencitraan sosial-politik-budaya yang dianggap menguntungkan pihak kolonial. Margana menemukan pencitraan agama sebagai salah satu kekuatan yang menguntungkan karena dapat digunakan sebagai “senjata ideologis” untuk mematahkan pemberontakan sosial. Dengan demikian, konstruksi identitas keagamaan perlu dilakukan untuk kepentingan penguasa kolonial tersebut.
Jadi, aksentuasi penting di sini selain pada perebutan hegemoni tiga pihak VOC/Mataram/Bali, tetapi juga pada hegemoni yang dilakukan oleh pihak kolonial (VOC dan Mataram-Jawa) dengan menciptakan citra-citra “agama” dan “etnisitas” (Islam-Jawa dan Hindu-Bali) untuk saling menghadapkan pihak-pihak yang bertikai.[6] Penyusupan ideologi “agama” dan “etnisitas” ke dalam catatan-catatan kolonial ini secara langsung maupun tidak langsung telah mengonstruksi perspektif dan perilaku beragama masyarakat Nusantara generasi berikutnya. Pertautan kreatif dan saling memanfaatkan antara agama dan politik – seperti dicatat oleh Margana – telah menciptakan ruang-ruang diskursus kekuasaan yang sangat kuat bagi pihak penguasa untuk mengeksploitasi identitas menjadi sumber konflik. Kita telah melihat misalnya catatan Margana mengenai kegagalan Islamisasi Blambangan pada aras akar-rumput secara massif yang justru mendorong penetrasi Islam ke dalam lingkaran elite istana. Islamisasi terjadi melalui dorongan kekuasaan politik.
Menjadi menarik di sini ketika kita menghadapi sejumlah isu ketegangan antarkelompok agama dan pernyataan-pernyataan politik yang mengusung isu sentimen agama dan etnis: Apakah hakikat masyarakat Nusantara memang sudah terkonstruksi sebagai arena konflik identitas agama dan etnis? Ataukah seluruh wacana mengenai agama dan etnisitas dalam konstelasi sosial-politik Indonesia masa kini sebenarnya merupakan sebuah konstruksi kolonial (politik identitas) yang berbasis pada upaya mempertahankan kepentingan politik dan ekonomi penguasa (Belanda dan sekutunya)?

2. Politik Kolonialisme
Buku ini memaparkan secara gamblang pertarungan hegemoni tiga kekuatan yaitu Mataram (Islam-Jawa), Mengwi (Hindu-Bali) dan VOC. Dalam konteks ini, Blambangan menjadi ajang perebutan hegemoni ekonomi yang tidak hanya melibatkan kekuatan-kekuatan lokal tetapi juga mancanegara (Belanda dan Inggris).[7]
            Menariknya, Margana tidak hanya melihat pada pertarungan hegemoni tingkat tinggi (elite), tetapi juga memperhatikan inisiatif-inisiatif komunitas lokal (pedagang bebas) sebagai strategi menyiasati tekanan-tekanan ekonomi melalui regulasi perdagangan administrasi kolonial dengan cara membangun basis ekonomi mereka sendiri di Pulau Nusa Barong. Ini memperlihatkan bahwa gerakan-gerakan rakyat selalu muncul mencari jalan keluar ketika berhadapan dengan situasi yang menindas kehidupan mereka, terutama secara ekonomi. Ketika politik kolonial hanya berorientasi pada perebutan lahan-lahan ekonomi makro maka pada aras masyarakat akar-rumput (grass-roots) akan muncul perlawanan-perlawanan dalam beraneka bentuknya, mulai dari yang terselubung hingga konflik terbuka. Ini yang disebut oleh Pierre Bourdieu sebagai “acts of resistance” atau oleh James Scott sebagai “arts of resistance”.[8]
Buku ini menggiring kita pada refleksi mengenai karakteristik manajemen kemajemukan sosiobudaya, agama, politik dan ekonomi pada era Indonesia modern saat ini. Apakah perubahan situasi formal politik dan ekonomi dari terjajah menjadi merdeka juga diikuti oleh transformasi mentalitas budaya dan pengelolaan kekuasaan politik dan ekonomi dalam konteks masyarakat majemuk Indonesia? Ataukah kita hanya mengadopsi nama baru tetapi sesungguhnya struktur dasar kesadaran dan mentalitas kita tetap terbelenggu pada “politik kolonialisme”?
Kajian sejarah Sri Margana menjadi signifikan ketika kita membacanya sebagai jendela perspektif memahami dimensi ruang dan waktu saat ini. Berbagai gejolak yang muncul pada komunitas basis di seantero wilayah Indonesia ini dapat dicermati sebagai arena perebutan hegemoni atau negosiasi politik identitas. Setidaknya saya melihatnya pada dua perspektif: [1] sebagai manifestasi ketidakberdayaan klas penguasa (pengurus negara) mengelola kemajemukan sosial-budaya masyarakat Indonesia; dan bisa juga [2] strategi pembiaran politik ala kolonial yang membuka ruang-ruang diskursus citra-citra identitas agama dan etnisitas untuk saling membenturkan perbedaan lantas mengambil keuntungan dari khaos itu. Jika memang demikian adanya maka kita sekarang hidup di era modern sembari terus-menerus melanggengkan ideologi “kolonial”: verdeel en heers atau divide et impera. Pada titik itu, perbedaan-perbedaan sosial sebagai manifestasi kemajemukan masyarakat, terutama pada ranah agama dan etnisitas, menjadi titik-titik api yang bisa sewaktu-waktu dimanfaatkan untuk menghancurkan ikatan-ikatan sosial-budaya masyarakat Indonesia.

Beberapa Catatan Teknis Redaksional
·         Formulasi judul sebaiknya Perebutan Hegemoni Blambangan: Ujung Timur Jawa 1763-1813.
·         Karena ini merupakan terjemahan disertasi ilmu sejarah yang menggunakan penelitian kearsipan, setting/lay-out sebaiknya menggunakan “catatan akhir” (end-note) sehingga alur narasi dapat dibaca dengan lebih lancar pada setiap halaman tanpa terlalu banyak dimuati catatan jika menggunakan “catatan kaki” (foot-note).
·         Pengutipan langsung dari sumber-sumber berbahasa Belanda dan/atau Inggris harus lebih berhati-hati. Demikian pula dengan penulisan nama orang dan penanggalan (tahun), misalnya tertulis pada halaman 324 “tahun 1970-an” padahal seharusnya “tahun 1770-an”.

Yogyakarta, 22 September 2012




[1] Selain penelitian kearsipan, kajian sejarah yang bersifat dekonstruktif juga mempertimbangkan berbagai tradisi lisan. Lih. Jan Vansina, Oral Tradition As History (Madison: The Wisconsin Univ. Press, 1985), hlm. 27-32.
[2] M.C. Lemon, Philosophy of History (New York: Routledge, 2003), hlm. 9, 281.
[3] Alun Munslow, Deconstructing History (New York: Routledge, 2006), hlm. 130-131.
[4] Munslow, ibid., hlm. 4-6.
[5] Karya sejarah lainnya seperti Peter Carey, The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855 (Leiden: KITLV, 2008).
[6] Kecenderungan ini juga dapat ditemukan dalam penciptaan citra identitas “Melayu-Islam” untuk beberapa wilayah Nusantara bagian barat dan “Melayu-Kristen” untuk wilayah kepulauan Nusantara bagian timur.
[7] Istilah “hegemoni” dikenalkan oleh pemikir Marxis Italia, Antonio Gramsci, yang berarti kekuasaan klas penguasa untuk meyakinkan klas-klas sosial yang lain bahwa kepentingan penguasa adalah kepentingan semua orang. Dominasi berlangsung tanpa paksaan melainkan melalui kekuasaan ekonomi yang sangat halus (subtle) dan melalui perangkat-perangkat pendidikan dan media, yang melaluinya kepentingan klas penguasa ditampilkan sebagai kepentingan bersama dan dengan demikian diterima apa adanya. Lih. Bill Ashcroft et al (eds.), Key Concepts in Post-Colonial Studies (New York: Routledge, 1999), hlm. 116.
[8] Pierre Bourdieu, Acts of Resistance: Against the Tyranny of the Market (New York: The New Press 1998); James Scott, Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts (New Haven: Yale Univ. Press 1990). 

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces