Saya berterima kasih
atas kesempatan untuk menyelisik buku karya Dr Sri Margana ini. Saya merasa
tidak perlu untuk “membedah” buku ini. Sebagai sebuah karya akademik
(disertasi), buku ini merupakan manifestasi kerja keras dan penelusuran panjang
berbagai dokumen sejarah yang dikaji dengan pendekatan metodologis sejarah yang
ketat, serta telah diuji dan dibedah oleh pakar-pakar sejarah yang lebih
berkompeten daripada saya. Hal sederhana yang hendak saya lakukan adalah
memetakan gagasan-gagasan penulis sebagai sebuah karya sejarah dan menemukan
signifikansi karya ini dalam memahami dinamika sosial masyarakat Indonesia
kontemporer.
Kedua,
saya perlu melakukan positioning.
Saya bukan seorang sejarawan. Kendati tertarik dengan kajian-kajian sejarah
namun minat akademik saya lebih tertuju pada kajian keagamaan (religious studies). Religious studies dalam arti yang formal dan sistematis tampaknya belum
terlalu lazim di Indonesia. Kajian ini
kerap diidentikkan dengan kajian teologi agama-agama dan perbandingan agama.
Namun, pada hakikatnya religious studies
lebih berupa analisis sosiobudaya dengan menggunakan pendekatan lintas keilmuan
(interdisciplinary) terhadap agama
sebagai fenomena sosial. Dengan pendekatan semacam itu maka religious studies sangat terbuka dalam
memanfaatkan kajian-kajian sejarah – seperti buku ini – dalam memahami fenomena
keberagamaan suatu masyarakat atau kelompok-kelompok dalam suatu masyarakat.
Dalam ranah ilmu-ilmu humaniora, fenomena keberagamaan dipahami sebagai bagian
integral dari proses-proses sosial yang berlangsung dalam konteks sosial
tertentu. Dimensi-dimensi transendental dalam religiositas dilihat terutama
melalui manifestasi kultural dan sosiologisnya; bukan pada aspek teologisnya.
Ketiga,
melalui lensa religious studies saya
akan lebih meneropong bagaimana identitas keagamaan dikonstruksi dalam suatu
masyarakat pada konteks ruang dan waktu tertentu dalam suatu lintasan historis
seperti yang dinarasikan oleh sejarawan Sri Margana. Dengan demikian,
kontribusi kajian sejarah tidak hanya diperlakukan sebagai suatu data tetapi
lebih sebagai jendela perspektif yang membentangkan cakrawala masa lampau suatu
masyarakat dengan berbagai manifestasi identitasnya, termasuk identitas
keagamaan. Dalam religious studies,
identitas keagamaan tidak dapat dipahami tanpa menempatkannya dalam konteks
sosial secara komprehensif. Ruang yang tersedia di sini hanya akan saya gunakan
melihat dimensi sosial dan fungsional agama dalam konteks masyarakat Ujung
Timur Jawa atau Bang Wetan pada abad
ke-18.
Membaca Sejarah
Kata “sejarah”
bukanlah kata asing dalam percakapan kita sehari-hari. Namun demikian, kata itu
juga mengandung pengertian yang variatif. Dalam pengalaman penelitian lapangan,
ketika seseorang diwawancarai oleh peneliti mengapa suatu konsep atau perilaku
diterima oleh masyarakat, maka hampir selalu jawaban yang diterima adalah “Ya,
memang sudah dari dulu begitu” atau “Hal itu sudah dilakukan sejak para leluhur
kami” atau “Ya, sejarahnya begitu” dll. Pernyataan semacam itu kemudian menjadi
pemicu bagi peneliti untuk menyelidiki lebih lanjut hingga mampu menuliskan
narasi sejarahnya berdasarkan kepingan-kepingan informasi melalui wawancara
dan/atau penelitian dokumen yang tersedia.[1]
Sederhananya,
sejarah adalah konstruksi naratif dan interpretatif tentang masa lampau.
Sebagai narasi dan interpretasi, definisi sederhana itu pada gilirannya
memunculkan isu-isu filosofis. M.C. Lemon membagi proses pembelajaran sejarah
pada dua kategori filosofis: [1] filsafat sejarah spekulatif yang menelaah
“muatan” sejarah manusia untuk melihatnya sebagai suatu keutuhan yang bermakna;
[2] filsafat sejarah analitis yang melihat sejarah sebagai suatu disiplin untuk
menemukan dan memahami masa lampau. Istilah “analitik” di sini juga turut
melibatkan peran subjektif sejarawan.[2] Pernyataan Lemon ini mengindikasikan pada
derajat tertentu kompleksitas pemaknaan kita tentang “sejarah”.
Michel
Foucault menyatakan bahwa masa lampau yang dipahami sebagai sejarah merupakan
suatu proses interpretasi terus-menerus oleh sejarawan sebagai suatu tindakan
imajinasi, dan berbagai kategori kita tentang analisis, asumsi-asumsi,
model-model dan cara-cara penggambarannya menjadi salah satu bagian dari
sejarah yang sedang kita uraikan. Pernyataannya ini didasarkan pada
penolakannya terhadap konsep sejarah yang linear. Karakter interpretatif yang
terus-menerus merupakan respons terhadap kenyataan bahwa kita tidak pernah
menemukan kebenaran orisinal. Penelitian kearsipan oleh Foucault dilihat
sebagai tubuh evidensi yang dinarasikan yang merepresentasikan dan menunjukkan episteme (peristiwa dan rentang waktu)
tertentu, yang didorong dan dijumpai oleh sejarawan dalam epistemenya sendiri.[3] Dengan demikian, menurut Munslow, peran
fundamental sejarawan adalah memahami dan menjelaskan dalam wujud tulisan
hubungan antara peristiwa-peristiwa dan gagasan manusia atau agensi di masa
lampau. Sejarawan memilih datanya berdasarkan minatnya terhadap suatu peristiwa
unik atau gagasan dan tindakan individu menanggapi kondisi tertentu. Jadi, masa lampau dan sejarah tertulis adalah dua hal yang berbeda.[4]
Blambangan dalam Konstruksi Sejarah Sri Margana
Tidak diragukan
bahwa karya ini selayaknya diberi apresiasi tinggi jika kita melihat kerja
keras dan ketekunan penulisnya menelusuri jejak-jejak masa lampau melalui
penelitian kearsipan pada masa kolonial (sebagaimana dapat dilihat pada
bibliografi mengenai arsip, sumber resmi tercetak dan sumber Jawa tercetak).
Sejauh yang saya tahu, sedikit sekali sejarawan yang memiliki keahlian dalam
membaca arsip-arsip kolonial karena dibutuhkan penguasaan bahasa Eropa kuno
(terutama Belanda), bahasa Jawa kuno (untuk penelitian ini) dan ketekunan untuk
menyusun kepingan-kepingan dokumen tersebut menjadi sebuah narasi sejarah yang
runut dan jelas.
Menurut
saya, tidak berlebihan jika dalam konteks kajian sejarah sosial di Jawa, karya
Sri Margana ini melengkapi kajian makro sejarah seperti tiga jilid Nusa Jawa: Silang Budaya-nya Denys
Lombard atau dua jilid karya Anthony Reid, Southeast
Asia in the Age of Commerce 1450-1680 (1993) atau M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200
(Edisi ketiga 2001).[5] Jika terutama upaya Lombard dan Reid lebih
terarah untuk menyusun narasi sejarah kebudayaan Jawa dalam lingkup Asia
Tenggara, maka Margana berupaya untuk melakukan konstruksi narasi sejarahnya
pada lingkup yang lebih terbatas, yaitu Ujung Timur Jawa (Bld. Java’s Oosthoek; Jw. Bang Wetan, dengan acuan “bagaimana
wilayah ini digabungkan ke dalam sebuah perkembangan politik di Jawa…” (hlm.
2). Margana menyajikan analisis sejarah bagaimana Belanda mencoba mengubah Java’s Oosthoek ini dari belantara yang dipenuhi para
pelarian politik, oposan, dan pemberontak yang selalu melawan para penguasa
asing (Belanda dan sekutunya), menjadi sebuah wilayah yang terintegrasi secara
ekonomi dan politik dengan wilayah-wilayah kekuasaan Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Jawa dari paruh kedua abad ke-18
hingga masa-masa awal pemerintahan kolonial pada permulaan abad ke-19.
Terurai
dalam sembilan bab, narasi sejarah yang disajikan oleh Margana terpetakan
melalui tiga tema besar. Tema pertama adalah benturan peradaban antara dua
kekuatan religius Hinduisme dan Islam. Pada paruh akhir abad ke-16 Mataram
muncul sebagai pengganti Demak dan terus mendesak elemen-elemen Hindu di Jawa.
Meskipun Mataram gagal mengislamkan seluruh Blambangan tetapi pengaruh Islam
merembes ke lingkaran elite istana Blambangan melalui pernikahan antara mereka,
termasuk raja, dengan para anggota elite istana Blambangan dari wilayah-wilayah
Mataram di Jawa Timur (Lumajang, Probolinggo, dan Pasuruan). Kelompok ini
kemudian menjadi sebuah faksi politik di istana Blambangan yang menanamkan
benih-benih sentimen anti-Bali. Ini pada akhirnya meletus dalam upaya
mengeliminasi seluruh elemen Hindu-Bali dari istana Blambangan. Konstelasi
politik dan agama sedemikian melahirkan stigma kombinasi Islamisasi dan
kolonialisme Jawa. Menyatakan diri sebagai orang Jawa pada waktu itu berarti
menyatakan diri sebagai Muslim dan penjajah (hlm. 158).
Hinduisme
dan Islam dalam konteks narasi ini mesti dipahami dalam spektrum lebih luas,
yaitu bahwa kedua agama tersebut sebenarnya merepresentasikan dua kekuatan
politik: Mataram sebagai sebuah imperium kolonial baru dengan koloninya yang
merentang hampir di seluruh Jawa, termasuk Madura, vis-à-vis kerajaan Gelgel dan Mengwi di seberang Selat
Bali. Blambangan menjadi “perbatasan” kekuasaan yang diperebutkan oleh kedua
imperium ini dan mengalami “kolonialisme dari dalam” (hlm. 319). Dari
perspektif Bali, Blambangan adalah batas penghalang yang sangat signifikan
untuk menghadang ekspansi Islam dari Jawa. Sedangkan dari perspektif Mataram,
Blambangan merupakan batas penghalang terakhir pembentukan dunia Islam di Jawa.
Bagi kedua pihak, Blambangan adalah Java’s last frontier.
Kian
sengitnya friksi antara VOC dan berbagai komunitas etnis pedagang diaspora
menjadi tema berikutnya. Komunitas-komunitas pedagang diaspora Cina, Melayu,
Bugis, Mandar, dan Bali di Blambangan secara tradisional memainkan peran
penting dalam aktivitas ekonomi dan perdagangan. Seiring dengan lumpuhnya
aktivitas ekonomi dan perdagangan akibat perang pemberontakan Rempeg, selama
hampir satu dasawarsa, maka komunitas-komunitas pedagang ini kemudian
mengembangkan sebuah pelabuhan alternatif di Pulau Nusa Barong, pesisir
tenggara Jawa. Pulau ini berada di luar perbatasan monopoli Belanda. VOC
mencurigainya sebagai ancaman serius dan kemudian mengirimkan sebuah ekspedisi
militer untuk membersihkan pulau tersebut dari aktivitas para pedagang bebas.
Aksi pembersihan ini dijustifikasi dengan tuduhan smokkelaars (penyelundup) kepada para pedagang di sana.
Hampir
dalam setiap sepak terjangnya, kunci keberhasilan VOC mempertahankan
hegemoninya di Jawa ditentukan oleh kemampuannya untuk menjalin hubungan yang
“saling menguntungkan” dan “saling memanfaatkan” dengan para penguasa lokal,
terutama setelah Perang Suksesi Jawa terakhir pada tahun 1757. Dalam banyak
kasus, VOC cukup lihai memanfaatkan berbagai friksi kekuasaan lokal untuk
mendapatkan keuntungan ekonomi dan politiknya sendiri, meskipun pada
kenyataannya terus dibayang-bayangi kecemasan akan pengkhianatan dan
pemberontakan sekutunya.
Tema
ketiga yang dimunculkan dalam narasi sejarah ini memperlihatkan bahwa
Blambangan menjadi ajang persaingan Belanda-Inggris. Kehadiran Inggris di
kawasan ini berkaitan dengan berkembangnya aktivitas dagang Inggris di Kanton. English East India Company kewalahan membiayai meluasnya aktivitas ekspor sutra dan teh dari Kanton,
dan terpaksa membatasi pengiriman perak ke Cina dengan menggunakan hasil bumi
Asia Tenggara sebagai bentuk pembayaran alternatif. Kehadiran Inggris inilah
yang dianggap oleh Belanda sebagai ancaman besar dan karenanya Belanda
mengerahkan seluruh kemampuan dan strateginya untuk mempertahankan kekuasaan
ekonomi dan politiknya di Ujung Timur Jawa.
Ketiga
tema besar tersebut membingkai narasi sejarah Sri Margana dalam bukunya ini dan
muncul secara variatif dalam sejumlah peristiwa pemberontakan. Eksplorasi
Margana terhadap berbagai dokumen dan arsip sejarah dalam buku ini kemudian
mengerucut pada dua tesis menarik. Pertama, kasus pendudukan VOC di Blambangan
menunjukkan bahwa di wilayah ini masyarakat Islam Jawa dan Madura memainkan
peran sentral dalam ekspansi Belanda di Ujung Timur Jawa. Sebaliknya, justru
komunitas Hindu yang memberikan perlawanan terhadap Belanda. Pola ini berbeda
dan berlawanan dengan asumsi-asumsi umum penelitian sejarah bahwa salah satu
kontribusi terbesar Islam di Nusantara adalah sebagai pelopor dalam melawan
kolonialisme Belanda. Dalam hal ini, Kompeni menjadi sebuah kekuatan pendorong
terjadinya Islamisasi di Blambangan dan secara simultan berperan atas merosotnya
kultur dan kepercayaan Hindu-Bali (hlm. 208).
Kedua,
perubahan formasi demografi telah membentuk komposisi baru etnis di Blambangan,
yaitu peranakan Bali-Blambangan. Kelompok etnis baru ini muncul setelah pada
paruh kedua abad ke-17 sejumlah besar orang Bali bermigrasi ke Blambangan,
serta menikah dan menetap di Blambangan. Meskipun mendominasi komposisi sosial
Blambangan namun keberadaan kelompok etnis ini ternyata dilematis. Pemerintah
kolonial Belanda sangat berhati-hati dalam memilih para pegawai bawahan dari
kelompok etnis ini dalam struktur pemerintahannya karena pengalaman pahit
perseteruan dengan Bali. Namun sulit juga menemukan orang asli Blambangan
(Jawa) karena dominasi peranakan Bali.
Sementara
pada sisi lain, peranakan Bali-Blambangan ini tidak diakui sebagai bagian dari
kasta dalam sistem stratifikasi sosial masyarakat Hindu-Bali oleh para pemimpin
asli Bali yang ada di Blambangan. Dalam perspektif masyarakat Hindu-Bali di
Blambangan, kelompok peranakan Bali-Blambangan ini adalah Oesing yang berarti out of caste (tidak berkasta). Istilah oesing itu sendiri, baik untuk merujuk suatu
kelompok etnis atau bahasa, tidak ditemukan dalam arsip-arsip VOC.
Konstruksi Identitas Keagamaan dan Politik Kolonialisme
Konstruksi dan
analisis sejarah Sri Margana ini setidaknya memunculkan dua asumsi:
1. Konstruksi Identitas Keagamaan
Dalam melakukan
penelitian kearsipan kolonial maka pertimbangan “siapa penulis” dokumen (arsip)
perlu mendapat perhatian serius. Dalam karya ini, dapat dipastikan bahwa para
penulis dokumen tersebut adalah orang-orang yang memiliki jabatan-jabatan
formal dalam struktur administrasi pemerintahan maupun ekonomi kolonial. Mereka
menulis berbagai laporan dinas dan catatan perjalanan dengan kepentingan yang
jelas, yaitu memberikan informasi sejelas mungkin kepada pihak penguasa yang
lebih tinggi untuk mengambil keputusan strategis demi mempertahankan kekuasaan
politik dan kepentingan ekonomi kolonial pada masa itu. Untuk maksud itu mereka
menciptakan pencitraan sosial-politik-budaya yang dianggap menguntungkan pihak
kolonial. Margana menemukan pencitraan agama sebagai salah satu kekuatan yang
menguntungkan karena dapat digunakan sebagai “senjata ideologis” untuk
mematahkan pemberontakan sosial. Dengan demikian, konstruksi identitas
keagamaan perlu dilakukan untuk kepentingan penguasa kolonial tersebut.
Jadi,
aksentuasi penting di sini selain pada perebutan hegemoni tiga pihak
VOC/Mataram/Bali, tetapi juga pada hegemoni yang dilakukan oleh pihak kolonial
(VOC dan Mataram-Jawa) dengan menciptakan citra-citra “agama” dan “etnisitas”
(Islam-Jawa dan Hindu-Bali) untuk saling menghadapkan pihak-pihak yang
bertikai.[6] Penyusupan ideologi “agama” dan “etnisitas”
ke dalam catatan-catatan kolonial ini secara langsung maupun tidak langsung
telah mengonstruksi perspektif dan perilaku beragama masyarakat Nusantara
generasi berikutnya. Pertautan kreatif dan saling memanfaatkan antara agama dan
politik – seperti dicatat oleh Margana – telah menciptakan ruang-ruang
diskursus kekuasaan yang sangat kuat bagi pihak penguasa untuk mengeksploitasi
identitas menjadi sumber konflik. Kita telah melihat misalnya catatan Margana
mengenai kegagalan Islamisasi Blambangan pada aras akar-rumput secara massif
yang justru mendorong penetrasi Islam ke dalam lingkaran elite istana.
Islamisasi terjadi melalui dorongan kekuasaan politik.
Menjadi
menarik di sini ketika kita menghadapi sejumlah isu ketegangan antarkelompok
agama dan pernyataan-pernyataan politik yang mengusung isu sentimen agama dan
etnis: Apakah hakikat masyarakat Nusantara memang sudah terkonstruksi sebagai
arena konflik identitas agama dan etnis? Ataukah seluruh wacana mengenai agama
dan etnisitas dalam konstelasi sosial-politik Indonesia masa kini sebenarnya
merupakan sebuah konstruksi kolonial (politik identitas) yang berbasis pada
upaya mempertahankan kepentingan politik dan ekonomi penguasa (Belanda dan
sekutunya)?
2. Politik Kolonialisme
Buku ini memaparkan
secara gamblang pertarungan hegemoni tiga kekuatan yaitu Mataram (Islam-Jawa),
Mengwi (Hindu-Bali) dan VOC. Dalam konteks ini, Blambangan menjadi ajang
perebutan hegemoni ekonomi yang tidak hanya melibatkan kekuatan-kekuatan lokal
tetapi juga mancanegara (Belanda dan Inggris).[7]
Menariknya, Margana tidak hanya
melihat pada pertarungan hegemoni tingkat tinggi (elite), tetapi juga
memperhatikan inisiatif-inisiatif komunitas lokal (pedagang bebas) sebagai
strategi menyiasati tekanan-tekanan ekonomi melalui regulasi perdagangan
administrasi kolonial dengan cara membangun basis ekonomi mereka sendiri di
Pulau Nusa Barong. Ini memperlihatkan bahwa gerakan-gerakan rakyat selalu
muncul mencari jalan keluar ketika berhadapan dengan situasi yang menindas
kehidupan mereka, terutama secara ekonomi. Ketika politik kolonial hanya
berorientasi pada perebutan lahan-lahan ekonomi makro maka pada aras masyarakat
akar-rumput (grass-roots) akan muncul
perlawanan-perlawanan dalam beraneka bentuknya, mulai dari yang terselubung
hingga konflik terbuka. Ini yang disebut oleh Pierre Bourdieu sebagai “acts of
resistance” atau oleh James Scott sebagai “arts of resistance”.[8]
Buku
ini menggiring kita pada refleksi mengenai karakteristik manajemen kemajemukan
sosiobudaya, agama, politik dan ekonomi pada era Indonesia modern saat ini.
Apakah perubahan situasi formal politik dan ekonomi dari terjajah menjadi
merdeka juga diikuti oleh transformasi mentalitas budaya dan pengelolaan
kekuasaan politik dan ekonomi dalam konteks masyarakat majemuk Indonesia?
Ataukah kita hanya mengadopsi nama baru tetapi sesungguhnya struktur dasar
kesadaran dan mentalitas kita tetap terbelenggu pada “politik kolonialisme”?
Kajian
sejarah Sri Margana menjadi signifikan ketika kita membacanya sebagai jendela
perspektif memahami dimensi ruang dan waktu saat ini. Berbagai gejolak yang
muncul pada komunitas basis di seantero wilayah Indonesia ini dapat dicermati
sebagai arena perebutan hegemoni atau negosiasi politik identitas. Setidaknya
saya melihatnya pada dua perspektif: [1] sebagai manifestasi ketidakberdayaan
klas penguasa (pengurus negara) mengelola kemajemukan sosial-budaya masyarakat
Indonesia; dan bisa juga [2] strategi pembiaran politik ala kolonial yang
membuka ruang-ruang diskursus citra-citra identitas agama dan etnisitas untuk
saling membenturkan perbedaan lantas mengambil keuntungan dari khaos itu. Jika
memang demikian adanya maka kita sekarang hidup di era modern sembari
terus-menerus melanggengkan ideologi “kolonial”: verdeel en heers atau divide
et impera. Pada titik itu, perbedaan-perbedaan sosial sebagai manifestasi
kemajemukan masyarakat, terutama pada ranah agama dan etnisitas, menjadi
titik-titik api yang bisa sewaktu-waktu dimanfaatkan untuk menghancurkan
ikatan-ikatan sosial-budaya masyarakat Indonesia.
Beberapa Catatan Teknis Redaksional
·
Formulasi judul sebaiknya Perebutan
Hegemoni Blambangan: Ujung Timur Jawa 1763-1813.
·
Karena ini merupakan terjemahan disertasi ilmu sejarah yang
menggunakan penelitian kearsipan, setting/lay-out
sebaiknya menggunakan “catatan akhir” (end-note)
sehingga alur narasi dapat dibaca dengan lebih lancar pada setiap halaman tanpa
terlalu banyak dimuati catatan jika menggunakan “catatan kaki” (foot-note).
·
Pengutipan langsung dari sumber-sumber berbahasa Belanda dan/atau
Inggris harus lebih berhati-hati. Demikian pula dengan penulisan nama orang dan
penanggalan (tahun), misalnya tertulis pada halaman 324 “tahun 1970-an” padahal
seharusnya “tahun 1770-an”.
[1] Selain penelitian
kearsipan, kajian sejarah yang bersifat dekonstruktif juga mempertimbangkan
berbagai tradisi lisan. Lih. Jan Vansina, Oral
Tradition As History (Madison: The Wisconsin Univ. Press, 1985), hlm.
27-32.
[2] M.C. Lemon, Philosophy of History (New York:
Routledge, 2003), hlm. 9, 281.
[3] Alun Munslow, Deconstructing History (New York:
Routledge, 2006), hlm. 130-131.
[4] Munslow, ibid., hlm. 4-6.
[5] Karya sejarah lainnya
seperti Peter Carey, The Power of
Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855
(Leiden: KITLV, 2008).
[6] Kecenderungan ini juga
dapat ditemukan dalam penciptaan citra identitas “Melayu-Islam” untuk beberapa
wilayah Nusantara bagian barat dan “Melayu-Kristen” untuk wilayah kepulauan
Nusantara bagian timur.
[7] Istilah “hegemoni”
dikenalkan oleh pemikir Marxis Italia, Antonio Gramsci, yang berarti kekuasaan
klas penguasa untuk meyakinkan klas-klas sosial yang lain bahwa kepentingan
penguasa adalah kepentingan semua orang. Dominasi berlangsung tanpa paksaan melainkan
melalui kekuasaan ekonomi yang sangat halus (subtle) dan melalui perangkat-perangkat pendidikan dan media, yang
melaluinya kepentingan klas penguasa ditampilkan sebagai kepentingan bersama
dan dengan demikian diterima apa adanya. Lih. Bill Ashcroft et al (eds.), Key Concepts in Post-Colonial Studies
(New York: Routledge, 1999), hlm. 116.
[8] Pierre Bourdieu, Acts of Resistance: Against the Tyranny of
the Market (New York: The New Press 1998); James Scott, Domination and the Arts of Resistance:
Hidden Transcripts (New Haven: Yale Univ. Press 1990).
No comments:
Post a Comment